Dua Generasi Pengusaha Batik

Kedua perempuan ini mirip tokoh Canting dalam novel karangan Arswendo Atmowiloto, yang kemudian diperankan oleh Ria Irawan di layar kaca. Kesamaan bukan pada kisah hidupnya, tapi soal kegigihannya mempertahankan bisnis batik milik keluarga di tengah perubahan zaman.

Denise Tjokrosaputro

Usianya masih 21 tahun saat diserahi tanggung jawab meneruskan usaha keluarga bernama Keris Gallery, pusat perbelanjaan yang menyediakan barang dagangan mulai dari batik dan kerajinan. Berbekal pendidikan teknologi tekstil di Universitas Philadelphia yang digabung dengan ilmu keuangan dan investasi dari Universitas George Washington, Denise Tjokrosaputro, 24 tahun, memulai pekerjaan sebagai buyer untuk barang dari kulit. Dua tahun kemudian ia melompat ke posisi general manajer yang sedang kosong.

Ia memang sengaja disiapkan untuk hadir di perusahaan keluarga yang didirikan sejak tahun 1987 ini. Apalagi mulai usia kanak-kanak ia mulai dilibatkan mengenal dunia usaha garmen yang dirintis keluarga. Bahka ia dilibatkan mulai dari membungkus barang di bagian kasir. Namun ia menolak dikatakan hanya memanfaatkan koneksi keluarga. "Di perusahaan ini kami bekerja professional, tidak asal memilih orang," tegasnya.

Wakil Direksi di Keris Grup dan General Manager di Keris Gallery, ini akhirnya berkecimpung di bidang eceran. Meski tahun ini merupakan tahun tersulit bagi bisnis eceran, namun gejolak jiwa mudanya justru tertantang untuk mengatasi itu semua. Bahkan tak lama lagi ia akan melakukan perubahan besar berupa renovasi gedung untuk citra Keris Gallery agar bisa bersaing dengan perbelanjaan lain yang ada di Jakarta. "Bicara soal citra, banyak cakupannya, mulai dari barang dagangan, sumber daya manusia, tata letak barang, komunikasi pemasaran, sampai membina pelanggan agar tetap loyal," kata anak pertama dari empat bersaudara ini.

Tuntutan pekerjaan membuat Denise tak selalu berada di belakang meja. Malah keseringan ia menjalankan manajemen sambil berjalan karena prinsip seorang retailer harus berada dekat pelanggan, untuk mengetahui kejadian dan kekurangan yang ada di setiap lantai.

Lantaran itu, Denise yang mengaku sering melakukan inspeksi mendadak ke lokasi perbelanjaan untuk melihat kedisiplinan lini terdepan: promosi penjualan. Karena menerapkan disiplin itu Denise sadar, ia akan kurang disukai. "Mungkin saya dibilang nenek sihir, karena tiba-tiba muncul malam hari dan lima surat peringatan melayang deh," ujar wanita yang suka meluangkan waktunya dengan main golf ini.

Biodata :
Denise Tjokrosaputro
4 Februari 1976
Pendidikan:
Jurusan Teknologi Tekstil, Universitas Philadelphia (1996)
Jurusan Finansial dan Investasi Universitas George Washington (1998)


Diana Hariyadi, SE

Meski seroang putri pemilik Danar Hadi, Diana Hariyadi awalnya sama sekali tak terpikir akan meneruskan usaha keluarga yang sudah dirintis oleh ayah dan ibunya, H. Santoso Doellah dan H. Danarsih, sejak 1967 di daerah Kauman, Solo. Diana justru bekerja di perusahaan milik kakak iparnya. Namun ia kemudian meraskan kejenuhan. "Karir saya mentok bila diteruskan," ujarnya.

Di saat itulah ayahnya menawarinya untuk bergabung ke Danar Hadi. Ditawari hal itu, Diana malah memberi tantangan bisnis. "Saya bilang, kenapa tidak mendirikan perusahaan baru saja," cerita Diana. Ayahnya menyetujui mendirikan perusahaan PT Kusumaputri yang bergerak di bidang garmen non batik pada 1995.

Ayahnya kembali menanyakan kesediaannya bergabung ketika beliau ingin mendirikan toko di Melawai, yang rencananya akan menjadi cabang terbesar di Jakarta. Sebagai generasi baru, Diana tidak main terima saja. Ia harus berpikir untuk mengembangkan usaha mengikuti tuntutan zaman. Diana pun mensyaratkan toko itu harus jadi one stop service.

Diana benar-benar penuh menangani Danar Hadi pada 1996 setelah ayahnya menetap di Singapura mendampingi adiknya berobat akibat kecelakaan. "Pekerjaan bapak banyak tertinggal, saya mulai terlibat menggantikannya," kata Diana.

Diana sadar, sebagai anak ia harus meneruskan usaha yang sudah dirintis oleh kedua orang tuanya. Apalagi sejak masih duduk di bangku SD ia sering diajak membantu pengambilan barang di toko ayahnya di Solo. "Sebagai seorang muslim, ini amal untuk orang tua, kendati ayah saya membebaskan saya mau ikut atau tidak," kata Diana yang mengaku tertarik karena ia memang menyenangi dunia fashion ini.

Kehadiran Diana yang langsung membawa pola penegakan disiplin dan aturan di perusahaan, membuat penolakan dari para manajer. Kebetulan ada yang berasal dari kalangan keluarga yang dipekerjakan sebagai karyawan. Ia mengakui, cukup keras dalam membuat dan menerapkan aturan. "Bagi saya siap bergabung di sini berarti melepaskan atribut keluarga dan siap menjadi karyawan seutuhnya," katanya tegas. Ayahnya berusaha menengahi hal ini meski keputusan akhir tetap dipegang olehnya.

Empat tahun dilaluinya dengan belajar dari kesalahan dan percobaan. Untungnya, sang ayah mendukung apa yang ia putuskan asalkan baik bagi perusahaan. "Ini bukan untuk ambisi saya," tegasnya. Ia dipercaya menangani pemasaran, sementara produksi masih dipegang ayahnya.

Meski tak menangani produksi, namun Diana mewajibkan dirinya dan karyawannya untuk dilatih masalah seluk beluk batik selama 10 hari. "Karena kalau hanya bicara soal penjualan tanpa tahu proses pembuatan dan produk batik, maka akan rapuh dengan sendirinya."

Diana juga melakukan regenerasi peminat batik untuk kalangan muda mulai usia 20an tahun. Cara menarik minat anak muda akan batik yang dilakukannya adalah dengan menyiapkan koleksi batik dengan warna warna cerah. Selain itu, ia juga rajin menghadiri acara kelulusan sekolah desain. Tujuannya adalah melibatkan desainer muda dalam perusahaan.

Batik ibarat sudah jadi seragam sehari-hari buatnya. Terutama di kantor bila menemui tamu dan acara bertemu dengan klien, "Selebihnya pakaian biasa, ibu saya pernah mengkritik, kok tidak pakai batik, saya bilang, Lho masak saya tidak boleh pakai pakaian yang saya suka setelah seharian pakai batik terus," katanya tertawa.

Ada satu hal yang menjadi obsesinya hingga kini. "Saya mau kuliah di luar negeri." Dulu, ayah dianggap Diana terlalu protektif, tidak membolehkan anak wanita jauh dari orang tua. "Nah.. begitu lulus kuliah lalu menikah, malah suami yang tidak membolehkan, dengan alasan meninggalkan anak-anak. Ia membolehkan saya bekerja, karena dia tahu saya lebih suka bekerja ketimbang memasak," kata istri Hariyadi Sukamdani, ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ini tergelak.

Biodata :
Diana Hariyadi, SE
Surakarta, 21 November 1969
Pendidikan: Sarjana Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta
Jabatan : Managing Director PT. Batik Danar Hadi, Personal Director PT. Sahid Detolin Textile (Sadetex.). evieta fadjar

Tidak ada komentar: