Kiprah Iwan Tirta yang Rancangan Batiknya Dikenakan Bill Gates

Gagal Jadi Duta Besar, Sukses Jadi Duta Batik

Ketika tampil di hadapan ribuan undangan yang memadati Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC) Jumat lalu, Bill Gates, bos Microsoft Corporation, mengenakan batik rancangan Iwan Tirta. Nama pria 73 tahun itu sudah tak asing lagi di kalangan pecinta batik tanah air. Hingga kini, karya batik Iwan sudah dipakai 18 presiden dari seluruh dunia.

Sugeng Sulaksono - Jakarta

Gayanya sangat sederhana. Mengenakan celana pendek doreng dipadu kaus berkerah merah, Iwan tampak bersahaja ketika menerima Jawa Pos kemarin sekitar pukul 14.00 di Restoran Kembang Goela.

Jalannya sudah tidak lagi sempurna. Terkadang dibantu tongkat. Rambutnya sudah memutih. Di usianya yang sudah senja, pria kelahiran Blora, 18 April 1935, itu tetap semangat memperkenalkan batik, salah satu ikon budaya Indonesia, kepada dunia.

Dia lantas mengomentari batik karyanya yang dikenakan Bill Gates saat berkunjung ke Indonesia. Iwan mengatakan, model batik yang dikenakan Gates sudah ada sejak abad ke-7 Masehi di kawasan Candi Prambanan. "Tapi, dikembangkan di Solo. Akhirnya menjadi khas Mangkunegaran," ujarnya.

Iwan berpendapat, sejak zaman dulu, seorang tamu agung tidak boleh diberi batik yang murah. Orang yang berkedudukan tinggi selalu diberi batik bemotif khas supaya terlihat beda jika berdiri di antara rakyat. "Kalau di Prancis, sejak dulu selalu ditandai dengan kembang lili. Fleur de Lis," tuturnya, sambil menggambarkan contoh bunga lili itu di atas secarik kertas.

Bagaimana kisahnya hingga Iwan bisa meyakinkan Gates agar mau mengenakan batik karyanya? Awalnya, ujar dia, pria terkaya nomor tiga di dunia itu juga menolak. Tapi, setelah Iwan mengatakan bahwa pakai batik itu otomatis bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan, Gates langsung bersedia. "Harus ada unsur charity-nya," paparnya.

Gates bukan tamu negara pertama yang mengenakan batik karya Iwan. Dari data yang dia punya, tercatat 18 nama presiden yang datang ke Indonesia dari berbagai negara di belahan dunia mengenakan batiknya.

Terutama saat digelar KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) VI negara-negara anggota APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation -Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) yang digelar di Indonesia pada 1994. Presiden Amerika Serikat Bill Clinton hadir di acara tersebut.

Ketika itu, dress code-nya memang batik. Dengan demikian, tamu-tamu negara se-Asia Pasifik yang datang ke konferensi yang bertempat di Istana Bogor itu mengenakan batik dan mayoritas adalah rancangan Iwan. "Banyak orang bilang ke saya, lihat... Istana membatik dan itu batik milik kamu (Iwan)," kata Iwan menirukan komentar salah seorang teman. "Saya sendiri waktu acara itu berlangsung sedang tidur," kenangnya, lantas tersenyum.

Tapi, setelah itu, Iwan dihujani kritik. Gara-garanya, Clinton yang mengenakan batik warna gelap mengenakan celana bahan cokelat sehingga terlihat tidak matching. "Saya bilang, itu bukan salah saya. Salah protokolnya. Saya hanya bikin batik, kok," timpal pria yang batiknya juga pernah dikenakan mantan Presiden Amerika Ronald Reagan itu.

Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela termasuk pelanggan Iwan. Saat datang ke Indonesia, Mandela bahkan berminat mengenakan batik sebelum ditawari. Begitu pulang ke negaranya, dia masih mengenakan batik karya Iwan. Beberapa kali Mandela minta dikirimi batik karya Iwan ke negaranya. "Biasanya (minta dikirim) lewat Deplu (Departemen Luar Negeri, Red)," imbuhnya.

Menurut Iwan, Mandela memang tidak gemar memakai jas. "Saya pernah bilang ke Mandela, tidak usah dari saya terus (batiknya). Masih banyak batik lain bagus-bagus dari Indonesia. Saya tidak mau memonopoli. Di Afrika juga saya lihat sudah ada produksi batik mirip-mirip dengan kita," lanjut Iwan.

Almarhumah Ny Tien Soeharto (istri mantan Presiden Soeharto) termasuk penggemar batik Iwan. Suatu ketika, cerita Iwan, dia pernah dimintai pertimbangan Ibu Tien. Kepada Iwan, Bu Tien mengatakan ingin memberikan hadiah batik kepada Nancy Reagen (istri Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen). Tapi, hadiah itu nilainya tak boleh lebih dari USD 200. "Padahal, batik saya yang mau diberikan itu harganya tiga ribu dolar. Akhirnya, biar diterima, batiknya saya gratiskan," kisahnya.

Ketika pelaksanaan KTT Keenam APEC 1994 itu, Iwan juga menggratiskan batik-batiknya yang dikenakan sebagian besar kepala negara peserta KTT. Padahal, saat itu Bu Tien sempat berniat akan membayarnya. "Mas Iwan, ini batiknya sudah pada dibayar belum?" tanya Bu Tien saat itu, seperti ditirukan Iwan.

"Tapi, Titiek (anak Soeharto, mantan istri Prabowo, Red) itu jeli. Dia bilang, Ibu kok takok-takok (tanya-tanya, Red). Tidak usah dibayar saja, nilai publikasinya sudah lebih dari 10 ribu dolar," kisahnya.

Memang, bagi Iwan, publisitas untuk mempromosikan batik karyanya sangat penting. Saking pentingnya publisitas, suatu ketika saat show di Manila, Iwan tak keberatan diwawancarai wartawan New York Times meski saat itu sudah jam 11 malam.

"Langsung saya suruh humas saya, ya humas-humasan, untuk ambil semua dokumen di koper dan saya ladeni wawancaranya," ungkap pria bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja itu.

Bagi Iwan, dalam mengembangkan batik, publisitas tidak selalu dinilai dengan uang. Pria yang sampai sekarang masih tekun membatik sendiri itu selalu menekankan pentingnya PR (public relation).

Apakah karena Iwan memiliki latar belakang akademis sebagai PR? "Bukan," kata Iwan. Latar belakang pendidikannya sangat berseberangan dengan karirnya sebagai pembatik.

Iwan pernah menjadi dosen di jurusan hukum internasional selama 12 tahun di Universitas Indonesia (UI). Menurut dia, para duta besar muda dari Indonesia sekarang adalah murid-muridnya.

Iwan memang alumnus jurusan magister hukum internasional dari UI (lulus 1958). Ilmu serupa juga dia gali di University of London, Inggris, selama dua tahun dan di Amerika selama empat tahun (1964-1968). "Ketika di Amerika, saya nyambi mengajar di Cornell University. Ketika ada peristiwa PKI, saya sedang berada di sana," tuturnya.

Kuliah jurusan hukum internasional merupakan bagian dari keinginan ayahnya, Moh Hussein Tirtaamidjaja SH, yang pernah menjabat ketua pengadilan negeri. "Ayah saya ingin saya jadi Dubes, tapi tidak kesampaian. Akhirnya jadi duta batik saja," ujarnya, lantas tertawa.

Iwan memutuskan berhenti mengajar sebagai bentuk pemberontakan terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang, menurut dia, kurang baik. "Mahasiswa mesti nurut sama dosen. Diminta patuh dan menghapal dari diktat. Seharusnya kan mahasiswa bisa berdebat dan berpendapat, jangan hanya dari hapalan," tegasnya.

Meski demikian, Iwan merasakan dirinya seperti tidak pernah meninggalkan dunia pendidikan. Setiap seminar dan diskusi, Iwan masih seperti memberikan kuliah kepada orang lain. "Masih sering ceramah di mana-mana, tentang batik, tentang ini itu," ujarnya.

Ketika ditemui Jawa Pos di Restoran Kembang Goela, Iwan mengaku sedang bertugas. "Saya kebetulan penasihat restoran ini. Sama dengan di Restoran Bunga Rampai," ucapnya.

Sebagai seorang saksi sejarah yang pernah hidup pada masa penjajahan, Iwan tahu masakan Eropa peranakan. "Karena saya mengalami langsung dan tahu rasanya seperti apa, saya diminta jadi penasihat," terangnya. (kum)

Tidak ada komentar: