Perajin Batik Tulis Mengeluh

Krisnina Maharani Tandjung (kiri), Rabu (16/4) menunjukkan macam-macam motif dan asal batik dalam talk show The Mystery of Batik and French Art Nouvean Jewelry di Hotel Tugu Kota Malang, Jawa Timur. Keberadaan batik tulis saat ini tersaingi oleh batik printing pabrik yang harganya lebih murah.

MALANG, RABU- Perajin batik tulis mengeluhkan semakin sulitnya mempertahankan eksistensi batik tulis di tengah gempuran batik pabrikan atau batik printing. Hal itu dilontarkan perajin batik dalam talk show The Mystery of Batik and French Art Nouvean Jewelry, Rabu (16/4) di Hotel Tugu Malang.

“Perajin batik tulis saat ini kesulitan. Sebab batik tulis kita saat ini seringnya dikalahkan oleh kain bermotif batik buatan pabrik. Dari sisi harga, batik tulis jauh lebih mahal dibanding batik tulis. Hal ini kadang yang membuat kami berfikir, bagaimana kami para perajin batik tulis ini bisa bersaing dengan kain bermotif batik buatan pabrik?,” tutur Srianna, perajin Batik Satrio Manah asal Tulungagung yang hadir dalam talk show tersebut.

Srianna mengungkapkan, selembar batik tulis motif satrio Manah miliknya minimal bisa seharga Rp 600.000 per potong. Harga itu masih akan berlipat-lipat ketika sudah sampai di butik atau toko. Kondisi itu menurut Srianna jauh berbeda dibandingkan dengan harga kain batik printing yang dijual bebas di Pasar Senen Jakarta di mana dengan harga puluhan ribu saja sudah bisa mendapatkan kain motif batik.

“Terkadang hal ini yang tidak bisa dimengerti masyarakat. Kadang mereka tidak menghargai batik tulis sebagai karya seni namun hanya dipandang sebagai komoditas bisnis,” ujarnya.

Ia menceritakan, dahulu tahun 1950-an di Tulungagung marak para perajin batik. Namun sejak tahun 1970-1990-an, batik tulis Tulungagung mati suri. Sebab kala itu gempuran batik pabrikan mulai marak. Namun Srianna mengaku, ia masih beruntung sebab tahun 2002 mulai dibina oleh Pemda Tulungagung. Dan hingga sekarang ia masih terus eksis dan bisa mengekspor batik hingga ke Swiss.

Pengamat batik yang turut mengembangan Kampung Batik Laweyan Solo, Krisnina Maharani Tandjung, dan juga selaku pembicara dalam talk show tersebut mengatakan bahwa kondisi itu terjadi karena masyarakat belum mencinati batik sebagai karya seni agung nusantara. “Masyarakat tidak tahu bagaimana sulitnya membuat batik, bagaimana lamanya proses membuat batik, dan tidak semua orang bisa membatik. Kalau mereka tahu, maka mereka tidak akan mempersoalkan harga batik tulis lebih mahal dibanding batik printing. Yang dibutuhkan saat ini adalah menanamkan kecintaan terhadap batik. Kalau mereka benar-benar mencintai batik tulis, maka tidak akan tergoda oleh batik-batik lain meski harganya lebih murah,” ujar Krisnina.

Upaya menanamkan kecintaan terhadap batik menurut Krisnina bisa dilakukan dengan diterapkannya kurikulum membatik di sekolah. “Dengan diajarkan cara membatik di sekolah, maka sejak dini generasi penerus dilatih dan ditanamkan kecintaan terhadap budaya bangsa,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah daerah juga diminta turut menggalakkan pemakaian baju batik pada kesempatan atau waktu-waktu tertentu. “Misalnya seminggu sekali pegawai pemda diminta memakai batik. Maka setidaknya ini akan membuat mereka terbiasa dengan karya dan budaya sendiri,” ujarnya.DAHLIA IRAWATI

Tidak ada komentar: