Kulit Manggis Pewarna Alami Batik

BATIK merupakan salah satu kerajinan khas Indonesia. Sebagian besar masyarakat sudah mengenal berbagai coraknya, baik yang tradisional maupun modern. Sayangnya, kini banyak perajin batik yang kesulitan meningkatkan produksinya, karena harga bahan baku yang makin mahal, termasuk pewarna sintetis.

Selama ini, kebanyakan perajin masih menggunakan pewarna sintetis impor. Selain harganya cukup mahal, penggunaan pewarna sistesis juga membahayakan manusia serta lingkungan hidup, karena bersifat karsinogenik dan merusak lingkungan.

Sebagian industri batik rumahan di Pekalongan, yang merupakan sentra batik, membuang limbahnya ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dulu. Akibatnya, air sungai menjadi tercemar dan tak dapat dimanfaatkan lagi.

Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke sumur-sumyur penduduk. Padahal, sumur itu menjadi sumber air utama untuk keperluan hidup sehari-hari. Keadaan ini sudah berlangsung lama dan hingga kini belum teratasi.

Pemerintah Jerman dan Belanda telah melarang penggunaan pewarna yang terbuat dari bahan kimia, naphtol, maupun garam diazonium yang dapat menyebabkan kanker kulit. Pewarna alami lebih ramah lingkungan, dan tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan manusia.

Penggunaan pewarna alami menyebabkan warna batik terasa lebih sejuk. Itu sebabnya, batik warna alami lebih diminati wisatawan mancanegara daripada batik dengan pewarna sintetis.

Pemanfaatan Manggis

Penggunaan pewarna alami perlu disosialisasikan kepada masyarakat terutama perajin batik. Apalagi proses pembuatannya sederhana, dengan menggunakan bahan yang banyak dijumpai di Indonesia, yaitu kulit buah manggis (Garcinia mangostana).

Kulit buah manggis mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tanin, dan bisa digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tanin termasuk salah satu zat pewarna alami yang terdapat pada berbagai tumbuhan, termasuk kulit manggis.

Ketika bereaksi dengan logam, senyawa tanin membentuk zat warna mordan. Untuk mendapatkan pewarna kuning sampai coklat, yang sering digunakan pada batik tradisional, dapat memanfaatkan kulit manggis yang kaya tanin tersebut.

Prosedur yang perlu dilakukan untuk menghasilkan pewarna alami dari kulit manggis adalah sebagai berikut. Pertama, buah manggis dipisahkan dari buahnya, kemudian kulit dikeringkan. Setelah kering dihaluskan agar dalam ekstraksi bisa mendapatkan hasil sempurna.

Kedua, melarutkan kulit manggis yang telah diblender ke dalam petroleum eter. Bahan-bahan dari tanaman biasanya mengandung lemak atau lilin yang sangat non-polar. Petroleum eter termasuk senyawa non-polar, sehingga sering menyebabkan terbentuknya emulsi.

Karena itulah, senyawa-senyawa ini perlu dipisahkan dari bahan tanaman dengan cara perkolasi atau sokletsasi bahan tanaman dengan petroleum eter.

Ketiga, setelah lemak dipisahkan, kulit manggis diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 95 %. Etanol merupakan pelarut organik yang biasa digunakan dalam mengekstraksi senyawa alkaloid dari berbagai tumbuhan. Selain itu, etanol lebih ramah lingkungan daripada metanol.

Keempat, larutan basa berair diekstrak dengan kloroform. Proses ini dimaksudkan untuk memisahkan tanin dengan senyawa-senyawa lain.

Kelima, senyawa tanin yang didapatkan ini kemudian diuapkan untuk mendapatkan kristal berwarna coklat. Kristal inilah yang nantinya digunakan untuk mewarnai batik, melalui pencelupan warna. Selain kulit manggis, masih banyak senyawa yang bisa digunakan sebagai zat pewarna alami. Lebih bagus lagi ketika yang digunakan merupakan sesuatu yang selama ini dibuang begitu saja. Dengan begitu, otomatis kita telah meminimalisasi limbah di alam. (Miranita Khusniati, mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Unnes-32)

Tidak ada komentar: