Benang Tembaga Si Pelaris Batik

Berani menciptakan produk sendiri dan jangan menjiplak.

Suroso, 37 tahun, sigap melingkarkan kain sutra batik ke pinggang ramping pelanggannya. "Ini cantik, Bu. Cocok dengan kulit Ibu," katanya. Lalu aksesori sejenis bros penjepit berhias benang tembaga dan tiga buah batu akik warna-warni diselipkan ke ujung kain. Kedua ujung kain pun menyatu dalam rekatan aksesori tembaga. Si batik sutra pun menjadi lebih anggun, manis, dan trendi.

Ibu muda itu terlihat puas akan hasil hiasan aksesori tembaga. Tanpa ragu, dia memborong aksesori yang dijual oleh Suroso. Sebuah aksesori tembaga untuk kain, sepasang anting, dan tak ketinggalan sebuah cincin tembaga.

Roso, panggilan akrab Suroso, sudah menikmati hasil jerih payah bisnis selama delapan tahun. Namun, dia tak pantang menjajakan produk langsung ke konsumen. Padahal ada 50 karyawan yang siap diperintahnya ke mana saja. "Pelanggan sering protes jika sulit bertemu dengan saya," katanya saat ditemui Tempo di bazar Darmawangsa Square, Jakarta, beberapa hari lalu.

Roso telah memiliki banyak pelanggan tetap. Dia memang lumayan punya nama di kalangan pencinta batik dan aksesori. Lewat bendera CV Rosano Natural Dyes, Roso menjajakan batik berciri alam dengan teknik pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian. Terakhir dia memodifikasi batik dengan balutan jins.

Pelanggan setia Roso kerap memenuhi gerainya di Sogo Plaza Indonesia, Pasaraya, serta Centro Bali dan Depok. "Saya menjalin kerja sama dengan pemilik mal. Jadi tak perlu sewa tempat, hanya bagi hasil," ujarnya.

Batik berciri alam, menurut Roso, tak lagi cukup. Tiga tahun belakangan Roso mengembangkan aksesori pemanis batik yang berbahan dasar tembaga. Pemanis inilah yang membuat batik semakin laris. "Ini membuat semakin banyak orang tertarik pada pakai batik," katanya.

Tembaga jadi pilihan, menurut Roso, karena harga perak dan emas kelewat mahal. Lagi pula, dengan desain yang apik, tembaga tak kalah indah. "Sayangnya, belum banyak perajin yang memanfaatkan tembaga," kata Roso.

Aksesori dari tembaga buatan Roso di antaranya timang bulat besar, mata tiga, matahari, kelopak mawar, ukel kecil, dan wadid kecil. Hiasan ini bisa digunakan dengan luwes untuk hiasan kain batik, bros di baju batik, perekat syal, pemanis kerudung, atau untuk kalung. Aksesori dari tembaga pun tersedia, seperti cincin, kalung, gelang, dan anting.

Produk aksesori Roso diberi label Aryawiguna. "Itu diambil dari nama anak kedua saya," kata bapak dua anak, M. Aprilio Priambadha, 9 tahun, dan Syafarosso Aryawiguna, 6 tahun, itu. Desain untuk aksesori langsung ditanganinya. Adapun pengerjaannya dilakukan oleh karyawannya di bengkel kerja di Kotagede, Yogyakarta.

Bahan baku tembaga mudah diperoleh di Kotagede. Ada dua metode pengerjaan yang dipilih Roso, yakni filigri dan tatahan. "Metode filigri banyak berkembang di Bali, tapi sayangnya desain di sana sudah campuran gaya internasional," katanya. Roso pun lebih berfokus pada gaya filigri dengan desain ornamen-ornamen lokal.

Metode filigri, dia menjelaskan, dengan benang tembaga yang diurai satu per satu untuk didesain bebas. Setelah desain beres, benang tembaga kemudian dipatri agar permanen. Adapun pada metode tatahan, lempengan tembaga dibentuk lewat proses pengetokan.

Harga aksesori bervariasi di kisaran Rp 100 ribu. Produk ini laris manis, dalam dua minggu terjual lebih dari 100 unit. "Tergantung pesanan juga," katanya. Untuk batik, Roso memasang harga mulai Rp 190 ribu hingga Rp 2 juta. "Total omzet, untuk beragam produk, Rp 150 juta sebulan," ujar Roso.

Butuh perjalanan panjang bagi Roso untuk mencapai omzet saat ini. Roso, yang lulusan Akademi Bahasa Asing YIPK Yogyakarta Jurusan Sastra Prancis, sebelum kuliah, gemar ikut lomba desain. Pascakuliah, dia pun ambil kursus desain di Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia (PAPMI) Yogyakarta (sekarang Lembaga Pendidikan Kejuruan PAPMI Yogyakarta).

Bekal kursus desain diasah lagi dengan magang di perusahaan garmen. "Saya punya prinsip," katanya, "jika ingin menjadi perancang busana, harus mampu melakukan pecah pola dan menjahit."

Setelah menjalani magang dua tahun di perusahaan garmen, Roso memberanikan diri menjadi wirausaha batik. Modal awal pada 1999 sekitar Rp 5 juta. Setelah mengamati dunia usaha batik dengan jeli, Roso mengambil spesifikasi batik dengan warna alam. "Saya ingin berbeda dengan tren yang ada," ucapnya.

Keberhasilan menjual sesuatu yang berbeda dengan kekuatan kreativitas diri adalah kunci sukses Roso. "Harus berani tak hanya jadi pengikut, tapi menciptakan produk sendiri," katanya, "dan jangan pernah menjiplak."

Kreativitasnya inilah modalnya mengarungi pasar yang lebih besar. "Target ke depan membuka pasar seluas-luasnya," ujarnya. Tahun ini Roso lebih serius menjajaki pasar Eropa. Pasar ini dijajaki Roso setelah berpameran di Belanda dan Jerman tahun lalu.

Bengkel seribu meter persegi di Jalan Wonosari Kilometer 7, Wiyono Kidul, Yogyakarta, kini telah dimiliki Roso. Di sinilah sang perajin menumpahkan kreativitasnya dalam berbagai eksperimen. Hiasan dengan benang-benang tembaga hanyalah permulaan. Roso siap menggebrak dengan produk lain yang tak kalah kreatif. YULIAWATI

Tidak ada komentar: