Kerajinan Batik yang Terus Bersemi...

Batik dan pembatik Trusmi punah? Itu cuma isu. Kalau ada motif-motif batik Cirebon atau motif keraton yang tidak diproduksi lagi, itu karena permintaan pasar turun, terutama untuk motif-motif itu. Pembatik Trusmi pun tidak punah. Mereka bermetamorfosis: dulu buruh batik, sekarang jadi juragan batik. Bukan punah....

Penjelasan itu meluncur tegas dari pembatik Cirebon bernama Katura. Lelaki paruh baya ini dinobatkan oleh para pengusaha Jepang sebagai pembatik nomor satu di Trusmi, Cirebon, Jawa Barat.

Lelaki berusia 56 tahun ini pernah menerima penghargaan Museum Rekor Indonesia, 20 April 2005—dia membuat batik tulis bergambar cerita wayang Babat Alas Wanamarta terbesar berukuran 9 meter x 2 meter.

Kampung Trusmi di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, adalah kampung pembatik. Ada beberapa desa pembatik, yaitu Trusmi, Wotgali, Kalitengah, Gamel, Kaliwulu yang berdekatan satu sama lain, yang kemudian dikenal sebagai Trusmi.

Keterampilan membatik di Trusmi sudah ada sejak abad ke-14 dan berkembang di keraton-keraton di Cirebon, seperti Kasepuhan dan Kanoman. Para pembatik membuat batik bagi keluarga dan kerabat keraton. Namun, saat pemerintah akan menarik pajak batik bagi keraton, perajin batik dibubarkan. ”Batik di keraton itu bukan industri, melainkan untuk dipakai sendiri,” kata Juru Bicara Ratu Arimbi.

Setelah pembubaran itu, para perajin batik kembali ke kampung masing-masing. Yang berkembang tinggal kampung Trusmi. Ada makam Buyut Trusmi di kampung itu dan dibangun sebuah masjid di sana. Di depan pintu masuk pasareyan (makam) Buyut Trusmi ada dua guci yang di dalamnya tertanam padi yang tidak pernah tua dan tak pernah mati, terus bersemi alias trusmi.... Itulah asal kata Trusmi.

”Showroom” bertambah

”Tersesat” di kampung Trusmi adalah suatu keasyikan tersendiri. Kita bisa keluar masuk kampung, melihat proses pembuatan batik di rumah-rumah pengusaha batik, sampai ke rumah perajin batik. Juga bisa keluar masuk showroom batik di kampung Trusmi yang jumlahnya, kata Katura, ada 35 buah. Anggota koperasi batik Budi Tresna di Trusmi ada 700 orang.

Seperti pengusaha batik Tatan Tanyumi, pemilik ruang pamer Batik Bangun Jaya, dia memproduksi batik di rumahnya di Desa Wotgali. ”Saya sub-kan ke 20 perajin batik. Mereka punya 5-10 buruh batik. Para perajin datang ke saya mengambil bahan baku dari saya. Mereka menggarap di rumah,” katanya. Upah pembatik tergantung tingkat kesulitan motif.

Contohnya O’on dan suaminya, perajin batik yang membatik di rumahnya. Mereka dibantu seorang buruh. Mereka memproses hingga pewarnaan.

”Saya dulu buruh batik sejak tahun 1983, sekarang kerja sendiri di rumah. Bahan dari Pak Badrun. Untuk batik cap saya dapat Rp 15.000-Rp 20.000 per lembar,” kata O’on.

Jika Anda menyusuri gang-gang di kampung Trusmi akan terlihat pemandangan orang membatik di mana-mana. Di dalam rumah hingga di gang-gang. Itu hal lumrah.

Katura mulai membatik sejak kelas IV SD. Tahun 1974 ia memulai usaha batiknya. Dia dibantu 26 buruh dengan upah mingguan, besarnya Rp 20.000-Rp 30.000 per hari tergantung keterampilan. Produknya 80 persen dijual ke Jepang ke delapan pengusaha.

Harga batiknya Rp 200.000-Rp 4 juta per lembar. Di Jepang, kain batik dijadikan kimono, obi (stagen), hiasan dinding, atau baju.

”Mereka juga belajar membatik di sini. Mereka belajar, jadi tahu susahnya dan lebih menghargai,” kata Katura.

Masalah yang ada di Trusmi sekarang, menurut dia, karena makin banyak ruang pamer sehingga harga batik pun bersaing ketat. ”Showroom tidak mau menaikkan harga karena takut kalah bersaing. Showroom lalu menekan perajin. Dulu perajin bisa menjual Rp 100.000, sekarang Rp 80.000,” tutur Katura.

Kalau perajin menolak harga itu, pengusaha batik akan pindah ke pembatik lain.

”Ini memprihatinkan. Saya pernah order Rp 900.000 ke perajin, tetapi lalu saya beri Rp 1 juta. Untuk batik kasar Rp 80.000, saya beri dia Rp 100.000 karena saya tidak tega. Saya tahu susahnya kehidupan buruh batik,” katanya.

Jika hal ini terus terjadi, kapan harkat hidup para perajin dan buruh batik Trusmi bisa meningkat? Jangan sampai upah yang tidak memadai itu menyebabkan batik Trusmi tak lagi terus bersemi....
By : Elok Dyah Messwati

Tidak ada komentar: