Batik Sebaiknya Gunakan Pewarna Alami

YOGYAKARTA, SENIN – Industri pembuatan kain batik, baik skala kecil maupun menengah, diimbau untuk menggunakan pewarna alami daripada pewarna tekstil sintetis. Limbah hasil pencelupan batik dengan pewarna alami dinilai lebih aman dan tidak menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.

“Karena berasal dari alam, dengan sendirinya zat-zat yang terkandung dalam pewarna alami dapat mudah terurai. Berbeda dengan pewarna tekstil sintetis yang sulit terurai di alam,” ujar Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DIY, Harnowati, Senin (31/3).

Limbah dengan pewarna tekstil sintetis akan mencemari sumber-sumber air warga, baik yang dibuang ke sungai, atau yang dibuang ke tanah karena akan mudah masuk ke sumur. Dampak pencemaran baru terasa setelah beberapa puluh tahun kemudian, terutama bagi kesehatan warga, yakni ancaman kanker atau gangguan pencernaan akibat akumulasi zat-zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh melalui air minum.

Menurut pantauan Bapedalda DIY, tingkat pencemaran air sungai maupun air bawah tanah oleh limbah hasil pencelupan batik masih dalam ambang toleransi. Akan tetapi, pencemaran ini harus diantisipasi sejak awal agar tidak sampai ke tahap mengkhawatirkan seperti yang terjadi di beberapa sentra batik di Jawa Tengah, seperti Solo dan Pekalongan.

Pihak Bapedalda DIY sendiri sudah menyampaikan imbauan ini dalam setiap kegiatan bimbingan teknis atau pelatihan penerapan teknologi ramah lingkungan bagi pembuat batik sejak lama. Hasilnya, menurut Harnowati, cukup baik. Sudah banyak industri batik yang beralih ke perwarna alami.

Hal ini juga diakui Widodo, pembuat pasta warna batik alami asal Desa Banaran, Galur, Kulon Progo. Menurutnya, permintaan pewarna batik alami dari desainer maupun toko-toko batik di Yogyakarta terus mengalir. “Jenis warna yang paling banyak diminati saat ini adalah biru. Oleh karena itu, kami menyediakan pasta warna biru yang berasal dari olahan daun indigo,” tutur Widodo.

Selain warna biru, terdapat pula pasta dengan warna-warna lain seperti coklat dari hasil rendaman kayu mahoni, coklat kemerahan dari buah enau, atau hijau dan kuning yang berasal dari rendaman aneka dedaunan. Hanya saja, diakui Widodo, jumlah produksi pasta warna alami masih terbatas, karena tidak dibuat secara massal.

Ia melanjutkan, jumlah tenaga pembuat pasta warna alami masih kurang. Ini dikarenakan belum ada regenerasi pembuat pasta di kalangan remaja. Selain itu, kesadaran generasi muda untuk melestarikan pewarna alami juga rendah.

YOP

Tidak ada komentar: