Batik, Warisan Budaya Nasional Menuju "Internasional"

Kain-kain tradisional Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya corak yang berbeda maupun serupa. Perkembangan corak tersebut juga dipengaruhi letak geografis, sejarah lokal, dan unsur budaya lainnya.

Batik selama ini dianggap sesuatu yang ada dengan sendirinya dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Hanya saja, tak ada upaya untuk mengembangkan batik sebagai budaya nasional.

Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya, memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat.

Perkembangan batik juga bisa dilihat dari aspek diplomatiknya. Selama ini batik selalu digunakan oleh Presiden saat menerima tamu-tamu kenegaraan. Bahkan, jika Indonesia menghadiri even internasional, para perwakilannya selalu menggunakan batik sebagai ciri khas. Kain ini juga sudah "diterima" oleh pemimpin dunia karena sering dijadikan sovenir.

Tak hanya presiden, menteri dan seluruh instasi baik swasta maupun pemerintahan selalu menggunakan batik untuk acara resmi. Begitu juga dengan siswa sekolah, pada hari tententu, batik digunakan sebagai seragam.

Dari segi bisnis, industri batik sebenarnya cukup mudah dilakukan karena pasarnya tersebar dari tingkat lokal, regional, antarpulau, hingga internasional. Selain harganya yang murah, kreasi produk batik tak sebatas pakaian, namun juga asesoris interior. Ya batik menjadi budaya bangsa yang bisa diandalkan Indonesia sebagai sumber pendapatn devisa yang diandalkan. Akankah batik bisa setara dengan jas yang bisa dipakai oleh seluruh bangsa di dunia?

Evolution Of Batik

Goresan canting pada kain putih ini dapat menghasilkan karya yang sangat tinggi, yang lebih dikenal sebagai batik tulis. Dalam perjalanan panjangnya, batik mengalami evolusi yang dinamis dan mengesankan. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi produsen maupun para pelaku fashion.

Seiring berjalannya waktu, batik semakin banyak diproduksi dan diminati hingga ke berbagai pelosok negara. Tak salah, pabila desainer yang sudah berpengalaman selama lebih dari 32 tahun dengan bahan batik ini, menggelar acara "Evolution of Batik" bertempat di Ritz Carlton, Pacific Place Jakarta.

Nuansa evolusi pada rancangannya kali ini semakin menonjol dengan pemilihan batik Betawi, batik Madura dan batik Papua. Beragam busana yang dihadirkan, begitu mempesona dan mengesankan. Baik dalam potongan klasik maupun glamour, hingga sentuhan kasual yang menonjolkan batik sebagai busana yang semakin chic dan trendy.

Corak dan warna batik sendiri, terus berevolusi sesuai dengan perkembangan jaman. Mulanya, motif dan corak batik hanya terbatas pada gambar binatang dan tanaman. Namun kini, seiring dengan penyebaran batik yang kian meluas, baik corak maupun warna, batik terus berkembang menyesuaikan karakter dan filosofi budaya setempat.

Keindahan batik yang identik dengan pakaian ternyata terlihat eksotik jika diaplikasikan pada alas kaki, seperti sandal dan sepatu. Perpaduan motif tradisional dengan teknik tambal hingga menjadi batik kontemporer yang unik ini ternyata banyak juga peminatnya. Seperti aplikasi batik pada alas kaki yang telah diprodiksi Hasan Batik Bandung sejak 2006 silam.

Proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu yang cukup lama membuat harganya relatif tidak murah,
sekitar 250 ribu hingga 500 ribu rupiah. Fitriani Lestari mengungkapkan untuk menyelesaikan kain batik ukuran satu meter persegi saja ia membutuhkan waktu sekitar satu bulan, belum lagi proses pembuatan alas kakinya. Sehingga wajar jika nilai jualnya tinggi dan dinikmati oleh kalangan tertentu yang kebanyakan remaja,

Alas kaki berbagai macam model ini dibuat untuk dipakai pria dan wanita dengan variasi yang menarik dan corak warna yang menonjol sebagai ciri khas batik kontemporer. Selain alas kaki, Hasan Batik Bandung yang turut sebagai salah satu peserta pameran Evolution of Batik, di Jakarta memproduksi tas dan yang lainnya. Serta produk utamanya ialah batik interior.

Batik dan Harajuku Akan Bertemu di Tokyo

Peringatan 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang tidak hanya ramai digelar di Indonesia khususnya Jakarta, namun juga di Jepang. Komunitas Indonesia di Jepang (ICJ) akan mempersembahkan JAVARIZM, acara yang menyuguhkan pertautan budaya Indonesia-Jepang dan mempererat hubungan kedua negara Sabtu (29/11) besok di Fifty Seven, Roppongi, Tokyo.

Salah satu kombinasi budaya yang akan dipamerkan dalam ajang tersebut adalah perpaduan batik dan budaya Harajuku. Siapa tidak kenal fashion style ala Harajuku? Distrik Harajuku yang terletak di Tokyo, Jepang memang terkenal sebagai tempat "nongkrong" orang-orang yang stylish dan fashionable. Gaya Harajuku sendiri merupakan semacam street fashion atau fashion jalanan yang tidak mengenal peraturan.

Nah, apa jadinya bila gaya ala Harajuku yang ngepop digabungkan dengan batik tradisional Indonesia? Hasilnya adalah "Harjutik" atau Harajuku with Batik karya seniman asal Bandung, Indonesia, Tiarma Sirait.

Tiarma adalah seorang pelaku seni di Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional. Salah satu prestasinya yang terakhir adalah mewakili Indonesia dalam acara Olympic Fine Arts di Beijing, Agustus lalu. Tiarma juga pernah menjadi artis tamu dan melakukan pameran di berbagai museum di Fukuoka, UK, Swedia dan beberapa negara lainnya.

Dalam JAVARIZM nanti, Tiarma akan didukung oleh model-model profesional Jepang yang secara sukarela membantu kesuksesan penyelenggaraan acara ini. Keberadaan para model ini merupakan salah satu bentuk kerjasama yang diberikan oleh generasi muda Jepang.

Selain peragaan busana, JAVARIZM juga akan menghadirkan musisi Indonesia yaitu DJ Anton dan DJ Adit yang tergabung dalam kelompok "Agrikulture". Kelompok ini memiliki prestasi yang baik dan namanya sudah tercatat di dunia musik elektronik di Asia Tenggara.

JAVARIZM juga akan didukung oleh kehadiran seorang penyanyi Jepang, Miou Fujinaga yang akan menyumbangkan sebuah lagu berjenis folk/neo-traditional. Selain menyanyi, Miou sekaligus merangkap sebagai MC dan berpasangan dengan Iwet Ramadhan, MC dan penyiar radio kondang di Indonesia. Tidak ketinggalan, anggota ICJ sendiri, David John, pesulap kelahiran Jambi yang pernah menunjukkan kebolehannya di Las Vegas dan merupakan salah satu Magician Member dari Magic Castle - Hollywood ini, akan melengkapi acara dengan suguhan sulapnya.

Acara ini akan diadakan di Fifty Seven, Roppongi, Tokyo, Jepang, Sabtu, 29 November 2008, pukul 19.00 – 22.00 waktu setempat. Informasi lebih lanjut mengenai acara ini silahkan kunjungi http://icjnetwork.jp atau hubungi ICJ (Indonesian Community in Japan) di icjteam@googlegroups.com.

Batik Pekalongan Kurang Promosi Internasional

BANDUNG, SABTU - Batik pekalongan sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dipasarkan, baik ke dalam negeri maupun diekspor. Namun, potensi tersebut terutama untuk luar negeri, belum dapat dimanfaatkan optimal karena batik pekalongan kurang dipromosikan.

Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan, Slamet Prihantono di Bandung, Sabtu (29/11), mengatakan, pihaknya hanya mampu mengikutsertakan pengusaha batik dalam pameran internasional sekali setiap tahun.

Mereka yang dipilih adalah pelaku usaha kecil menengah (UKM). Masalahnya, promosi itu terkendala anggaran yang terbatas. Biaya mendaftarkan dua UKM dalam satu pameran sekitar Rp 150 juta. Slamet mengatakan, semakin sering pelaku UKM mengikuti pameran akan lebih baik.

Bila perlu, batik pekalongan promosi di luar negeri setiap bulan. Promosi yang pernah dilakukan di Malaysia tahun 2007 dan Singapura tahun 2006, katanya. Oleh karena itu, pemerintah pusat serta Provinsi Jawa Tengah diminta ikut mempromosikan batik pekalongan di luar negeri.

Batik Harajuku Pukau Muda-Mudi Jepang

TOKYO, Tepuk tangan riuh diiringi hentakan musik hip-hop menjadi saksi kemeriahan pagelaran busana batik bergaya Harajuku (busana kontemporer anak muda Jepang) yang dihadiri sekitar 200 kawula muda Jepang yang memadati sebuah klub malam di kawasan Roppongi, Tokyo, Sabtu malam.

Sebanyak 44 koleksi dari perancang busana Tiarma Sirait ditampilkan oleh belasan model cantik dan langsing asal Jepang, sebagai bagian dari acara peringatan 50 tahun hubungan persahabatan Indonesia - Jepang.

Setiap kali sejumlah model tampil di atas catwalk, decak kagum dan tatapan mata pengunjung tidak pernah lepas dari lenggak-lenggok gerakan para model yang malam itu mengenakan batik dengan warna yang mencolok mata berpadu dengan corak batik yang saling "bertabrakan".

"Heeee, sugoi (hebat, red)," begitu komentar seorang gadis muda Jepang usai menyaksikan pagelaran yang dihadiri juga oleh kalangan diplomat, wartawan dan juga sejumlah pebisnis muda Jepang.

"Saya memang sengaja membuat busana batik untuk kalangan anak muda Jepang, kalangan yang dengan mudah untuk tertarik dengan sesuatu yang baru," kata Tiarma Sirait kepada Antara usai pagelaran.

Tiarma yang baru saja mendapat penghargaan bergengsi dari Olympic Fine Art atas karya lukisnya itu begitu tertarik menggelar pameran busana batik yang menargetkan kaum muda Jepang. Begitu mendapat tawaran dari Javarism, panitia yang menggelar acara tersebut, ia langsung saja menyatakan setuju.

"Memperkenalkan Indonesia saat ini tentu memerlukan cara yang lebih kreatif. Batik bergaya Harajuku bisa menjadi awal perkenalan akan Indonesia dari cara yang bisa diterima kalangan muda Jepang," kata Tiarma yang juga memboyong sebanyak 200 karyanya untuk dijual pada malam itu.

Menurut dia batik memang sudah cukup dikenal di Jepang, tetapi belum menjadi suatu fashion pilihan, padahal potensi batik untuk menjadi busana dunia sangat luar biasa. Tokyo, sebagai salah satu bagian dari tren mode dunia merupakan tempat yang perlu terus dipilih sebagai ajang pagelaran batik agar memiliki gaung yang juga mendunia.

Sementara itu, Dubes Jusuf Anwar mengemukakan bahwa pagelaran "Harjutik" atau perpaduan gaya Harajuku dan batik merupakan keberanian anak muda Indonesia untuk menampilkan karya kreatifnya di luar negeri.

"Memperkenalkan Indonesia tidak selalu melalui acara-acara resmi, tetapi pagelaran seni busana juga bisa menjadi ajang diplomasi yang baik untuk mengenalkan Indonesia secara berbeda," kata mantan menteri keuangan itu.

ABD

Yuli Astuti, Demi Selembar Kapal Kandas

”Sudah biasa, saya pakai sepeda motor ke mana-mana. Saya harus sering pergi untuk sekadar belanja pewarna atau memenuhi jadwal belajar teknik membatik. Untuk itu saya bisa ke Solo, Yogyakarta, atau Semarang. Kadang kecapekan, tetapi setelah melihat hasil batik yang saya buat, semua rasa lelah hilang,” kata Yuli Astuti.

Perempuan berusia 28 tahun ini ditemui di rumahnya, di tengah sawah di Desa Karang Malang RT 04 RW 02 Nomor 11, Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Agustus lalu. Saat itu Yuli baru kembali dari Yogyakarta yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Kudus. Dia mengikuti pameran batik di Yogyakarta. Tidak tampak kelelahan di wajahnya, dia justru begitu bersemangat setelah mengeruk pengalaman dari kegiatan yang diikutinya.

Perempuan berkulit putih ini adalah salah seorang dari segelintir warga asli Kudus yang mempertahankan dan mengembangkan pola-pola batik lokal. Salah satu motif batik lokal yang tidak ditemui di daerah lain di Indonesia adalah motif kapal kandas, berbentuk kapal terbalik.

Menurut Yuli, orang-orang tua pembatik di Kudus masih sering menggunakan motif ini. Hanya saja, sejarah pasti tentang motif tersebut sulit sekali digali. Bahkan, tak hanya motif kapal kandas, tetapi selama dua tahun terakhir dia mencoba mencari runutan sejarah batik kudus.

Tidak hanya menelusurinya dari para tetua di kawasan Kota Kretek tersebut, Yuli juga meminta pendapat dari pengelola persatuan batik tulis di Semarang dan Yogyakarta, para kolektor batik, hingga para pembatik senior di kawasan pesisir di Tuban sampai Jakarta.

Selama bergerilya ke sana dan kemari mencari asal-usul batik kudus, Yuli harus merogoh saku paling sedikit Rp 60 juta untuk menebus batik tulis kudus kuno dari tangan kolektor.

”Data yang didapat dari berbagai cerita menunjukkan, motif kapal kandas diilhami dari kandasnya kapal China di kawasan ini, mungkin lebih dari 200 tahun lalu. Kapal bangsa China tersebut kandas dan penumpangnya yang selamat kemudian bermukim di lembah Gunung Muria atau Kudus. Batik kudus sama seperti batik di daerah pesisir lainnya, amat dipengaruhi budaya China,” kata Yuli.

Kapal kandas bukan pertanda kemalangan, tetapi justru era baru kehidupan dan kebudayaan di Kudus. Karena itu, motif kapal kandas terus diabadikan dalam lembaran-lembaran batik tulis membaur dengan motif lain yang menggambarkan potensi alam lembah Muria bertahun- tahun silam hingga kini.

Dalam lembaran-lembaran batik hasil karya Yuli, tergambar juga motif buah kopi, jahe-jahean, palijadi, patijotho (sejenis tanaman obat), ikan, dan motif- motif baru hasil kreasinya seperti menara kudus, salah satu ikon Kota Kudus. Motif buah kopi juga menjadi andalan selain kapal kandas karena menggambarkan produk unggulan Kudus yang banyak ditanam di lereng Gunung Muria.

Dari hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda. Memperkuat pendapat Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu.

Sampai era 1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa. Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik menjadi buruh linting di pabrik rokok.

Sejak 1980-an praktis batik kudus tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya. Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50 tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Pelatihan membatik

Dua tahun lalu, Yuli yang berasal dari keluarga perajin bordir pakaian ditawari pelatihan membatik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rembang. Dari sekitar 10 orang yang dibina, hanya Yuli yang terus melaju. Dia tetap bersemangat membangkitkan kembali kejayaan batik kudus.

Ia mau belajar dari nol, mulai dari memilih kain yang tepat, menggambar motif, memakaikan lapisan malam, hingga pencelupan untuk pewarnaan. Ratusan lembar kain batik gagal masih teronggok di rumahnya sebagai pengingat kerasnya perjuangan. Namun, belakangan ini ratusan lembar batik tulis buatannya sudah diserap pasar. Pada setiap pameran, batik tulisnya seharga Rp 350.000-Rp 2 juta per lembar ludes diborong konsumen.

Bahkan, bersama komunitas batik tulis di Semarang, Yogyakarta, dan Tuban, Yuli sering mengikuti pameran batik tingkat nasional maupun internasional. Kegigihannya mengembangkan batik kudus membuat batik ini dilirik UNESCO dan sedang dalam proses penetapan resmi sebagai salah satu warisan sejarah dunia.

Di samping itu, Yuli juga merintis pelatihan membatik bagi warga desanya meskipun baru tiga dari 10 orang binaannya yang mahir membatik.

Meski untuk semua jerih payah itu tubuhnya menjadi makin kurus, berat badannya turun dari sekitar 60 kilogram menjadi 45 kg, Yuli justru merasa segar. Terlebih jerih payahnya semakin dihargai orang.

Batik tulis karyanya mulai diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.

Namun, perempuan yang masih melajang ini tetap gundah karena motif-motif asli batik kudus belum semua terungkap. Kekecewaan menerpa Yuli ketika mengetahui ada buku yang memuat motif-motif kuno batik kudus justru tersimpan di Belanda, sementara dia tak punya akses maupun uang untuk mendapatkannya kembali.

”Belakangan ini batik sedang tren sehingga langkah untuk memperkenalkan batik kudus terasa lebih mudah. Namun, suatu saat tren fashion pasti akan berubah. Supaya tidak kandas lagi, saya harus memperkuat batik kudus dengan penggalian sejarah dan pengayaan motif- motifnya. Ini yang selalu menjadi pekerjaan rumah saya,” kata Yuli.

Mempopulerkan Batik dengan Hitungan Matematika

Batik ternyata tidak melulu berkaitan dengan seni tradisional. Selama ini kita hanya mengenal batik tulis dan batik cap dengan proses pengerjaan murni buatan tangan.

Namun ternyata, dengan hitungan matematika motif batik dapat dibuat dengan mudah lewat komputer. Hasilnya, motif batik dapat dibuat dengan waktu relatif cepat, dan mudah diperbanyak. Tak hanya itu, selain bisa diaplikasikan di selembar kain, motif batik buatan komputer ini juga bisa diaplikasikan di media kayu dan akrilik.

Tiga serangkai asal Bandung , Muhammad Lukman, Nancy Margried Panjaitan, dan Yun Hariadi mencoba "memodernkan" batik. Setelah melalui penelitian yang panjang sejak tahun 2007, mereka pun meluncurkan batik fraktal, suatu batik dengan desain geometri yang terus berulang, [ada Mei silam di Bandung.

Menurut Head of Business Pixel People Project Research & Design Nancy Margried Panjaitan, semula mereka bertiga hanya teman ngobrol di sela-sela acara desain dan mode yang banyak digelar di Bandung. Akhirnya mereka bertiga membentuk kelompok kerja yang bernama Pixel People Project tahun 2007 lalu. Selain batik fraktal, mereka menghasilkan karya, seperti robot, desain gedung dan sebagainya. "Kami tak memiliki satu pemimpin dan tak memiliki kantor," tutur Nancy.

Mereka menganut konsep mobile office. Untuk mengerjakan sesuatu, mereka cukup mengkoordinasikan pekerjaan lewat alat komunikasi dan bertemu muka sesekali saja.

Ketika mendirikan usaha, mereka bertiga harus banyak bertaruh. Nancy dan Luki rela meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai karyawan dan berpindah menjadi pengusaha. Modal awal senilai Rp 20 juta berasal dari membobol tabungan masing-masing, sebagian besar dihabiskan untuk penelitian. Tak sampai satu tahun perusahaan bisa menutup modal usaha. Maklum, mereka membanderol produknya dengan harga tinggi, yakni antara Rp 500.000 dan Rp 20 juta per lembar kain batik.

Di tengah penelitian mereka tentang motif batik, mereka bertiga sempat diundang untuk mempresentasikan penemuannya dalam 10th Generative Art Conference, Politecnico, di Milan, Italia, Desember 2007 lalu.

Semenjak batik fraktal diluncurkan mereka mendapat dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi. Tiga serangkai ini kemudian ditawari untuk melakukan pameran, Mei 2008. Semua kegiatan selama pameran berlangsung disponsori oleh Kementerian Riset dan Teknologi

Karena usia abtik fraktal yang baru tiga bulan, Nancy mengatakan usaha ini masih dalam situasi yang menantang. Mereka kesulitan mencari investor untuk menanam modalnya dalam pemasaran dan pengembangan produk ini. Sejak tahun lalu, mereka telah mengajukan sejumlah proposal pendanaan tambahan ke sejumlah perusahaan.

Namun, konsep ini belum diapresiasi dengan baik oleh para pemodal. Alasan mereka, tutur Nancy, inovasi ini belum teruji sehingga terlalu beresiko untuk dibantu secara permodalan. "Menurut saya itulah resiko sebuah inovasi baru. Tapi kami terus mengembangkan karya kami dan terus mencari investor yang sesuai untuk usaha ini," kata Nancy.

Menristek pemakai batik fraktal pertama

Untuk memasarkan usaha batik fraktalnya, mereka melakukan bermacam jurus. Selain lewat pameran, penjualan juga dilakukan secara personal, made to order, pemesanan khusus, pemasaran lewat internet, dan bekerja sama dengan beberapa desainer dan butik fesyen yang ada di Jakarta. "Hingga saat ini, pembeli kain batik fraktal kebanyakan pemakai perorangan," tutur Nancy.

Bahkan, hingga kini Menteri Ristek Kusmayanto Kadiman merupakan salah satu pelanggan setia batik fraktal ini. Ungkap Nancy, "Menristek adalah orang pertama yang memakai kemeja batik fraktal di hadapan publik lho."

Kini, selain membatik di atas kain, mereka juga membatik di atas media kayu dan akrilik. Bedanya, jika biasanya mereka menggunakan canting untuk menggambar motif batik fraktal di atas kain, maka untuk media kayu dan akrilik ini mereka menggunakan laser.

"Rencananya, batik fraktal akan dikembangkan dalam industri interior, furnitur, sepatu dan berbagai industri lainnya," kata Nancy.

Semangat Batik Sepanjang Masa

Niniek Elia Kasigit (78) mengenal bisnis batik sejak kanak-kanak. Ibu dan neneknya menggeluti usaha batik di Kota Solo, Jawa Tengah. Bisnis batik keluarga ini berakar jauh pada abad ke-19. Dengan semangat dan kreativitas yang tak pernah digerogoti usia, dia mempertahankan tradisi bisnis batik itu melewati pergantian abad dan jungkir balik selera.

Ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942, pabrik batik keluarga Niniek ditutup. Pada usia 12 tahun, ia pun berhenti sekolah karena Jepang menutup sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

Namun, berhenti sekolah tak memadamkan semangat belajarnya. Niniek melanjutkan belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan Mandarin secara informal, sekaligus menekuni keterampilan menjahit.

Pada usia 18 tahun, Niniek menikah dengan Somadi Kasigit yang juga berasal dari keluarga pengusaha batik di Solo. Setahun sebelum menikahi Niniek, Somadi mendirikan perusahaan Batik Bodronoyo pada 1947. Bodronoyo adalah nama lain Semar, tokoh panutan dalam pewayangan.

Tahun 1966 nama Batik Bodronoyo diganti menjadi Batik Semar karena nama Semar lebih akrab di masyarakat. Sampai sekarang Batik Semar menjadi salah satu produsen dan eksportir batik utama di Solo.

"Dulu, ibu saya membuat jarik (kain panjang) batik cap. Ketika mulai usaha sendiri, cap-cap dari perusahaan orangtua saya simpan,
kami buat batik tulis," ujar Ny Kasigit, panggilan Niniek.

Cap pada pembatikan dibuat dari kawat tembaga yang membentuk satu blok motif sebagai pengganti canting, alat lukis batik. Produksi batik cap volumenya lebih besar dibandingkan dengan batik tulis agar lebih ekonomis.

Mahalnya harga kain pascapenjajahan Jepang menjadi tantangan berat bagi produsen batik. Pasangan Niniek-Kasigit memilih memproduksi batik tulis dengan sejumlah pembatik di bengkel yang juga menjadi rumah tinggal mereka masa itu. "Batik kami waktu itu seluruhnya bercorak solo asli warna sogan."

Ketika perusahaan mulai berjalan, agresi militer Belanda tahun 1949 memaksa keluarga Kasigit mengungsi ke Surabaya. Di pengungsian, pasangan ini menggandeng beberapa pembatik dari Sidoarjo, memperkenalkan corak solo, dan menjual produksi mereka di sekitar Surabaya.

"Usaha di Surabaya tak berkembang, sulit mencari pembatik, juga karena tempat usahanya di pengungsian," tutur Ny Kasigit.

Kembali ke Solo awal 1950, pasangan ini memulai lagi produksi batik dengan lima karyawan. Kombinasi produksi batik tulis dengan cap baru dilakukan tahun 1953 setelah modal bertambah. "Sekitar tahun 1953 pengusaha batik di Solo juga terbantu karena
dapat jatah pembelian kain mori dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia," ujarnya.

Tahun 1954 mereka menyewalahan seluas hampir 5.000 meter persegi di kawasan Punggawan, Solo. Seiring perkembangan usaha, lahan ini mereka beli di kemudian hari. "Saya bagian ngurus pembatik, suami menyiapkan bahan-bahan warna
dan cari pasar," ujar Niniek tentang pembagian kerja dengan suami, masa itu.

Penyegaran

Menjelang tahun 1960 dia merasa perlu penyegaran kreasi pada batik. "Saya kok kayak bosen, terus kepikir kasih warna-warna lain,
tidak hanya sogan," ujarnya.

Perubahan warna juga mendorong adopsi beragam corak batik dari daerah lain. Namun, perubahan menuntut energi lebih. "Sampai saya tumpuk kain-kain yang sudah dibatik, menunggu warnanya siap. Wis embuh, rusak yo embuh," katanya menceritakan upaya memaksa suaminya mencari warna baru dengan membiarkan hasil pembatikan menumpuk dan terancam rusak.

Pasar menyambut baik kreasi baru ini. Dari 5 karyawan ketika berdiri, Batik Semar berkembang dengan sekitar 200 karyawan pada 1960-an.

Sejak abad ke-19, teknik printing yang diimpor dari Eropa untuk membuat kain bermotif batik mulai berkembang di Indonesia. Pasar pun menuntut produk batik yang lebih murah.

Membaca situasi ini, pada 1972 Batik Semar memproduksi kain cetakan bermotif batik. Produksi printing itu khusus untuk bahan
kemeja, sedangkan batik tulis dan cap tetap dikembangkan. "Setelah punya unit printing, kami baru buka toko dan memproduksi
garmen, bukan hanya batik," ujarnya. Sekarang Batik Semar mempunyai toko dan kantor cabang di 20 kota di Indonesia.

Tahun 1983 Somadi meninggal, dan Niniek terus mengembangkan Batik Semar. Sejak 1989 perusahaan ini mengekspor garmen dan kerajinan tangan berbahan batik ke Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia.

Habis terbakar

Ketika bisnis Batik Semar membesar, ruang pamer utama, bengkel produksi batik tulis, dan rumah tinggal Niniek dalam satu kompleks di Punggawan terbakar habis pada 2002. Kebakaran ini menghanguskan pula koleksi batik kuno yang diproduksi orangtuanya.

Di sini Niniek membuktikan kreativitas dan semangat kerja kerasnya tak terpatahkan. Hanya tiga bulan tutup, Batik Semar membuka toko lagi di bekas pabrik tekstil milik mendiang Somadi Kasigit di Jalan Adisucipto, Solo. Unit printing Batik Semar kembali berproduksi. Untuk batik tulis dan cap, dia bekerja sama dengan sejumlah perajin di sekitar Kota Solo.

Pelan-pelan dia memulihkan usahanya. Tahun 2006 ruang pamer utama Batik Semar selesai dibangun dengan konsep dan tatanan baru.

Kini dia menjadi Komisaris Utama PT Batik Semar. Niniek berkantor selama jam kerja dari Senin hingga Sabtu meski manajemen hanya berkantor Senin sampai Jumat. Desain motif pun tak luput dari perhatiannya. "Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu," ujarnya.

Bepergian menjadi resep untuk menyegarkan pikiran sekaligus mencari inspirasi desain baru. Ia mulai bepergian ketika mengurus
keikutsertaan Batik Semar pada berbagai pameran di luar negeri. "Sekali-sekali saya ikut jalan-jalan dan oleh-olehnya buku
desain dan inspirasi motif baru," ujarnya.

Usia yang terus bertambah tak menyurutkan semangat belajar Niniek. Itu pun tak hanya dalam lingkup yang berkaitan dengan Batik Semar. Ketika keempat anaknya kuliah di Jerman, misalnya, Niniek pun ikut belajar bahasa Jerman.

Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu.
Nur Hidayati

Edo Melangkah Lagi

Perancang busana Edward ”Edo” Hutabarat kini melangkah lagi, dua tahun setelah dia membuat batik katun yang bertahun-tahun kalah pamor dibandingkan dengan batik sutra menjadi mode kembali.

Edo tetap memakai batik, kali ini di atas sutra, mulai dari crepe de Chine, satin, hingga organdi. Pembatikan dikerjakan dengan cara tulis dan cap, tetapi dengan tingkat kehalusan prima. ”Batik harus juga tampil mewah dan diterima lebih luas lagi,” kata dia.

Sebelum Edo, batik sudah coba diangkat pamornya menjadi produk mewah. Iwan Tirta memperkenalkan batik sutra dengan prada emas. Sementara Edo menyasar orang muda dan yang merasa muda, meskipun dia menggunakan sutra.

Berulang kali Edo menekankan dia bukan pembatik. Tetapi, minat yang sungguh-sungguh pada batik terasa dalam karyanya. Gaun malam panjang dan pendek atau gaun dan jaket untuk siang hari terlihat dirancang sejak masih berupa selembar kain kosong tanpa motif.

Gaun panjang bermotif parang di atas organdi, misalnya, dibatik cap di atas kain selebar 1,5 meter sepanjang 5 meter untuk menghasilkan satu gaun berpotongan A dengan rok melingkar penuh. ”Tiap lembar kain menjadi satu gaun,” papar Edo.

Dia meminjam banyak motif batik tua, seperti motif buketan—dari kata bouquet, karangan bunga—yang dipopulerkan pada awal abad ke-20 oleh pengusaha batik pesisir keturunan Tionghoa atau peranakan Indo-Belanda untuk keperluan perempuan Belanda atau Indo-Belanda di Jawa.

Juga motif hokokai, populer saat invasi Jepang ke Jawa, yang ditandai oleh motif bunga krisan dan kupu-kupu serta motif banji dan motif mitologi ”anjing-singa” kilin.

Berbagai bangsa

Pilihan MasterCard Asia Pasifik menampilkan karya terbaru Edo di Bali pada Sabtu (15/11) malam dengan tamu dari berbagai bangsa itu memperlihatkan batik Indonesia diakui dan dapat diterima secara internasional.

Karena alasan itu, Edo menggunakan materi yang lebih mewah, yaitu sutra, serta pembatikan tulis maupun cap yang dikerjakan oleh artisan-artisan batik yang ahli di bidangnya masing-masing.

Laweyan yang terkenal karena kualitas batik capnya diserahi membuat batik cap dan pembatik di Kauman diminta membuat batik tulis halus warna sogan bermotif hokokai. Sedangkan artisan batik di Pekalongan diminta membuat batik gaya pesisiran yang memang menjadi keahlian mereka, dengan warna diperbarui.

Edo terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan padu-padan dengan materi nonbatik untuk menghasilkan tampilan baru. Dia melakukannya dengan memadukan batik bermotif parang hitam dan putih dengan mantel sutra bermotif bunga merah jambu. Gaun bermotif parang hitam-putih diberi pundak motif bergaris dan mantel bermotif polkadot.

Padu padan ini juga untuk memberi kemungkinan penggunaan yang luas, termasuk ketika dia membuat kerah palsu merah darah yang dapat dilepas yang dipadukan dengan gaun bergaris A motif banji. Warna-warna cerah yang disesuaikan dengan arah mode membuat gaun-gaun ini tampak riang dan muda.

Itulah keyakinan Edo. Orang muda adalah pembawa perubahan dan melalui mereka demam batik dapat bertahan. Artinya, ketika orang terus mau memakai batik—bukan kain print bermotif batik—para perajin batik dapat terus hidup di tengah impitan ekonomi yang saat ini tak tampak cerah.

Ninuk Mardiana Pambudy

Sejarah Motif Batik Kraton

PROF DR SUJOKO (ALM), PAKAR SENI RUPA DARI ITB PERNAH MENYAMPAIKAN DI YOGYAKARTA, BAHWA PELUKIS PERTAMA DARI INDONESIA ADALAH PEREMPUAN JAWA YANG “MELUKIS” DENGAN CANTING DI ATAS BAHAN TENUNANNYA.

Melukis dengan canting, sudah jelas yang dimaksud tentu membantik. Dan, merujuk pada penjelasan waktu pada kalimat sang profesor tersebut, sudah sangat menjelaskan pula bahwa batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia.

Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” yang diaplikasikan ke atas kain untuk menahan masuknya bahan pewarna.

Dari zaman kerajaan Mataram Hindu sampai masuknya agama demi agama ke Pulau Jawa, sejak datangnya para pedagang India, Cina, Arab, yang kemudian disusul oleh para pedagang dari Eropa, sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dalam perjalanannya memunculkan Kraton Yogyakarta dan Surakarta, batik telah hadir dengan corak dan warna yang dapat menggambarkan zaman dan lingkungan yang melahirkan.

Pada abad XVII, batik bertahan menjadi bahan perantara tukar-menukar di Nusantara hingga tahun-tahun permulaan abab XIX. Memang. Ketika itu batik di Pulau Jawa yang menjadi suatu hasil seni di dalam kraton telah menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara.

Menurut Mari S Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, di lingkungan bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik.

Dahulu, kain batik dibuat oleh para putri sultan sejak masih berupa mori, diproses, hingga menjadi kain batik siap pakai. Semuanya dikerjakan oleh para putri dibantu para abdi dalem. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Murdijati Gardjito dari Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, membatik di lingkungan kraton merupakan pekerjaan domestik para perempuan. Sebagai perempuan Jawa, ada keharusan bisa membatik, karena membatik sama dengan melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa, dan olah karsa.

Keberadaan batik Yogyakarta tentu saja tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris.

Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan istana.

Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik yang termasuk larangan antara lain: Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak.

Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Kraton Surakarta kepada Kraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan kraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik.

Kalaupun batik di kraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Kraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut.

Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Kraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati.

Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri kraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Kraton KasultananYogyakarta dan warna batik Kraton Surakarta.

Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Kraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Kraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Kraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya.

Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain: Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya.

Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan kraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya.

Barangkali sah-sah saja. Tetapi selama itu masih bernama batik, maka sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa pemilik aslinya. Bukankah kata “batik” (amba titik), sudah menjelaskan dari mana asal muasal bahasanya?

Corak Batik Pamekasan Akan Dipatenkan

Pamekasan - Tidak ingin hasil kerajinan daerah dipatenkan oleh pihak asing, batik khas Pamekasan, Madura, akan dipatenkan. Pematenan hasil karya batik ini bakal dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pamekasan.

Rencana pematenan batik Pamekasan ini sendiri disambut gembira ratusan pengrajin batik di Desa Klampar dan Desa Toket, Kecamatan Propo.

Ahmadi, salah seorang pengrajin batik asal Desa Klampar mengatakan, pematenan corak batik Pamekasan akan memberikan kenyamanan bagi pembatik. Sebab, sejumlah corak batik Pamekasan, banyak ditiru pembatik daerah lain di Jawa.

"Jika dilindungi hak paten atau hak cipta, maka pembatik Pamekasan bisa melayangkan keberatan pada produsen batik luar Madura yang kedapatan meniru corak batik Madura," tegas Ahmadi, saat dihubungi di rumahnya di Desa Klampar, Minggu (14/9/2008)

Selain sebagai pengrajin batik, Ahmadi dikenal sebagai bapak angkat dari 25 orang pengrajin batik di Desa Klampar. Sebagai bapak angkat, Ahmadi memberikan modal dan membantu pemasaran batik buah karya pembatik yang jadi mitranya.

Permintaan kain batik sendiri menjelang lebaran meningkat pesat. Hingga pertengahan puasa ini, Ahmadi mengaku telah mengirimkan masing-masing sepuluh kodi ke pembeli di Surabaya dan Jakarta.

"Pagi tadi, saya mendapat pesanan sepuluh kodi dari pembeli di Jogjakarta," ungkapnya. Pada hari normal, permintaan kain batik tak lebih dari 5 kodi setiap bulan.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pamekasan Bahrun, menyatakan hak cipta atas corak batik khas Pamekasan, Madura akan dilakukan setelah lebaran nanti.

Bahrun berjanji, akan membawa sejumlah corak batik khas Pamekasan ke kantor Direktorat Hak Cipta Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. "Semoga saja pengajuan hak cipta corak batik khas Pamekasan, akan berjalan lancar dan sukses," kata Bahrun setengah berharap.

Dinas Perindustrian Pamekasan mencatat terdapat 105 orang pengrajin batik. Mereka tersebar di Desa Klampar dan Desa Toket kecamatan Propo. Pemasaran kain batik Pamekasan, tersebar ke kota-kota besar di Pulau Jawa. Seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, dan Surabaya.

Bahkan, kain batik karya pengrajin Pamekasan ini telah dipasarkan hingga Malaysia dan Singapura.(bdh/bdh)

Pelukis Batik "Nostalgia pada Alam dan Cinta

Amri Yahya, pelopor seni lukis batik itu, telah pulang ke lautan warna yang kekal.

Pertama kali bertemu di Yogya, di kampus ASRI, pada 1958, Amri mengesankan seorang yang periang, humoris, dan dermawan. Ia menyapa dengan akrab siapa pun, termasuk para calon seniman yang culun dari desa-desa di Jawa maupun luar Jawa. Ia bisa mentraktir siapa saja yang tak dikenalnya di warung Bu Karto atau warung Bu Djojo, yang mangkal di sekitar kampus. Ia juga bisa memberi uang kepada mahasiswa yang membutuhkan uang dengan cepat. Waktu itu Amri sudah memiliki rumah yang merangkap studio, di depan kampus ASRI, sementara para mahasiswa lain masih kos di rumah-rumah sekitar kampus, bertahun-tahun.

Kegigihannya dalam mengembangkan seni lukis batik—hal yang sebenarnya dipandang dengan sebelah mata oleh para seniman yang dewasa itu gandrung dengan Picasso, Van Gogh, Modigliani, ataupun Dali—tentu saja menimbulkan keanehan. Bahkan ada pelukis senior yang tidak mengakui seni lukis batik karena dikerjakan banyak orang. Ia lupa bahwa karya-karya Vasarely juga dikerjakan tenaga yang berjibun jumlahnya. "Kalau mau jadi seniman besar, tutuplah telinga," begitulah filosofi Amri tentang cara kerjanya.

Proses pengerjaan lukisan batik sebenarnya persis membatik tulis. Di atas kain katun, sang pelukis menyapu dengan malam (lilin batik yang kental) lewat kuas. Lalu kain itu diguyur pewarna menurut kebutuhan akan warna. Kain yang tertutup malam tidak tersentuh. Setelah itu, garis-garis malam yang centang-perenang itu digebyok atau dilorot dengan air mendidih. Nah, begitu bersih, garis yang silang-selungkang itu tetap putih. Jika garis-ga-ris itu akan diberi warna, tinggal dicelup ke dalam warna yang dimaksud.

Sedangkan garis-garis yang tidak diberi warna harus ditutup kembali dengan malam. Begitu seterusnya, proses tutup malam dan gores warna itu bisa berlangsung berkali-kali menurut kebutuhan artistik sang seniman. Amri biasa bekerja mendetail. Untuk lukisan ukuran 4 meter kali 2 meter, misalnya, Amri bisa memproses lukisan batiknya sampai lebih dari seratus kali. Tentu saja Amri dibantu sejumlah pekerja yang ahli memproses batik.

Lukisan-lukisan Amri dengan teknik batik bak pelangi dengan warna-warna primer. Merah, kuning, biru, hijau, violet, mencuat-menebah-menghambur, laksana meteor yang memenuhi angkasa. Ada juga yang mengesankan sebuah konser jazz dengan nada-nada mengentak, mengalun, mendayu-dayu yang menimbulkan nostalgia pada alam dan cinta. Ringan, bahagia, dan apa adanya, itulah kesan dari karya-karya lukis batik Amri. Ia tak merasa berkesenian itu butuh suatu beban filosofi yang berat. Kerjanya cepat sehingga produktif seperti dapur yang menghasilkan kacang goreng, begitu komentar seorang pelukis senior.

Barang tentu Amri sama masyhurnya dengan Affandi, maestro yang melegenda di dunia itu. Amri berkeliling dunia sejak 1974 hingga 1979, untuk berpameran lukisan batik, berdemo melukis batik, mengajar kesenian Indonesia dan lukisan batik, mempromosikan pariwisata Indonesia. Di Amerika, Amri mengajar selama empat bulan di Universitas Oklahoma dan enam bulan di Universitas Iowa. Ia juga berpameran di New York, Chicago, dan California. Sepanjang 1976-1979, Amri berpameran di Eropa dan negara-negara Timur Tengah. Di Paris, Amri berpameran di markas besar UNESCO dan dibuka oleh sekjennya, Dr M'bow.

Dewasa ini ada empat orang maestro yang harga jual lukisannya mencapai miliaran rupiah: Amri Yahya, Srihadi Soedarsono, Djoko Pekik, dan Sunaryo. Satu di antara maestro itu bahkan di studionya sudah menyediakan belasan kanvas kosong berderet-deret dengan nama-nama kolektornya. Dalam satu tarikan kuasnya, belasan kanvas kosong itu mentransformasikan diri menjadi lukisan-lukisan yang tak tepermanai.

Lahir di Palembang, 29 September 1939, Amri menikah dengan Soed Sri Suzamti pada 1960 dan dikaruniai empat putra-putri: Emi Amri (sarjana hukum), Adwi Amri (sarjana seni), Yanipan Amri (sarjana ekonomi), dan Feriqo Amri (sarjana arsitektur). Mendapat gelar profesor doktor dari almamaternya, Universitas Negeri Yogyakarta, dan mengajar di sana sampai tutup mata, kompletlah darma-bakti Amri sebagai seniman dan pendidik seni. Ia bersahabat dengan penyair Taufiq Ismail sejak tahun 60-an, yang sudah dianggap saudaranya.

Pada 14 September 2004 pukul 23:30, Amri dikaruniai musibah. Rumahnya terbakar. Sekitar 60 persen dari 3.000 lembar lukisannya (batik, cat minyak, akrilik, cat air) musnah, termasuk file, katalog, dan dokumentasi. Kebakaran ini cukup aneh karena api berkobar dari atap, sementara listrik tidak mati beberapa saat. Tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 2004 pukul 11:30, Amri meninggal karena komplikasi penyakit diabetes dan radang paru-paru. Amri adalah pembaru seni lukis Indonesia yang telah mempertahankan harkat seni tradisi yang luar biasa. Amri adalah gambaran manusia yang utuh, dan semoga dikaruniai surga.

Danarto, penulis, pelukis

Batik Alami Berbahan Ulat Liar

kokon atau kepompong ulat sutra liar yang banyak bertebaran di kawasan pedesaan di Yogyakarta sering disia-siakan masyarakat. Paling-paling ulatnya dimakan manusia, dan kupunya dijadikan makanan ayam.

Tapi kini tidak lagi. Kepompong-kepompong itu telah bersalin rupa menjadi benang dan kain berharga hingga jutaan rupiah. Semuanya berkat kreativitas 41 orang perajin di perusahaan kerajinan tangan PT Yarsilk Gora Mahottama.

Pemimpin Yarsilk, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, menjelaskan bahwa perusahaan ini bergiat di usaha pengolahan kokon, pembuatan benang, serta pengerjaan aneka kerajinan. "Kepompong sutra liar itu jenis yang spesial," kata putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini kepada Tempo di Yogyakarta, Rabu lalu.

Kepompong sutra liar yang dimaksud Pembayun adalah jenis Attacus dan Criculla. Berbeda dengan kepompong ulat sutra budidaya yang hidup di pohon murbei, ulat sutra liar hidup alami di pohon-pohon inangnya, seperti mahoni, jambu mete, sirsak, dan alpukat.

Keunggulan kepompong ulat sutra liar itu disebutkan pula dalam hasil penelitian guru besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, J. Situmorang, pada 1995. Ia menemukan warna sutra liar lebih natural dan tidak memerlukan pewarnaan lagi.

Warna asli Criculla adalah kuning emas, dan Attacus cokelat. Warna-warna ini bergantung pada masing-masing pohon inangnya. Keunggulan lainnya, jika dibuat pakaian, tidak menimbulkan gatal, tidak panas, mampu menyerap keringat, serta lebih lembut.

Temuan itulah yang memicu Pembayun merintis usaha lewat pendirian Yarsilk, yang berlokasi di Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada 1998 dengan modal awal Rp 500 juta.

Kegiatan produksi Yarsilk dimulai pada 1 Juni 1999 dengan membuat kebun percontohan hingga mempunyai lahan sendiri pada 2002 di Desa Karangtengah, Bantul. Letaknya di sisi selatan Yogyakarta seluas 55 hektare, yang diolah warga setempat bersama 100 keluarga transmigran.

Lahan tersebut dikelola Yayasan Royal Silk, yang berkolaborasi dengan Yarsilk. Di Yayasan Royal, Pembayun menjadi pembina, sedangkan ketuanya adalah Fitriana Kuroda, yang sekaligus menjadi Direktur Pemasaran Yarsilk.

Dalam sehari Yarsilk bisa membeli kepompong dari warga sebanyak 3 kilogram atau sekitar 7.500 buah kepompong. Satu kilogram benang Attacus dihargai Rp 1,5 juta. Adapun 1 kilogram benang Criculla dibanderol Rp 1,7 juta. "Tujuan kami adalah ekspor ke Jepang," tutur Pembayun.

Untuk mencapai tujuan itu, perajin Yarsilk dibimbing tim ahli dari Jepang mulai dari riset hingga pembuatan benang. "Kami menganggap, kalau sudah bisa diterima di Jepang, di negara lain pasti lebih mudah," ucapnya. Kini Yarsilk telah mempunyai ruang pamer di Tokyo, Jepang.

Dalam sebulan, sekitar 20-23 kilogram benang sutra liar telah dikirim ke Jepang. Sampai di sana, barulah benang tersebut diolah menjadi kain untuk dibuat kimono. "Menurut orang Jepang, kualitas kimono yang baik adalah yang keawetannya bisa sampai 50 tahun," ucapnya.

Kain yang ditenun dari benang sutra liar bisa berwujud kain dengan motif batik yang langsung dari alatnya. Itu berkat keunggulan kepompong sutra liar yang selain menghasilkan warna kemilau, mempunyai gradasi garis yang unik.

Dia pun mantap menjadikan Jepang sebagai pangsa pasar utamanya. Alasannya, baru negara itu yang bisa mengapresiasi produk-produk mereka. "Tidak cuma untuk dikenakan, orang Jepang juga mengapresiasi produknya dari sisi seni," tutur Pembayun.

Konsumen di Yogyakarta maupun Indonesia belum banyak. Meski demikian, Yarsilk tetap menjual benang yang dibutuhkan konsumen dalam negeri untuk membuat stola dan aneka kerajinan dari benang sutra liar.

Perusahaan Pembayun mampu membuat benang sebanyak 25 kilogram dalam sebulan. Satu kilogram kokon bisa menghasilkan benang sekitar 10 meter. Sisa benang ekspor digunakannya membuat produk yang dipasarkan sendiri di Indonesia, seperti stola, kain, dan aneka kerajinan tangan.

Pembayun menjelaskan, ada dua alasan yang menggerakkan Yarsilk memilih usaha pemintalan sutra liar. Pertama, mereka ingin memanfaatkan barang berharga yang selama ini terabaikan, sekaligus membuka peluang bagi petani untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kedua, produknya ramah lingkungan. Artinya, tidak satu pun hewan serangga yang dikorbankan. Seluruh proses berlangsung secara alamiah. Yakni, setelah kepompong itu menjadi kupu-kupu, maka pelindungnya (sutranya) akan jatuh.

Produk-produk yang dihasilkan dari bahan baku kepompong ulat sutra pun cukup banyak, sebagaimana yang dipajang di ruang pamer Ahmad Dahlan. Di dalam bangunan kuno yang dulu dipakai penjajah Belanda sebagai balai kota itu terdapat aneka kerajinan tangan dengan bermacam bentuk.

Misalnya tas, buku, sampul payung, penyekat ruangan, kain, kimono, obi atau pengikat pinggang pada kimono, dan baju. Harga kerajinan tangan berkisar Rp 15 ribu sampai Rp 300 ribu. Aneka tas Rp 60-380 ribu. Sedangkan kain bisa mencapai Rp 500 ribu per meter.

Pembuatan produk Yarsilk saat ini masih bersifat non-mass production, sehingga kapasitas produknya pun terbatas. "Karena kami ingin kualitas yang baik, bukan pada banyaknya produk," kata Pembayun.

Kendala yang dihadapi Yarsilk adalah mahalnya harga jual produk karena proses produksinya yang sangat panjang dan rumit. Ihwal itu pula yang membuat minimnya minat konsumen Indonesia.

Tantangan lain, kedua jenis ulat sutra itu hanya menghasilkan kokon selama musim penghujan. Akibatnya, Yarsilk selalu harus menimbun berton-ton bahan baku pada musim penghujan untuk mencukupi kebutuhan produksi selama sembilan bulan. "Jangan khawatir, benang sutra bisa tahan hingga puluhan tahun," ujarnya.

Pito Agustin Rudiana

Sayang kalau hilang ( Suka duka berjualan batik)

Sayang kalau hilang
Carmi, 60, buruh batik yang bekerja pada perusahaan batik "soe tjoen", tetap hidup sederhana. karyanya dikenal sampai ke eropa & dikukuhkan sebagai batik hebat oleh gubernur jenderal belanda pada thn 1939. (sd)

TERSEBUTLAH Carmi, seorang buruh batik di Pekalongan berusia lebih 60 tahun. Orang tua ini adalah sebuah potret yang pas untuk peribahasa ang berbunyi: "Kerbau punya susu, sapi punya nama." Kenapa Kata orang ia sudah dikenal dunia karena karya-karyanya. Tapi ia sendiri tetap jadi kecoak, dengan hidup yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun.

"Saya jadi buruh batik sejak perawan kecil," kata Carmi memulai kisahnya kepada Churozi Mulyo dari TEMPO. Ia bekerja di perusahaan batik 'Soe Tjoen milik Kwee Tjoen Giok, alias Nyah Seneng, yang kini berusia 72 tahun. Menurut Musa Dimyati, Wakil Ketua DPRD (45 tahun) yang merangkap Pengurus Kooperasi Batik Pekajangan, di Eropa orang lebih kenal batik 'Soe Tjoen' daripada batik 'Indonesia'.

Gubernur Jenderal Charda

Sepotong batik Soe Tjoen yang kelas jempol bisa mencapai harga Rp 160 ribu. Mereka yang mabok batik mengatakan, bahwa letak kemahalan batik tersebut ada pada disainnya yang kuno, halus, dan akurat. Carmi dan 14 orang buruh di perusahaan itu telah bekerja dengan cermat, penuh kasih sayang, sehingga hasilnya tidak hanya merupakan hasil kerajinan tapi barang seni.

Semua proses digarap oleh wanita, kecuali nglorot (membuang lilin) yang ditangani oleh Mulyadi Wijaya (40 tahun), anak bungsu mendiang Soe Tjoen. Setiap titik diletakkan dengan hati-hati dan pada tempatnya. Batik-batik tidak disentuh colet (warna dengan kwas). Semua hasil celupan. Di seantero Pekalongan batik karya Carmi memang tidak ada tandingannya. Tapi Carmi sendiri tak menikmati apa-apa.

Ia masih tetap juga berjalan kaki 3 km dari rumahnya ke pabrik setiap hari, sebagaimana dikerjakannya puluhan tahun. Dengan gigi merah karena kapursirih, Carmi beruntung punya sifat periang. Sedikit lucu ia cepat tertawa ngekeh. Setiap hari tubuhnya yang ceking dalam bungkusan kain lusuh dan kutang tua membungkuk di depan tungku. Matanya juga sudah rusak. Untung masih dapat disambung dengan lensa yang digaet dari loakan, tanpa resep dokter. Pukul 15.00 sore, kalau Nyah Seneng tidak terlambat menggoyang lonceng, ia baru boleh pulang. Kesibukan tersebut sudah dapat dipastikan akan tetap begitu-begitu juga, sampai Carmi nanti tidak kuat membatik lagi.

Sementara itu di Singapura, tahun 1972 sudah terbit buku bernama Guide To Java. Salah satu isinya yang penting adalah batik buah tangan Carmi. Ini dapat dibuktikan karena para tamu yang gencar menginjak tanah Jawa tidak sudi melewatkan kesempatan menjenguk Carmi. Ratusan turis memasuki Pekalongan, khususnya dapur kerja Garmi.

Di antara mereka ada orang sepenting nyonya Duta Besar Australia yang sengaja datang untuk beli. Ini tidak mengherankan orang tua itu. Di jaman Soekarno, ia juga mendapat pesanan dua lembar kain khusus dengan motif Orang Iyu Sogan. Masing-masing untuk Nyonya Fatmawati dan Ny. Hartini. "Kalau bung Hatta, sempat datang ke Pekalongan dan membawa 4 potong," kata Nyah Seneng menimpali dengan rasa bangga banget.

Tapi begitulah. Soe Tjoen terkenal. Pabrik ini memang ditegakkan oleh sebuah keluarga batik sejak abad ke-XIX. Di jaman normal ia pernah mendapat saingan hebat dari van Sollen. Orang Belanda itu sempat mengukir namanya dalam sejarah batik dengan hasil gemilang. Kalau orang bicara tentang batik yang jempolan, batik van Sollen harus disebut.

Tetapi apa yang kemudian terjadi di di tahun 1949 setelah Belanda kalah perang? Nyonya van Sollen sengaja datang ke tempat Nyah Seneng. "Ia kasi tangan sama saya," kata Nyah Seneng mengenang. "Dia mengaku batiknya kalah halus." Sayang sekali tidak disebutkan bahwa Nyonya van Sollen tidak sempat menjabat tangan Carmi.

Kekalahan batik van Sollen disaksikan orang banyak. Tahun 1939 karyakarya Carmi sudah dikukuhkan Gubernur Jenderal Belanda sebagai batik hebat. Gubernur Jenderal Tjarda sempat menerimakan sebuah medali emas dan sebuah piagam penghargaan untuk batik yang terpuji itu. Tentu saja, Carmi hanya menerima uang borongan. Oey Soe Tjoen sebagai pemilik pabrik dianggap berkah menyimpan kehormatan itu. Demikianlah batik Soe Tjoen sejak itu makin santer saja pamornya.

Sepiring Nasi Putih

Carmi hanya salah satu dari begitu banyak buruh batik yang hanya menerima asap, selain nasi. Kelas Carmi hanya kelas kasar dengan nilai Rp 300 satu hari. Bahkan Carmi, si tua yang sempat menembus buku Guide To Java itu, mengaku lebih rendah dari kelas tiga ratusan.

Bayangkan, selembar batik paling banter dapat diselesaikannya dalam seminggu sampai 10 hari. Untuk itu ia hanya mendapat Rp 1100. Padahal Carmi menurut ranking Nyah Seneng termasuk buruh batik yang paling top ongkosnya. Jelas sekarang, betapa melatanya hidup kecoak-kecoak yang telah menghasilkan batik-batik yang melilit tubuh ibu-ibu penggede itu.

Pendapatan Carmi yang luar biasa rendahnya itu agak tertolong oleh uang lauk-pauk sebesar Rp 30 satu hari. Plus sepiring nasi putih. Setiap hari selalu ada jatah sekilo beras dibagi oleh 6 buah mulut. Karena Carmi sudah tua dan perutnya agak kempes, jatah sepiring itu masih sempat dibaginya 2 bagian. Separo dimakan siang hari. Separonya lagi dibawa pulang untuk makan malam.

Carmi sudah lama jadi janda. Tuhan sama sekali tidak menitipkan seorang keturunan kepadanya. Namun ia tidak hidup sendirian. Mungkin mengingat masa tuanya, ia memungut kemenakannya jadi anak. Dari mereka ia mendapat 11 orang cucu. Ke sanalah seluruh penghasilannya sebagai buruh batik tertumpah. Ongkos hidupnya sendiri sangat murah.

Lebih-lebih dia tidak memiliki ambisi apa-apa lagi, kecuali meneruskan kerja yang dilakukannya dengan rasa cinta dan butuh, sama sekali bukan sebagai beban. Sekali-sekali ia prei membatik, kalau sudah musim menuai padi di sawah. Itulah satu-satunya kesenangan orang tua ini. Agaknya begitu sajalah kelak hidupnya akan berakhir. Ia tidak punya perhatian untuk merisaukan arti peribahasa: "Kerbau punya susu, sapi punya nama."

Nasib Carmi terasa lebih parah lagi kalau kita lihat apa yang diterima oleh bakul-bakul batik di dalam pasar. Orang-orang yang hanya menjadi perantara itu, dalam sebuah pasar batik yang ramai perti Pasar Beringharjo, Yogya, misalnya, berhasil menarik keuntungan sampai ribuan dalam sehari. Ambillah Ibu Sadono dari Godean yang mangkal di los nomor satu Pasar Beringharjo dan berusia 45 tahun. Ia hanya cukup bersimpuh sejak pukul 9 pagi sampai pukul 3 sore di antara kain batik. Rata-rata di dalam sehari uang yang berputar di antara batik-batiknya Rp 75 ribu Paling sedikit Rp 3 ribu sudah dapat dipastikan sebagai laba bersih.

"Hasilnya ya ternyata kita bisa beli apa-apa dan bisa ngurusi anak," kata ibu yang masih memiliki putera di bangku sekolah menengah itu. Ia mengaku jualan batik merupakan kerja yang menurun dari orang tuanya. "Karena ibu jualan batik, dengan sendirinya saya juga kepengin," kata ibu itu kepada Syahril Chili dari TEMPO. Ia sendiri berniat juga akan mewariskan pekerjaan itu kepada anaknya yang paling buntut. "Umumnya di Jawa Tengah ini perempuan harus bisa bekerja," katanya.

Harga batik di pasar Beringharjo tentu saja lebih rendah dari batik Carmi. Yang paling rendah sudah bisa diangkat dengan harga Rp 600. Harga yang sedang bergerak antara Rp 3000 dan Rp 5000. Batik paling mahal paling banter hanya Rp 15 ribu. Yang laris adalah batik sedang. Tapi meskipun harga batiknya lebih rendah, seorang pedagang batik tidak seperti seorang pengusaha batik yang bekerja terus-menerus. Dengan adanya sistim candak-kulak, mereka tidak perlu terlalu ngotot menjual dan mencari barang dagangan. Cukup duduk dan menunggu. Batik dari Solo, Pekalongan maupun Yogya, datang dengan sendirinya. Pembayaran bisa kontan, bisa pakai tahapan. Tapi umumnya tidak kontan.

Semalang-malang seorang penjual batik -- pada tanggal tua misalnya -- masih dapat diharapkan ada uang Rp 15 ribu yang berputar. Tapi semalang-malang seorang Carmi, karena ia pekerja borongan, tak ada uang kalau tak ada kerja. Apalagi di kalangan penjual batik di Beringharjo ada sikap bahu-membahu yang sudah menjadi ikatan tak tertulis. Misalnya saja kalau ada seorang pembeli gagal menawar di tempat pertma, tapi kemudian diluluskan di tempat kedua dengan tawaran yang sama, maka tempat pertama berhak menerima bagian sepertiga keuntungan. Hal ini tidak dijumpai pada hidup buruh batik seperti Carmi.

Kembali kepada Carmi. Barangkali yang dapat dicatat di sini adalah bahwa kesehatannya tetap baik sampai sekarang. Bertahun-tahun dia duduk di lincak, alhamdulillah ginjalnya tidak pernah rewel. Kendati makannya tidak istimewa, toh ia tetap kuat menempuh 3 km setiap pagi. Dengan pendapatan yang begitu kecil, tanpa diketahuinya ia telah memberi sumbangan yang hebat pada kesenian batik. "Sayang kalau kesenian itu hilang," kata Nyonya Mulyadi, mendampingi suaminya kini memegang tampuk pimpinan di pabrik Carmi.

Memang perhatian terhadap karya seni batik sekarang meletup. Yang dikerjakan sampai sekarang ialah menyelamatkan mutu batik -- bukan mutu hidup pekerja-pekerjanya. Perhatian terhadap jam kerja misalnya amat diutamakan. Seorang buruh tidak boleh terlalu ngotot bekerja. Artinya uang borongan juga tidak bisa terlalu dikebut. Sebab kata majikan, kalau buruh terlalu capek, kwalitet batik bisa berubah.

Sejuta Gaya Batik

Geliat peragaan busana yang digelar di beberapa penjuru Tanah Air semakin bersinar. Beberapa waktu lalu, Kota Gudeg Yogyakarta tidak mau ketinggalan dan ikut ambil bagian.

Dengan mengusung tema "Jogja Fashion Week (JFW) 2008", peragaan akbar yang berlangsung selama lima hari ini mengambil tempat di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Ajang ini menampilkan karya para perancang setempat dan melibatkan perancang dari kota lain, seperti Solo, Klaten, Pekalongan, Bandung, Semarang dan Bali.

"Batik kini menjadi idola, dipakai dalam berbagai kesempatan. Kian digemari tak hanya oleh kaum tua, orang muda pun mulai melirik dan menyukai batik. Ini sangat menggembirakan sekaligus menjadi tantangan," ujar Afif Syakur, perancang busana asal Pekalongan yang lama berkiprah di Yogyakarta.

Afif menyajikan tema "Culturally Plural" yang diharapkan menjadi ajang promosi yang semakin meningkatkan potensi industri tekstil dalam negeri. "Saya ingin masyarakat tahu batik pun bisa tampil dalam berbagai pernik, seperti tas, ikat pinggang, topi, bahkan sepatu."

Sementara itu, perancang Ari Sudewo menampilkan karya apiknya yang terinspirasi dari ikat sarung. "Saya ingin masyarakat menyukai keindahan kain lokal Indonesia tidak hanya batik, tapi sarung juga jadi sumber inspirasi yang memikat," ucapnya. Di tangan Ari, tercipta aneka busana sederhana dari ikat sarung. Dengan ragam sederhana tapi manis, ia menyajikan celana panjang warna cokelat hijau, blus lengan pendek bermotif garis-garis, blus cokelat hijau, dan sebagainya.

Lain halnya dengan Endi, perancang asal Bali yang mengusung keindahan batik pesisiran. Keberaniannya menampilkan aneka warna ceria. Ia menyajikan koleksi baju panjang, bagian atas berbentuk tank top, rok lebar berkerut, serta busana mini untuk saat bersantai yang di bagian bawahnya diberi aksen rempel.

"Dengan busana begini, saya ingin remaja atau kaum muda punya kebanggaan mengenakan batik. Mereka (para remaja) sangat cocok, menyukai batik bernuansa santai," tukas Endi.

Kemudian beberapa perancang lainnya, seperti Dewi Sifa, Cicik Mulyaningtyas (keduanya asal Yogyakarta), dan Zikin (Pekalongan) lagi-lagi mengusung batik dipadu tekstil polos. "Menghadirkan gaya padu padan begini sebagai alternatif yang semakin disukai para pecinta batik," papar Dewi bersemangat.

Untuk gaya serius dengan memadukan berbagai motif batik dengan brokat, songket, ataubordir disajikan perancang asal Yogyakarta, seperti Manik Puspita, Iis, Dina Isfandiary, dan Budi Susanto. "Keindahan batik akan lebih memukau bila dipadukan dengan brokat, songket, dan bordir. Selain nilai eksotis, batik bisa lebih tampil mewah menawan," ucap Manik.

Perancang Nita Azhar menyambut baik perhelatan ini. Di mata perancang batik senior asal Yogyakarta itu, JFW merupakan ajang positif yang memberikan ruang serta tempat bagi para perancang muda bisa terus maju, mengembangkan tekstil tradisional, serta semakin mencintai produk sendiri. "Biar bagaimanapun, para perancang harus mampu mendesain karya yang bisa dijual," ujarnya. LM Idayanie

Batik Fractal Dianugrahi UNESCO Award of Excellence

Inilah satu contoh lagi bahwa sumber daya manusia Indonesia kreatif dan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya di dunia.

Kabar terakhir, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Pixel People Project, melalui karya Batic Fractal, menerima penghargaan Award of Excellence 2008 dari UNESCO. Batic Fractal telah mengalahkan puluhan kerajinan unggulan lainnya yang berasal dari sepuluh negara di Asia Tenggara.

Menurut Nancy Margried, salah satu awak Pixel People Project, penghargaan ini mengharuskan suatu produk kerajinan memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan. Produk kerajinan harus memenuhi criteria Excellent (menunjukkan standard yang tinggi dalam kualitas pengerjaan kerajinan/craftmanship, Authentic (mencerminkan identitas budaya dan nilai tradisional, Innovative (menggunakan kreatifitas dalam desain dan proses produksi), dan Marketable (menunjukkan potensi untuk diterima pasar dunia).

Selain itu juga Eco-friendly (proses pengerjaan yang ramah lingkungan dalam penggunaan material dan teknik produksi, dan Fair (tidak melanggar hukum ketenagakerjaan atau mengeksploitasi pihak manapun secara tidak adil dalam proses produksi kerajinan).

"Penghargaan ini menunjukkan bahwa Batic Fractal memiliki kualitas tinggi serta mempunyai potensi pasar internasional dan domestik yang besar," ujar Nancy kepada Kompas.com, Jumat (10/10).

Nancy mengatakan, Pixel People Project sebagai penerima Award of Excellence, akan mendapatkan keuntungan dari UNESCO berupa sertifikat kesempurnaan, pelatihan dalam produksi dan desain, kesempatan tampil di ajang pameran internasional, dukungan dalam promosi dan media komunikasi, serta kemudahan dalam pendaftaran HAKI regional.

Dengan adanya penghargaan ini, Nancy berharap ada banyak investor yang melirik kepada produk kerajinan tersebut. "Sampai saat ini kami belum punya investor," ujar Nancy.

Berdasarkan rencana, penghargaan ini akan diserahkan UNESCO pada tanggal 14 Oktober 2008 dalam rangkaian acara Bangkok International BIG Fair di Bangkok, Thailand.

Berawal dari Coba-Coba

Menurut Nancy, awalnya ia bersama temannya hanya mencoba-coba mengirimkan aplikasi ke penghargaan tersebut. "Saya mengirimkan aplikasi sejak bulan Juli 2008. Dewan Kerajinan Nasional lah yang awalnya mendorong kami berpartisipasi dalam acara penghargaan tersebut," ujar Nancy.

Selang dua bulan kemudian, mereka menerima surat elektronik dari UNESCO yang mengatakan bahwa mereka mendapat penghargaan Award of Excellence. "Kami senang sekali. Awalnya kami sempat lupa tentang penghargaan ini karena kesibukan kami," kata Nancy.

Nancy, bersama dua rekannya di Pixel People Project, Muhamad Lukman dan Yun Hariadi berharap, generasi muda Indonesia ikut terpacu untuk berkarya mengangkat seni budaya tradisional Indonesia menjadi karya yang mengharumkan nama bangsa di dalam negeri terlebih pada level internasional.

Batik Oey Soe Tjoen, Orang yang Bekerja dengan Ingatan Kuat

Keindahan itu sebenarnya ada dalam ruang-ruang tersembunyi. Keindahan bukan tidak tampak, tetapi hanya bersetia dalam keheningan....

Ba adalah titik, dot, yang terangkai menyusun sebuah garis. Saat dirangkai, garis-garis itu menjadi sebuah lukisan atau gambar yang memesona. Bunga mawar dengan kupu-kupu cantik yang mengitarinya, terpampang indah dengan latar belakang biru kehijauan, cantik tentunya.

”Itu adalah motif khas karya batik kami. Dulu awalnya, motif itu dikumpulkan dari gambar kartu pos zaman Belanda. Bapak mertua saya, Oey Soe Tjoen, meminta kepada karyawannya untuk menggambar motif itu sebagai pola untuk batik yang diproduksinya. Ada lebih dari 100 motif bunga telah dikumpulkan,” kata Istianti Setiono, penerus batik halus khas Pekalongan yang dikenal dengan Batik Oey Soe Tjoen.

Namun, kecantikan batik Oey Soe Tjoen tidak hanya karena polanya yang bunga atau kupu-kupu itu. Kecermatan dan proses membatik serta mewarnai yang lumayan rumit, njlimet, memberinya nilai tersendiri.

Awalnya adalah memberi kanji (tepung dari ketela) pada kain mori yang 100 persen dibuat dari kapas. ”Kesulitan ada sejak itu. Menarik dan membentangkan kain yang menyusut karena dikanji bukan hal mudah. Dahulu saya sering menyobekkan kain yang baru dikanji sebab menariknya terlalu kuat,” kata Istianti.

Setelah kembali dibentangkan pada ukuran semula, kain mulai diberi pola dan diberi malam (lilin untuk membatik). Berbeda dari pembatik pada umumnya yang menarik garis atau menyusun titik seturut garis lurus dari atas ke bawah ke atas, garis dan rangkaian titik batik produk Oey Soe Tjoen dibuat melengkung. Ini untuk memberi kesan lembut, sesuai pesan Oey Soe Tjoen.

Petani yang menjadi pembatik pada usaha milik keluarga Oey Soe Tjoen, lanjut Istianti, terbiasa dengan pola itu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ketenangan sehingga mampu membatik dengan cermat dan teliti. Namun, efeknya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Apalagi, batik Oey Soe Tjoen adalah batik yang dibuat bolak-balik. Artinya, dua sisi kain dilukis dengan pola dan cara yang sama.

Setelah semua pola awal ditutup malam, kain dicelup dalam pewarna, lalu dikerok, ditutup malam lagi untuk memberi warna berikutnya. Setidaknya lebih dari 12 kali kain itu melalui proses diberi malam, diwarnai, dan dikerok, sebelum akhirnya kain batik itu selesai.

Setiap memberi warna baru, pola yang diberi warna ditutup kembali dengan malam. Gradasi yang dimunculkan betul-betul melalui pemalaman, pewarnaan, dan pengerokan yang berulang-ulang.

Sejak mewarisi usaha batik dari orangtuanya, tahun 1930, Oey Soe Tjoen sengaja mengalihkan cara memproduksi batik dari cap ke batik tulis halus. Istrinya, Kwee Tjoan Giok, pun terlibat aktif dalam usaha itu.

Berdua mereka merintisnya. Mulai dari membina pembatik yang umumnya adalah petani yang tinggal di sekitar Kedungwuni, tempat keluarga itu tinggal, hingga membina relasi dengan pendukung usaha, seperti pembuat canting dan penyedia malam tawon.

Tidak heran jika sepeninggal Oey Soe Tjoen pada tahun 1975, pembatik itu tetap setia bekerja pada Oey Kam Long, anak ketiga Oey Soe Tjoen. Ketika Oey Kam Long atau Muljadi Widjaja menikahi Istianti Setiono, Kwee Tjoan Giok pun melatih Istianti, yang sarjana lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta, menjadi penerus.

Istianti kerap diajak menjenguk pembatik di rumah mereka. Ia juga ditunjukkan kepada siapa canting dibeli. Tak jarang ia diajak bertandang ke rumah mereka, tidak hanya untuk urusan pekerjaan, tetapi sekadar untuk berkunjung. ”Kami memilih tetap mempertahankan cara dan proses sebagaimana bapak mertua saya memulainya,” kata Istianti, yang kemudian meneruskan usaha itu setelah suaminya wafat tahun 2002.

Kunjungan itu kerap dipakai untuk mengontrol kualitas dan kinerja pembatik. ”Setiap proses harus diperiksa dengan cermat dan detail. Jangan sampai ada satu tetesan malam yang tidak pada tempatnya karena kalau terlewat dan telanjur diwarnai sulit sekali hilang,” kata Istianti lagi.

Jika ada yang sobek atau tercoret saat proses, Istianti segera menelepon si pemesan. ”Kami jelaskan kondisinya dan bertanya apakah akan diteruskan atau dihentikan. Biasanya mereka akan meminta dibuatkan baru dan yang telanjur rusak tetap diteruskan,” papar Istianti.

Dengan pola kerja seperti itu, dalam satu tahun Istianti hanya mampu memproduksi 15 lembar kain batik. ”Semuanya adalah pesanan,” kata Istianti yang menjual kain produksinya Rp 6,5 juta dan Rp 7,5 juta per lembar.Josie Susilo Hardianto

Santosa Doellah: Antara Batik dan Kalender

SOSOKNYA terlihat tenang tatkala berbicara. Dengan tutur kata tak meledak-ledak, Santosa Doellah meladeni semua pertanyaan tentang batik, dunia yang digelutinya sejak kecil

Anak dokter kelahiran 7 Desember 1941 ini, mendirikan Batik Danar Hadi pada 1967, bersama sang istri, Danarsih. Nama "Danar Hadi" adalah gabungan dari nama "Danarsih", perempuan kelahiran 26 September 1946, dengan nama keluarga besar istri yakni "Hadi".

Seturut penuturan kolektor lebih dari 10.000 kain batik dari kuno hingga modern ini, Kamis (21/8), di kediaman keluarga di Jalan Rajiman, Kota Solo, kebanyakan orang Indonesia memang bangkit perhatiannya tatkala Malaysia mengklaim batik sebagai milik negeri jiran ini sekitar setahun lalu. "Lha wong sekarang apa-apa ya dibatik. Itu kucing- kucingan (boneka-red) juga batik," ujarnya terkekeh.

Namun, bagi penulis buku Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan, ini, sejak abad 19 orang Indonesia memang kurang menaruh perhatian pada batik. Yang mempunyai kesadaran memelihara itu kebanyakan orang Belanda. Maklumlah, kala itu, mereka lebih punya pikiran lebih maju.

Buat orang Belanda, lagipula, batik bukan untuk pakaian sehari-hari. Kalau orang Indonesia justru mengenakan kain batik untuk seluruh kegiatan. "Makanya orang Belanda lebih memelihara batik. Saya maklum itu," katanya.

Akan tetapi, soal klaim tadi, ada hal yang mesti diingat, imbuh Santosa. Batik sejatinya adalah proses pewarnaan kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan lilin atau malam atau wax. Corak dari lilin itu kemudian diaplikasikan ke atas kain. Lilin yang digunakan menahan masuknya bahan pewarna (dye). Dulunya, tahap ini dikerjakan manual dengan alat khas canting.

Pada tahap selanjutnya, pewarnaan kain melewati pencelupan ke dalam air yang sudah diberi pewarna alami. Usai pada bagian itu, kain dibersihkan dari malam dan dijemur dengan cara diangin-anginkan, tanpa langsung terkena sinar matahari.

Kemajuan teknologi kemudian memunculkan teknik pengecapan malam dengan alat cetak dari plat besi. Lebih mengemuka, industri tekstil kemudian membuat tekstil bermotif batik. "Kalangan dunia batik menyebutnya sebagai printing atau tekstil bermotif batik," terang Santosa.

Dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, proses baik dengan pengerjaan manual (disebut batik tulis-red) maupun cap tersebut memang begitu berkembang berikut pembuatan motif-motifnya. Namun, seperti juga Santosa yang tidak menampik kalau proses ini ditemukan pula di berbagai negara tak cuma Indonesia, batik kemudian sesungguhnya menjadi milik publik. "Jadi, ya, biarkan saja Malaysia mengklaim.

Tapi, akar budaya batik tetap Indonesia," begitu pandangan Santosa yang sempat diminta mantan Jaksa Agung Ismail Saleh, kala itu, untuk mematenkan motif batik ciptaannya.

Berkecimpung di dunia batik dengan landasan kecintaan, Santosa Doellah yang juga pemilik House of Danar Hadi (HDH) ini, malahan melihat "demam" batik sudah terjadi sejak 1975. Di masa itu, batik tak sekadar berfungsi sebagai jarik (kain panjang berukuran sekitar 275 cm X 110 cm-red) penutup tubuh. "Masyarakat kembali menggunakan batik untuk berbagai keperluan," kenangnya.

Terdorong oleh naluri bisnisnya untuk memanfaatkan peluang tadi, lalu, bapak beranak empat (satu orang sudah meninggal dunia-red) ini mulai membangun tim di Danar Hadi yang mengurusi soal motif dan desain. "Membuat motif dan desain itu seperti air mengalir. Bergerak terus dari hulu," katanya.

Perkembangan zaman, kemudian, adalah salah satu alasan mengapa Danar Hadi, aku Santosa, selalu memutakhirkan motif dan desain tersebut. Ide -ide mengenai motif baru bahkan bisa diperoleh dari manapun mulai dari pameran batik hingga peragaan busana di negara-negara Eropa. "Bukan saya meniru. Tapi dari kesempatan-kesempatan itu, saya sering mendapat ide," ungkapnya.

Saat ini, Santosa memang banyak dibantu oleh anak-anaknya. Diana Santosa, anak kedua, menjadi direktur marketing di perusahaan. Sementara, Dewanto Santosa mengurusi hal-hal keuangan. "Dari anak sayalah, saya mendapat informasi mengenai tren motif dan desain," ucapnya.

Soal tren motif dan desain terbaru, jelas Santosa, pihaknya memang menyasar pasar anak muda. Makanya, warna cokelat tua atau sogan (diambil dari pewarna alami soga-red) yang lazim menjadi warna khas batik dikembangkan dan dilengkapi dengan warna lain yang lebih cerah. "Warna lama kami olah lagi begitu," ujarnya.
Desain pun menjadi perhatian Santosa. Beserta timnya, desain pakaian batik dikembangkan sebagai jawaban cepatnya perubahan kebutuhan masyarakat. "Kami yang membuat desain kardigan bermotif batik," paparnya.

Untuk soal berpromosi, Santosa yang berkali-kali mengatakan keberhasilan bisnis batiknya berangkat dari restu Yang Mahakuasa berikut kerja sama tim, menerangkan, Danar Hadi menjadi pelopor yang menampilkan ragam busana batik di kalender. Khususnya, kalender meja. "Kami melakukannya setahun lalu dengan model anak-anak muda memakai batik," terang pengusaha sukses yang salah satu gerainya di Ibu Kota mampu meraih pendapatan sekitar Rp2 miliar per bulan. Josephus Primus

Belajar Sejarah Batik di Galeri Danar Hadi

Perkembangan batik sepanjang tahun 2008 ini di luar dugaan. Batik menjadi tren busana, bukan hanya dikenakan oleh ibu-ibu dalam bentuk kain, tapi juga para sosialita yang sudah berbentuk gaun berpotongan internasional.

Kita pun berani jalan sendiri, mengedepankan batik di kancah mode, meskipun tidak sesuai dengan tren yang ada di kota mode dunia seperti Paris, Milan, dan New York. Ini seperti cita-cita Afif Syakur, perancang batik asal Yogyakarta, dalam peragaan tunggalnya di Hotel Gran Melia, Jakarta, 2005 silam. Banyak yang menertawakan ide itu, tapi tidak sampai tiga tahun, orang yang menertawakannya harus gigit jari.

Bukan hanya Afif Syakur yang berjuang memopulerkan batik di tingkat nasional, atau mungkin internasional. Tapi, tahukah kita, batik apakah yang sedang kita kenakan? Batik memang melalui proses penciptaan yang unik, bukan sembarang motif dan warna, setiap batik merupakan pengejawantahan pola pikir manusia di zamannya. Semuanya melalui proses yang tidak sederhana. Kesakralan batik motif parang rusak, misalnya, menjadi bagian ketidaksederhanaan itu.

Menurut Asti Suryo Astuti, Asisten Manajer Galeri Batik Kuno Danar Hadi, Solo, Jawa Tengah, yang menjadi bagian dari kompleks wisata House Of Danar Hadi di Jalan Slamet Riyadi, motif itu diciptakan oleh Panembahan Senopati dalam sebuah perjalanan suci ketika hendak mendirikan Kerajaan Mataram.

“Dalam perjalanan itu, Panembahan Senopati melihat pereng-pereng (tebing) yang rusak akibat terjangan ombak. Itu yang mengilhami terciptanya motif parang rusak. Karena diciptakan oleh Panembahan Senopati, motif ini hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan,” kata Asti ketika membawa sejumlah wartawan mengelilingi Galeri Batik Kuno Danar Hadi dalam peresmian House of Danar Hadi, Jumat (22/8) silam.

Kesakralan itu masih bertahan sampai sekarang. Memang, motif parang rusak saat ini tersebar di mana-mana, namun antara motif parang rusak untuk keluarga kerajaan dan untuk dijual di pasar bebas ada perbedaannya, entah itu kesejajaran motif atau pilihan warna.

Batik Pengaruh Asing
Ketika budaya asing masuk ke tanah Jawa, batik kemudian berkembang pesat. Muncul pula batik variasi yang penggunaannya meluas. Penjelasan itu juga dimuat di Galeri Batik Kuno Danar Hadi. Setiap kain yang dipamerkan ada penjelasannya.

Dimulai dengan batik Belanda yang berkembang dari tahun 1840 sampai dengan 1910. “Batik ini dikembangkan oleh perempuan-perempuan keturunan Belanda dan dikerjakan oleh orang-orang desa di sekitar Pekalongan. Pelopornya Catharina Carolina van Oosterom, tapi yang paling terkenal adalah Liez Metzlar,” kata Asti menjelaskan.

Ciri khas batik ini terletak pada pola yang berupa bunga, dedaunan, dan binatang seperti bangau, burung-burung kecil, kupu-kupu, bahkan ilustrasi cerita-cerita dari Eropa antara lain Puteri Salju, Si Topi Merah, Hansel and Gretel. Warnanya berbeda dari batik keraton yang umumnya cokelat, krem, putih, dan hitam. Batik Belanda memiliki warna-warna cerah, dari merah, biru, hijau, oranye, meskipun tetap menggunakan warna soga (warna cokelat yang berasal dari pohon soga). Sayangnya, pembuatan batik Belanda ini berhenti pada tahun 1940-an, ketika Jepang mulai menguasai Indonesia.

Usai perkembangan pesat batik Belanda yang sampai tahun 1910, muncullah batik China. Batik yang berkembang di Kudus, Pekalongan, Lasem, Cirebon, dan Demak ini memiliki ciri khas motif yang berupa karakter-karakter dari mitos, antara lain naga, phoenix, kilin (singa berkepala anjing), dan singa. Seeprti batik Belanda, batik China didominasi warna cerah, terutama biru dan merah, atau paduan keduanya. Awalnya, batik China digunakan untuk keperluan upacara keagamaan berbentuk sarung, kain, dan kain altar. Batik China kemudian berkembang lagi dengan motif yang lebih banyak, mengikuti pola batik Belanda, antara lain bunga-bungaan, dedaunan, burung-burungan, dan kupu-kupu, disertai dengan isen (motif isi) yang sangat halus.

Dari batik Chinalah berkembang batik yang disebut dengan batik tiga negeri atau batik dua negeri. Disebut demikian karena satu kain batik diproduksi di tiga atau dua tempat yang berbeda. Batik tiga negeri, yang sangat terkenal di antara kain batik China, dibuat di Lasem untuk pencelupan warna merah, di Kudus atau Pekalongan untuk warna biru, dan di Surakarta atau Yogyakarta untuk warna soga. Sementara batik dua negeri dibuat di Lasem dan Kudus atau Pekalongan saja.

Satu lagi budaya asing yang berpengaruh kental terhadap perkembangan batik adalah India, batik nitik dan batik sembagi namanya. Batik nitik yang dibuat awal abad ke-19 mengikuti pola kain patola (atau di Indonesia dikenal dengan kain cinde) yang diimpor dari Gujarat, India. Pada perkembangannya, batik ini berkembang menjadi dua, di pesisiran seperti Pekalongan, batik ini dikenal sebagai batik Jlamprang dengan warna-warna yang khas Pantai Utara, sementara di Yogyakarta dan Surakarta disebut dengan batik nitik dengan warna-warna yang dominan cokelat. Batik nitik yang hanya dibuat dalam bentuk kain sampai saat ini masih digunakan untuk ritual dan upacara pernikahan tradisi Jawa.

Masih dari India, ada batik sembagi yang dipengaruhi oleh motif kain Chintz atau kain sembagi dari pantai Koromandel yang terletak di sebelah tenggara Semenanjung India. Kain ini sangat digemari oleh para bangsawan, masyarakat Indo-belanda, China, dan masyakarat pribumi kelas atas.

Ketika terjadi penurunan impor kain sembagi, sementara permintaan tetap banyak, dibuatlah kain batik dengan motif kain sembagi oleh perajin-perajin batik dari Lasem dan Cirebon yang kebanyakan keturunan China. Kain-kain ini juga sangat digemari orang Sumatera, terutama Jambi dan Palembang, sehingga motif ini juga terlihat pada batik dari Jambi.n

Batik dari Titik Menjadi Abadi

Siapa yang tak kenal batik. Hampir semua orang mengenalnya. Kain ini memang populer di kalangan tertentu, dijadikan benda koleksi, dipuja, dan disimpan bak barang antik. Tak mengherankan untuk mendapatkannya, kolektor rela mengeluarkan dana tak terbatas hanya untuk selembar batik. ” Bukan nilai uangnya yang menjadi ukuran, tapi kepuasan jika berhasil memiliki,” ujar Thomas Sigar, kolektor batik yang juga seorang perancang busana.

Kenapa kain itu disukai dan dijadikan koleksi? Menurut beberapa kolektor karena batik adalah barang seni. Batik ibarat sebuah lukisan, pembuatannya makan waktu, tidak pabrikan tapi satu persatu. Ini dianggap bernilai, terutama jenis batik kuno yang motifnya klasik. Batik klasik memiliki pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif flora dan fauna.

Dulu sempat berkembang polemik soal arti kata batik berasal dari mana. Sampai sekarang pun mereka belum sepakat soal apa arti sebenarnya kata batik itu. Ada yang bilang bahwa sebutan batik berasal dari kata tik yang terdapat dalam kata titik. Titik berarti juga tetes. Memang dalam pembuatan kain batik dilakukan penetesan lilin di atas kain putih.

Ada juga yang mencari asal kata batik dalam sumber tertulis kuno. Oleh mereka yang menelusuri dari data kuno itu dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Pendek kata, asal mula batik lalu dikaitkan pula dengan seni lukis dan gambar pada umumnya. Setuju atau tidak, batik tak terpengaruh. Kain khas ini sudah hadir selama berabad-abad.

Bisa Punah
Pada awalnya batik adalah pakaian raja-raja di Jawa di masa silam. Kemudian berkembang menjadi pakaian sehari-hari orang Jawa. Walau batik identik dengan pakaian adat Jawa, namun kini sudah menjadi pakaian nasional, bahkan cukup dikenal di mancanegara. Kepopuleran batik seakan pisau bermata dua. Di satu sisi menjadikannya komoditas yang bernilai, di sisi lainnya batik kuno bakal punah karena dibeli oleh orang asing.untuk koleksi.

” Sebenarnya itu ketakutan yang nggak beralasan,” ujar Thomas. Batik kuno memang harganya mahal. Ada yang jutaan rupiah sampai ratusan juta rupiah. Orang-orang asing itu, lanjutnya, punya apresiasi yang baik terhadap batik dan punya uang. Mereka tak hanya sekadar mengoleksi tapi juga belajar tentang batik. Berbeda dengan orang kita yang sekadar koleksi dan cenderung ikut-ikutan. Apa itu batik dan apa makna di dalamnya, kurang dipahami.

Menurut Thomas, memang ada banyak juga warga Indonesia yang sangat mengerti batik. Mereka berusaha menyelamatkan dan melestarikan lewat perkumpulan atau upaya pribadi. Mereka ini saling bertukar informasi dengan berbagai kolektor, termasuk kolektor asing. ” Jadi saya nggak setuju kalau batik kuno bakal hilang. Mereka menyimpannya teliti dan sangat baik,” katanya.

Motif Langka
Thomas mengaku suka batik sejak lama. Sebagai perancang busana, dia mau tak mau akhirnya bersentuhan dengan kain itu. Koleksinya adalah batik-batik lawas tapi pilihan. Jumlahnya ratusan buah. Dia tak mau bicara soal nilai koleksinya, tapi dijamin semuanya berkualitas.

Dari sekian banyak koleksinya, ada batik yang amat disukainya, yakni batik Van Zuylen. Thomas memiliki tiga batik buatan orang Indo Belanda itu. Dalam perkembangan perbatikan di Tanah Air, ada fase penjajahan Belanda. Dalam fase ini, batik lokal dipengaruhi oleh selera Eropa. Makanya dalam motif-motif batik yang ada dalam masa itu terdapat buket, kartu remi, meriam dan sebagainya yang berbau-bau Eropa.

Koleksi Thomas lainnya adalah batik Cirebon yang bermotif mega mendung. Bagi penggemar batik, rasanya tak mungkin tak mengoleksi jenis batik pesisiran itu. Tapi yang ini, sambungnya, unik. Dasar kainnya hitam dengan motif mega mendung merah. Belum pernah Thomas melihat dasar kain batik Cirebonan berwarna hitam. Koleksi ini didapat seorang ibu yang dulu pernah bekerja pada Fatmawati Soekarno, presiden pertama RI.

Untuk menghadirkan motif klasik yang langka, ada upaya dari penggemar batik Mereka membuat batik baru dengan motif-motif lama. Ini salah satu pelestarian motif sehingga tidak hilang. Tetapi dari segi mutu, berbeda karena proses yang dilakukan pada zaman dulu berbeda dengan masa kini. Sehingga bagi kolektor fanatik, jenis batik replika ini kurang digemari. Tetapi bagi pecinta batik lainnya, ketimbang tidak dapat yang asli yang replika pun boleh-boleh saja.

Sulit Membedakan

Membedakan yang asli dan replika bagi penggemar pemula, memang agak susah. Apalagi jika ia tak pernah melihat sebelumnya di literatur. Tapi bagi yang ahli, mudah membedakannya, jika memegangnya. Terutama dilihat dari tekstur kain dan tampilan warna. ” Yang replika biasanya lebih bagus dari aslinya,” sambung Thomas.

Tapi bukan pula yang bagus itu selalu replika. Sebab banyak batik Belanda, begitu julukannya, disimpan secara apik oleh pemiliknya. Sehingga sampai kini pun warnanya tidak berubah, kainnya mirip kain baru. Mungkin karena sama sekali tidak pernah dipakai. Begitu pun jenis batik klasik lainnya yang tetap bagus kondisinya hinga kini. ” Penyimpanan dan perawatan menentukan keawetannya. Sebaiknya jika ingin mengoleksi batik kuno, kita harus rajin tanya. Atau membeli langsung dari pemilik atau pewarisnya,” saran Thomas.

Etty Tejalaksana, penggemar baru, mengakui awalnya dia sering tertipu. Membedakan antara batik yang bagus dan tidak saja, sulit. Makanya sarannya jika seseorang ingin menekuni hobi batik, harus belajar. Ilmu batik tak hanya yang ada di buku-buku. Semakin sering terjun ke lapangan yakni mendatangi pembatik tradisional, berburu ke pelosok, bisa mengasah pengetahuan. Ibarat bayi, semakin sering jatuh maka semakin cepat berdiri.

Ibu tiga anak itu mencontohkan batik Pekalongan yang diperlihatkan pada SH. Secara kasat mata, penampakannya sempurna. Warna-warnanya serasi, motifnya menarik, namun kalau diperhatikan ada warna yang tidak merata. ” Dalam proses pembuatan, mungkin perajin kurang cermat mencelupkanya saat pewarnaan. Jadi batiknya belang-belang tipis. Ini produk gagal, namun ada yang suka karena gradasi warnanya serasi,” tuturnya.

Etty mengaku jumlah koleksinya baru sekitar 150 lembar, terdiri dari kain dan selendang. Maklum dia baru menyukai batik pada 1998 akhir. Ketika itu dia jatuh hati pada batik Hohokay. Dikatakannya, ini batik spesial yang dibuat pada masa penjajahan Jepang. Motifnya banyak dipengaruhi unsur Jepang. Seperti warnya yang condong kebiru-biruan dan kekuning-kuningan.

Dari sinilah dia kemudian mulai mengoleksi satu demi satu. Pikirnya ketimbang kebarat-baratan, lebih baik melestarikan karya leluhur saja.
(SH/gatot irawan /bayu dwi mardana)

Menyusuri Rumah Industri Batik

Batik adalah rangkaian ribuan titik. Namun, usianya tidak hanya sesaat seperti saat mata canting meneteskan titik demi titik malam cair. Rangkaian itu sekaligus menyimpan seribu satu cerita, suka-duka, sedih-gembira, tangis- tawa. Pendeknya, setiap mata canting merekam setiap hela napas si pembatik dalam titik malam yang menetes.

Kalau yang sudah terampil, satu kain dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan. Tetapi, bisa juga jadi lama, apalagi kalau hatinya sedang susah. Membatik itu kan seperti melukis juga,” kata Nila, pembatik yang bekerja di rumah produksi batik di Pekalongan, Jawa Tengah.

Seorang pembatik sepuh di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pernah mengatakan, membatik itu bukan hanya bekerja. Membatik juga melibatkan batin si pembatik. Jika ingin menghasilkan batik tulis yang halus, hati si pembatik tidak boleh gundah, curiga, dan menyimpan prasangka atau menyimpan niat untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari karya itu. ”Selain niat, batin harus tulus. Tidak bisa membatik dengan rasa hati selalu dikejar-kejar,” katanya.

Meskipun tidak mengenal atau bertemu dengan pembatik sepuh dari Imogiri itu, tampaknya Nila membenarkan ungkapannya. ”Bisa juga, untuk mengejar penghasilan, kami membatik cepat, tetapi hasilnya jelek. Hati jadi tidak sreg,” kata Nila.

Hati harus tenang, Jika perlu membenamkan dalam-dalam kegundahan yang mungkin saja sempat datang mengganggu.

Industri

Datang setiap pagi dengan mengendarai sepeda tua miliknya, Nila mesti bekerja seharian demi upah Rp 6.000 ditambah uang makan Rp 2.500. Jika mengambil borongan, ia bisa memperoleh tambahan Rp 40.000 untuk setiap lembar kain yang ditulisnya.

Demikian juga Paleha. ”Karena masih baru, upah harian saya Rp 8.500, termasuk uang makan. Yang sudah empat atau lima tahun mendapat upah Rp 10.000,” kata Paleha, pembatik di Wiradesa, Pekalongan.

Paleha yang masih ikut orangtuanya harus bersusah payah mengatur pengeluaran. Ia mesti lentur menyiasati hidup, selentur ketika tangannya membatik. Ia menjadi sandaran kehidupan keluarga, apalagi ibunya yang mewariskan keahlian membatik sudah berangsur tua dan tidak kuat lagi membatik.

Untuk menambah pemasukan, Paleha ikut kerja borongan. ”Dalam keadaan sekarang, sangat sulit mengatur pengeluaran dan pemasukan sebesar itu,” kata Paleha, yang bertugas memopok atau melapisi bagian-bagian tertentu pada kain dengan lilin cair atau malam.

Sebagai ilustrasi, upah minimal di Kota dan Kabupaten Pekalongan untuk tahun 2008 sebesar Rp 615.000, sementara upah minimal rata-rata untuk Jawa Tengah masih Rp 601.418,92.

Pekalongan telah tumbuh menjadi satu pusat batik di Indonesia. Di sepanjang jalan utama dan lorong-lorong kota itu, sangat gampang ditemui gerai dan pusat produksi batik rumahan. Geliatnya telah menarik ratusan ribu warga, termasuk Nila dan Paleha, dalam kerja budaya yang telah menjadi industri itu. Ada ribuan anak putus sekolah terlibat dalam rangkaian kerja industri yang telah mengubah wajah Pekalongan.

Sebagian dari mereka bertugas menulisi kain sutra atau katun putih dengan malam-cair seturut pola motif yang telah digambar. Ada pula yang mewarnai, membuat pola, melepaskan lilin, hingga membuat batik cap. Motif yang dibuat antara lain jawa hokokai dan jelamprangan. Juga ada motif pakem batik solo atau yogyakarta, seperti kawung, parang rusak, atau sidomukti.

Dalam dua tahun terakhir ini, kerajinan dan industri batik di Pekalongan maju pesat. Seiring niat pemerintah menjadikan batik sebagai pakaian nasional pengganti jas, batik tak lagi menjadi ciri khas pakaian orang tua. Tahun ini batik telah menjadi arus utama mode di kalangan anak muda.

Bukan hanya pemilik industri batik yang meraup keuntungan dari ledakan itu. Warga pinggiran dan anak-anak putus sekolah pun memperoleh penghasilan sebagai pekerja pada industri batik. Namun, di tengah kemeriahan itu, kehadiran mereka masih sebatas penikmat remahan kue besar industri batik di Pekalongan. ”Perlu modal besar jika ingin membatik sendiri. Jika sekarang masih ikut orang, ya dijalani dulu,” kata Nila.

Pembatik

Kesabaran, itulah kekayaan sebenarnya para pembatik. Begitulah kebijakan si pembatik meskipun kain itu nantinya tidak lagi menjadi miliknya. Setiap hela napas dan batinnya terekam kuat dalam keindahan karya budaya itu.

Setelah semua proses usai, selembar kain batik tulis halus bisa jadi berharga jutaan rupiah. Nyaris dapat dipastikan si pembeli tidak mengenal siapa si pembatik sesungguhnya. Namun, dari sudut pandang lain, bisa jadi si pembeli hanya memiliki lembaran kain batik yang indah dan mahal itu, tetapi ada ”pemilik” lain yang dengan tulus tinggal di balik bilik-bilik rumah pembatikan di Pekalongan.

Merekalah sang pemilik sesungguhnya, mereka yang meneteskan titik demi titik malam cair menjadi lukisan nan menawan….

mbatik menyelesaikan batik tulis pekalongan bermotif Jlamprang di Desa Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (19/8). Makin banyak pengusaha beralih ke batik cap yang dibuat lebih cepat dan murah.
B Josie Susilo Hardianto dan Agustinus Handoko

Harris Riadi, dan Batik Warna Alami

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Jamu-Jamuan Bisa Jadi Pewarna Batik

Suara Merdeka
Pekalongan, CyberNews. Biasanya, tanaman apotik hidup seperti temu lawak, temu giring, dan jelawe dikonsumsi manusia sebagai jamu. Jika meminum ramuan tersebut, kondisi badan yang lemas menjadi segar. Demikian juga ketika tubuh kita masuk angin, kalau minum jamu bisa menjadi sehat kembali.

Tapi bagi Harris Riadi, semua bahan baku itu tidak dipakai untuk membuat jamu, melainkan bahan pewarna batik. Ya, tidak mengherankan apabila Harris melakukan hal tersebut. Sebagai seorang seniman dan juga pelukis batik, mantan mahasiswa ASRI itu selalu membuat inovasi baru tentang perbatikan, khususnya mengenai pewarnaan batik.

''Saya kira, benda yang ada di alam ini tidak akan habis dijadikan bahan pewarna batik,'' tandas dia kepada sejumlah wartawan. Laki-laki berkumis cukup tebal itu menandaskan, dalam membuat bahan pewarna dari jamu tidak terlalu sulit. Temui ireng, temu lawak dan jelawe dimasak selama lebih kurang 30 menit. Setelah mendidih, air dari bahan tersebut disaring dan didinginkan. ''Saya menunggu air dingin agar lilin yang digunakan untuk membatik tidak rusak,'' jelas Harris.

Dari saringan itu akan diperoleh hasil air dengan warna alami. Selanjutnya, pakaian yang sudah dibatik dimasukkan ke dalam campuran air itu dan direndam cukup lama. Setelah itu, akan terlihat hasilnya, yakni pakaian batik dengan warna yang sangat klasik. ''Kalau tidak percaya, lihat kain batik yang saya bawa sekarang,'' ujar dia sambil menunjukkan batik dengan warna jamu.

Harris menjelaskan, keistimewaan pakaian batik dengan warna jamu adalah jika dipakai bisa membuat tubuh menjadi hangat. Menurut dia, hangatnya tubuh itu karena sari-sari bahan jamu yang melekat pada pakaian bereaksi ketika dipakai seseorang. Dia bisa mengatakan seperti itu karena pernah mencobanya dan merasakan hangatnya kain dengan warna alami dari gabungan bahan baku tanaman apotik hidup.

Teman satu angkatan seniman Butet Kartaredjasa itu menambahkan, karyanya tersebut merupakan gebrakan terbarunya di awal tahun 2007. Ke depan, kata dia, ada ide untuk menambah karya-karyanya dalam meramaikan dunia perbatikan di Kota Pekalongan. Tapi ayah satu putra itu enggan menyebutkan bentuk karyanya tersebut.

Sebelumnya, pada pertengahan tahun lalu, Harris telah membuat batik warna alami dari sejumlah benda. Antara lain, serabut kelapa, kotoran sapi, dan bahan alami lainnya. Menurut dia, semua inovasinya tersebut dilakukan sendiri, baik pengolahan maupun pembiayaannya. ''Sebagai seorang seniman, saya ingin bebas berkarya dalam mengembangkan perbatikan di kota ini, meskipun untungnya sedikit,'' kata dia.


Harris Riadi, dan Sabut Kelapa

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik

Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawe menjadi zat pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.

Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi rasa hangat pada pemakai batik. Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya. Yang lebih penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.

Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe.

Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah batik bisa dikurangi. Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.(MAK/Budi