Kulit Manggis Pewarna Alami Batik

BATIK merupakan salah satu kerajinan khas Indonesia. Sebagian besar masyarakat sudah mengenal berbagai coraknya, baik yang tradisional maupun modern. Sayangnya, kini banyak perajin batik yang kesulitan meningkatkan produksinya, karena harga bahan baku yang makin mahal, termasuk pewarna sintetis.

Selama ini, kebanyakan perajin masih menggunakan pewarna sintetis impor. Selain harganya cukup mahal, penggunaan pewarna sistesis juga membahayakan manusia serta lingkungan hidup, karena bersifat karsinogenik dan merusak lingkungan.

Sebagian industri batik rumahan di Pekalongan, yang merupakan sentra batik, membuang limbahnya ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dulu. Akibatnya, air sungai menjadi tercemar dan tak dapat dimanfaatkan lagi.

Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke sumur-sumyur penduduk. Padahal, sumur itu menjadi sumber air utama untuk keperluan hidup sehari-hari. Keadaan ini sudah berlangsung lama dan hingga kini belum teratasi.

Pemerintah Jerman dan Belanda telah melarang penggunaan pewarna yang terbuat dari bahan kimia, naphtol, maupun garam diazonium yang dapat menyebabkan kanker kulit. Pewarna alami lebih ramah lingkungan, dan tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan manusia.

Penggunaan pewarna alami menyebabkan warna batik terasa lebih sejuk. Itu sebabnya, batik warna alami lebih diminati wisatawan mancanegara daripada batik dengan pewarna sintetis.

Pemanfaatan Manggis

Penggunaan pewarna alami perlu disosialisasikan kepada masyarakat terutama perajin batik. Apalagi proses pembuatannya sederhana, dengan menggunakan bahan yang banyak dijumpai di Indonesia, yaitu kulit buah manggis (Garcinia mangostana).

Kulit buah manggis mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tanin, dan bisa digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tanin termasuk salah satu zat pewarna alami yang terdapat pada berbagai tumbuhan, termasuk kulit manggis.

Ketika bereaksi dengan logam, senyawa tanin membentuk zat warna mordan. Untuk mendapatkan pewarna kuning sampai coklat, yang sering digunakan pada batik tradisional, dapat memanfaatkan kulit manggis yang kaya tanin tersebut.

Prosedur yang perlu dilakukan untuk menghasilkan pewarna alami dari kulit manggis adalah sebagai berikut. Pertama, buah manggis dipisahkan dari buahnya, kemudian kulit dikeringkan. Setelah kering dihaluskan agar dalam ekstraksi bisa mendapatkan hasil sempurna.

Kedua, melarutkan kulit manggis yang telah diblender ke dalam petroleum eter. Bahan-bahan dari tanaman biasanya mengandung lemak atau lilin yang sangat non-polar. Petroleum eter termasuk senyawa non-polar, sehingga sering menyebabkan terbentuknya emulsi.

Karena itulah, senyawa-senyawa ini perlu dipisahkan dari bahan tanaman dengan cara perkolasi atau sokletsasi bahan tanaman dengan petroleum eter.

Ketiga, setelah lemak dipisahkan, kulit manggis diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 95 %. Etanol merupakan pelarut organik yang biasa digunakan dalam mengekstraksi senyawa alkaloid dari berbagai tumbuhan. Selain itu, etanol lebih ramah lingkungan daripada metanol.

Keempat, larutan basa berair diekstrak dengan kloroform. Proses ini dimaksudkan untuk memisahkan tanin dengan senyawa-senyawa lain.

Kelima, senyawa tanin yang didapatkan ini kemudian diuapkan untuk mendapatkan kristal berwarna coklat. Kristal inilah yang nantinya digunakan untuk mewarnai batik, melalui pencelupan warna. Selain kulit manggis, masih banyak senyawa yang bisa digunakan sebagai zat pewarna alami. Lebih bagus lagi ketika yang digunakan merupakan sesuatu yang selama ini dibuang begitu saja. Dengan begitu, otomatis kita telah meminimalisasi limbah di alam. (Miranita Khusniati, mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Unnes-32)

Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik

Liputan6.com, Pekalongan: Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawe menjadi zat pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.

Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi rasa hangat pada pemakai batik. Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya. Yang lebih penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.

Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe.

Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah batik bisa dikurangi. Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.(MAK/Budi Harto)

Haryani Winotosastro, Melestarikan Pewarna Alami Batik

Sebagai warisan budaya, kerajinan batik harus tetap dilestarikan. Itulah yang dilakukan oleh Haryani Winotosastro, pengelola dan pemilik perusahaan kerajinan Batik Winotosastro di Yogyakarta. Pesan dari sang ayah, Winotosastro itu selalu diingatnya.

Sejak 1967 hingga sekarang Hani, panggilan akrab Haryani, selalu membantu orangtuanya -- Winotosastro dan Mudinah Winotosastro -- di perusahaan Kerajinan Batik Winotosastro. Walaupun sang ayah, yang kini berusia 84 tahun, masih menjadi pimpinan Batik Winotosastro, Hani berperan cukup besar di bagian produksi untuk tetap melestarikan batik tradisional. Motif-motif batik ini klasik dan pewarnaannya alami.

Langkah melestarikan pewarna alami itu antara lain dilakukan Hani dengan mengoleksi tanaman yang bisa dipakai sebagai pewarna alami. Tanaman itu ada di halaman rumahnya, yang sekaligus sebagai showroom Batik Winotosastro, dan di sekitar halaman hotel Winotosastro di Jalan Tirtodipuran, Yogyakarta.

Bila menemukan sedikit saja lahan kosong, ia langsung memanfaatkan untuk memperbanyak koleksi tanaman pewarna batik, seperti indigo/tom/nila (Indigofera tinctoria L), tingi (Ceripus tagal), jambal (Ceriops candolleana), tegeran (Cudrania javanensis), putri malu (Mimosa pidica), mengkudu (Morinda citrifolia L), jambu biji, mangga, secang (Caiesalpinia), nangka (Artocarpus integra M), dan sebagainya.

Hani juga memberikan biji tanaman indigo kepada sejumlah petani di Bantul, Yogyakarta, untuk ditanam. Bila daunnya dipetik, dia akan membelinya untuk dibuat pasta dan dimanfaatkan oleh Batik Winotosastro sebagai bahan pewarna biru. ''Warna biru merupakan salah satu ciri khas batik klasik Yogyakarta disamping warna soga coklat dan warna dasar putih,''ungkap Hani sambil menunjukkan berbagai koleksi batik tulis khas Yogyakarta.

Awalnya batik Winotosastro, yang berdiri sejak 1940, hanya menggunakan pewarna alami. Dengan adanya pewarna kimia yang lebih bervariasi, batik Winotosastro juga menggunakan pewarna tersebut. Meskipun demikian sebagian besar kerajinan batiknya tetap menggunakan warna alami. Untuk meningkatkan pengetahuannya tentang warna alami, Hani aktif mengikuti seminar-seminar dan workshop mengenai pewarnaan alam untuk tekstil yang diselenggarakan di Indonesia maupun di luar negeri.

Latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana muda Teknik Kimia UGM, mendukung keinginan untuk terus mendalami warna alami. Ia senang bereksperimen untuk menghasilkan warna dari bahan alami lainnya yang belum pernah atau jarang dipakai orang sebagai pewarna batik.

Di berbagai kesempatan seminar dan workshop, Hani selalu berbicara tentang batik tradisional maupun praktek pembuatan batik tradisional dengan pewarnaan alam. ''Sayang kalau batik dari warisan leluhur bangsa Indonesia tidak dilestarikan. Corak batik Yogyakarta ada yang sudah dipatenkan di Amerika. Padahal batik ini betul-betul asli warisan leluhur kita,''ungkap Hani sambil menunjukkan batik tulis corak parang yang dikoleksinya.

Batik Winotosastro dikenal di dunia. Dulu Winotosastro maupun Hani sering keliling dunia untuk mengikut pameran di Eropa, Amerika, dan Asia yang dikoordinir oleh pemerintah. Juga mengikuti misi dagang yang disponsori oleh UNDP, MEE, JETRO dan UNIDO. Pada 1998 ia mengikuti workshop di Chiangmai untuk membangkitkan warna alam. Di sana para peserta tukar-menukar biji tanaman indigo dengan peserta dari berbagai negara seperti Korea, Jepang, India, Pakistan.

Diakui Hani, sejak krisis moneter dan ledakan bom di berbagai tempat, jumlah turis asing yang datang dan membeli produk batik Winotosastro menurun drastis. Bahkan, batik Winotosastro yang dulu banyak diekspor ke berbagai negara atas pesanan departement store di Eropa, Amerika, dan Jepang, sekarang hanya ekspor sedikit dan umumnya hanya pesanan pribadi.

Namun demikian, keluarga Winotosastro tetap konsisten dalam melestarikan batik. ''Alhamdulillah meskipun sedikit-sedikit masih ada pesanan dari luar maupun dalam negeri,'' kata Hani yang berkarya membuat desain motif batik kontemporer dengan pewarna alam. ''Batik warna alam dapat bertahan ratusan tahun. Ini terbukti dari batik milik leluhur dulu yang hingga sekarang masih ada, terutama yang berwarna coklat soga, biru atau hitam dan putih. Ini warna-warna batik tradisional Yogyakarta,'' kata Hani. nri ( )

Eksplorasi Tropikal

WARNA tropis nan ceria merajai panggung mode dunia.Tidak terkecuali di Indonesia.Para desainer lokal tampilekspresif dalam berbagai nuansa.

Dari retro hingga citra etnik, semua berbalut palet semarak. Para pakar mode dunia setuju, tahun 2008 warna cerah tidak lagi digunakan saat musim semi. Melainkan menjadi palet yang wajib ada hingga tahun berakhir. Lihat saja sejumlah panggung desainer terkemuka di pekan mode internasional.

Hampir seluruhnya tampil atraktif dengan menyuguhkan palet ceria. Apalagi nuansa warna ceria tak pernah luput dari panggung busana. Para pencinta mode pun kini tak sungkan untuk mengenakan busana dan aksesori berwarna ngejreng. Malah tabrak warna beberapa palet mencolok juga sedang digandrungi. Bila pandai memadukan, padanan ini justru menjadi gaya yang asyik. Begitu pula tren mode di Tanah Air.

Bermain warna seolah menjadi pakem yang tidak bisa ditinggalkan para desainer. Apalagi, mode Indonesia tidak terkungkung musim. Alhasil pelaku mode semakin bebas menginterpretasikan ide dalam warna dan motif.Hasilnya, rancangan mereka semakin variatif. Abstrak tapi segar. Sebut saja Lenny Agustin yang mengolah kain batik Semarang dalam tone cerah menjadi koleksi siap pakai nan manis.

Bukan hanya itu, material taplak pun direkanya menjadi terusan cantik dalam cutting asimetris. Rancangan Lenny kontras dengan koleksi yang ditawarkan Ari Seputra,Ichwan Toha, dan Priyo Ocktaviano.Ketiganya menawarkan kekuatan garis rancangan modern dalam paduan gaya maskulin sekaligus feminin. Dari segi warna,tiga desainer yang tergabung dalam Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) ini memilih tone klasik, hitam, putih,dan keemasan.

Sementara Sofie mengaplikasikan motif tribal untuk menyuguhkan nuansa eksotis. Tidak jauh berbeda dengan Mangala Idhi Chandra yang menawarkan citra etnik melalui motif dan aksesori. Selanjutnya, Jeanny Ang menyajikan kesan Oriental melalui corak floral dan warna mineral. Berbeda dengan Jazz Pasay yang mengetengahkan warna-warna neon khas tahun ‘80-an. Adapun Denny Wirawan dan Tuty Cholid menyuguhkan koleksi atraktif lewat permainan warna sekaligus kembali mengangkat pamor kain Nusantara.

Denny tampil atraktif dengan kekayaan budaya Sumatera Selatan,songket, dan blongsong. Kedua kain itu dihadirkan dalam palet hitam dan turqouise, bercampur dengan sentuhan emas dan bronze. Kemudian Tuty mengedepankan kain tenun Nusa Penida yang dicampur dengan tenun ikat Bali. “Saya ingin menampilkan sesuatu yang modern dengan menggunakan warna-warna elektrik,” tutur desainer yang mengembangkan motif ucuk rebung Nusa Penida ini.

Berkat keuletan para desainer, ragam hias pun menjadi pusat perhatian.Apalagi, di runway lokal,mereka tidak segan menabrak motif dan garis.Membawa nuansa baru dalam gaya berbusana. Singkatnya, tahun ini desainer Indonesia semakin berani berekspresi. Jauh bereksplorasi, membawa teknik dan sentuhan baru yang menjadikan mode dalam negeri semakin kaya.Tidak kalah dengan mode internasional yang semakin gencar menyerbu pasar Nusantara.

Warna dan motif, menjadi dua bahasa desainer yang disampaikan melalui kemasan busana nan rancak. Pola, cutting,dan finishing menjadi bagian penting untuk menyampaikan pesan bahwa mode lokal siap beraksi di panggung internasional. Sayangnya, segala keindahan tersebut tidak dibarengi dengan dukungan dari semua pihak.Akibatnya, industri mode dalam negeri terkesan jalan di tempat.Tersalip berbagai brand luar yang semakin merangsek maju.

“Sebenarnya, inilah saat yang tepat bagi desainer kita untuk kembali merebut pasarnya,” sebut desainer senior Poppy Dharsono, dalam sebuah wawancara.Menurut data statistik, Poppy menyebutkan, 10 tahun yang lalu penduduk Indonesia yang memiliki income setara penduduk Singapura berjumlah 30 juta orang. “Nah, itu kan kesempatan bagi industri mode lokal,”ucapnya.

Namun diakuinya, pelaku industri mode Indonesia kalah dari berbagai segi oleh para peritel asing.“Mereka kalah produk, kalah harga, dan kalah gigih,” ujar peraih Fashion Icon Awards 2008 dari Jakarta Fashion & Food Festival ini.Untuk itu,dibutuhkan support dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. “Kita harus bersama- sama dalam hal ini,”katanya. (nsa lesthia k)

13 Desainer Bersolek di Lawang Sewu

MUNGKIN orang lebih mengenal Lawang Sewu sebagai tempat yang angker. Namun Jumat (2/5/2008) malam ini, Lawang Sewu disulap menjadi ajang pesta mode.

Di sepanjang area Lawang Sewu dipermanis dengan hiasan warna-warni, yang dapat membuat orang kagum. Bahkan, selain itu masyarakat setempat bisa leluasa mengintip seluruh isi ruangan dari balik pintu, yang khusus malam ini seluruh pintu dibiarkan terbuka lebar.

"Malam ini seluruh pintu di Lawang Sewu memang akan dibuka. Tujuannya untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa tempat bersejarah itu tidak angker seperti anggapan orang selama ini," tutur penggagas acara Anne Avantie kepada okezone, Jumat (2/5/2008).

Selain untuk menetralkan kengerian Lawang Sewu, menurut Anne, di area itu juga akan menggelar pameran yang menjadi potensi dari Kota Semarang dan sekitarnya.

Untuk menyemarakkan ajang berjudul "Smaradhana Batik ing Lawang Sewu", sederet desainer top yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) akan ambil bagian menampilkan koleksi paling baru. Mereka adalah Ferry Sunarto, Anne Avantie, Taruna K Kusmayadi, Lenny Agustin, Defrico Audy, Rudy Chandra, Ali Charisma, Oka Diputra, Inge Chu, Gregorius Vici Hari Pradana, Teja Nogo Laksono, Kesdik Tur Wiryono, dan Jeanny Ang.

"Malam ini akan ditampilkan keindahan dari batik Semarang, yang sampai saat ini masih kalah pamor dengan batik-batik yang berada di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Setiap desainer mendapat kesempatan menampilkan 10 pieces," jelas Anne yang kini bergabung dengan APPMI Jakarta.

"Batik-batik itu sudah diolah oleh 14 desainer menjadi busana. Masing-masing desainer akan menampilkan 10 pieces," jelasnya.

Khusus untuk acara ini Lenny Agustin mengatakan akan menampilkan koleksi bercitra etnik. Etnik yang Lenny tampilkan bukanlah yang terlihat secara tradisional, tetapi desain busananya jauh lebih kekinian. Ringkasnya, Lenny menyebut koleksi yang berjumlah 10 oufit itu berjudul etnik modern.

"Memang di ajang itu kami disodori bermacam-macam tema. Apakah etnik modern, Jepang, Timur Tengah, atau tema seru lainnya. Saya tertarik ambil tema itu, ya karena cocok dengan jiwa saya," kata Lenny.

Menurut alumnus Akademi Seni Rupa dan Desain Mode ISWI, ajang yang berpotensi untuk memasyarakatkan kekayaan warisan daerah itu memang patut mendapat dukungan. Makanya ketika dirinya diajak ikut berpartisipasi, dengan senang hati Lenny pun langsung menerimanya.

"Saya senang bisa menjadi bagian dari upaya melestarikan budaya setempat. Makanya saya berusaha mengolah batik Semarang jadi lebih cantik dan wearable," katanya.

Tak berbeda dengan Lenny, Taruna K Kusmayadi juga menyambut ajakan Anne Avantie. Meski Nuna-panggilan Taruna K Kusmayadi- mengakui mengolah batik bukan perkara mudah. Makanya dia pun tertantang ingin menampilkan batik Semarang lebih kekinian.

Menurutnya, corak dan motif yang terdapat pada batik Semarang cukup unik dan tidak kalah dengan batik-batik yang sudah populer selama ini. Selain itu, warna yang tersemburat pada batik Semarang juga lebih monokromatik, sehingga tampil indah setelah diolah.

"Ajang tersebut cukup bagus untuk menggali potensi lokal yang selama ini ada, namun belum terpublikasi secara luas. Saya pikir itu juga harus diikuti oleh daerah-daerah lain agar bisa memaksimalkan potensi daerahnya," tutur Nuna.

Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini mengatakan, konon batik Semarang itu pernah "melejit" sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Namun saat itu banyak pengrajinnya yang hijrah ke Klaten, Solo, dan daerah-daerah di sekitarnya. Makanya pengrajin yang mengerjakan batik Semarang pun sangat sedikit.

Mengenai koleksi pribadi yang akan ditampilkannya nanti, Nuna mengaku akan mengusung tema koleksi "Eclectic Asia", di mana inspirasinya tercuat dari gaya berbusana Jepang dan Korea.

"Koleksi saya lebih ready to wear dengan look yang tak lepas dari karakter pribadi yang cantik dan feminim," jelasnya.

Lain pula dengan Rudy Chandra yang ingin menampilkan batik batik Semarang lebih dikenal masyarakat. Menurutnya, motif yang terdapat pada batik Semarang itu tidak kalah bagus dengan motif dari daerah lain. Hanya, tidak banyak orang yang mengetahuinya. "Makanya tugas kita para desainer untuk memopulerkan batik tersebut," ujar Rudy Chandra.

Di ajang tersebut, Rudy akan banyak mempresentasikan busana-busana ala Jepang, yang berwujud kimono berpotongan pendek, permainan obi dan lengan longgar. Selain itu sentuhan oriental juga tak ditinggalkan dengan bentukan leher tinggi.

"Saya ingin menawarkan koleksi yang terlihat modis saat dikenakan anak muda. Selama ini mereka masih memandang batik sebelah mata, yang mana hanya cocok dipakai oleh kelompok tua saja," katanya.

Koleksi Rudy yang akan ditampilkan di hadapan ratusan masyarakat itu tetap saja terlihat feminim dan seksi, meski kain tenun dijadikan sebagai salah satu material utama untuk gaunnya. Model busananya tetap menampilkan siluet press body dan model busana mini.

"Gaya rancangan saya memang begitu. Meski materialnya berubah, modelnya tetap seksi dan feminim. Bedanya dengan koleksi tahun lalu kali ini lebih simpel saja," jelas Rudy yang menjadikan tenun Klungkung sebagai aplikasi pada gaunnya.

Rudy yang akan mengambil tema "Oriental Illusion" menambahkan, koleksinya terbagi dalam busana cocktail dan busana malam yang ringan. Pilihan busana ini, kata Rudy, dapat mengakomodasi kebutuhan para wanita yang akan menghadiri acara pesta.

"Tidak semua wanita nyaman dengan gaun panjang. Mereka yang ingin memperlihatkan kakinya yang indah memilih pakai gaun mini," tukas desainer multitalenta ini.
(tty)

Batik ing Lawang Sewu Spektakuler

AJANG mode bertajuk "Smaradhana Batik Semarang ing Lawang Sewu" tampil spetakuler. Seluruh penampil pun terlihat apik memamerkan kekayaan budaya kebanggaan Indonesia.

Mereka adalah Anne Avantie, Tejo Nogo Laksono, Rudi Chandra, Defrico Audy, Taruna K Kusmayadi, Lenny Agustin, Jeanny Ang, Oka Diputra, Ali Kharisma, Ferry Sunarto, Gregorius Vici Hari Pradana, Inge Tjoe dan Kesdik Tur Wijoyo. Sebanyak 13 desainer itu merupakan orang-orang hebat di Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

Karya terbaik anak negeri itu mulai menyapa masyarakat setempat pada pukul 21.00 WIB. Para model peraga pun begitu piawai menghipnotis mata para pecinta mode dadakan tersebut. Meskipun saat itu area Lawang Sewu diguyur hujan, namun tak satu pun masyarakat beranjak dari tempat semula. Mereka seakan tahu bahwa itulah saatnya mereka mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang yang ingin memopulerkan batik.

Suguhan musik yang ditata oleh Haryanto M ED, tutur menemani dari awal hingga akhir acara. Suasana pun makin syahdu oleh alunan merdu dua penyanyi legendaris Indonesia, Titiek Puspa dan Waljinah. Keduanya melantunkan lagu yang menjadi ciri khas mereka masing-masing.

Sebanyak empat lagu meluncur dari bibir Titiek Puspa. Lagu tersebut seperti Jatuh Cinta, Marilah Kemari, Kupu-Kupu Malam, dan Blues as You. Sementara lagu andalan Waljinah di antaranya Jangkrik Jenggrong dan Walang Kekek ikut membuat suasana menjadi lebih hangat.

Acara yang dihelat bertepatan dengan HUT Kota Semarang ke-461 itu memang memberi arti puas bagi para desainer dan juga penyelenggara. Mimpi mereka ingin memopulerkan Batik Semarang ternyata bisa direalisasikan secara sempurna.

"Kami memang berupaya mengangkat kembali batik Semarang yang kurang populer. Sebenarnya batik Semarang itu sudah lama ada, tapi kemudian punah. Makanya ajang Smaradhana Batik ing Lawang Sewu ini adalah kesempatan emas buat kami untuk memopulerkan kembali batik Semarang," beber wanita ayu ini di Hotel Pandanaran, Semarang, Jumat (2/5/2008).

Sementara dipilihnya lokasi pergelaran di Lawang Sewu, menurut Anne, untuk mengangkat keberadaan bangunan kuno yang selama ini terkenal angker, juga untuk bersinergi dengan keragaman seni budaya Jawa Tengah.

"Sinergi ini untuk membonceng popularitas Lawang Sewu untuk mendongkrak batik Semarang," pungkas desaainer yang kini berbasis di Kota Semarang ini. (nsa)

Sebuah Upaya Meminimalisir Pembajakan Batik

SETIAP pengrajin batik sudah seharusnya mengukir nama dan judul karyanya pada sebuah lembaran kain. Hal itu penting guna meminimalisir terjadinya pembajakan atau penipuan pada produk batik.

Pesan itulah yang mencuat dari acara talkshow berjudul "Pemahaman & Penghayatan Seni Batik". Digelar di Jalan Cikini Raya 24, acara yang dikemas dalam obrolan santai itu cukup menjawab kegelisahaan para anggota dari Himpunan Ratna Busana, selaku penggagas acara.

"Sebenarnya untuk melestarikan batik itu perlu campur tangan pemerintah. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur soal pencantuman nama pembatik dan judul koleksi batik pada lembaran kain. Artinya ada pengawasan dari pemerintah. Kalau tidak ada yang ngawasi, ya tidak karu-karuan. Jadi kayak lalu lintas aja harus ada yang ngawasi," tutur Ketua Seksi Pendidikan Himpunan Ratna Busana Noes Moeljanto Djojomartono kepada okezone, Selasa (6/5/2008).

Wanita berumur matang yang juga aktif di Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia (Wastraprema) ini mengatakan, selama ini memang sudah ada pembatik yang mencantumkan nama dan judul dari koleksinya, namun jumlahnya juga belum banyak. Sehingga masalah pembajakan atau penipuan pun tak bisa dihindari dan sangat merugikan pengrajin yang betul-betul concern pada batik.

"Apalagi sekarang, banyak perancang luar yang mamasukkan unsur batik pada koleksinya. Kalau kita tidak waspada, bisa jadi kekayaan budaya kita diklaim oleh mereka," jelasnya.

Untuk itulah para perancang lokal sudah seharusnya tersentil dengan keadaan tersebut. Hanya, lanjut Noes, para perancang Nusantara ini perlu juga dibekali dengan wawasan mengenai sejarah budaya Indonesia, agar ketika mencipta sebuah busana tidak melenceng dari pakem.

"Saya lihat perancang kita memang banyak yang sekolah tinggi, namun masih kurang mendapatkan pembekalan sejarah budaya Indonesia. Untuk itulah perlu adanya penambahan wawasan akan hal itu," tambahnya.

Sementara itu, desainer Musa Widyatmodjo yang hadir sebagai undangan mengaku tak keberatan dengan saran dari Noes. Menurutnya, busana yang memperhatikan pakem tak berarti membatasi kreativitas dari seorang desainer.

"Buat saya memang bukan menjadi suatu pembatasan, tetapi suatu kreativitas. Artinya, kreativitas yang terkontrol. Semakin saya mengetahui budaya, tata krama, dan memahami apa itu adat serta filosofi budaya, semakin membuat saya takut dan berhati-hati dalam membuat inovasi. Jangan sampai inovasi yang kita lakukan itu justru merusak warisan yang sudah ditinggalkan," paparnya panjang.

Musa pun setuju dengan usulan agar para pembatik mencantumkan nama dan koleksinya tersebut. Menurutnya, setiap batik memang harus ada satu keterangan apakah itu batik cap atau batik tulis, karena itu merupakan pembelajaran dan komitmen dari si pembuat ataupun penjual ketika mereka membuat sesuatu agar lebih sadar dan tidak melakukan penipuan.

"Untuk melakukan hal itu memang sudah menjadi panggilan jiwa, tak terkecuali bagi para desainer ketika mencipta busana. Lain apabila melakukan sesuatu dengan tulus, untuk komersial atau untuk cari muka. Kalau kita kerjakan dengan tulus, itu berarti kita harus niat untuk belajar memahami, mengolah, dan mempertanggungjawabkan karya yang kita buat," pungkasnnya.
(tty)

Mendadak Batik

Koleksi Susie Hedijanto (Foto: Yulianto/Sindo)
FENOMENA mendadak batik memang terjadi akhir-akhir ini. Batik tidak saja diburu kaum berumur matang, tetapi banyak pula kawula muda yang ikut tersihir oleh keindahan batik.

Batik-batik yang mereka gemari pun cukup beragam, baik batik tulis, cap, ataupun printing. Hanya, tak banyak dari mereka yang paham betul soal batik. Untuk memberikan wawasan soal batik, Himpunan Ratna Busana menggelar acara bertajuk "Pemahaman & Penghayatan Seni Batik".

Acara tersebut menghadirkan pembicara Noes Moeljanto Djojomartono dan Neneng Iskandar dari Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia (Wastraprema). Noes menjelaskan, ketiga jenis batik itu kalau dilihat sekilas memang tak ada bedanya. Khususnya bagi mereka yang tidak begitu kenal dekat dengan batik. Berbeda dengan masyarakat pecinta batik, yang memang sudah teruji memiliki taste yang begitu tajam bisa mengetahui batik berkualitas ataupun pasaran.

Pun begitu, sambungnya, untuk mengetahui mana batik cap, tulis, atau printing sebenarnya amat mudah. Caranya, untuk mengetahui batik cap bisa dilakukan dengan membalikkan kainnya. Biasanya warna batik antara bagian depan dengan belakang tidak sama. Kalau untuk batik printing bisa diketahui dari bahannya yang begitu tipis dan batik tulis diketahui pada kain yang dipakai biasanya dibatik bolak-balik.

"Batik itu aset bangsa dan harus dilestarikan. Apalagi kini gaya pemakaian kain batik sudah tidak baku seperti dahulu dan sudah lebih kekinian," jelas Noes yang ditemui okezone di Jalan Cikini Raya 24 Jakarta, Selasa (6/5/2008)

Pun begitu, mengenai kelaziman batik dipotong untuk busana, Noes mengatakan, batik berbentuk kain itu sebenarnya sudah bagus dan tak perlu lagi dipotong. "Sayang sekali apalagi itu batik tulis. Kecuali seperti Pak Iwan Tirta yang sudah teruji membuat busana dengan batik tulis. Beliau tetap bisa memasang motif batik di tempat yang benar, sehingga penampilan busananya pun bagus sekali," puji wanita matang yang juga menjadi Ketua Seksi Pendidikan Himpunan Ratna Busana.

Menurut Noes, batik tulis memang sebaiknya dibiarkan dalam lembaran kain. "Tapi, kalaupun batik tulis mau dipotong menjadi busana, ya harus diperlakukan seperti nilai batik tulis itu. Jadi bukan karena harganya yang menjadi pertimbangan utama, tetapi nilai dari batik tulis tersebut," tandas Noes.
(tty)

Konsep Batik Rodo

BRAND Rodo yang biasa tampil dengan koleksinya yang elegan dan glamor, kini mencoba bereformasi dalam tampilan kombinasi yang lebih merakyat.

Terkena dampak "demam" batik, Rodo berpadu dalam 18 rancangan koleksi terbaru antara konsep "East Meet West" Rodo dengan batik Indonesia, yang dibawakan dalam peragaan busana di Harum Manis Restaurant, Apartemen Pavillion, Jakarta. Dalam fashion show ini, Rodo mempercayakan (bi) Batik untuk menjadi partner dalam mewujudkan rancangan kolaborasi tersebut.

"Kami mencoba menyatukan konsep yang menjadi andalan Rodo dengan batik Indonesia. Seperti kita tahu, bahwa saat ini batik sedang menjadi tren di masyarakat. Maka, konsep Rodo kami padukan dengan gaya batik yang bisa ditampilkan rapi, namun juga bisa tampil biasa saja," ujar perwakilan dari (bi) Batik Widianawati Adiningrat.

Principal of Rodo, Gianni Dori, mengamini ucapan Widia dengan mengatakan bahwa ide ini sekaligus untuk menunjukkan pada perempuan Indonesia meski mengenakan batik, namun tetap dapat memancarkan keeleganan dengan koleksi-koleksi yang mereka miliki. Dipilihnya konsep "East Meet West" Rodo dengan karya (bi) Batik ini diakui keduanya merupakan kesamaan dari filosofi yang mereka ciptakan.

Filosofi itu dapat dilihat dari segi proses pembuatan busana dan aksesori yang kaya akan seni yang tinggi. Kesamaan lainnya terdapat pada craftsmanship, heritage, serta ciri khas kualitas yang diciptakan keduanya. "Kami tetap memberikan ciri khas pada rancangan ini. Semua itu bisa dilihat dari eyelet kami yang menjadikan rancangan ini lebih unik dan bisa dikenakan semua kalangan. Eyelet itu bisa dilihat dari aksesori yang mengiringi batik tersebut, misalnya cane bags, wedge cork sandals, bahkanhigh-heel stiletto shoes dari Rodo," beber Widia. (sindo//jri)

Eksplorasi Eclectic Asia

MENGOLAH batik memang bukan hal yang baru buat Taruna K Kusmayadi. Tapi di ajang Smaradhana Batik Semarang ing Lawang Sewu, Taruna mengaku tertantang untuk mengeksplorasi batik Semarang lebih menjadi busana masa kini.

Menurutnya, corak dan motif yang terdapat pada batik Semarang cukup unik dan tidak kalah dengan batik-batik yang sudah populer selama ini. Selain itu, warna yang tersemburat pada batik Semarang juga lebih monokromatik, sehingga tampil indah setelah diolah.

"Ajang tersebut cukup bagus untuk menggali potensi lokal yang selama ini ada, namun belum terpublikasi secara luas. Saya pikir itu juga harus diikuti oleh daerah-daerah lain agar bisa memaksimalkan potensi daerahnya," tutur Taruna saat dihubungi okezone melalui telepon genggamnya, Minggu (16/3/2008).

Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini mengatakan, konon batik Semarang itu pernah "melejit" sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Namun saat itu banyak pengrajinnya yang hijrah ke Klaten, Solo, dan daerah-daerah di sekitarnya. Makanya pengrajin yang mengerjakan batik Semarang pun sangat sedikit.

"Acaranya nanti (2 Mei) ya semacam memperkenalkan kembali batik Semarang kepada masyarakat Indonesia. Motif-motif, warna, dan sentuhan yang diperkenalkan pun pastinya lebih baru," jelasnya.

Mengenai koleksi pribadi yang akan ditampilkannya nanti, Nuna mengaku akan mengusung tema koleksi "Eclectic Asia", di mana inspirasinya tercuat dari gaya berbusana Jepang dan Korea.

"Koleksi saya lebih ready to wear dengan look yang tak lepas dari karakter pribadi yang cantik dan feminim," pungkas Nuna yang akan menampilkan delapan koleksi.
(tty)

Kauman, Cikal Bakal Pembatik

SM/Trias Purwadi KOLEKSI BATIK: Salah seorang petugas Museum Batik menjelaskan tentang koleksi batik yang dipajang.(30)

NAMA Kelurahan Kauman, Kecamatan Pekalongan Timur kini mendapat sebutan baru sebagai Kampoeng Batik, menjelang Pekan Batik Internasional (PBI).

Pengukuhan kampung itu sekaligus melengkapi potensi yang lain, seperti Museum Batik dan Pasar Grosir Setono.

Meski ada penyebutan Kampoeng Batik, hal itu tidak mengurangi kesan daerah lain bahwa Kota Pekalongan identik dengan batik.

Bagaimana kelurahan berpenghuni 2.019 jiwa ini bisa ditetapkan sebagai Kampoeng Batik?

Penetapan sebutan itu tentu bukan tanpa alasan. Sebab, menurut Kepala Kelurahan Sudirman, ada latar belakang historisnya.

Kauman yang kini terdapat 52 pengusaha batik ini merupakan cikal bakal perkembangan batik di Pekalongan.

Konon, pembatik yang tersebar di daerah lain seperti Solo dan Yogyakarta berasal kauman.

''Secara turun-temurun keterampilan membatik ini kemudian diwarisi oleh anak cucu hingga bertahan sampai sekarang,'' ujarnya.

Pengusaha batik HM Farauq, (61) menguatkan pendapat Sudirman. Penasihat Kampoeng Batik ini menuturkan, batik berkembang di Kauman sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang.

Bahkan, dia tidak ingat lagi sudah memasuki generasi keberapa. Kendati demikian, menurut dia ada tiga produk yang merupakan bentuk teknik batik, yakni tulis, cap, dan printing.

Meski dalam perkembangan selanjutnya, timbul persoalan tersendiri dalam pemasaran, printing telah menggeser batik tulis yang sudah dikenal memiliki nilai seni yang tinggi.

''Meski terpuruk karena muncul printing, generasi sekarang sudah kembali berkreasi menggunakan batik tulis,'' ujarnya.

Dia berharap, momentum PBI bisa mengangkat kembali batik tradisional, setelah tahun 1990an terpuruk.

Selain itu, pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk mengangkat potensi batik tradisional ini dengan label yang bisa membedakan karya batik tulis, cap, dan printing.

''Dengan demikian, pembatik tradisional tidak tergusur.''

Sementara itu, Asisten Sekda, Dwi Arie Putranto menjelaskan, umtuk penetapan Kampoeng Batik itu semula dipilih Desa Kemplong, Kabupaten Pekalongan.

Turun-temurun

Namun, Kabupaten Pekalongan belum siap, sehingga Pemkot Pekalongan terpaksa mengalihkan ke Kauman, Kota Pekalongan.

Kenapa memilih Kauman? Menurut Sekretaris Umum PBI, Sri Ruminingsih, karena perbatikan di wilayah itu tidak pernah berhenti meski diterpa krisis ekonomi.

Selama ini wilayah itu, dikenal sebagai daerah produsen batik. Pada umumnya, mereka masih tetap memproduksi batik secara turun-temurun dari nenek moyang.

Pendapat H Fatkhurohman Noor, pemilik Batik Nulaba, tidak jauh berbeda. Hanya dia tidak tahu siapa yang membatik pertama kali di keluarganya.

Pendahulunya ketika itu juga tidak tahu siapa yang awal membatik di wilayah tersebut.

Alasan lain, menurut Sri Ruminingsih, Kauman adalah berada di tepi jalan raya, yang bisa dilewati kendaraan besar di jalur pantura.

Di tepi kampung itu sudah banyak berdiri ruang pamer batik, sehingga sangat mendukung keberadaan Kampoeng Batik.

''Memang ada daerah lain yang masyarakatnya berusaha di bidang batik, namun beberapa potensi lain kurang mendukung,'' katanya.

Dengan demikian, diharapkan kawasan itu ke depan bisa menjadi lokasi wisata batik di Kota Pekalongan.

Untuk mengukuhkan Kauman menjadi Kampoeng Batik, menurut Asisten Administrasi Pembangunan, Drs Dwi Arie Putranto cukup sulit. Namun itu akan tetap diwujudkan.

''Perlu proses panjang agar Kauman menjadi tempat wisata batik. Karena itu, masih perlu pembinaan dan berbagai sarana prasarana serta kesiapan masyarakat sendiri,'' katanya.(77)

Kiprah Iwan Tirta yang Rancangan Batiknya Dikenakan Bill Gates

Gagal Jadi Duta Besar, Sukses Jadi Duta Batik

Ketika tampil di hadapan ribuan undangan yang memadati Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC) Jumat lalu, Bill Gates, bos Microsoft Corporation, mengenakan batik rancangan Iwan Tirta. Nama pria 73 tahun itu sudah tak asing lagi di kalangan pecinta batik tanah air. Hingga kini, karya batik Iwan sudah dipakai 18 presiden dari seluruh dunia.

Sugeng Sulaksono - Jakarta

Gayanya sangat sederhana. Mengenakan celana pendek doreng dipadu kaus berkerah merah, Iwan tampak bersahaja ketika menerima Jawa Pos kemarin sekitar pukul 14.00 di Restoran Kembang Goela.

Jalannya sudah tidak lagi sempurna. Terkadang dibantu tongkat. Rambutnya sudah memutih. Di usianya yang sudah senja, pria kelahiran Blora, 18 April 1935, itu tetap semangat memperkenalkan batik, salah satu ikon budaya Indonesia, kepada dunia.

Dia lantas mengomentari batik karyanya yang dikenakan Bill Gates saat berkunjung ke Indonesia. Iwan mengatakan, model batik yang dikenakan Gates sudah ada sejak abad ke-7 Masehi di kawasan Candi Prambanan. "Tapi, dikembangkan di Solo. Akhirnya menjadi khas Mangkunegaran," ujarnya.

Iwan berpendapat, sejak zaman dulu, seorang tamu agung tidak boleh diberi batik yang murah. Orang yang berkedudukan tinggi selalu diberi batik bemotif khas supaya terlihat beda jika berdiri di antara rakyat. "Kalau di Prancis, sejak dulu selalu ditandai dengan kembang lili. Fleur de Lis," tuturnya, sambil menggambarkan contoh bunga lili itu di atas secarik kertas.

Bagaimana kisahnya hingga Iwan bisa meyakinkan Gates agar mau mengenakan batik karyanya? Awalnya, ujar dia, pria terkaya nomor tiga di dunia itu juga menolak. Tapi, setelah Iwan mengatakan bahwa pakai batik itu otomatis bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan, Gates langsung bersedia. "Harus ada unsur charity-nya," paparnya.

Gates bukan tamu negara pertama yang mengenakan batik karya Iwan. Dari data yang dia punya, tercatat 18 nama presiden yang datang ke Indonesia dari berbagai negara di belahan dunia mengenakan batiknya.

Terutama saat digelar KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) VI negara-negara anggota APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation -Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) yang digelar di Indonesia pada 1994. Presiden Amerika Serikat Bill Clinton hadir di acara tersebut.

Ketika itu, dress code-nya memang batik. Dengan demikian, tamu-tamu negara se-Asia Pasifik yang datang ke konferensi yang bertempat di Istana Bogor itu mengenakan batik dan mayoritas adalah rancangan Iwan. "Banyak orang bilang ke saya, lihat... Istana membatik dan itu batik milik kamu (Iwan)," kata Iwan menirukan komentar salah seorang teman. "Saya sendiri waktu acara itu berlangsung sedang tidur," kenangnya, lantas tersenyum.

Tapi, setelah itu, Iwan dihujani kritik. Gara-garanya, Clinton yang mengenakan batik warna gelap mengenakan celana bahan cokelat sehingga terlihat tidak matching. "Saya bilang, itu bukan salah saya. Salah protokolnya. Saya hanya bikin batik, kok," timpal pria yang batiknya juga pernah dikenakan mantan Presiden Amerika Ronald Reagan itu.

Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela termasuk pelanggan Iwan. Saat datang ke Indonesia, Mandela bahkan berminat mengenakan batik sebelum ditawari. Begitu pulang ke negaranya, dia masih mengenakan batik karya Iwan. Beberapa kali Mandela minta dikirimi batik karya Iwan ke negaranya. "Biasanya (minta dikirim) lewat Deplu (Departemen Luar Negeri, Red)," imbuhnya.

Menurut Iwan, Mandela memang tidak gemar memakai jas. "Saya pernah bilang ke Mandela, tidak usah dari saya terus (batiknya). Masih banyak batik lain bagus-bagus dari Indonesia. Saya tidak mau memonopoli. Di Afrika juga saya lihat sudah ada produksi batik mirip-mirip dengan kita," lanjut Iwan.

Almarhumah Ny Tien Soeharto (istri mantan Presiden Soeharto) termasuk penggemar batik Iwan. Suatu ketika, cerita Iwan, dia pernah dimintai pertimbangan Ibu Tien. Kepada Iwan, Bu Tien mengatakan ingin memberikan hadiah batik kepada Nancy Reagen (istri Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen). Tapi, hadiah itu nilainya tak boleh lebih dari USD 200. "Padahal, batik saya yang mau diberikan itu harganya tiga ribu dolar. Akhirnya, biar diterima, batiknya saya gratiskan," kisahnya.

Ketika pelaksanaan KTT Keenam APEC 1994 itu, Iwan juga menggratiskan batik-batiknya yang dikenakan sebagian besar kepala negara peserta KTT. Padahal, saat itu Bu Tien sempat berniat akan membayarnya. "Mas Iwan, ini batiknya sudah pada dibayar belum?" tanya Bu Tien saat itu, seperti ditirukan Iwan.

"Tapi, Titiek (anak Soeharto, mantan istri Prabowo, Red) itu jeli. Dia bilang, Ibu kok takok-takok (tanya-tanya, Red). Tidak usah dibayar saja, nilai publikasinya sudah lebih dari 10 ribu dolar," kisahnya.

Memang, bagi Iwan, publisitas untuk mempromosikan batik karyanya sangat penting. Saking pentingnya publisitas, suatu ketika saat show di Manila, Iwan tak keberatan diwawancarai wartawan New York Times meski saat itu sudah jam 11 malam.

"Langsung saya suruh humas saya, ya humas-humasan, untuk ambil semua dokumen di koper dan saya ladeni wawancaranya," ungkap pria bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja itu.

Bagi Iwan, dalam mengembangkan batik, publisitas tidak selalu dinilai dengan uang. Pria yang sampai sekarang masih tekun membatik sendiri itu selalu menekankan pentingnya PR (public relation).

Apakah karena Iwan memiliki latar belakang akademis sebagai PR? "Bukan," kata Iwan. Latar belakang pendidikannya sangat berseberangan dengan karirnya sebagai pembatik.

Iwan pernah menjadi dosen di jurusan hukum internasional selama 12 tahun di Universitas Indonesia (UI). Menurut dia, para duta besar muda dari Indonesia sekarang adalah murid-muridnya.

Iwan memang alumnus jurusan magister hukum internasional dari UI (lulus 1958). Ilmu serupa juga dia gali di University of London, Inggris, selama dua tahun dan di Amerika selama empat tahun (1964-1968). "Ketika di Amerika, saya nyambi mengajar di Cornell University. Ketika ada peristiwa PKI, saya sedang berada di sana," tuturnya.

Kuliah jurusan hukum internasional merupakan bagian dari keinginan ayahnya, Moh Hussein Tirtaamidjaja SH, yang pernah menjabat ketua pengadilan negeri. "Ayah saya ingin saya jadi Dubes, tapi tidak kesampaian. Akhirnya jadi duta batik saja," ujarnya, lantas tertawa.

Iwan memutuskan berhenti mengajar sebagai bentuk pemberontakan terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang, menurut dia, kurang baik. "Mahasiswa mesti nurut sama dosen. Diminta patuh dan menghapal dari diktat. Seharusnya kan mahasiswa bisa berdebat dan berpendapat, jangan hanya dari hapalan," tegasnya.

Meski demikian, Iwan merasakan dirinya seperti tidak pernah meninggalkan dunia pendidikan. Setiap seminar dan diskusi, Iwan masih seperti memberikan kuliah kepada orang lain. "Masih sering ceramah di mana-mana, tentang batik, tentang ini itu," ujarnya.

Ketika ditemui Jawa Pos di Restoran Kembang Goela, Iwan mengaku sedang bertugas. "Saya kebetulan penasihat restoran ini. Sama dengan di Restoran Bunga Rampai," ucapnya.

Sebagai seorang saksi sejarah yang pernah hidup pada masa penjajahan, Iwan tahu masakan Eropa peranakan. "Karena saya mengalami langsung dan tahu rasanya seperti apa, saya diminta jadi penasihat," terangnya. (kum)

Batik Menuju Budaya Nasional

Banyak yang tak mengerti, membuat batik itu merupakan kegiatan budaya
Kain-kain tradisional Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya corak yang berbeda maupun serupa. Perkembangan corak tersebut juga dipengaruhi letak geografis, sejarah lokal, dan unsur budaya lainnya.

Batik selama ini dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Hanya saja, tak ada upaya untuk mengembangkan batik sebagai budaya nasional.

Menurut desainer kondang Iwan Tirta, tak satu pun dari seminar batik yang membahas tentang upaya konkret mengembangkan batik. "Padahal tahun depan pemerintah akan menetapkan batik sebagai busana nasional," kata Iwan dalam Konferensi Internasional "Traditional Textiles of Indonesia: Today and In The Future", Rabu (21/11) di Museum Nasional , Jakarta.

Saat ini, kata Iwan, setiap daerah di Indonesia berusaha untuk membuat batik, meski batik bukanlah kain tradisional mereka. Sayangnya banyak di antara mereka tak mengerti bahwa membuat batik erat hubungannya dengan budaya. Di kantornya, ada beberapa murid yang diutus membuat batik tapi mengeluh akan prosesnya yang sulit.

"Pada dasarnya batik bukanlah kain lokal mereka. Jadi mereka tak mengerti kenapa harus membuat banyak titik dan garis pada sebuah kain," ucapnya diiringi tawa peserta yang jumlahnya sekitar 100 orang dan sebagian besar adalah warga negara asing.
Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya, memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat.

Beberapa waktu lalu, Iwan pernah diminta merancang kostum untuk pertunjukan kisah Mahabarata. Ia pun merancang satu motif batik untuk setiap peran. Sang sutradara sempat merasa heran dengan ragamnya motif batik.

Akan tetapi, desainer kondang tersebut menjelaskan bahwa setiap batik memiliki ciri khas tersendiri yang menggambarkan karakter pemainnya. Perang Mahabarata adalah perang klasik yang mengisahkan perebutan tahta Kerajaan Astina Pura sekaligus simbol kebaikan melawan keburukan. Pandawa melawan Kurawa. Dua keluarga sepupu yang terpaksa bertempur di medan laga demi kekuasaan.

"Jadi tak bisa kalau motif batiknya diseragamkan," kata lelaki yang pernah merancang batik untuk Ratu Elizabeth II, Ratu Sophie dari Spanyol, Ratu Juliana dari Belanda, dan Bill Clinton.

Perkembangan batik juga bisa dilihat dari aspek diplomatiknya. Selama ini batik selalu digunakan oleh Presiden saat menerima tamu-tamu kenegaraan. Bahkan, jika Indonesia menghadiri even internasional, para perwakilannya selalu menggunakan batik sebagai ciri khas. Kain ini juga sudah "diterima" oleh pemimpin dunia karena sering dijadikan sovenir.

Sayangnya, Iwan melihat belum ada penasihat khusus presiden yang memberi tahu tentang jenis batik dan waktu penggunaannya. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar bisnis batik di daerah. Seringkali bisnis batik hanya dikelola keluarga tanpa mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di luar. Kalau sudah seperti itu, tak hanya desain yang ketinggalan jaman, tapi juga tak terjadi transfer teknologi dan pengetahuan.

"Hanya satu dua orang di bisnis ini yang melakukan seluruh pengerjaan dengan benar," ujarnya.

Dari segi bisnis, industri batik sebenarnya cukup mudah dilakukan karena pasarnya tersebar dari tingkat lokal, regional, antarpulau, hingga internasional. Selain harganya yang murah, kreasi produk batik tak sebatas pakaian, namun juga asesoris interior.

Dari Ekskul sampai Idealisme
Untuk mengembangkan batik sebagai pakaian nasional, Iwan Tirta mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan. Pertama, menginvetarisasi semua perusahaan batik yang tersebar. Catatan ini mencakup orang-orang yang terlibat dalam bisnis dan segala prosesnya. "Mulai dari produser bahan mentah, pencelup, dan perancang," katanya.

Kedua, memasukkan pelajaran membatik dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa SMP dan SMA. Nantinya, ada tiga hal yang dapat mereka pelajari, yakni teori, praktik, dan kunjungan ke pusat batik.

Dari segi teori, siswa harus diberi materi tentang pengenalan tradisi batik, bahan dasar dan bahan tambahan dalam membuat batik, penggunaan alat-alat membatik, pola-pola batik, fungsi dan kegunaan batik, dan proses penggambaran.

Pada tataran praktek, siswa harus bisa membedakan bahan mentah, membedakan jenis batik, membuat batik tulis, dan membuat baik cetak. Lalu, siswa juga harus berkesempatan mengunjungi tempat pembuatan batik untuk mengetahuai manajemen di industri ini.

Ketiga, menanamkan idealisme batik. Idealisme seharusnya menjadi dasar dari semua teori sebelum melangkah ke praktik.

Penurunan kualitas batik selama ini karena pembuat ataupun pebisnis batik tak lagi punya idealisme. Sebagai contoh, batik cetak yang kini dicetak di pabrik ataupun gambar yang hanya ada pada satu sisi.

"Pebisnis batik harus menyisihkan pendapatan mereka untuk riset dan pengembangan desain, seiring usahanya mengembangkan batik sebagai budaya nasional. Jika tidak, semua ide hanya sebatas tataran konsep," urai Iwan. Ika Karlina Idris

Saya Bangga Pakai Batik

Sejak dua tahun terakhir, batik sebagai busana kembali semarak dikenakan dalam berbagai kesempatan, setidaknya di Jakarta. Menonton ke bioskop, ke kantor, arisan, nongkrong di kafe dan lounge, hingga mengantar anak ke sekolah, batik menjadi ”seragam” baru.

Desain bajunya lucu-lucu dan in untuk sekarang. Juga bahannya katun, enak dipakai. Model bajunya yang macam-macam itu cocok banget untuk berbagai ukuran badan, termasuk yang besar,” kata Katharine Grace (35).
Pengacara yang berkantor di gedung Bursa Efek Indonesia itu memakai baju batik ke kantor sejak pertengahan 2007, terutama pada Jumat saat biasanya para profesional berpakaian rapi, tetapi tidak kaku.

”Ketika ada pertemuan Asia Pasifik, Mei lalu di Ho Chi Minh City di Vietnam, saya pakai baju batik. Saya bangga waktu orang-orang tanya saya pakai baju apa. Jadi, bukannya orang tidak mau pakai batik, tetapi bagaimana batik didesain sesuai mode sekarang,” kata ibu dua putri itu lagi.

Kembali populernya batik saat ini agak di luar dugaan. Namun, itulah mode. Selalu ada hal tak terduga yang membuat sebuah tawaran mode segera diterima luas.
Desain sendiri menentukan, baik untuk pakaian maupun ragam hias batiknya. Ketika perancang busana Edward Hutabarat membuat rangkaian busana dari batik katun pada tahun 2006, dia menawarkan batik dalam desain busana baru sesuai suasana zaman.

Desain baju yang bervolume kebetulan juga sedang populer kembali sehingga mengakomodasi apa yang disebut Grace desain yang cocok untuk beragam bentuk tubuh.
Dari tangan para perancang, busana batik pun dengan cepat menyebar ke pasar luas. Pada saat bersamaan, mood masyarakat memang sedang ingin kembali dekat dengan sesuatu yang berasal dari warisan, sesuatu yang sudah dikenal akrab.

Industri kreatif
Harga satu atasan batik bervariasi, dari yang berkisar Rp 100.000-an hingga sekitar Rp 1 juta. Untuk yang berharga Rp 100.00-an atau kurang, pembeli memang harus cermat karena bukan tidak mungkin bahan yang digunakan kain print bermotif batik.

Para seniman batik dan kain, seperti Iwan Tirta dan Obin dari Bin House, dan disepakati Departemen Perindustrian, menekankan, batik adalah teknik merintang warna menggunakan malam/lilin untuk membentuk ragam hias. Cara menoreh malam bermacam-macam, bisa memakai canting atau cap, tetapi bisa juga memakai cara lain.

Satu hal lagi, batik sebagai teknik bukan khas Indonesia, tetapi di Indonesia, terutama Jawa dan Madura, batik berkembang dan mengalami pencanggihan yang tidak terjadi di negara lain. Batik, istilah yang diterima secara internasional, berasal dari kosakata Indonesia dan canting pun diciptakan di Jawa.

Empu batik Iwan Tirta menyebutkan, batik di Indonesia, terutama Jawa dan Madura, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, digunakan untuk menandai kelahiran hingga kematian. Batik juga saling memengaruhi seni lain, seperti tari, wayang kulit, dan wayang orang.

Di dunia, motif batik Indonesia berulang kali digunakan perancang dan rumah mode dunia sebagai batik print, antara lain Chloe (motif mega mendung), Paul Smith (motif pesisiran), dan Mei lalu Oscar de la Renta untuk koleksi resor.

Batik terus bertahan, bahkan berkembang untuk dipakai sehari-hari—juga antara lain dalam produk interior—karena memiliki potensi pembangkitan nilai ekonomi.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan, munculnya berbagai kebimbangan tradisi versus modern (Barat) dalam perjalanan estetika Indonesia. Batik tampaknya mampu mengatasi hal itu. Ragam hiasnya yang tak terbatas selalu mampu mengikuti perubahan selera masyarakat tanpa kehilangan keunikan.

Pemerintah, yang tidak mau ketinggalan dalam mengembangkan ekonomi gelombang keempat yang berbasis ide kreatif, bulan ini meluncurkan peta industri kreatif Indonesia hingga 2030. Mode dan kerajinan di antara 14 industri kreatif yang didorong untuk ditingkatkan nilai ekonominya, batik berada pada keduanya.

Tahun 2007, Departemen Perindustrian menyebut industri batik tulis, cap, dan kombinasi keduanya bernilai Rp 2,3 triliun dengan nilai ekspor per tahun 110 juta dollar AS dan dikerjakan 48.000 unit usaha di sejumlah provinsi di Tanah Air. Jumlah industri sebenarnya dapat lebih tinggi lagi mengingat industri ini banyak dikerjakan sebagai industri rumah tangga.

Bergairah
Pasar yang bergairah juga menggairahkan kembali industri batik di daerah. Beberapa provinsi yang tidak memiliki tradisi batik seperti Jawa dan Madura, antara lain Aceh, Riau, Lampung, bahkan Papua, juga tertarik mengembangkan batik. Batik yang lama tak terdengar kabarnya, seperti dari Indramayu dan Gunung Kidul yang merupakan batik rakyat, kini muncul lagi.

Melihat kegairahan para pemakai maupun industri batik, Prof Masakatsu Tozu, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Ekonomi di Universitas Kokushikan, Tokyo, yang datang ke Jakarta untuk pameran Adiwastra Nusantara, April lalu, kepada Kompas mengatakan, batik dapat menjadi salah satu perekat Indonesia melalui budaya. Alasannya, batik tidak hanya dipakai dan diproduksi di Jawa, tetapi juga di berbagai tempat di Nusantara.

Bukti konkret adalah meratanya reaksi kejengkelan masyarakat Indonesia terhadap klaim negara tetangga sebagai pemilik batik. Kini para perancang bersama perajin di berbagai daerah tengah mencari kain-kain Nusantara lain yang dapat dipopulerkan seperti batik. Mungkin dampaknya tidak akan segera menyentuh perajin dalam skala besar karena memang batiklah yang secara industri paling siap melayani pasar.
Ninuk Mardiana Pambudy

Batikmark" batik INDONESIA"

Sesuai Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 74/M-IND/PER/9/2007 tentang Penggunaan Batikmark "batik INDONESIA" pada batik buatan Indonesia, maka BBKB merupakan Balai yang menerima permohonan dan menerbitkan sertifikat batikmark"batik INDONESIA"
Biaya Sertifikasi dan Syarat Mutu Batikmark :
1. Biaya Administrasi Rp. 500.000
2. Biaya Pengujian percontoh uji Rp. 242.000
3. Biaya Pengambilan Contoh Rp. 250.000
4. Biaya Perjalanan dan akomodasi petugas pengambilan contoh dibebankan kepada Perusahaan
Syarat Mutu :
1. Memenuhi syarat mutu ciri batik (tulis,cap,kombinasi)
2. Memiliki nilai mengkerut (perubahan dimensi) tidak lebih dari 3% untuk arah lusi dan pakan
3. Memiliki tahan luntur warna terhadap pencucian (perubahan warna lebih baik atau sama dengan nilai 3-4 grayscale, penodaan warna lebih baik atau sama dengan nilai 3 staining scale)
4. Memiliki tahan luntur warna terhadap gosokan (perubahan warna lebih baik atau sama dengan nilai 3-4 grayscale, penodaan lebih baik atau sama dengan nilai 3 staining scale)
Prosedur pengajuan Batikmark:
1. Perusahaan mengajukan permohonan tertulis dan dilengkapi dengan profil perusahaan ditujukan kepada Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik di Yogyakarta.
2. Balai Besar Kerajinan dan Batik melaksanakan pengambilan contoh uji di perusahaan.
3. Contoh uji dilakukan pengujian di Laboratorium Uji dan Kalibrasi Industri Kerajinan dan Batik (LUK-IKB) yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) No LP-235-IDN untuk diuji sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan.
4. Apabila hasil uji memenuhi syarat mutu, maka kepada perusahaan tersebut diberikan sertifkat penggunaan batikmark"batik INDONESIA" oleh Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
5. Sertifikat akan diserahkan dalam waktu tidak lebih dari 30 hari kerja sejak contoh uji diambil dari perusahaan oleh petugas pengambil contoh yang ditunjuk.
Sertifikat Penggunaan Batikmark :
1. Masa berlaku Sertifikat Penggunaan Batikmark selama 3 (tiga) tahun.
2. Perpanjangan masa berlaku Sertifikat Penggunaan Batikmark diberikan apabila memenuhi ketentuan yang berlaku.
3. Perusahaan wajib memberikan data dan informasi yang benar mengenai batik yan dimohonkan Sertifikat Penggunaan batikmark.
4. Tidak boleh memindahtangankan batikmark"batik INDONESIA" kepada pihak yang tidak berhak.
5. Apabila terjadi pelanggaran penggunaan batikmark"batik INDONESIA" dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
6. Melaporkan jumalh batik yang menggunakan batikmark persemester (Minggu pertama bulan Juli dan Januari)

Seminar Internasional Zat Warna Alam

Seminar Internasional tentang teknologi proses, pembuatan dan pemanfaatan zat warna alam (ZWA) dari ekstrak tumbuh-tumbuhan telah dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2007 bertempat di Hotel Sahid Yogyakarta.

Seminar ini diprakarsai oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, dengan para pembicara yaitu Peneliti Zat Warna Alam dari Jepang (Miss. Sughemi), Peneliti Zat Warna Alam dari Taiwan, Chen Ching-Liin (diwakili oleh Bpk.Dwi Suheryanto), Praktisi Batik dengan ZWA (Bpk. Hendri Suprapto) dan Ibu Evi Yuliati Rufaida dari BBKB.

Berkaitan dengan isu global tentang "back to nature" yang sedang hangat di dunia internasional dan sejak dilarangnya pewarna dengan gugus azo pada April 1996 oleh pemerintah Belanda, seperti telah diketahui bahwa gugus azo dalam pewarna sintetis dapat menyebabkan kanker kulit, membuat kita berpikir ulang dalam aplikasi pewarna pada kain batik.

Sehingga munculah ide untuk menggunakan kembali zat warna alam pada batik, yang sebenarnya sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Menurut Sughemi-san dalam makalahnya di dalam buku kuno di Jepang, sekitar zaman NARA (710–794 M) telah ditemukan proses fermentasi indigo tetapi hanya bisa membuat dan bisa mencelup warnanya pada musim panas ( sekitar bulan 6 s/d 8), karena Indigonya belum ditemukan cara penyimpanan.

Sedangkan penggunaannya menurut beliau Orang zaman dulu nama warna indigo tua memanggil “Kachi-iro”. Dan “Kachi“ itu artinya “menang”. Maksudnya dua hurup Kanji “Kachi” bentuknya berbeda, tetapi tata bacanya sama-sama “Kachi”, oleh karena itu disebut “Kachi-iro” mempercayai “warna menang” meskipun rupa kanjinya lain pun, dan tentara Jepang yang zaman dahulu seperti SAMURAI senang dipakai sebagai baju tentara yang kain terbuat indigo tua karena mendoakan menang dan mengharap bisa kembali dari tempat/medan perang.

Sedangkan menurut Mr. Chen Ching-Liin dalam makalahnya bahwa di Taiwan isu untuk kembali ke alam sudah digulingkan sejak tahun 1960an. Yang paling banyak digunakan dalam pewarnaan alam di jepang adalah dari bahan indigo alam yang mereka sebut Tennen-ai. Sedangkan jenis tanaman yang menghasilkan warna indigo ini adalah Polygonum tinctorium Lour atau dalam bahasa jepang disebut Tade-Ai.

Bapak Hendri Suprapto menyampaikan bahwa pada saat ini peminat batik dengan zat warna alam kebanyakan masih didominasi dari luar negeri, karena menurut beliau ada kaitannya dengan taste (cita rasa), kemampuan (daya beli) dan kesadaran dari masyarakat luar negeri berbeda dengan bangsa indonesia. Masih menurut beliau pangsa pasar untuk produk batik dengan zat warna alam 75 % beliau dapatkan buyer dari Jepang selebihnya Eropa, Amerikad dan Lokal.

Sedangkan Ibu Evi Yuliati Rufaida memaparkan tentang pengujian mutu bati di Balai Besar kerajinan dan Batik, yang telah mempunyai Laboratorium Uji dan Kalibrasi Industri Kerajinan dan Batik (LUK-IKB) dan pentingnya melindungi batik indonesia dan untuk menjaga kualitasnya dengan memberikan hak pemakaian batikmark"batik INDONESIA". Berikut adalah logo batikmark :

Dari hasil seminar ini diharapkan bahwa penggunaan zat warna alam untuk pewarnaan batik perlu lebih digalakkan dengan sinergi dari BBKB sebagai Balai Penelitian dan juga dari instansi lain seperti dinas peridag, civitas akademika maupun kalangan industri. Dan pengembangan lahan untuk penanaman pohon untuk diambil zat warnanya masih belum ditangani secara serius, selanjutnya bisa terwujud, sebab dari hasil perhitungan ekonominya juga manjanjikan.(jonis)

Iwan Tirta - Pelestari Batik Asli Indonesia

Jika beberapa waktu lalu kita merasa tidak nyaman dengan pengakuan negara tetangga kita, Malaysia, atas kepemilikan budaya asli kita. Maka, yang pantas kita tanyai sebenarnya adalah diri kita sendiri. Sudah seberapa cintakah kita pada produk asli negeri ini. Batik misalnya. Hal ini diungkap oleh seorang desainer dan pelestari seni batik asli Indonesia, Iwan Tirta. Perancang busana batik yang karyanya sudah dipakai oleh banyak petinggi dunia ini mengatakan bahwa sebenarnya justru kitalah yang kurang maksimal dalam mengenalkan seni batik ini ke dunia internasional.

Iwan Tirta yang bernama asli Nusjirwan Tirtaamidjaja ini memang tak asal bicara. Pengusaha dan perancang busana batik nasional ini menemukan fakta bahwa kita kurang maksimal dalam mempromosikan produk kita sendiri. "Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini. Karena itu, pria yang sebenarnya justru mendalami bidang hukum-Iwan adalah lulusan sekolah Hukum di Yale University Amerika-ini kemudian justru memilih batik sebagai jalan hidupnya. Keprihatinannya yang mendalam membuat ia lantas melakukan penelitian seni batik nusantara dan lantas mendirikan perusahaan batik PT Ramacraft.

Sebenarnya, ketika kecil, Iwan malah bercita-cita menjadi diplomat. Karena itulah ia mengambil sekolah di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dan lulus pada 1958. Ia pun kemudian sempat menjadi dosen bidang Hukum Internasional. Untuk memperdalam ilmunya, Iwan lantas menempuh pendidikan ke London di School of Economics and School of Oriental and African Studies. Merasa belum cukup, ia kemudian mengambil gelar Master ke salah satu universitas terbaik dunia, Yale University di Connecticut, Amerika. Saat itulah, ia sering mendapat pertanyaan tentang budaya Indonesia yang kemudian membuat Iwan makin tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia.

Sejak saat itu, demi mengetahui ragam kekayaan budaya Indonesia, ia makin mencintai budaya tanah leluhur. Hal ini diperkuat saat ia menerima hibah dana dari John D Rockefeller III untuk mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Hasil penelitiannya ia simpulkan dalam bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.

Keprihatinannya akan budaya batik yang justru makin tergerus oleh mode dari luar, membuat Iwan kemudian bertekad untuk mengenalkan batik ke dunia internasional. Dengan bendera PT Ramacraft-nya, ia berhasil melebarkan cabang perusahaannya ke beberapa kota, dengan produksi sekitar 3.000 meter per bulan. ''Batik tulis memang tidak dapat diproduksi secara besar- besaran, karena membutuhkan tenaga dan kehalusan cita rasa,'' katanya. Selain itu, ia memproduksi berbagai macam barang souvenir khas dengan motif batik yang telah dijual hingga ke manca negara.

Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat, membuat Iwan Tirta mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tiga puluh tahun kemudian, pemahaman dan pengalamannya tentang batik yang semakin matang ia tuangkan dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996).

Perjuangan Iwan mengenalkan batik asli Indonesia ke luar negeri juga mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Bahkan, hampir semua pejabat tinggi negara di dunia yang datang ke Indonesia, sudah pernah mengenakan rancangan batik Iwan. Kini, dengan usaha keras, meski tak sempat jadi diplomat seperti impian masa kecilnya, Iwan justru telah mampu mengharumkan nama bangsa sebagai ''duta batik'' Indonesia ke dunia.

Kecintaan pada budaya asli Indonesia terbukti telah menjadi jalan sukses Iwan Tirta. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengharumkan nama bangsa dengan berbagai rancangan batik karyanya. Iwan menjadi contoh bahwa hanya dengan tindakan nyata, kita bisa "bicara" di dunia internasional. Karena itu, daripada hanya sekadar mengutuk atau merasa resah terhadap klaim bangsa lain atas produk bangsa, akan jauh lebih baik jika kita mampu bertindak nyata, seperti yang dicontohkan Iwan Tirta

Batik Tulis Suku Using di Ambang Kepunahan

Keluhuran seni batik ini konon menjadi daya tarik penjajah Belanda dan Jepang untuk mengoleksinya. Bahkan, pada zaman Majapahit batik tulis Banyuwangi menjadi barang paling mewah untuk disembahkan kepada raja. Para pedagang asal Cina pun menyukai batik tulis ini. Ini dibuktikan motif gambarnya ada yang mirip kain asal Cina.

Batik tulis kian termasyhur seiring berkembangnya kesenian Gandrung. Kain batik yang dikenakan dipercaya mampu menambah kecantikan seorang penari. Motifnya yang semarak dan lembut diyakini mampu menambah wibawa dan keanggunan penari Gandrung.

Sayang, kini batik tulis Banyuwangi mulai ditinggalkan orang. Kian hari jumlah perajinnya terus menurun. Kini, jumlahnya tidak lebih dari 100 orang; hampir semuanya berusia lanjut. Perajin yang ada kebanyakan membatik karena kebutuhan ekonomi.
Mereka sering mengabaikan tingginya nilai seni. Tidak jarang pembatik hanya dibayar murah.

Jumlah pengusaha batik tulis di Banyuwangi juga tidak banyak; hanya tiga orang. Mereka di tiga tempat, yakni Verdes di daerah Tampo, Sidorejo, Kecamatan Purwoharjo, dan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi.

Kurang, minat generasi muda yang mau terjun ke dunia seni batik. Mereka enggan belajar membatik dengan alasan kurang telaten. Prospek ekonomi yang kurang menjajikan juga menjadi alasan lain. “Pembatik memang harus berjiwa seni. Ini yang sulit ditemukan,” kata Ahmad Sudjiran, Kabid Perindustrian Dinas Perindag. dan Penanaman Modal Kabupaten Banyuwangi.

Ia menjelaskan, pemerintah telah berupaya menyelamatkan batik tulis dari ancaman kepunahan. Tiap tahun digelar pelatihan pembuatan batik. Mereka yang tidak memiliki darah seni cenderung enggan mendalami seni batik tulis.

Namun, berbagai kelompok seni batik yang banyak tersebar di Sidorejo kini mulai dimotivisir untuk terus berkarya. Mereka diberi kredit lunak. “Jumlahnya sekarang lumayan,” ujarnya.

Sebenarnya tahun 1980, batik tulis Banyuwangi mulai hidup kembali, setelah sebelumnya sulit ditemukan. Ketika itu Banyuwangi dipimpin Bupati Joko Warsito. Bupati asal Madura itu melihat seni batik Banyuwangi mampu dibangkitkan sebagai aset wisata. Pembatik tradisional di Temenggungan diinventarisir dan dimotivisir untuk terus membatik. Saat itu langkah ini berhasil.

Lambat laun, batik tulis kembali merosot. Menariknya, selama ini pemasaran ke luar negeri justru dibuka para TKI (tenaga kerja Indonesia). Mereka sering mendapat pesanan dari pengusaha di luar negeri ketika bekerja di sana.

Kini, pemerintah berupaya membangkitkannya kembali dengan memberikan pelatihan modern bagi pembatik. Pelatihan itu difokuskan pada pembuatan produk berkualitas dan mengikuti permintaan pasar. “Tidak cukup berpatokan pada motif lokal. Permintaan pasar juga diperhatikan,” kata Ahmad Sudjiran.

Promosi dilakukan dengan mengikuti pameran bertaraf nasional maupun internasional. Ke depan, pemerintah berencana memasukkan keterampilan batik tulis sebagai muatan lokal di sekolah. - udi


Motif Gajah Oling paling Diminati

TIDAK semua pengusaha batik tulis Banyuwangi bersedia memasarkan produknya ke luar daerah. Meski permintaan cenderung banyak, mereka lebih memilih diam di tempat. Cara ini dilakukan agar peminat batik datang. Para kolektor batik datang untuk mencari kualitas batik yang bagus.

Harga batik tulis Banyuwangi yang relatif mahal sering menyebabkan kalah bersaing dengan batik cetakan yang harganya lebih murah. Para pengusaha yakin mereka yang fanatik akan mencarinya.

Begitulah yang terjadi di Banyuwangi selama ini. Penggemarnya mengenal batik tulis Banyuwangi akibat komunikasi getok tular sesama penggemar batik. Tak mengherankan, berapa pun harga batik pasti akan selalu diserbu.

Harga yang cenderung murah di pasaran inilah yang membuat pengusaha batik tulis berat membuka pasar di luar, termasuk di Bali. Lebih murahnya rata-rata harga batik di Bali, membuat pengusaha batik tulis Banyuwangi enggan memasarkan produknya ke Bali.
“Saya memilih memasarkan di Banyuwangi ketimbang di Bali,” kata Ana Neni. Tahun 1980, Neni pernah kedatangan seorang eksporter asal Bali yang akan menawarkan produknya ke luar negeri. Karena harga yang ditawarkan murah, pemilik sanggar batik tulis Sritanjung ini menolaknya.

Neni menuturkan, pasar batik tulis sebenarnya sangat menjajikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesanan dari luar daerah. Tamu dari luar negeri juga sering melirik batik tulis Banyuwangi. “Tamu dari Prancis paling banyak menyukai batik tulis,” ungkap Neni.

Mahalnya harga batik tulis disebabkan bahannya mahal dan proses pembuatannya rumit. Untuk membuat sejenis motif batik diperlukan waktu paling cepat dua minggu, bahkan ada yang sampai dua bulan. Bahan batik tulis dibuat dari kain sutra dan katun yang berkualitas. Karena itu harganya mahal. Harga sejenis motif batik tulis Rp 500.000 s.d. Rp 4 juta.

Menurut Neni, pemesannya dari kalangan instansi pemerintah dan sanggar kesenian. Mereka tidak hanya berasal dari Banyuwangi. Sanggar seni dari Surabaya dan Jakarta paling sering memesannya. Sekali pemesanan mencapai ratusan lembar.

Perancang mode juga kerap memesan batik. Dari sekitar 12 jenis motif batik, gajah oling paling banyak diminati pembeli. Motif gajah oling berupa gambar tetumbuhan yang dipadu dengan binatang. Beberapa motif lainnya yang juga diminati, misalnya beras kutah dan kopi pecah.

“Pernah dari Kalimantan memesan batik tulis dalam jumlah besar,” ujar Neni yang pernah mengikuti pameran batik internasional di Yogyakarta tahun 1997. - udi



Mak Acum Membatik sejak Zaman Jepang

USIA tua tak menyurutkan semangat sosok wanita ini untuk terus membatik. Dia adalah Mak Acum, pembatik senior di Banyuwangi. Jari-jemari wanita kelahiran Temenggungan, 75 tahun silam ini, tetap lentik memainkan malam. Saat ditemui Tokoh pun, dia sedang asyik membatik di samping rumahnya.

Hampir semua penggemar batik di Banyuwangi mengenalnya sebagai perajin batik andal. Ia belajar membatik dari neneknya pada zaman penjajahan Jepang, 1942 – 1945.
Di balik kesederhanaan penampilannya tersimpan harta karun tak terhingga, yakni berupa kepiawian membatik yang sulit ditiru pembatik lainnya. Saat membatik hingga kini, wanita ini tidak mengenakan kaca mata. Padahal, kebanyakan motif yang harus digambar berukuran kecil.

Dalam sehari Mak Acum mampu menghasilkan satu lembar kain batik. Umumnya, bagi para pemula, satu lembar kain batik paling cepat diselesaikan tiga hari.

Pembatik yang telah puluhan tahun menjalankan profesinya ini menuturkan, dalam membatik kesabaran dan ketelatenan harus tetap dijaga. Membatik diibaratkan orang melukis. Pencampuran warna dan kepiawian memainkan malam menjadi syarat utama.

Berbagai pameran pernah diikuti Mak Acum untuk mengenalkan hasil karyanya. Karyanya sering menjadi duta Banyuwangi dalam pameran batik. “Tapi sekarang sudah tidak pernah. Umur saya ‘kan sudah tua,” ujarnya.
Mak Acum menyayangkan minimnya generasi muda yang mau terjun ke dunia batik. Dia mengaku mengalami kesulitan untuk menurunkan ilmunya. Bahkan, tidak satu pun keluargnya yang mau belajar membatik.

Mak Acum juga sering memberikan kursus singkat kepada para pelajar dan sejumlah warga untuk belajar membatik. Sayangnya, tidak satu pun yang mau melanjutkan profesi ini. Mereka menempatkannya sekadar hobi atau untuk tugas akhir sekolah.
Mak Acum menyatakan tekadnya akan terus membatik hingga benar-benar merasa tidak mampu lagi. – udi

Mengangkat Batik sebagai Komoditas Dunia

Kemeriahan tampak terlihat dari salah satu sudut Lapangan Jetayu Kota Pekalongan, tepatnya di Gedung Olahraga atau GOR Jetayu, Sabtu (1/9). Ribuan orang hilir mudik sambil menyaksikan deretan stan yang memamerkan karya batik dengan berbagai media dan corak.

Hari itu merupakan hari pertama diselenggarakannya pameran batik di Kota Pekalongan. Pameran yang rencananya digelar selama lima hari tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan Pekan Batik Internasional atau PBI di Kota Pekalongan.

Selain pameran batik, kegiatan PBI lainnya adalah pesta kuliner, bincang batik kontemporer, parade batik, dan berbagai seminar batik. Pembukaan PBI dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, sedangkan pembukaan pameran batik oleh Mufidah Jusuf Kalla.

Pameran batik tersebut diikuti sekitar 130 stan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Tegal, Yogyakarta, Riau, Sumatera Selatan, Papua, Madura, Cirebon, Lasem, Garut, Lampung, Jakata, Madiun, Tuban, Lombok, dan Surabaya.

Kain batik yang ditampilkan dalam pameran tersebut memiliki bermacam-macam motif dan corak. Jenis pewarna yang digunakan tidak hanya pewarna kimia, namun juga pewarna alam.

Selain memamerkan kain batik, sejumlah stan juga memamerkan interior dan aksesori dari batik, seperti tas maupun sepatu batik. Media yang digunakan pun bervariasi, seperti kain, kayu, dan juga kantong semen.

Wali Kota Pekalongan M Basyir Ahmad mengatakan, selama ini Kota Pekalongan memiliki dua potensi, yaitu batik dan tekstil, serta perikanan. Menurutnya, PBI dimaksudkan untuk mewujudkan batik sebagai seni budaya yang dapat memberikan napas bagi kehidupan masyarakat di sana.

Selain itu, dengan adanya kegiatan dan promosi berskala internasional, citra batik akan terangkat. Diharapkan pada masa mendatang batik dapat menjadi komoditas unggul dunia yang mampu bersaing dengan komoditas sejenis lainnya.

Menurut Basyir, saat ini infrastruktur pendukung batik di Kota Pekalongan sudah ada, seperti Pasar Batik Setono. Oleh karena itu, perlu adanya sarana promosi, di antaranya dengan pameran batik. Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan Slamet Prihantono mengatakan, pameran batik juga dimaksudkan untuk menampilkan batik-batik berkualitas dari Pekalongan, baik dari segi motif, pewarnaan, maupun metode pembuatan.

Dengan demikian, Pekalongan akan dikenal sebagai pusat batik. Selain mampu menghasilkan batik massal, pembatik di Pekalongan juga mampu menghasilkan batik berkualitas. Diharapkan ke depan, Pekalongan akan identik dengan batik. Begitu pula sebaliknya, batik identik dengan Pekalongan.

Menurut Slamet, selain sebagai karya seni budaya, selama ini batik telah memberi kesejahteraan bagi masyarakat Pekalongan. Rata- rata satu industri batik di Pekalongan mampu menyerap lima hingga 10 tenaga kerja. Jumlah industri batik di Kota Pekalongan mencapai lebih dari 80 unit usaha.

Muniroh, peserta pameran dari Tegal, mengaku senang dengan kegiatan tersebut. Menurutnya, pameran tersebut dapat menjadi ajang promosi dan pengenalan batik kepada masyarakat.

Meskipun demikian, ia berharap para pengusaha batik sportif mengikuti kegiatan tersebut. Jangan sampai satu peserta pameran mencuri motif batik dari peserta lainnya dan membuatnya untuk dijual dengan harga lebih murah.

Haris, peserta pameran lainnya dari Kabupaten Pekalongan, mengungkapkan hal senada. Menurutnya, pameran merupakan media yang cukup efektif untuk promosi. Oleh karena itu, masing-masing peserta harus mampu menampilkan produk terbaik mereka tanpa menjatuhkan produk dari peserta lainnya.
Oleh SIWI NURBIAJANTI

BATIK DAN IKON BUDAYA NASIONAL

Awal Agustus lalu di Jakarta ada pergelaran batik oleh D’Reka Batik Sdn Bhd dari Malaysia. Acara yang diadakan dalam rangka promosi tahun melawat Malaysia 2007 itu menimbulkan pertanyaan, unsur baru apakah yang dapat ditawarkan negara tetangga itu kepada Indonesia, negeri yang telah mengembangkan batik ke tingkat yang demikian canggih.

Untuk para pakar yang mendalami batik, batik mungkin bukan ditemukan orang-orang di Jawa, tetapi Jawa-lah yang membuat batik menjadi unik dan berkembang begitu rupa sehingga menyatu dengan filosofi kehidupan masyarakatnya.

Secara tradisional, batik menjadi bagian dari Jawa. Seperti surat terbuka peneliti, kurator pameran, dan penulis buku kain adati Indonesia, Judi Achjadi, kepada Ketua Batik International Research & Design Access di MARA University of Technology di Selangor, Malaysia, yaitu hak utama tentang warisan budaya dalam konteks batik adalah milik pembatik Jawa.

Sudah menjadi pengetahuan umum batik seperti yang dikembangkan di Jawa memberi inspirasi pada seniman di berbagai negara yang kemudian mengembangkannya menurut pengalaman hidup mereka. Bukan rahasia pula beberapa pihak di luar negeri mengajukan paten atas motif batik tertentu dan motif batik kita, motif Yogyakarta antara lain, ditiru di luar negeri.

Malaysia, misalnya, tengah gencar mengampanyekan batik sebagai bagian dari budayanya, sampai-sampai mereka bertekad akan mengirim batiknya ke angkasa bila astronot pertamanya dikirim ke orbit tahun 2007. Hingga meninggalnya, almarhum Ny Endon Mahmood Badawi, istri PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, dengan gencar ikut dalam memopulerkan batik sebagai budaya Malaysia.

Bila dikatakan batik telah menjadi bagian dari filosofi hidup di Jawa, hal ini tampak dari setiap daerah yang memiliki karya batiknya masing-masing.
Contoh paling gamblang adalah betapa berbedanya warna dan ragam hias batik di pesisir dengan batik di pedalaman. Kita juga dapat melihat cukup nyata antara batik Solo dan batik dari Yogyakarta, dua wilayah yang secara geografis saling berbatasan.

Bahwa batik menjadi bagian kehidupan sehari-hari juga dapat dilihat pemakaiannya yang sangat beragam sejak dulu: sebagai busana, sebagai bagian dari interior rumah, benda fungsional seperti alat menggendong. Selain itu, motif batik di Jawa selalu menggambarkan dunia kecil maupun dunia besar masyarakat setempat.
Jadikan ikon

Munculnya klaim dari berbagai pihak di luar Indonesia sebagai pemilik batik telah membuat seniman batik Iwan Tirta mengatakan, meskipun agak terlambat, sudah waktunya Indonesia menjadikan seni batik sebagai ikon budaya nasional.

Dalam beberapa kali percakapan, Iwan Tirta menyebutkan, untuk menjadikan batik sebagai ikon, yang pertama-tama harus dilakukan adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan batik. Definisi yang dapat ditentukan melalui pertemuan atau diskusi di antara mereka yang berkecimpung dalam kain adati dan batik ini selain akan menghilangkan kerancuan arti batik di antara kita sendiri, juga akan berguna bila Indonesia berhadapan dengan pihak luar.

Sebagai titik awal, Iwan Tirta mengajukan pendapat, dasar referensi batik Indonesia haruslah batik Jawa. Alasannya, Jawa-lah yang mengembangkan batik sehingga mencapai bentuknya yang sekarang dan di Jawa batik tidak dapat dilepaskan dari bentuk kesenian lain, seperti gamelan, seni suara, tarian, wayang, bahkan agama. Aspek-aspek itu yang membedakan batik Jawa dari batik daerah lain di Indonesia.

Dalam percakapan dengan Kompas saat acara ulang tahun ke-30 Himpunan Kain Adati Wastraprema akhir Juli lalu di Museum Tekstil Jakarta, Iwan Tirta mengatakan, batik Jawa memiliki empat ciri utama, yaitu memiliki teknik yang khas, seperangkat aturan yang disebut pakem, hubungan dengan bentuk budaya lain, dan bebas dari batasan agama.

Dalam simposium tekstil tradisional ASEAN di Jakarta, Desember 2005, Iwan Tirta dalam makalahnya menyebutkan, batik Jawa memiliki keunikan pada isen-isen atau isi berupa titik, garis halus, atau hiasan lain di dalam bentuk-bentuk ragam hias.

Desainnya memiliki dua aturan dasar, yaitu berdasarkan konstruksi geometri berupa kotak-kotak atau garis diagonal, dan desain nongeometri seperti bentuk tangkai, bunga dan kuncupnya, dan bentuk hewan.

Hubungan batik dengan bentuk budaya lain, seperti bahasa, pertanian, musik, tari, wayang, seni ukir, tampak pada penamaan batik itu sendiri.

Selain itu, batik berhubungan erat dengan agama seperti terlihat pada motifnya yang dipengaruhi Hindu dan Islam, dipengaruhi budaya China serta Eropa, tetapi sekaligus pada saat sama agama tidak membatasi kehadiran berbagai motif.

Semua itu yang membuat batik Indonesia (baca Jawa) menjadi unik dan mampu menjawab modernisasi melalui tangan sejumlah artis dan pengusaha batik justru karena batik juga memiliki kemampuan menjadi benda pakai bernilai ekonomi.
Ninuk Mardiana Pambudy

Potensi Ekspor Batik Masih Terbuka

SOLO - Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu mengatakan potensi ekspor batik masih terbuka lebar. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Swedia, Jerman, Uni Emirat Arab, dan Prancis merupakan negara potensial yang mengincar batik Indonesia.

Ekspor batik di Jawa Tengah tahun 2007, tercatat sebesar 29,3 juta dolar AS atau naik 20,24 persen dibanding tahun sebelumnya. Nilai tersebut merupakan 36,46 persen dari total ekspor batik Indonesia tahun 2007. ''Saat ini, Indonesia menempati urutan ke-43 pada Economic Creativity Index Ranking yang dipublikasikan oleh World Economic Forum,'' ujar Mendag di Solo.

Industri kreatif memberikan kontribusi PDB Indonesia rata-rata sebesar Rp 104,638 triliun pada tahun 2002-2006. Industri ini menyerap tenaga kerja rata-rata per tahun sebesar 5,4 juta pekerja. Tahun 2006 lalu, industri kreatif telah melakukan ekspor sebesar Rp 81,5 triliun atau sebesar 9,13 persen dari total ekspor nasional. ant

Penutupan Menara Telekomunikasi bagi Asing Perlu Dikaji

JAKARTA -- Peraturan Menkominfo Muhammad Nuh yang menutup peluang investor asing masuk ke bisnis menara telekomunikasi perlu dikaji ulang. Aturan tersebut dinilai menyalahi aturan perundang-undangan, dan bertentangan program pemerintah menarik investasi ke dalam negeri.

Ketua Masyarakat Telekomunikasi, Mas Wigrantoro Setiyadi mengatakan, pengkajian ulang dimaksudkan untuk mengetahui duduk persoalan penutupannya. Menurutnya, kewenangan menetapkan suatu bidang tertutup bagi asing atau masuh Daftar Negatif Investasi (DNI) ada pada Deperin, Departemen PU, dan BKPM. Menurutnya, ada persepsi bahwa Peraturan Menteri yang `mengharamkan` asing masuk di industri menara telah melampaui kewenangan yang ada.

Sebelumnya, BKPM sendiri tidak melihat urgensi dari pembatasan investasi di sektor menara telekomunikasi tersebut. Apalagi, saat ini Indonesia sangat membutuhkan pembangunan menara telekomunikasi dengan peran swasta-asing seluas-luasnya. Pemberlakuan DNI dinilai hanya memperburuk investasi infrastruktur menara telekomunikasi. Saat ini, Indonesia masih memiliki banyak pelosok daerah yang belum bisa dijangkau secara teknis atau "blank spot".

Migrasi Digital Diharap Segera Tuntas

MALANG - Menkominfo Muhammad Nuh berharap proses migrasi digital di Indonesia segera tuntas agar mampu menampung dan melayani kran permintaan frekuensi. ''Sekarang kita masih menggunakan sistem analog. Kalau migrasi digital tuntas, kita bisa melayani banyak permintaan frekuensi, karena sekarang frekuensi yang ada itu sudah penuh,'' kata Menkominfo usai meresmikan Warung Masyarakat Informasi (Warmasif) di Kantor Pos Besar Malang, akhir pekan lalu.

Saat ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih terus membuka kran layanan permintaan frekuensi. Padahal, total jumlah frekuensi khususnya radio mencapai 2.200 dan di Jawa Timur (Jatim) sebanyak 400.

Karena padatnya frekuensi tersebut, maka pihaknya tidak bisa memberikan layanan ijin frekuensi baru sampai proses migrasi digital tuntas. Ketika menyinggung proses Rancangan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik, mantan Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS) itu mengatakan, sudah rampung dan DPR sudah menyerahkan kepada presiden, demikian juga presiden sudah menyerahkan kembali ke DPR RI. ''Insya Allah dalam waktu dekat sudah ditandatangani dan disahkan menjadi UU,'' tandasnya. ant
( )

Karnaval Batik Solo 2008

Kota Solo merupakan kota yang memiliki citra sebagai sebagai salah satu kota wisata dan kota budaya di Indonesia. Kota ini telah mengalami berbagai krisis multidimensional dalam perjalanan pertumbuhannya. Karena itu, tentunya mendambakan suatu kondisi kota yang damai dan berbudaya.

Salah satu hal yang menjadi bagian dari budaya Solo adalah Batik. Yaitu batik yang dilahirkan dari tradisi Kota Solo dan menjadi salah satu akar pertumbuhan tradisi batik nusantara.

Untuk mengakselerasi pertumbuhan dan citra Kota Solo sebagai Kota Batik di tingkat nasional maupun internasional, Solo Center Point Foundation (SCP) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta menggelar Royal Dinner dan pencananangan program Solo Batik Carnival 2008.

Pada 12 April, dielenggarakan peragaan 100 peserta Indoor Solo Batik Carnival yang bertempat di Pura Mangkunegaran. Sementara pada 13 April, digelar Solo Batik Carnival. Rute karnaval ini dimulai dari Solo Center Point (Purwosari, Jalan Slamet Riyadi) dan berakhir di Balaikota Pemetintah Kota Surakarta (Jalan Jendral Sudirman).

Solo Batik Carnival adalah suatu karnaval Batik Solo yang melibatkan seluruh masyarakat. Pada karnaval ini, batik dijadikan sebagai sumber ide dasar dan semangat kreativitas masyarakat. Ini sesuai selaras dengan jiwa Solo, yaitu sebagai 'The Spirit of Java'.

Dengan diselenggarakannya karnaval ini, diharapkan akan lebih mendekatkan masyarakat Solo kepada kearifan lokal kotanya. Juga mencintai pertumbuhan kotanya yang makin plural dan multikultural. Oleh karena itu, untuk mematangkan kualitas karnaval, peserta harus mengikuti berbagai workshop. Mulai dari workshop untuk kostum, tarian, dan cara berjalan yang dipandu oleh Jember Fashion Carnival.

Diselenggarakan juga workshop untuk menggali kreativitas dan memahami esensi karnaval yang diselenggarakan. Sekitar 500 orang yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat ikut terlibat dalam karnaval tersebut. Mulai dari siswa SMU, organisasi profesi, organisasi kebudayaan, organisasi swasta dan BUMN, institusi pemerintah dan swasta, grup kesenian, individu, dan sebagainya.

Sebagai acara pendamping, diselenggarakan Srawung Batik. Yaitu suatu pameran batik dan ragam produk kerajinan tangan. Acara ini diikuti oleh UKM batik dan kerajinan tangan dari Kota Solo. Srawung Batik bertujuan untuk merekatkan hubungan perajin-perajin batik, para UKM batik dan UKM kerajinan tangan batik dengan konsumen. Sehingga dapat memberdayakan ekonomi kerakyatan Kota Solo dan mengkokohkan Kota Solo sebagai Kota Batik. Pameran ini digelar di sepanjang city walk Jalan Slamet Riyadi.

Ada alasan tersendiri kenapa kawasan Jalan Slamet Riyadi dipilih sebagai tempat karnaval dan pameran. Menurut sejarah, pada abad ke-19 sepanjang kawasan ini disebut dengan sebutan Jalan Wihelminaan. Jalan ini membagi kota Surakarta menjadi dua. Sebelah utara menjadi komplek Belanda dan selatan menjadi komplek Keraton. Jalan inilah yang seolah�olah menjadi 'pembelah' kota Surakarta.

Dengan dibukanya jalan menuju Semarang, terjadi pertumbuhan ekonomi dan kultural pada masyarakat Solo. Sejak itu keberagaman etnis, tradisi dan kesenian tumbuh di lingkungan masyarakat kedua wilayah, utara dan selatan kota.
(ci1 )

Saatnya Berbusana Batik

Siapa sih orang Indonesia yang tak kenal batik? Rasanya, semua kenal. Maklumlah, batik memang salah satu warisan berharga nenek moyang kita yang hingga kini masih bertahan. Bahkan, akhir-akhir ini, batik kian berkibar.

Batik tak lagi hanya dikenakan oleh orang-orang tua untuk kondangan atau menghadiri acara resmi. Anak-anak muda pun kini bangga dan merasa trendy dengan baju batik. Mengusung corak, motif, dan model yang up to date, batik jadi kian menarik dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk acara-acara santai.

Pengamat mode Aju Isni Karim pun mengamati perkembangan ini. Menurut dia, batik sekarang tampil dengan motif dan model yang lebih ringan, tapi full modifikasi. Alhasil, batik bisa digunakan oleh semua usia. Modelnya? Sangat beragam. Tak hanya berupa blouse, tapi juga baby doll, blazer, blouse panjang sepaha, blouse tanpa lengan, dan rompi. Saat memakainya, Anda pun tak perlu cemas bakal terlihat kuno alias jadul. ''Pemakainya malah terkesan modern, apalagi batik bisa dipadukan dengan aksesori lain,'' ujar Isni.

Bagaimana memadukan batik agar si pemakai tampil modis dan trendy? ''Tidak ada batasan,'' kata Isni. Namun, ia memberikan beberapa panduan. Jika memakai atasan batik, bawahannya tak harus rok atau celana kain polos. Celana jeans, legging atau rok rajutan juga pas berpadu dengan batik. Bagaimana jika batik digunakan sebagai bawahan? Anda bisa memadukannya dengan atasan polos plus aksesori berupa kalung. ''Semua itu sah-sah saja, asal sesuai dengan kepribadian si pemakai. Yang penting, pandai-pandai memadukannya.''

Untuk yang bertubuh besar
Anda yang kebetulan memiliki postur tubuh besar, tentu saja bisa berbatik ria. Hanya saja, ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Hindari batik bermotif ramai dan besar-besar. Begitupun batik dengan warna kontras, kurang cocok untuk Anda. Sebaiknya, pilih motif kecil-kecil dengan warna lembut. Jangan pula memilih aksesori ukuran besar, karena akan terlihat makin besar.

Batik cocok juga dikenakan oleh para Muslimah yang berkerudung. Satu hal yang perlu diperhatikan, ketika Anda mengenakan busana Muslimah dari batik, jangan kenakan kerudung bermotif batik pula. ''Kesannya jadi ramai, colourfull. Jilbabnya polos saja. Jika akan memakai tambahan batik, sebaiknya sebagai aksesori saja.'' n vie
( )

Jerman Keluarkan Sepatu Adidas Bermotif Batik

Surabaya-RoL-- Perusahaan sepatu Jerman yakni Adidas telah mengeluarkan sepatu, jaket, dan topi bermotif batik.

"Sepatu, jaket, dan topi bermotif batik itu terbatas jumlahnya dan untuk koleksi," kata desainer Yogyakarta, Miko, di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu dalam workshop "Desain Wayang Modern" yang diikuti sekitar 30 mahasiswa desain asal Surabaya-Solo di Perpustakaan ITS.

Didampingi isterinya yang juga desainer, Santi, ia mengatakan sepatu Adidas bermotif batik "priyayi" itu membuktikan "Think Global Act Local."

"Konsep 'Berpikir Global Bertindak Lokal' itu mengharuskan kita untuk lebih mencintai keunikan lokal, sebab orang lain sudah ke sana," katanya.

Alumnus ISI Yogyakarta itu menilai sepatu Adidas menunjukkan orang Jerman mencintai keunikan lokal di Indonesia.

"Apa kita justru diam saja? Karena itu, saya mengembangkan berbagai bentuk karya desain bernuansa wayang sejak tahun 2000," katanya.

Bahkan, katanya, karya desain buatannya sudah pernah dipamerkan di Amerika dan Eropa yang ternyata mendapat perhatian cukup membanggakan.

"Konsepnya adalah menggabungkan kekinian (global) dengan tradisi (lokal), misalnya wayang, sandal jepit, batik, dan sejenisnya," katanya.

Ia mengaku dirinya terinspirasi tiga desainer Jepang yang memberi nuansa samurai, kimono, dan nilai khas Jepang lainnya dalam desain buatannya.

"Karena itu, saya membuat desain buku, tas, kosmetik, sepatu, stiker, boneka, bungkus HP, dan lainnya dengan nuansa wayang," katanya.

Ia menambahkan nuansa wayang itu pun dibuat dengan konsep kekinian, seperti bagong yang memakai sepatu, topi, kacamata, sabuk, dan hal-hal yang diminati anak-anak muda.

"Saya juga membuat karya tentang buto (raksasa) cakil yang giginya menonjol tapi saya beri kawat gigi yang sedang 'in' sehingga anak-anak muda suka," katanya. antara/abi

Kadin Dorong Batik Jadi Ikon Industri Kreatif RI

AKARTA-- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong batik sebagai ikon industri kreatif Indonesia di pasar global, karena memiliki basis budaya yang kuat dan telah memiliki nilai ekonomi yang besar baik di pasar dalam negeri maupun internasional.

"Meningkatnya minat masyarakat mengenakan pakaian bercorak batik harus dijadikan momentum mendorong batik sebagai ikon industri kreatif Indonesia ke pasar internasional," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan, Rachmat Gobel, di Jakarta, Kamis (5/6).

Sejak beberapa bulan terakhir, masyarakat pengguna corak batik pada pakaian mereka cenderung meningkat. Bahkan di sejumlah pusat perbelanjaan mewah bahkan grosir seperti Tanah Abang, pakaian corak batik banyak dijual, dengan desain sesuai mode terkini yang sedang diminati.

Bahkan pemilik perusahaan piranti lunak terkemuka, Bill Gates mau menggunakan batik saat melakukan "Presidential Lecture" di Jakarta beberapa waktu lalu yang ditonton jutaan pemirsa televisi di berbagai belahan dunia.

Rachmat menilai batik tidak hanya memiliki nilai budaya yang kuat khas Indonesia, tapi juga memiliki nilai ekonomi yang besar bila mampu didesain sesuai dengan selera pasar, seperti yang terjadi pada peningkatan minat masyarakat mengenakan pakaian corak batik saat ini. "Salah satu karakteristik ekonomi kreatif adalah persaingan pada desain produk bukan pada harga, sehingga peran mutu sumber daya manusia dan teknologi sangat penting, agar pelaku di sektor ini mampu melakukan inovasi dan terus tumbuh," katanya.

Untuk itu, Kadin, lanjut dia, mengharapkan dukungan pemerintah dalam upaya menjadikan batik sebagai ikon industri kreatif di pasar global dengan kebijakan yang mendorong industri yang banyak digeluti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu. "Kuncinya adalah ketersediaan program pengembangan yang sistematis dan visioner serta membumi," ujar Rachmat yang mengharapkan pemerintah bisa memberi insentif yang lebih besar pada industri tersebut.

Ia melihat pentingnya penguasaan teknologi diberi ruang yang lebih luas kepada pelaku industi kreatif, termasuk batik. Pemerintah diharapkan bisa memberi kemudahan atau kelonggaran seperti insentif fiskal untuk masuknya barang modal (mesin-mesin) yang diperlukan oleh sektor industri kreatif tersebut.

Industri kreatif sendiri, kata dia, tidak hanya batik, tapi juga jamu, tenun ikat, kerajinan kayu, rotan, kulit dan logam, industri jamu, industri kreatif seperti product desain, seni, musik, film. Namun batik yang akan didorong lebih dulu sebagai ikon produk kreatif Indonesia.
(ant/zak )

Untuk Pesta Bisa, Buat Gaul Oke

JAKARTA, SELASA - Kain batik terus dieksplorasi di negeri ini untuk dijadikan bagian dari fashion masa kini. Ada yang membuat motif-motif baru batik. Ada juga yang membikin busana dengan desain up to date dari bahan batik bermotif tradisional. Para pelaku eksplorasi itupun bermacam-macam. Ada perancang ternama Tanah Air yang menargetkan konsumen kelas atas dan dunia internasional. Ada pula butik batik dalam negeri dengan pasar kelas menengah-atas.

Chossy Latu, contohnya, belum lama ini di Jakarta mengeluarkan koleksi baru 2008-nya dalam pergelaran busana karyanya yang berjudul Malam. Dari sederet busana ciptaannya--berupa gaun cocktail yang ringan hingga gaun pesta yang anggun--ada yang dibuatnya dari bahan batik hasil garapannya bersama The Art of Palohy Batik by Pauli Patipeilohy.

Motifnya bunga Bali dan ada yang diberinya sentuhan prada atau tinta warna emas. Motif tersebut dibuatnya di atas tekstil eksklusif sutera Thailand, sutera satin, organsa, sifon, shantung, krep, tafeta, dan sutera tafeta.

Chossy, yang pernah menjadi konsultan dan perancang busana untuk rumah batik Iwan Tirta (1982-2000), justru menjauhkan aroma etnik dari busana batik karyanya, demi menjadikannya bagian dari fashion modern kelas atas, tidak terkecuali di dunia global.

Sementara itu, di jalur lain ada, sebut saja, busana kasual dari bahan batik Pekalongan keluaran butik batik Nilakandi di Kuta, Bali, milik Rachmani Endrawati. Dengan mendirikan butik tersebut, ia berharap bisa menghidupkan lagi eksistensi batik Pekalongan, yang memiliki motif dan warna khas sekaligus semarak.

Produk-produknya, yang serbabatik, tak hanya berupa pakaian, tapi juga pernik-pernik fashion lainnya, seperti tas, sepatu sandal, ikat pinggang, kalung, gelang, dan bandana. Desainnya trendy, karena yang disasarnya terutama orang-orang muda, yang umumnya selama ini "alergi" terhadap batik. Tak heran, dalam koleksinya ada, antara lain, rok dari bahan jean campur bahan batik katun yang bisa dikenakan dengan blus katun polos penuh ruffle tanpa lengan.

Supaya bisa memasang harga yang terjangkau untuk kelas menengah-atas, ia memakai batik cap (bukan batik tulis!) di atas katun atau shantung sebagai bahan.

ATI

Oscar Peduli Warisan Tekstil Nusantara

Perancang busana Oscar Lawalata telah membuka butik khusus sebagai tribute-nya untuk estetika kain nusantara. Butik ini dinamakannya Oscar Lawalata Culture yang bertempat di Jl. Panglima Polim 7.

Sebelumnya Oscar telah melakukan serangkaian perjalana keliling nusantara untuk mengintip sedikit rona warisan budaya Indonesia yang primitif namun tetap kreatif. Oscar mengatakan selama hampir setahun terakhir, dia sudah melakukan perjalanan mengelilingi Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi hingga kawasan Indonesia Timur. Hanya Kalimantan yang belum dikunjunginya.

Dari perjalanannya ini, Oscar mengaku sangat terkesan dengan kekayaan warisan tekstil Indonesia yang sangat beraneka ragam. "Semua sangat menarik tapi karena kita melihat tekstil kan kurang diperhatikan ya. Bahwa sebenarnya kalau bicarakan tekstil kan bukan sekedar, Batik bagus ya, oh kain Songket bagus ya, tapi tekniknya," ujar Oscar di sela-sela acara 10 Pond's Beautiful Women di Jakarta, Jumat (23/5).

Dari rangkaian perjalanannya itu, Oscar mengaku sangat terkesan dengan perjalanannya selama satu bulan di daerah NTT yang terkenal dengan tenun ikatnya. "NTT itu tenun ikatnya itu macem-macem. Sama kayak Batik, ada Batik Cirebon, Jogja, Pekalongan beda. Tenun ikat juga, setiap pulau beda. Kupang beda, Flores beda, Sumba beda. Bagus-bagus dan lucu," tukasnya.

Namun, Oscar juga merasa miris melihat kekayaan seperti ini tidak didukung penuh sehingga para pengrajinnya bisa bersaing dalam dunia usaha, misalnya dengan memikirkan bagaimana para pengrajin ini dapat didukung dengan industri.

"Kain kan persaingannya dengan kain-kain modern yang buatannya pabrik, yang secara pembuatan lebih cepat dan lebih murah padahal kain-kain kita masih handmade," tukas Oscar. Menurut Oscar, salah satu jalan keluarnya adalah mendukung mereka dengan teknologi dan ia mengaku belum bisa membantu sampai taraf itu.

Sebagai perancang busana yang melihat sendiri para pengrajin tersebut menenun atau membatik, Oscar memang langsung terpikir saja ide-ide kreatif yang bisa ditularkan kepada mereka.

"Kalau saya punya imajinasi, saya harus tuangkan dengan para pengrajin yang lebih menguasai secara teknik. Mereka terkadang buntu, kalau mereka sudah terbiasa mengerjakan A, ya A aja terus. Jadi saya menempatkan diri saya untuk lebih menggali, mengeksplor dan memberi wawasan lan bahwa teknik itu bisa dipadupadankan warna-warnanya, motifnya," ujar Oscar lagi.

Oscar menambahkan bahwa melalui Oscar Lawalata Culture, dia sudah memiliki rencana sendiri untuk mengembangkan kain-kain nusantara secara bertahap, sehingga orientasinya untuk ke masa depan.

"Karena kalau bukan begitu, lama-lama kita bisa lupa kain-kain kita seperti apa," tandasnya. Saat ini, butik yang dibukanya terbuka kepada siapa saja yang memang tertarik kepada kekayaan tekstil nusantara. Harga kain di tekstilnya dijual mulai Rp 1.5 juta.

LIN

Kreasi Baru dari Warisan Budaya

Di antara berbagai pertunjukan di Pekan Produk Budaya Indonesia di Balai Sidang Jakarta yang berlangsung hingga Minggu (8/6) yang berhubungan dengan industri kreatif, ada peragaan busana karya perancang Indonesia.

Mode memang termasuk satu dari 14 industri yang dimasukkan pemerintah ke dalam industri kreatif untuk dikembangkan.

Dalam industri ini, unsur kreativitas dalam penciptaan menjadi amat penting. Tetapi, untuk dapat bersaing di pasar global, interaksi dengan kekayaan Indonesia menjadi penting karena warisan budaya itu dapat memberi keunikan pada karya. Interpretasi terhadap dialog antara nilai-nilai warisan dan kebutuhan saat ini menjadi sangat personal.

Itu terlihat dalam pergelaran Stephanus Hamy, Tuty Cholid, Oscar Lawalata, dan Yongki Budisutisna, Kamis (5/6) di Balai Sidang Jakarta. Hamy, misalnya, menggunakan berbagai batik dari Jawa Barat dalam komposisi baru. Paduannya bisa antara motif Mega Mendung batik Cirebon dan batik Garut yang kekuningan.

Yongki menggunakan batik dari Jambi yang disediakan Pemerintah Provinsi Jambi, sementara Oscar Lawalata memeragakan Oscar Culture, rangkaian busana yang berangkat dari tekstil dan busana Indonesia.

Sedangkan Tuty Cholid menggunakan sulam tapis dari Lampung. Sejak enam bulan lalu Tuty bekerja sama dengan Yanti, perajin tapis di Lampung, untuk menghasilkan tapis yang lebih cocok dengan kebutuhan saat ini.

”Saya meminta mereka memakai kain yang lebih tipis, mengganti benangnya supaya tidak selalu benang emas. Motifnya juga disederhanakan. Mulai kelihatan hasilnya meskipun masih harus terus diperbaiki,” jelas Tuty.

Kesertaan 12 perancang Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) dalam pergelaran di Pekan Produk Budaya Indonesia ini menurut pengurus IPMI, Sjamsidar Isa, adalah untuk membuka wawasan perajin tentang berbagai peluang pengembangan teknik dan peningkatan kualitas. Kali ini, IPMI bekerja sama dengan 12 pemerintah provinsi.

Tentang karya perancang yang dapat dengan mudah ditiru, Tuty Cholid tidak khawatir. Sebab, perancang akan selalu bergerak maju dengan ide baru hasil olahan pengalaman dan wawasan pribadi. Itulah industri kreatif, hak cipta patut dilindungi, tetapi ide dan kreativitas menjadi intinya.

NMP