Sebuah Upaya Meminimalisir Pembajakan Batik

SETIAP pengrajin batik sudah seharusnya mengukir nama dan judul karyanya pada sebuah lembaran kain. Hal itu penting guna meminimalisir terjadinya pembajakan atau penipuan pada produk batik.

Pesan itulah yang mencuat dari acara talkshow berjudul "Pemahaman & Penghayatan Seni Batik". Digelar di Jalan Cikini Raya 24, acara yang dikemas dalam obrolan santai itu cukup menjawab kegelisahaan para anggota dari Himpunan Ratna Busana, selaku penggagas acara.

"Sebenarnya untuk melestarikan batik itu perlu campur tangan pemerintah. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur soal pencantuman nama pembatik dan judul koleksi batik pada lembaran kain. Artinya ada pengawasan dari pemerintah. Kalau tidak ada yang ngawasi, ya tidak karu-karuan. Jadi kayak lalu lintas aja harus ada yang ngawasi," tutur Ketua Seksi Pendidikan Himpunan Ratna Busana Noes Moeljanto Djojomartono kepada okezone, Selasa (6/5/2008).

Wanita berumur matang yang juga aktif di Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia (Wastraprema) ini mengatakan, selama ini memang sudah ada pembatik yang mencantumkan nama dan judul dari koleksinya, namun jumlahnya juga belum banyak. Sehingga masalah pembajakan atau penipuan pun tak bisa dihindari dan sangat merugikan pengrajin yang betul-betul concern pada batik.

"Apalagi sekarang, banyak perancang luar yang mamasukkan unsur batik pada koleksinya. Kalau kita tidak waspada, bisa jadi kekayaan budaya kita diklaim oleh mereka," jelasnya.

Untuk itulah para perancang lokal sudah seharusnya tersentil dengan keadaan tersebut. Hanya, lanjut Noes, para perancang Nusantara ini perlu juga dibekali dengan wawasan mengenai sejarah budaya Indonesia, agar ketika mencipta sebuah busana tidak melenceng dari pakem.

"Saya lihat perancang kita memang banyak yang sekolah tinggi, namun masih kurang mendapatkan pembekalan sejarah budaya Indonesia. Untuk itulah perlu adanya penambahan wawasan akan hal itu," tambahnya.

Sementara itu, desainer Musa Widyatmodjo yang hadir sebagai undangan mengaku tak keberatan dengan saran dari Noes. Menurutnya, busana yang memperhatikan pakem tak berarti membatasi kreativitas dari seorang desainer.

"Buat saya memang bukan menjadi suatu pembatasan, tetapi suatu kreativitas. Artinya, kreativitas yang terkontrol. Semakin saya mengetahui budaya, tata krama, dan memahami apa itu adat serta filosofi budaya, semakin membuat saya takut dan berhati-hati dalam membuat inovasi. Jangan sampai inovasi yang kita lakukan itu justru merusak warisan yang sudah ditinggalkan," paparnya panjang.

Musa pun setuju dengan usulan agar para pembatik mencantumkan nama dan koleksinya tersebut. Menurutnya, setiap batik memang harus ada satu keterangan apakah itu batik cap atau batik tulis, karena itu merupakan pembelajaran dan komitmen dari si pembuat ataupun penjual ketika mereka membuat sesuatu agar lebih sadar dan tidak melakukan penipuan.

"Untuk melakukan hal itu memang sudah menjadi panggilan jiwa, tak terkecuali bagi para desainer ketika mencipta busana. Lain apabila melakukan sesuatu dengan tulus, untuk komersial atau untuk cari muka. Kalau kita kerjakan dengan tulus, itu berarti kita harus niat untuk belajar memahami, mengolah, dan mempertanggungjawabkan karya yang kita buat," pungkasnnya.
(tty)

Tidak ada komentar: