Bersaing Menggenggam Batik

Bila tidak dilakukan sekarang, kita harus menunggu empat tahun lagi.

Siapa yang tak kenal batik. Kain yang digambar dengan canting dan prosesnya dibantu lilin panas itu dikenal sejak abad ke-17 di negeri ini. Di Jawa Tengah, ada Pekalongan yang disebut sebagai Kota Batik, dan catatan menunjukkan kesenian membatik mulai menyentuh keseharian masyarakat pada 1800-an. Kata batik sendiri pun berasal dari bahasa Jawa.

Batik berkembang pesat pada 1825-1830 di Kerajaan Mataram ketika Perang Diponegoro. Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa, seperti Cina, Belanda, Arab, India, dan Melayu, melahirkan aneka motif. Ada batik Jlamprang dengan sentuhan India dan Arab. Ada pula batik Encim dan Klengenan yang dipengaruhi Cina, serta batik Pagi-Sore dan Hokokai yang muncul di zaman pendudukan Jepang. Keragaman itu menjadikan batik Indonesia benar-benar kaya.

Tak hanya Pekalongan yang punya batik. Daerah lain pun mempunyai ciri motifnya sendiri, seperti Cirebon, Solo, dan Yogyakarta. Nah, pada 1900-an teknik membatik ini menyeberang hingga ke negeri jiran. Pertama kali dikenal di Kelantan, Malaysia, pada 1910. Tak aneh jika kemudian batik diakui sebagai kekayaan negeri ini. Industri batik pun berkembang di Kelantan dan Terengganu.

Namun, batik kemudian lebih berkembang pada 1970-an. Romi Oktabirawa, Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan, menyebutkan sekitar 1.973 pembatik Desa Kerapyak dan Pasir Sari--sekitar Pekalongan--diboyong ke Malaysia. Kebanyakan dari mereka karyawan batik yang dirayu dengan jaminan kesejahteraan. Budaya setempat pun akhirnya terbawa bersama para pembatik yang hijrah.

Nah, sebagai salah satu negara pengusung motif batik, Malaysia rupanya tergiur untuk mendaftarkannya sebagai kekayaan negara ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Jika berhasil mendapatkan hak patennya, apa kata dunia? "Bayangkan nanti kalau pembatik Indonesia mau bikin batik dan memasarkannya, harus bayar hak cipta ke Malaysia," ujarnya.

Sebuah tim pun dibentuk dan gencar melancarkan gerakan penyelamatan budaya tradisional itu. Tim yang tak bernama ini hanya dimotori beberapa orang. Ada Romi Oktabirawa, Asmoro Damais (kurator Museum Batik Pekalongan), Iwan Tirta (seniman batik), dan Dudung Alie Syahbana (pembatik Pekalongan), dengan menggandeng Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Departemen Industri.

"Kini kami tengah melakukan usaha pendekatan dan pencarian bukti guna meyakinkan UNESCO," ujar Romi. Tim ini, kata dia, masih menjaring pembatik dari daerah lain untuk bergabung. Perjuangannya lebih pada upaya mempertahankan merek dagang. Sebenarnya mudah saja mendaftarkan hak cipta ke UNESCO. Apalagi Indonesia telah menjadi anggota sejak dulu. "Tinggal daftar, kumpulkan data riset, lalu diuji oleh UNESCO dan kemudian dinilai. Jika data layak, UNESCO akan turun langsung kelapangan untuk memastikan kebenaran data," ucapnya.

Bila tidak dilakukan sekarang, Romi menyebutkan kita harus menunggu empat tahun lagi, karena pendaftaran hak cipta kebudayaan dibuka setiap empat tahun. Rencananya, pihak UNESCO akan datang ke Pekalongan pada April ini untuk melihat langsung apakah proses budaya tersebut masih berlangsung.

Selain lewat jalur birokrasi, perjuangan juga dilakukan dengan memenangi perlombaan bergengsi yang membuat produk Tanah Air ini tak hanya dikenal secara internasional tapi juga dianggap berkualitas. Penghargaan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai pijakan saat melakukan pemasaran dan publikasi. Selain itu, akan dibuka peluang bagi pembatik untuk ikut dalam workshop, seminar, dan pameran internasional. Selain juga jaringan akan diperluas, setidaknya untuk kawasan ASEAN.

Dari sejarah geografis, memang benar batik bukan cuma ada di Indonesia atau Malaysia. Di Jepang, misalnya, kain ini terkenal dengan nama jawa sarasa atau biasa dikenal dengan nama sarasa, sedangkan di India dikenal dengan nama lakra. Batik pun banyak disebut dalam beragam bahasa, ada yang bilang batick, bathik, battik, batique, batek, serta batix. Orang Jawa biasa menyebut aktivitas membuat batik dengan istilah mbatik, artinya menorehkan titik. Seperti peribahasa yang biasa dipakai Romi, "ngemban titik, mbabate teko setitik, sabar subur telaten bakal panen". Artinya kurang-lebih begini: menorehkan titik sedikit demi sedikit, sabar dan telaten, akan membuahkan hasil.

Menurut Romi, Malaysia juga sempat mendeklarasikan kain tradisionalnya yang mirip batik dengan nama bateek. "Nah, ini dia sekarang masalahnya, Malaysia kini menggunakan kata batik," katanya. Kata yang digunakan ini akhirnya mendunia hingga masyarakat internasional mengenal batik dari Malaysia.

Nah, sampai sekarang iming-iming "indah" agar pembatik Indonesia hijrah ke negeri tetangga itu masih berjalan. Seperti gerakan bawah tanah, perlahan tapi pasti. Inilah cerita Romi, yang pernah sempat dirayu. Saat itu ia meraih Seal of Excellence for Handicraft 2007 dari UNESCO Asia-Pasifik yang berpusat di Bangkok, dan ia dihampiri perempuan dari asosiasi batik di Malaysia. "Bicaranya manis dan menjanjikan," ia mengenang.

Orang Malaysia itu hendak mempekerjakan Romi dengan tawaran yang, alamak, mantap kali. Romi dijanjikan sebuah pabrik batik, biaya kepindahan keluarganya ke Malaysia ditanggung penuh, dan lebih seru lagi: Petronas akan membiayai pameran batiknya di Jepang selama setengah bulan. "Belum lagi, saya bakal digaji 4.000 dolar sebulan," pengakuannya. Tak kurang dari Rp 36 juta bakal dikantongi tiap tanggal satu.

Romi sempat goyah, tapi ternyata kemarahannya terhadap kelakuan Malaysia lebih besar. "Saya menolak dengan alasan halus," ujarnya. Tanpa dusta, ia menyebutkan istrinya segera melahirkan hingga tak mungkin melakoni tawaran itu. Ia sempat iseng bertanya kepada salah satu kontestan batik asal Malaysia. "Kenapa, sih, mengaku batik berasal dari Malaysia?" begitulah pertanyaannya kala itu. Jawabnya sederhana tapi nyeleneh. "Nggak apa-apa, kan nenek moyang kita sama-sama Melayu juga," ujar orang Malaysia itu.

Kalau dicermati, menurut Romi, batik Malaysia belum bisa menandingi batik Indonesia. Tekstur batik Malaysia lebih sederhana, tekstil dan warna desainnya pun seperti daster batik. "Lebih kontemporer dan tidak detail, tak seperti batik sesungguhnya," ucapnya. Apalagi jika dibandingkan dengan motif batik Pekalongan. AGUSLIA HIDAYAH

Tidak ada komentar: