Kain Nusantara Dalam Tampilan Baru

Di Hall B Balai Sidang Jakarta selama Rabu lalu sampai Minggu ini sepanjang mata memandang dipenuhi gerai yang menawarkan batik.

Meskipun penjualan itu bagian dari Pameran Kain Tradisional Unggulan Nusantara, tetapi batik tetap menjadi yang dominan. Hanya satu-dua gerai yang menawarkan kain Indonesia lainnya. Dari berbagai gerai penjualan batik itu, yang ramai pembeli adalah yang menjual blus batik.

Batik saat ini memang kembali naik daun, terutama sebagai blus dan gaun. Pada tahun 2006 Edward Hutabarat merancang sesuatu dari yang lama tak disentuh, yaitu batik katun. Dia mengubah batik katun menjadi baju dengan desain yang sedang digemari, seperti gaun atau blus bergaris A dan jaket panjang longgar.

Sekarang, blus atau gaun batik katun ada di mana-mana, dari yang berharga Rp 250.000 per buah sampai yang batas atas harganya ditentukan si pembuat. Bukan hanya dari batik dalam arti sebenarnya, yaitu teknik membuat ragam hias dengan merintang warna memakai malam, tetapi juga dari tekstil cetak (print) dengan motif batik. Mereka yang tak terbiasa mungkin tidak dapat membedakan antara batik dengan teknik batik dengan tekstil bermotif print batik.

Upaya membuat kain tradisi lebih relevan dengan situasi saat ini melalui perbaikan teknik pembuatan juga terjadi pada jenis kain lain. Rumah Songket, misalnya, telah menghasilkan songket Sumatera Barat yang benangnya lebih ringan dan luwes sehingga lebih nyaman dipakai. Di Palembang, Tria Gunawan membuat pembaruan songket palembang, antara lain dengan mengubah benang songketnya menjadi lebih ringan, memakai benang warna tembaga, atau memadukan songket dengan jumputan.

Kain Nusantara

Sementara itu, di Hall A ditampilkan kain unggulan dari berbagai provinsi, negara, seniman dan rumah kain, serta karya perancang busana yang berangkat dari kain tradisional. Adapun kain-kain warisan budaya dipamerkan di Prefunction Hall A, dari batik, songket, tenun, ikat, hingga sulam dari berbagai daerah Indonesia.

Selain ditampilkan dalam bentuk kain dan selendang, pengenalan kain tradisional dilakukan melalui desain pakaian karya perancang. Cara ini cukup efektif untuk mengajak masyarakat melihat berbagai kemungkinan baru memanfaatkan kain Indonesia ke dalam karya baru. Harapannya, cara ini akan mendorong masyarakat memakai produk Indonesia sehingga membantu perajin terus berproduksi.

Guruh Soekarnoputra, yang kembali membuat batik, menyuguhkan ragam hias yang lebih kontemporer yang dia sebut sebagai batik Indonesia untuk kemeja, gaun, hingga celana jins, tawaran yang akan menarik orang berjiwa muda.

Stephanus Hamy memadukan ikat Nusa Tenggara Timur dengan batik yang semua dia olah dalam warna baru, seperti hijau dan merah marun, sementara Didi Budiardjo memperlihatkan batik klasik sogan bisa dipadukan dengan sesuatu yang mewah, seperti gaun dari susunan logam.

Bila Oscar Lawalata menampilkan kebaya dengan pengaruh baju bodo dipadukan dengan batik lasem, tenun dari Lampung, atau tenun dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, Ghea Panggabean meminjam ide dari Sumatera Barat, Carmanita memakai jumputan dan batik khas Carmanita, maka Tuty Cholid mengembangkan lebih lanjut tenun dari Nusa Penida bermotif zigzag dalam warna cerah, sedangkan Denny Wirawan mengangkat songket palembang berbenang tembaga buatan Tria Gunawan dan ikat blongsong.

Bukan hanya di Indonesia, kecenderungan menggunakan motif dari kain tradisional juga terjadi pada perancang dunia. Miuccia Prada menggunakan cara pewarnaan yang efeknya mengingatkan pada jumputan, Chloe mengambil motif mega mendung batik Cirebon, Balenciaga meminjam motif tenun ikat Nusa Tenggara, dan Paul Smith berulang kali memakai motif batik pesisir.

Hal tersebut memberi sudut pandang baru dalam memandang kain adati/tradisional. Seperti dikatakan pengajar di Institut Kesenian Jakarta, Dr Ananda Moersid, dalam seminar Wastraprema, apa yang baru adalah hasil ciptaan yang dapat berasal dari yang lama.

Masalahnya, peminjaman oleh para perancang dari rumah mode dengan bisnis mengglobal itu nyaris tak memberi apa-apa bagi perajin yang terus setia membuat kain adat itu. Bahkan, pemakai produk pun mungkin tak tahu asal-usul ide ragam hias baju yang dia pakai. Ajakan mari mencintai produk sendiri tampaknya semakin penting di tengah globalisasi.

Ninuk Mardiana Pambudy

Tidak ada komentar: