Batik Lasem, Karya Warisan China Peranakan

BICARA batik, pasti angan kita langsung melayang ke kota Jogja atau Solo, bahkan melayang hingga Pekalongan. Tak salah memang, karena kota-kota ini memang terkenal sebagai sentra industri batik di tanah air. Batik Jogja, sudah biasa. Batik Lasem? Sebagian mungkin sudah banyak yang mendengar mengenai kualitas batik hasil olahan perajin di kawasan Lasem, Solo, Jawa Tengah ini.

Akan tetapi, mungkin tak banyak yang tahu, kalau Batik Lasem merupakan karya warisan dari budaya kaum China Peranakan. Adalah Santoso Hartono, satu dari 23 perajin batik Lasem yang masih tersisa saat ini.

Santoso adalah generasi ketiga dari trah keluarganya yang mempertahankan bisnis kerajinan batik di kawasan Lasem. Namun, ia membangun sayap usahanya sendiri. "Usaha yang dibangun orang tua jalan, usaha saya juga jalan," ujar dia.

Sebagai generasi turun temurun, ternyata pria keturunan Tionghoa ini pun tak banyak tahu riwayat batik yang menjadi sumber penghasilannya itu.

"Kalau Lasem itu asalnya dari masyarakat China Peranakan, saya tahu. Tapi, saya nggak tahu banyak sejarahnya. Yang saya tahu, dulu di Lasem tepatnya di desa Kemendung ada wanita keturunan China namanya Putri Cempa. Katanya, batik Lasem itu dulu dibuat oleh keturunan Putri Cempa ini," ungkap Santoso, saat ditemui di arena pameran budaya China Peranakan, di Mal Ciputra, Rabu (30/1).

Awal ketertarikan Santoso menekuni bisnis kerajinan Batik Lasem, bermula ketika ia pulang dari Jakarta sekitar tahun 2004. "Waktu itu saya penasaran aja, lihat banyak buruh batik di kampung saya. Saya bertanya-tanya buruh batik itu dapat bayaran berapa sih? Ternyata cuma Rp6 ribu sampai Rp7 ribu. Akhirnya saya tanyain, mau mbatik dengan saya nggak? Ya saya menawarkan bayaran yang lebih baik. Akhirnya banyak yang berminat dan sampai sekarang saya sudah punya 200 pembatik," lanjut dia.

Ciri khas batik Lasem adalah coraknya benar-benar ditulis atau diukir sendiri oleh para perajinnya, bukan dicetak (diprinting). Warna khasnya, salah satunya warna yang menjadi khas Masyarakat Tionghoa, merah. Biru dan hijau juga warna khas batik lasem.

"Kalau dulu warna gelap juga khas lasem, tapi kalau kita bertahan seperti itu nggak laku, jadi kita terus melakukan inovasi."

Salah satu inovasi yang dilakukan Santoso dan perajin batik Lasem lainnya adalah membuat motif yang lebih 'gaul'. Kata dia, motif yang lebih disukai oleh anak muda. Selain merangkul pasar yang lebih luas, diharapkan juga bisa mengajak generasi muda untuk mencintai produk khas dalam negeri.

Pewarnaan batik Lasem hanya dilakukan di tiga tempat, yaitu di Lasem, Kota Solo dan Pekalongan. Uniknya, proses pewarnaan akan menjadi bagus jika menggunakan air kacer. Menurut Santoso, air kacer adalah air yang bersumber dari mata air langsung. "Kita sudah coba pakai air pam, air sumur. Tapi nggak tahun kenapa, kalau pakai air kacer itu hasilnya lebih bagus."

Untuk mengenalkan batik Lasem, berbagai pameran telah dilakukan. Sayangnya, ujar Santoso, pameran di Luar Negeri belum bisa dilakukan. Padahal beberapa pelanggannya berasal dari sejumlah negara, seperti Jepang bahkan hingga turis negara-negara Eropa.

Jenis-jenis batik Lasem juga beragam. Santoso menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu Sekar Jagad, Tiga Negeri, Tambal, Sisik, Pukel dan Klerek.

Bagaimana dengan harga? "Bervariasi mbak, mulai dari 100 ribu sampai 1,5 juta. Tergantung jenisnya juga. Asal bisa bedakan batik Lasem dengan 'laseman', yang palsu. Kalau laseman cuma 25 ribu. Banyak yang niru motifnya, tapi printing-an, bukan tulis. Itu yang membuat saya khawatir," pungkas Santoso. (ING)

Tidak ada komentar: