Fashion Tendance 2008,

Tenun Menjelma sebagai Gaun Malam

Jakarta – Setahun yang lalu, Fashion Tendance Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) mengangkat batik untuk memperlihatkan kekayaan tekstil Nusantara. Setahun melenggang dengan batik, hasilnya lumayan. Taruna K Kusumayadi, Ketua Umum APPMI, mengatakan batik kini lebih mudah dijumpai.

Tanpa harus meninggalkan batik, Fashion Tendance 2008 APPMI yang berlangsung di Upper Room Annex Building, Jakarta, pada 28 dan 29 November lalu mengusung kain tenun yang banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Tercatat, 26 perancang yang turut ambil bagian dalam peragaan busana itu tidak hanya menggunakan satu jenis kain tenun saja. Poppy Dharsono, misalnya, mengangkat lurik, kain tenun dari Jawa Tengah menjadi busana bernuansa perempuan klasik dan elegan yang digabungkan dengan kemaskulinanan.

Bagi Poppy, lurik merupakan susunan garis-garis dari berbagai warna yang membentuk barisan motif yang indah. Garis-garisnya yang lurus memberikan kesan tegas sekaligus dinamis. Ketegasan itu seolah menjadi sebuah kekuatan yang dapat menjadi sumber energi, semangat pantang menyerah, dalam menghadapi kehidupan. Kedinamisan lurik terlihat dari paduan warnanya yang beragam, memunculkan kesan feminin dan maskulin pada saat yang bersamaan.

Di daerah Jawa Tengah, lurik dibuat menjadi pakaian tradisional yang biasa digunakan untuk upacara. Potongannya nyaris sama, lengan pendek atau panjang dengan kancing di depan. Biasanya lurik dikenakan dengan blangkon di kepala. Namun, di tangan Poppy Dharsono, lurik menjadi busana pesta maupun kasual. Beberapa di antaranya bahkan terinspirasi dari kimono Jepang. Membuat kimono dari lurik bukan pertama kali dilakukan Poppy.

Seorang berdarah Jepang yang menetap di Indonesia, Kenzi Yamada, sempat mengeksplorasi bahan ini untuk dibuat kimono. Lurik itu juga menjadi sebuah gaun balon pendek serta gaun panjang elegan yang digabungkan dengan bahan tulle polos.

Dari Jawa Timur, ada kain tenun gedog Tuban yang diangkat Ian Adrian menjadi gaun modern superfeminin. Di Tuban, kain tenun gedog dahulu hanya digunakan sebagai kain untuk menggendong bayi. Namun, kini kain itu menjadi cendera mata khas daerah yang, untungnya, perkembangannya didukung oleh pemerintah.

Gedog merupakan perpaduan antara seni menenun dengan seni membatik. Proses pembuatan kainnya masih menggunakan alat tenun sederhana, semetara pewarnaan serta pembubuhan motifnya sama dengan membatik. Itu sebabnya, dari jauh, kain yang digunakan Ian tidak ubahnya batik pada umumnya dengan warna hitam, putih, dan abu-abu.

Di tangan Ian, gedog ini tentu saja berubah bentuk. Dari sekadar kain untuk menggendong bayi, kain ini berubah menjadi gaun cantik yang bergaya modern, dari gaun terusan pendek yang sederhana sampai dengan gaun balon yang penuh dengan detail. Ian menambahkan detail payet dan bordir yang diperkaya lagi dengan aksesori kristal dan manik-manik.

Ulos
Dari lurik Jawa Tengah dan gedog Tuban, Jawa Timur, sejenak Handy Hartono mengajak kita terbang ke Sumatera Utara untuk menengok kain ulos. Dari kain ulos yang biasanya menggunakan bahan-bahan berwarna gelap, Handy yang mengambil tema “Queen of the Jungle” ini mengubahnya menjadi gaun glamor berwarna cerah. Selembar kain ulos yang menjelma menjadi rok mini dipadukan dengan atasan dari bahan yang berbeda, seperti satin, sutra, sampai dengan kulit sintetis.

Ada keinginan Handy untuk menjadikan ulos sebagai bagian dari busana, bukan sekadar potongan yang bisa dipadu-padankan. Ia membuat ulos menjadi kerah yang lebar dari sebuah atasan berlengan pendek, menjadi bagian dari rok bersama dengan bahan satin, atau mengembalikannya pada fungsi ulos sebagai kain biasa yang dipadukan dengan gaun panjang tanpa lengan dengan belahan pada bagian depannya.

Kekayaan kain tenun tidak sebatas di Jawa dan Sumatera saja. Semua daerah sesungguhnya memiliki kain tenun khas. Dari Kalimantan, Raizal Rais mempersembahkan kain tenun sintang suku Dayak dan tenun songket Sambas. Raizal yang terinspirasi pada ragam budaya Kalimantan Barat yang tepat berada di garis Khatulistiwa dengan mengambil tema “The Amaziong Khatulistiwa” menggabungkannya dengan kekayaan adat Sumatera Barat. Itu terlihat dari penggunaan kain tenun songket dari pandai sikek Sumatera Barat. Yang memperkental paduan budaya ini adalah penggunaan suntiang, hiasan kepala berbentuk tanduk khas Sumatera Barat yang dibuat menjadi lebih modern.

Penggunaan kain tenun dalam rancangan-rancangan ini menjadi salah satu kampanye untuk mengangkat kembali kekayaan tekstil Indonesia. Seperti kata Taruna, bukan hanya perancang yang perlu memerhatikannya. Seorang perancang pun butuh bantuan pemerintah untuk mengetahui keberadaan kain-kain tenun yang mungkin nyaris terlupakan.

“Perlu peranan pemerintah agar kita tahu problem di daerah itu seperti apa. Ini penting untuk mengingatkan bahwa kita punya tekstil yang sangat hebat,” ujar Taruna yang kali ini mengangkat kain tenun asal Donggala, Sulawesi Tengah.

Kain tenun Donggala adalah salah satu contoh kain yang tidak populer dibandingkan dengan tenun dari Sumatera Barat, Kalimantan Barat, atau Jawa Tengah. Kain tenun Donggala yang terbuat dari sutra membuat Taruna bebas membuat rancangan dengan siluet yang lebih kaya, dari A-line, babydoll, pencil, sampai dengan penyederhanaan bentuk balon.n

Tidak ada komentar: