Bangkitnya Batik Nasional

Beberapa tahun lalu, perancang Edward Hutabarat pernah diledek karena terlalu berambisi mengutak-atik batik untuk karyanya. Toh, Edo--sapaan akrabnya--bergeming dan tetap menekuni batik. "Sekarang saya bersukacita, batik nasional bangkit, berada di deretan dunia mode Indonesia dan mancanegara," bisiknya di sela-sela peragaan "Upperground" yang digelarnya dua pekan lalu di Taman Sriwedari, Hotel Sultan, Jakarta.

Pada 2006, Edo penuh percaya diri mengenalkan Part One sebagai rangkaian produk gaya hidup yang terinspirasi oleh berbagai etnis Indonesia yang pengerjaannya sangat profesional oleh para seniman di berbagai wilayah.

"Saat itu saya memakai katun sebagai materi yang saya kombinasikan dengan semua kekayaan bumi pertiwi, seperti bebatuan, aneka tanduk, perak, dan lainnya," kata Edo, yang merancang karyanya menjadi busana santai, berlibur, baju sehari-hari, dan busana pesta. Mengenai pengerjaannya, semua seniman serta perajin batik dan kain dari Laweyan di Solo, Lasem, Pekalongan, Cirebon, Bukittinggi di Sumatera Barat; perajin perak di Bali dan Sumba; sampai penganyam rotan di Kalimantan.

Edo pantas berbangga hati. Langkahnya menampilkan batik katun menjadi rancangan berdaya pakai tinggi bagi masyarakat urban atau kehidupan kosmopolitan sontak diikuti produsen garmen dan usaha kecil menengah yang giat mengembangkan batik nasional. "Pokoknya, inspirasi saya selalu mengerjakan sesuatu yang baru. Ketika mendirikan Part One, saya punya obsesi untuk the next part tidak berhenti di satu titik, tapi selanjutnya tanpa batas."

Pada peragaan ini, Edo memang masih menampilkan Part One yang memakai batik. Hanya, busana itu kini menggunakan materi sutra yang ditenun dengan alat tenun konvensional, bukan mesin. Perancang kelahiran 31 Agustus 1957 ini mengemas batik menjadi tiga hal, yaitu identitas bangsa, sumber kehidupan meliputi air, tanah, udara dan angin, serta devisa atau sumber pariwisata untuk meningkatkan perekonomian bangsa.

"Mumpung masih hangat, tapi saya ingin menciptakan sesuatu yang baru. Batik is not yesterday or today, batik is tomorrow, the next, next, dan seterusnya. Jadi, jangan hangat-hangat tahi ayam. Muncul mengikuti tren, lalu hilang seperti angin," ujarnya panjang lebar.

Edo mengibaratkan kebangkitan batik nasional harus terus menggema dan membahana, jangan hilang di tengah jalan seperti ingar-bingar pesta yang usai begitu saja. Dijelaskannya, keunggulan batik sangat digemari lantaran kekhasannya pada unsur be your self alias apa adanya.

Bagi dia, batik bermakna sifat kesederhanaan, sisi kualitas, serta identitas negeri. Yang harus dibenahi supaya batik bisa bersanding elegan bersama aneka kain mancanegara sekelas Christian Dior, Giorgio Armani, Louis Vuiton, atau lainnya adalah batik harus berunsur global, modern, dan dikenakan para kaum borjuis dalam dan luar negeri.

Dia melihat batik sebagai seni masa lalu yang akan selalu relevan menghadapi perjalanan waktu. Karena itu, menurut dia, di tengah globalisasi, kita harus memiliki identitas seperti batik.

"Namun, pengerjaannya harus modern seiring dengan arus globalisasi, sehingga mampu berkembang dan diterima selera internasional," ujar Edo, yang memakai motif batiknya dalam sentuhan modernisasi serta tuntutan globalisasi masa kini. Dia menghadirkan paduan motif-motif pesisir dan klasik menjadi bentuk busana modern, seperti gaun mini, atasan halter, celana balon, bolero batik, rok mini dan gaun terbuka bermotif polkadot.

"Batik bukan sebuah kelawasan atau masa lalu. Batik adalah bangkit mengikuti relevansi dan perkembangan waktu di masa mendatang," ucap perancang yang dikenal piawai menyulap kekayaan kain lokal selain batik. Dia pernah membuat songket, ulos, tenun ikat, dan batik besurek Jambi menjadi busana siap pakai masa kini nan trendi. HADRIANI P

Tidak ada komentar: