Menyisir Batik Pesisir

Batik juga berkembang di luar Pulau Jawa dengan mengadopsi corak lokal.

Masina mungkin tak pernah menyangka, selembar kain merah darah buatannya, bergambar awan kelabu dengan delapan gradasi warna yang eksotis, kini melanglang ribuan kilometer dari tempat asalnya. Itulah megamendung, batik tulis Cirebon yang terkenal hingga negeri seberang.

Kini batik asal Trusmi, Cirebon, itu terpajang di Indonesian Mission to the United Nations di New York. Selembar batik lainnya, yang dibuat Masina pada 1962, tetap berada di Museum Nasional, Jakarta.

Awalnya, batik dikenal sebagai milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Namun, kini, sejumlah daerah di Indonesia mulai melahirkan batik, yang sebagian besar motifnya hasil adaptasi dari daerah setempat. Unik dan cantik.

Biranul Anas, pakar batik dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan, berdasarkan coraknya, batik dibedakan menjadi dua golongan, yaitu batik keraton dan batik pesisir. Yogyakarta dan Solo dikenal sebagai daerah penghasil batik keraton. Sebagian besar didominasi warna-warna lembut, seperti cokelat, biru tua, putih dasar, kuning emas, dan warna-warna gading. Motif yang digunakan juga klasik, yaitu abstraksi hutan, gunung, dan burung garuda, yang sarat dengan simbol serta pengaruh mitologi Hindu.

Sebaliknya, pakem-pakem yang berlaku pada batik Yogyakarta dan Solo tidak banyak digunakan pada batik pesisir. "Batik pesisir lebih sadar mode. Apa yang dilihat, itulah yang digambar," kata Biranul. Warna-warnanya juga meriah, seperti hijau, merah, ungu, hitam, kuning, dan putih.

Perpaduan budaya Hindu, Cina, Islam, dan Belanda membuat batik pesisir kaya motif dan warna. Batik Cirebon, misalnya. Keelokannya, menurut Iwan Tirta dalam buku Batik, a Play of Light and Shades, seperti sebuah lukisan dinding dengan motif-motif menarik. Arakan mendung, taman warna-warni, lukisan naga, gajah, serta tumbuh-tumbuhan adalah gambar yang kerap mengisi batik Cirebonan.

Meski batik-batik pesisir menanggalkan pakem, pengaruh Yogya dan Solo masih terasa. Motif larangan adalah salah satu motif yang banyak dipakai pada batik pesisir, terutama Cirebon. Selain itu, dikenal istilah kasta pada batik Cirebon. Ada yang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan yang disebut dengan batik keratonan, ada juga yang dibuat untuk rakyat biasa yang disebut batik kenduruan.

Namun, seiring dengan pudarnya pamor Kesultanan Cirebon, kejayaan batik keratonan juga ikut meredup. Kini motif-motif itu hanya diproduksi oleh perajin batik berdasarkan pesanan.

Batik pesisir lainnya yang tak kalah atraktif adalah batik Pekalongan. Pekalongan memang menjadi salah satu pusat perdagangan batik terbesar di Pulau Jawa. Motifnya dipengaruhi oleh berbagai budaya, termasuk Eropa. Di daerah ini pula penggunaan cap dan warna-warna sintetis mulai dipopulerkan.

Pengaruh batik pesisir juga terasa pada batik Garut, meski tidak berada di sisi pantai. Dengan motif seperti rerang pita, caleng, keraton, sepatu, jaksa, dan cupat manggu, batik Garut memikat kolektor dari mancanegara. "Peminatnya kebanyakan turis asing. Mereka menyukai batik Garut yang asli," ujar pemilik batik Garut RM, Aan Melanie.

Sayangnya, tak banyak perajin yang memproduksi batik dengan corak klasik. "Banyak yang beralih ke corak yang lebih modern," kata Aan.

Selain itu, bumi Parahyangan memiliki batik Sukapura, Tasikmalaya. Motif yang digunakan kebanyakan bersumber dari alam, seperti daun, tangkai pohon, atau binatang. Sayangnya, menurut Uun Kurniasih, salah seorang perajin batik tulis, peminat batik tulis tradisional mulai surut. Untuk menyiasatinya, Uun mengombinasikannya dengan warna-warna masa kini, yang didominasi warna merah dan biru tua.

Di luar Pulau Jawa, batik dikenal di Jambi, Bali, Palembang, bahkan hingga Papua. Tidak secerah batik pesisir, batik Jambi menggunakan warna-warna biru tua, merah tua, kuning redup, dan putih beras. Motifnya dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan. Sedikitnya ada 40 motif batik Jambi.

Di Papua, batik dikembangkan oleh Mariana Pulanda Ibo. Setelah mengikuti kursus batik di Solo pada 1996, Mariana mengembangkan batik yang diadopsi dari motif Sentani. Selain itu, ada motif flora-fauna, ukiran dari daerah Biak Numfor, Timika, Asmat, dan daerah lain di Papua.

Meski Bali dekat dengan Pulau Jawa, batik Bali sangat berbeda dengan batik Jawa. Menurut Gusti Made Sujana, pemilik studio batik Art Batik di Singapadu, Gianyar, corak batik Bali sangat lowong atau suwung. Motifnya besar-besar, tidak rapat. Bahkan banyak bagian yang kosong.

Semua itu tergambar pada bed cover dan kain pantai. Ukuran kelopak bunga, daun, dan binatang dibuat besar-besar. "Batik Bali lebih banyak mengambil motif dari alam. Bunga-bungaan, binatang, pemandangan alam," kata Sujana.

Menurut Biranul, meski batik telah melangkah jauh meninggalkan tanah asalnya, Jawa, pengaruh Jawa masih terasa. Sebab, perkembangan batik di sana ditentukan oleh perajin, yang memang sebagian besar berasal dari Jawa. Motif pengisi, yang banyak ditemukan pada batik Yogyakarta dan Solo, juga digunakan pada batik-batik di Sumatera.

"Yang mengembangkan batik di Sumatera, Kalimantan, dan Papua kebanyakan adalah orang Jawa yang pindah ke sana," kata Biranul.

Di Sumatera, misalnya, Raja Jambi yang terpesona dengan keelokan batik menyewa beberapa pembatik asal Jawa untuk mengajarkan teknik-teknik membatik kepada masyarakat Jambi. Akhirnya, mereka mahir dan mengembangkan motif sendiri.

Batik kini menjadi milik publik. Beragam pola dan coraknya berkembang pesat. Menurut Biranul, motif-motif tradisional tetap diminati meski mulai jarang digunakan. "Peristiwa-peristiwa besar, seperti pernikahan, kelahiran, bahkan kematian, tetap menggunakan kain batik dengan corak tradisional," katanya.

Tidak ada komentar: