Keindahan Batik Minang

Keindahan Batik Minang di Tangan Raizal Rais

Batik Solo, Pekalongan, atau belakangan batik Kalimantan yang popular dengan sebutan Sasirangan, sudah dikenal luas di kalangan masyarakat. Tapi, batik Ranah Minang? Tak banyak yang tahu. Selama ini Sumatera Barat yang kaya seni kerajinan, memang lebih mencorong dengan kerajinan bordir dan sulamannya.

Di tangan Raizal Rais, perancang mode yang rajin menampilkan bordir dan sulaman, batik Ranah Minang tampil dengan segala keunikannya. "Dari coraknya, batik Minang tidak kalah cantik dengan batik asal Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan Cirebon, yang sudah punya pamor," kata Buyung, panggilan akrabnya, usai pergelaran bersama sejumlah desainer lainnya di Jakarta baru-baru ini.

Sekilas, batik Minang ini hampir tak berbeda dengan batik Solo. Apalagi, motif sogan Solo yang didominasi warna cokelat memiliki warna dan motif tampak mirip dengan batik Minang. Namun, bila diperhatikan lebih dekat, batik Minang ini memiliki ciri khas dari teknik pengerjaan dan penempatan motif. "Kekhasan batik Minang terletak pada pembuatannya yang menggunakan tanah liat sebagai media perendam," ungkap Buyung. Itu pula sebabnya, batik Minang ini disebut dengan istilah Batik Tanah Liek (tanah liat).

Untuk menonjolkan ciri khas ornamen Minangkabau, Buyung memanfaatkan motif asli seperti Rumah Gadang, sebutan untuk rumah adat Minang. Ada pula motif lainnya yang tak dijumpai pada batik Jawa umumnya. "Sebagian besar berbentuk ornamen tanaman dan fauna yang popular di Sumatera Barat," ujarnya.

Buyung, yang mengepalai bagian Humas di Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI), memilih sutra sebagai bahan dasar batik. Menurutnya, di atas sutra, motif batik akan terlihat lebih indah dan tampil utuh dengan detailnya. Bahannya yang lembut dan halus, membuat kain jatuh dengan baik di tubuh pemakainya. "Selain itu, pamornya juga lebih tinggi," kata pria bertubuh tambun ini dengan ramah.

Corak Batik Tanah Liek yang kaya, membuat Buyung dengan mudah bisa memodifikasi garis rancangannya. "Saya memadukan gaya tradisional dan internasional," ujarnya. Kain batik Minang Tanah Liek ini bisa dikombinasikan dengan bahan sifon dan brokat bergaya latin. Jadilah batik berpadu bolero berbordir, dengan longtorso dari kulit.

Meski awalnya kain ini digunakan oleh para datuk, namun Raizal Rais mengatakan bahwa kain batik Ranah Minang itu bisa dikenakan oleh pria maupun perempuan. Untuk pria bisa dipakai sebagai kemeja, sedangkan untuk kaum perempuan bisa untuk gaun malam dan selendang. Pemakainya pun tak dibatasi usia. "Batik Tanah Liek cocok untuk remaja dan dewasa," katanya.

Buyung sendiri menyebut rancangannya cukup banyak diminati penggemar mode Jakarta. Satu stel kain batik berupa kain panjang lilit dan selendang dijual Buyung dengan harga Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.

Untuk memperoleh kain batik, Raizal bekerjasama dengan pengrajin batik asli yang berdomisili di Padang. Ia tak merancang sendiri motif Batik Tanah Liek, namun menyerahkan desain motifnya pada pengrajin asli.

Di Padang, hanya ada satu pengrajin batik. Wirda Hanin, namanya. Perempuan yang menekuni batik sejak tujuh tahun silam ini rajin mencari motif asli Minang untuk dituangkan ke dalam desain batik. Ada motif tabuik, air kelok paku, kabau padati, dan merawan.

Untuk motif fauna, Wirda mengeksplorasi ayam kinantan dan kabau silung, yang merupakan ciri khas Padang. Karena hanya dimiliki oleh ranah Minang inilah maka motifnya berbeda dengan motif di Jawa ataupun lainnya.

Asal Usul Batik Tanah Liek

Batik Tanah Liek sendiri sebenarnya tak jelas asal-usulnya. Namun, menurut Wirda Hanin, batik Minang ini memang memiliki akar dari batik Jawa. Konon, Bundo Kanduang yang menikah dengan adik Adityawarman yang menjadi raja di Singosari, membawa batik sampai ke Minangkabau.

Setelah menikah, adik raja Adityawarman yang tak diketahui namanya itu menetap di Minangkabau. Ia membawa serta para pekerja dari tanah Jawa. Pekerja inilah yang awalnya membuat batik dan kemudian berkembang turun-temurun di Padang. Lama setelah itu, batik menghilang. Pada era 1970-an, batik kembali hidup lewat usaha Ratna Sari Harun Zain, istri gubernur.

Menurut penuturan Yal Darwis dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Sumatera Barat, Ratna Sari mulai menggali keberadaan batik Ranah Minang setelah melihat batik berpotensi menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Sumatera Barat. Dari Ratna Sari penggalian itu dilanjutkan oleh Djusmaini Azwar Anas, istri gubernur Sumbar, Azwar Anas.

Pada rentang waktu antara akhir tahun 1970-an sampai 1990-an, Batik Minang Tanah Liek tak terdengar gaungnya. Hingga pada 1995, Batik Minang Tanah Liek ini mulai dihidupkan kembali oleh Wirda Hanin.

Awalnya, dia mengaku belajar secara otodidak di Padang. Karena tak puas, Wirda memutuskan belajar di Yogyakarta selama beberapa bulan. Itu pun hanya untuk mempelajari perbandingan warna batik Jawa dan batik Minang. Tak heran, meski berasal dari Ranah Minang, batik ini masih memiliki sentuhan Jawa.

Meski demikian, Wirda tidak mau disebut mencontoh batik dari Jawa. Menurut dia, ada yang membedakan antara proses pembuatan batik Jawa dan Batik Minang Tanah Liek. "Batik Minang Tanah Liek direndam dengan tanah kenyal (tanah liat). Batik Jawa kan tak mengenal rendaman dengan tanah liek," kata Wirda.

Proses pembuatan Batik Minang Tanah Liek ini memang unik. Setelah dibentuk motifnya dengan menggunakan canting, batik tersebut direndam di tanah liat. Rendaman dilakukan selama seminggu. Namun belakangan, Wirda ragu akan ketahanan warna tersebut. "Saya ragu apakah ini akan tahan lama," jelas perempuan kelahiran Batu Sangkar, Sumatera Barat, 8 Juni 1952 ini.

Keraguannya itu mendorong dia melirik cara lain. Sebagai pengganti tanah liat, Wirda mengaku merendamnya dengan menggunakan warna tumbuh-tumbuhan. Tujuannya, untuk menimbulkan efek warna yang indah dan tidak mudah pudar. Tumbuh-tumbuhan yang dia gunakan, antara lain daun mangga, mengkudu, jambu, pepaya, dan tumbuhan yang berdaun hijau. "Saya jamin batik buatan Ranah Minang warnanya tahan lama," tegas Wirda. bernarda rurit

Tidak ada komentar: