Yuli Astuti, Demi Selembar Kapal Kandas

”Sudah biasa, saya pakai sepeda motor ke mana-mana. Saya harus sering pergi untuk sekadar belanja pewarna atau memenuhi jadwal belajar teknik membatik. Untuk itu saya bisa ke Solo, Yogyakarta, atau Semarang. Kadang kecapekan, tetapi setelah melihat hasil batik yang saya buat, semua rasa lelah hilang,” kata Yuli Astuti.

Perempuan berusia 28 tahun ini ditemui di rumahnya, di tengah sawah di Desa Karang Malang RT 04 RW 02 Nomor 11, Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Agustus lalu. Saat itu Yuli baru kembali dari Yogyakarta yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Kudus. Dia mengikuti pameran batik di Yogyakarta. Tidak tampak kelelahan di wajahnya, dia justru begitu bersemangat setelah mengeruk pengalaman dari kegiatan yang diikutinya.

Perempuan berkulit putih ini adalah salah seorang dari segelintir warga asli Kudus yang mempertahankan dan mengembangkan pola-pola batik lokal. Salah satu motif batik lokal yang tidak ditemui di daerah lain di Indonesia adalah motif kapal kandas, berbentuk kapal terbalik.

Menurut Yuli, orang-orang tua pembatik di Kudus masih sering menggunakan motif ini. Hanya saja, sejarah pasti tentang motif tersebut sulit sekali digali. Bahkan, tak hanya motif kapal kandas, tetapi selama dua tahun terakhir dia mencoba mencari runutan sejarah batik kudus.

Tidak hanya menelusurinya dari para tetua di kawasan Kota Kretek tersebut, Yuli juga meminta pendapat dari pengelola persatuan batik tulis di Semarang dan Yogyakarta, para kolektor batik, hingga para pembatik senior di kawasan pesisir di Tuban sampai Jakarta.

Selama bergerilya ke sana dan kemari mencari asal-usul batik kudus, Yuli harus merogoh saku paling sedikit Rp 60 juta untuk menebus batik tulis kudus kuno dari tangan kolektor.

”Data yang didapat dari berbagai cerita menunjukkan, motif kapal kandas diilhami dari kandasnya kapal China di kawasan ini, mungkin lebih dari 200 tahun lalu. Kapal bangsa China tersebut kandas dan penumpangnya yang selamat kemudian bermukim di lembah Gunung Muria atau Kudus. Batik kudus sama seperti batik di daerah pesisir lainnya, amat dipengaruhi budaya China,” kata Yuli.

Kapal kandas bukan pertanda kemalangan, tetapi justru era baru kehidupan dan kebudayaan di Kudus. Karena itu, motif kapal kandas terus diabadikan dalam lembaran-lembaran batik tulis membaur dengan motif lain yang menggambarkan potensi alam lembah Muria bertahun- tahun silam hingga kini.

Dalam lembaran-lembaran batik hasil karya Yuli, tergambar juga motif buah kopi, jahe-jahean, palijadi, patijotho (sejenis tanaman obat), ikan, dan motif- motif baru hasil kreasinya seperti menara kudus, salah satu ikon Kota Kudus. Motif buah kopi juga menjadi andalan selain kapal kandas karena menggambarkan produk unggulan Kudus yang banyak ditanam di lereng Gunung Muria.

Dari hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda. Memperkuat pendapat Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu.

Sampai era 1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa. Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik menjadi buruh linting di pabrik rokok.

Sejak 1980-an praktis batik kudus tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya. Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50 tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Pelatihan membatik

Dua tahun lalu, Yuli yang berasal dari keluarga perajin bordir pakaian ditawari pelatihan membatik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rembang. Dari sekitar 10 orang yang dibina, hanya Yuli yang terus melaju. Dia tetap bersemangat membangkitkan kembali kejayaan batik kudus.

Ia mau belajar dari nol, mulai dari memilih kain yang tepat, menggambar motif, memakaikan lapisan malam, hingga pencelupan untuk pewarnaan. Ratusan lembar kain batik gagal masih teronggok di rumahnya sebagai pengingat kerasnya perjuangan. Namun, belakangan ini ratusan lembar batik tulis buatannya sudah diserap pasar. Pada setiap pameran, batik tulisnya seharga Rp 350.000-Rp 2 juta per lembar ludes diborong konsumen.

Bahkan, bersama komunitas batik tulis di Semarang, Yogyakarta, dan Tuban, Yuli sering mengikuti pameran batik tingkat nasional maupun internasional. Kegigihannya mengembangkan batik kudus membuat batik ini dilirik UNESCO dan sedang dalam proses penetapan resmi sebagai salah satu warisan sejarah dunia.

Di samping itu, Yuli juga merintis pelatihan membatik bagi warga desanya meskipun baru tiga dari 10 orang binaannya yang mahir membatik.

Meski untuk semua jerih payah itu tubuhnya menjadi makin kurus, berat badannya turun dari sekitar 60 kilogram menjadi 45 kg, Yuli justru merasa segar. Terlebih jerih payahnya semakin dihargai orang.

Batik tulis karyanya mulai diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.

Namun, perempuan yang masih melajang ini tetap gundah karena motif-motif asli batik kudus belum semua terungkap. Kekecewaan menerpa Yuli ketika mengetahui ada buku yang memuat motif-motif kuno batik kudus justru tersimpan di Belanda, sementara dia tak punya akses maupun uang untuk mendapatkannya kembali.

”Belakangan ini batik sedang tren sehingga langkah untuk memperkenalkan batik kudus terasa lebih mudah. Namun, suatu saat tren fashion pasti akan berubah. Supaya tidak kandas lagi, saya harus memperkuat batik kudus dengan penggalian sejarah dan pengayaan motif- motifnya. Ini yang selalu menjadi pekerjaan rumah saya,” kata Yuli.

Mempopulerkan Batik dengan Hitungan Matematika

Batik ternyata tidak melulu berkaitan dengan seni tradisional. Selama ini kita hanya mengenal batik tulis dan batik cap dengan proses pengerjaan murni buatan tangan.

Namun ternyata, dengan hitungan matematika motif batik dapat dibuat dengan mudah lewat komputer. Hasilnya, motif batik dapat dibuat dengan waktu relatif cepat, dan mudah diperbanyak. Tak hanya itu, selain bisa diaplikasikan di selembar kain, motif batik buatan komputer ini juga bisa diaplikasikan di media kayu dan akrilik.

Tiga serangkai asal Bandung , Muhammad Lukman, Nancy Margried Panjaitan, dan Yun Hariadi mencoba "memodernkan" batik. Setelah melalui penelitian yang panjang sejak tahun 2007, mereka pun meluncurkan batik fraktal, suatu batik dengan desain geometri yang terus berulang, [ada Mei silam di Bandung.

Menurut Head of Business Pixel People Project Research & Design Nancy Margried Panjaitan, semula mereka bertiga hanya teman ngobrol di sela-sela acara desain dan mode yang banyak digelar di Bandung. Akhirnya mereka bertiga membentuk kelompok kerja yang bernama Pixel People Project tahun 2007 lalu. Selain batik fraktal, mereka menghasilkan karya, seperti robot, desain gedung dan sebagainya. "Kami tak memiliki satu pemimpin dan tak memiliki kantor," tutur Nancy.

Mereka menganut konsep mobile office. Untuk mengerjakan sesuatu, mereka cukup mengkoordinasikan pekerjaan lewat alat komunikasi dan bertemu muka sesekali saja.

Ketika mendirikan usaha, mereka bertiga harus banyak bertaruh. Nancy dan Luki rela meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai karyawan dan berpindah menjadi pengusaha. Modal awal senilai Rp 20 juta berasal dari membobol tabungan masing-masing, sebagian besar dihabiskan untuk penelitian. Tak sampai satu tahun perusahaan bisa menutup modal usaha. Maklum, mereka membanderol produknya dengan harga tinggi, yakni antara Rp 500.000 dan Rp 20 juta per lembar kain batik.

Di tengah penelitian mereka tentang motif batik, mereka bertiga sempat diundang untuk mempresentasikan penemuannya dalam 10th Generative Art Conference, Politecnico, di Milan, Italia, Desember 2007 lalu.

Semenjak batik fraktal diluncurkan mereka mendapat dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi. Tiga serangkai ini kemudian ditawari untuk melakukan pameran, Mei 2008. Semua kegiatan selama pameran berlangsung disponsori oleh Kementerian Riset dan Teknologi

Karena usia abtik fraktal yang baru tiga bulan, Nancy mengatakan usaha ini masih dalam situasi yang menantang. Mereka kesulitan mencari investor untuk menanam modalnya dalam pemasaran dan pengembangan produk ini. Sejak tahun lalu, mereka telah mengajukan sejumlah proposal pendanaan tambahan ke sejumlah perusahaan.

Namun, konsep ini belum diapresiasi dengan baik oleh para pemodal. Alasan mereka, tutur Nancy, inovasi ini belum teruji sehingga terlalu beresiko untuk dibantu secara permodalan. "Menurut saya itulah resiko sebuah inovasi baru. Tapi kami terus mengembangkan karya kami dan terus mencari investor yang sesuai untuk usaha ini," kata Nancy.

Menristek pemakai batik fraktal pertama

Untuk memasarkan usaha batik fraktalnya, mereka melakukan bermacam jurus. Selain lewat pameran, penjualan juga dilakukan secara personal, made to order, pemesanan khusus, pemasaran lewat internet, dan bekerja sama dengan beberapa desainer dan butik fesyen yang ada di Jakarta. "Hingga saat ini, pembeli kain batik fraktal kebanyakan pemakai perorangan," tutur Nancy.

Bahkan, hingga kini Menteri Ristek Kusmayanto Kadiman merupakan salah satu pelanggan setia batik fraktal ini. Ungkap Nancy, "Menristek adalah orang pertama yang memakai kemeja batik fraktal di hadapan publik lho."

Kini, selain membatik di atas kain, mereka juga membatik di atas media kayu dan akrilik. Bedanya, jika biasanya mereka menggunakan canting untuk menggambar motif batik fraktal di atas kain, maka untuk media kayu dan akrilik ini mereka menggunakan laser.

"Rencananya, batik fraktal akan dikembangkan dalam industri interior, furnitur, sepatu dan berbagai industri lainnya," kata Nancy.

Semangat Batik Sepanjang Masa

Niniek Elia Kasigit (78) mengenal bisnis batik sejak kanak-kanak. Ibu dan neneknya menggeluti usaha batik di Kota Solo, Jawa Tengah. Bisnis batik keluarga ini berakar jauh pada abad ke-19. Dengan semangat dan kreativitas yang tak pernah digerogoti usia, dia mempertahankan tradisi bisnis batik itu melewati pergantian abad dan jungkir balik selera.

Ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942, pabrik batik keluarga Niniek ditutup. Pada usia 12 tahun, ia pun berhenti sekolah karena Jepang menutup sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

Namun, berhenti sekolah tak memadamkan semangat belajarnya. Niniek melanjutkan belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan Mandarin secara informal, sekaligus menekuni keterampilan menjahit.

Pada usia 18 tahun, Niniek menikah dengan Somadi Kasigit yang juga berasal dari keluarga pengusaha batik di Solo. Setahun sebelum menikahi Niniek, Somadi mendirikan perusahaan Batik Bodronoyo pada 1947. Bodronoyo adalah nama lain Semar, tokoh panutan dalam pewayangan.

Tahun 1966 nama Batik Bodronoyo diganti menjadi Batik Semar karena nama Semar lebih akrab di masyarakat. Sampai sekarang Batik Semar menjadi salah satu produsen dan eksportir batik utama di Solo.

"Dulu, ibu saya membuat jarik (kain panjang) batik cap. Ketika mulai usaha sendiri, cap-cap dari perusahaan orangtua saya simpan,
kami buat batik tulis," ujar Ny Kasigit, panggilan Niniek.

Cap pada pembatikan dibuat dari kawat tembaga yang membentuk satu blok motif sebagai pengganti canting, alat lukis batik. Produksi batik cap volumenya lebih besar dibandingkan dengan batik tulis agar lebih ekonomis.

Mahalnya harga kain pascapenjajahan Jepang menjadi tantangan berat bagi produsen batik. Pasangan Niniek-Kasigit memilih memproduksi batik tulis dengan sejumlah pembatik di bengkel yang juga menjadi rumah tinggal mereka masa itu. "Batik kami waktu itu seluruhnya bercorak solo asli warna sogan."

Ketika perusahaan mulai berjalan, agresi militer Belanda tahun 1949 memaksa keluarga Kasigit mengungsi ke Surabaya. Di pengungsian, pasangan ini menggandeng beberapa pembatik dari Sidoarjo, memperkenalkan corak solo, dan menjual produksi mereka di sekitar Surabaya.

"Usaha di Surabaya tak berkembang, sulit mencari pembatik, juga karena tempat usahanya di pengungsian," tutur Ny Kasigit.

Kembali ke Solo awal 1950, pasangan ini memulai lagi produksi batik dengan lima karyawan. Kombinasi produksi batik tulis dengan cap baru dilakukan tahun 1953 setelah modal bertambah. "Sekitar tahun 1953 pengusaha batik di Solo juga terbantu karena
dapat jatah pembelian kain mori dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia," ujarnya.

Tahun 1954 mereka menyewalahan seluas hampir 5.000 meter persegi di kawasan Punggawan, Solo. Seiring perkembangan usaha, lahan ini mereka beli di kemudian hari. "Saya bagian ngurus pembatik, suami menyiapkan bahan-bahan warna
dan cari pasar," ujar Niniek tentang pembagian kerja dengan suami, masa itu.

Penyegaran

Menjelang tahun 1960 dia merasa perlu penyegaran kreasi pada batik. "Saya kok kayak bosen, terus kepikir kasih warna-warna lain,
tidak hanya sogan," ujarnya.

Perubahan warna juga mendorong adopsi beragam corak batik dari daerah lain. Namun, perubahan menuntut energi lebih. "Sampai saya tumpuk kain-kain yang sudah dibatik, menunggu warnanya siap. Wis embuh, rusak yo embuh," katanya menceritakan upaya memaksa suaminya mencari warna baru dengan membiarkan hasil pembatikan menumpuk dan terancam rusak.

Pasar menyambut baik kreasi baru ini. Dari 5 karyawan ketika berdiri, Batik Semar berkembang dengan sekitar 200 karyawan pada 1960-an.

Sejak abad ke-19, teknik printing yang diimpor dari Eropa untuk membuat kain bermotif batik mulai berkembang di Indonesia. Pasar pun menuntut produk batik yang lebih murah.

Membaca situasi ini, pada 1972 Batik Semar memproduksi kain cetakan bermotif batik. Produksi printing itu khusus untuk bahan
kemeja, sedangkan batik tulis dan cap tetap dikembangkan. "Setelah punya unit printing, kami baru buka toko dan memproduksi
garmen, bukan hanya batik," ujarnya. Sekarang Batik Semar mempunyai toko dan kantor cabang di 20 kota di Indonesia.

Tahun 1983 Somadi meninggal, dan Niniek terus mengembangkan Batik Semar. Sejak 1989 perusahaan ini mengekspor garmen dan kerajinan tangan berbahan batik ke Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia.

Habis terbakar

Ketika bisnis Batik Semar membesar, ruang pamer utama, bengkel produksi batik tulis, dan rumah tinggal Niniek dalam satu kompleks di Punggawan terbakar habis pada 2002. Kebakaran ini menghanguskan pula koleksi batik kuno yang diproduksi orangtuanya.

Di sini Niniek membuktikan kreativitas dan semangat kerja kerasnya tak terpatahkan. Hanya tiga bulan tutup, Batik Semar membuka toko lagi di bekas pabrik tekstil milik mendiang Somadi Kasigit di Jalan Adisucipto, Solo. Unit printing Batik Semar kembali berproduksi. Untuk batik tulis dan cap, dia bekerja sama dengan sejumlah perajin di sekitar Kota Solo.

Pelan-pelan dia memulihkan usahanya. Tahun 2006 ruang pamer utama Batik Semar selesai dibangun dengan konsep dan tatanan baru.

Kini dia menjadi Komisaris Utama PT Batik Semar. Niniek berkantor selama jam kerja dari Senin hingga Sabtu meski manajemen hanya berkantor Senin sampai Jumat. Desain motif pun tak luput dari perhatiannya. "Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu," ujarnya.

Bepergian menjadi resep untuk menyegarkan pikiran sekaligus mencari inspirasi desain baru. Ia mulai bepergian ketika mengurus
keikutsertaan Batik Semar pada berbagai pameran di luar negeri. "Sekali-sekali saya ikut jalan-jalan dan oleh-olehnya buku
desain dan inspirasi motif baru," ujarnya.

Usia yang terus bertambah tak menyurutkan semangat belajar Niniek. Itu pun tak hanya dalam lingkup yang berkaitan dengan Batik Semar. Ketika keempat anaknya kuliah di Jerman, misalnya, Niniek pun ikut belajar bahasa Jerman.

Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu.
Nur Hidayati

Edo Melangkah Lagi

Perancang busana Edward ”Edo” Hutabarat kini melangkah lagi, dua tahun setelah dia membuat batik katun yang bertahun-tahun kalah pamor dibandingkan dengan batik sutra menjadi mode kembali.

Edo tetap memakai batik, kali ini di atas sutra, mulai dari crepe de Chine, satin, hingga organdi. Pembatikan dikerjakan dengan cara tulis dan cap, tetapi dengan tingkat kehalusan prima. ”Batik harus juga tampil mewah dan diterima lebih luas lagi,” kata dia.

Sebelum Edo, batik sudah coba diangkat pamornya menjadi produk mewah. Iwan Tirta memperkenalkan batik sutra dengan prada emas. Sementara Edo menyasar orang muda dan yang merasa muda, meskipun dia menggunakan sutra.

Berulang kali Edo menekankan dia bukan pembatik. Tetapi, minat yang sungguh-sungguh pada batik terasa dalam karyanya. Gaun malam panjang dan pendek atau gaun dan jaket untuk siang hari terlihat dirancang sejak masih berupa selembar kain kosong tanpa motif.

Gaun panjang bermotif parang di atas organdi, misalnya, dibatik cap di atas kain selebar 1,5 meter sepanjang 5 meter untuk menghasilkan satu gaun berpotongan A dengan rok melingkar penuh. ”Tiap lembar kain menjadi satu gaun,” papar Edo.

Dia meminjam banyak motif batik tua, seperti motif buketan—dari kata bouquet, karangan bunga—yang dipopulerkan pada awal abad ke-20 oleh pengusaha batik pesisir keturunan Tionghoa atau peranakan Indo-Belanda untuk keperluan perempuan Belanda atau Indo-Belanda di Jawa.

Juga motif hokokai, populer saat invasi Jepang ke Jawa, yang ditandai oleh motif bunga krisan dan kupu-kupu serta motif banji dan motif mitologi ”anjing-singa” kilin.

Berbagai bangsa

Pilihan MasterCard Asia Pasifik menampilkan karya terbaru Edo di Bali pada Sabtu (15/11) malam dengan tamu dari berbagai bangsa itu memperlihatkan batik Indonesia diakui dan dapat diterima secara internasional.

Karena alasan itu, Edo menggunakan materi yang lebih mewah, yaitu sutra, serta pembatikan tulis maupun cap yang dikerjakan oleh artisan-artisan batik yang ahli di bidangnya masing-masing.

Laweyan yang terkenal karena kualitas batik capnya diserahi membuat batik cap dan pembatik di Kauman diminta membuat batik tulis halus warna sogan bermotif hokokai. Sedangkan artisan batik di Pekalongan diminta membuat batik gaya pesisiran yang memang menjadi keahlian mereka, dengan warna diperbarui.

Edo terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan padu-padan dengan materi nonbatik untuk menghasilkan tampilan baru. Dia melakukannya dengan memadukan batik bermotif parang hitam dan putih dengan mantel sutra bermotif bunga merah jambu. Gaun bermotif parang hitam-putih diberi pundak motif bergaris dan mantel bermotif polkadot.

Padu padan ini juga untuk memberi kemungkinan penggunaan yang luas, termasuk ketika dia membuat kerah palsu merah darah yang dapat dilepas yang dipadukan dengan gaun bergaris A motif banji. Warna-warna cerah yang disesuaikan dengan arah mode membuat gaun-gaun ini tampak riang dan muda.

Itulah keyakinan Edo. Orang muda adalah pembawa perubahan dan melalui mereka demam batik dapat bertahan. Artinya, ketika orang terus mau memakai batik—bukan kain print bermotif batik—para perajin batik dapat terus hidup di tengah impitan ekonomi yang saat ini tak tampak cerah.

Ninuk Mardiana Pambudy