Batik Tulis Suku Using di Ambang Kepunahan

Keluhuran seni batik ini konon menjadi daya tarik penjajah Belanda dan Jepang untuk mengoleksinya. Bahkan, pada zaman Majapahit batik tulis Banyuwangi menjadi barang paling mewah untuk disembahkan kepada raja. Para pedagang asal Cina pun menyukai batik tulis ini. Ini dibuktikan motif gambarnya ada yang mirip kain asal Cina.

Batik tulis kian termasyhur seiring berkembangnya kesenian Gandrung. Kain batik yang dikenakan dipercaya mampu menambah kecantikan seorang penari. Motifnya yang semarak dan lembut diyakini mampu menambah wibawa dan keanggunan penari Gandrung.

Sayang, kini batik tulis Banyuwangi mulai ditinggalkan orang. Kian hari jumlah perajinnya terus menurun. Kini, jumlahnya tidak lebih dari 100 orang; hampir semuanya berusia lanjut. Perajin yang ada kebanyakan membatik karena kebutuhan ekonomi.
Mereka sering mengabaikan tingginya nilai seni. Tidak jarang pembatik hanya dibayar murah.

Jumlah pengusaha batik tulis di Banyuwangi juga tidak banyak; hanya tiga orang. Mereka di tiga tempat, yakni Verdes di daerah Tampo, Sidorejo, Kecamatan Purwoharjo, dan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi.

Kurang, minat generasi muda yang mau terjun ke dunia seni batik. Mereka enggan belajar membatik dengan alasan kurang telaten. Prospek ekonomi yang kurang menjajikan juga menjadi alasan lain. “Pembatik memang harus berjiwa seni. Ini yang sulit ditemukan,” kata Ahmad Sudjiran, Kabid Perindustrian Dinas Perindag. dan Penanaman Modal Kabupaten Banyuwangi.

Ia menjelaskan, pemerintah telah berupaya menyelamatkan batik tulis dari ancaman kepunahan. Tiap tahun digelar pelatihan pembuatan batik. Mereka yang tidak memiliki darah seni cenderung enggan mendalami seni batik tulis.

Namun, berbagai kelompok seni batik yang banyak tersebar di Sidorejo kini mulai dimotivisir untuk terus berkarya. Mereka diberi kredit lunak. “Jumlahnya sekarang lumayan,” ujarnya.

Sebenarnya tahun 1980, batik tulis Banyuwangi mulai hidup kembali, setelah sebelumnya sulit ditemukan. Ketika itu Banyuwangi dipimpin Bupati Joko Warsito. Bupati asal Madura itu melihat seni batik Banyuwangi mampu dibangkitkan sebagai aset wisata. Pembatik tradisional di Temenggungan diinventarisir dan dimotivisir untuk terus membatik. Saat itu langkah ini berhasil.

Lambat laun, batik tulis kembali merosot. Menariknya, selama ini pemasaran ke luar negeri justru dibuka para TKI (tenaga kerja Indonesia). Mereka sering mendapat pesanan dari pengusaha di luar negeri ketika bekerja di sana.

Kini, pemerintah berupaya membangkitkannya kembali dengan memberikan pelatihan modern bagi pembatik. Pelatihan itu difokuskan pada pembuatan produk berkualitas dan mengikuti permintaan pasar. “Tidak cukup berpatokan pada motif lokal. Permintaan pasar juga diperhatikan,” kata Ahmad Sudjiran.

Promosi dilakukan dengan mengikuti pameran bertaraf nasional maupun internasional. Ke depan, pemerintah berencana memasukkan keterampilan batik tulis sebagai muatan lokal di sekolah. - udi


Motif Gajah Oling paling Diminati

TIDAK semua pengusaha batik tulis Banyuwangi bersedia memasarkan produknya ke luar daerah. Meski permintaan cenderung banyak, mereka lebih memilih diam di tempat. Cara ini dilakukan agar peminat batik datang. Para kolektor batik datang untuk mencari kualitas batik yang bagus.

Harga batik tulis Banyuwangi yang relatif mahal sering menyebabkan kalah bersaing dengan batik cetakan yang harganya lebih murah. Para pengusaha yakin mereka yang fanatik akan mencarinya.

Begitulah yang terjadi di Banyuwangi selama ini. Penggemarnya mengenal batik tulis Banyuwangi akibat komunikasi getok tular sesama penggemar batik. Tak mengherankan, berapa pun harga batik pasti akan selalu diserbu.

Harga yang cenderung murah di pasaran inilah yang membuat pengusaha batik tulis berat membuka pasar di luar, termasuk di Bali. Lebih murahnya rata-rata harga batik di Bali, membuat pengusaha batik tulis Banyuwangi enggan memasarkan produknya ke Bali.
“Saya memilih memasarkan di Banyuwangi ketimbang di Bali,” kata Ana Neni. Tahun 1980, Neni pernah kedatangan seorang eksporter asal Bali yang akan menawarkan produknya ke luar negeri. Karena harga yang ditawarkan murah, pemilik sanggar batik tulis Sritanjung ini menolaknya.

Neni menuturkan, pasar batik tulis sebenarnya sangat menjajikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesanan dari luar daerah. Tamu dari luar negeri juga sering melirik batik tulis Banyuwangi. “Tamu dari Prancis paling banyak menyukai batik tulis,” ungkap Neni.

Mahalnya harga batik tulis disebabkan bahannya mahal dan proses pembuatannya rumit. Untuk membuat sejenis motif batik diperlukan waktu paling cepat dua minggu, bahkan ada yang sampai dua bulan. Bahan batik tulis dibuat dari kain sutra dan katun yang berkualitas. Karena itu harganya mahal. Harga sejenis motif batik tulis Rp 500.000 s.d. Rp 4 juta.

Menurut Neni, pemesannya dari kalangan instansi pemerintah dan sanggar kesenian. Mereka tidak hanya berasal dari Banyuwangi. Sanggar seni dari Surabaya dan Jakarta paling sering memesannya. Sekali pemesanan mencapai ratusan lembar.

Perancang mode juga kerap memesan batik. Dari sekitar 12 jenis motif batik, gajah oling paling banyak diminati pembeli. Motif gajah oling berupa gambar tetumbuhan yang dipadu dengan binatang. Beberapa motif lainnya yang juga diminati, misalnya beras kutah dan kopi pecah.

“Pernah dari Kalimantan memesan batik tulis dalam jumlah besar,” ujar Neni yang pernah mengikuti pameran batik internasional di Yogyakarta tahun 1997. - udi



Mak Acum Membatik sejak Zaman Jepang

USIA tua tak menyurutkan semangat sosok wanita ini untuk terus membatik. Dia adalah Mak Acum, pembatik senior di Banyuwangi. Jari-jemari wanita kelahiran Temenggungan, 75 tahun silam ini, tetap lentik memainkan malam. Saat ditemui Tokoh pun, dia sedang asyik membatik di samping rumahnya.

Hampir semua penggemar batik di Banyuwangi mengenalnya sebagai perajin batik andal. Ia belajar membatik dari neneknya pada zaman penjajahan Jepang, 1942 – 1945.
Di balik kesederhanaan penampilannya tersimpan harta karun tak terhingga, yakni berupa kepiawian membatik yang sulit ditiru pembatik lainnya. Saat membatik hingga kini, wanita ini tidak mengenakan kaca mata. Padahal, kebanyakan motif yang harus digambar berukuran kecil.

Dalam sehari Mak Acum mampu menghasilkan satu lembar kain batik. Umumnya, bagi para pemula, satu lembar kain batik paling cepat diselesaikan tiga hari.

Pembatik yang telah puluhan tahun menjalankan profesinya ini menuturkan, dalam membatik kesabaran dan ketelatenan harus tetap dijaga. Membatik diibaratkan orang melukis. Pencampuran warna dan kepiawian memainkan malam menjadi syarat utama.

Berbagai pameran pernah diikuti Mak Acum untuk mengenalkan hasil karyanya. Karyanya sering menjadi duta Banyuwangi dalam pameran batik. “Tapi sekarang sudah tidak pernah. Umur saya ‘kan sudah tua,” ujarnya.
Mak Acum menyayangkan minimnya generasi muda yang mau terjun ke dunia batik. Dia mengaku mengalami kesulitan untuk menurunkan ilmunya. Bahkan, tidak satu pun keluargnya yang mau belajar membatik.

Mak Acum juga sering memberikan kursus singkat kepada para pelajar dan sejumlah warga untuk belajar membatik. Sayangnya, tidak satu pun yang mau melanjutkan profesi ini. Mereka menempatkannya sekadar hobi atau untuk tugas akhir sekolah.
Mak Acum menyatakan tekadnya akan terus membatik hingga benar-benar merasa tidak mampu lagi. – udi

Tidak ada komentar: