Desa-desa Batik di Jawa Timur

Ketika batik tulis Jawa Timur mulai mendunia, juragan batik di Desa Jetis, Kecamatan Kota, Sidoarjo, justru kesulitan mencari pembatik. Padahal sejak tahun 1922, desa yang letaknya 25 km di selatan Surabaya itu mempunyai predikat sebagai ”kampung batik”. Dulu hampir di setiap rumah bisa ditemukan orang sedang membatik. Kampung batik itu sekarang tinggal kenangan. Yang tinggal hanya toko-toko penjual pakaian batik, busana muslim, dan kaos. Sedangkan perajin batik yang tersisa tinggal 15 orang. Akibat kurangnya tenaga pembatik di Desa Jetis, akhirnya penggarapan batik terpaksa dilimpahkan kepada pembatik di Tulungagung, Jawa Timur, dan Pekalongan, Jawa Tengah. Upaya itu ternyata memunculkan problem baru dan lebih rumit. Berhubung pembatiknya berada di luar Sidoarjo, juragan harus bolak-balik mengambil batik serta menyerahkan bahan baku. Sistem ini menimbulkan biaya tinggi, dan lebih berat lagi jika pembatik minta seluruh biaya hidup sekeluarga ditanggung juragan batik.

Persoalan semacam ini membuat pengusaha batik di Desa Jetis hilang satu per satu dan kini tinggal 15 industri rumahan batik di desa itu. Memang ada keinginan bangkit kembali, tetapi agaknya tenaga sudah terkuras habis, sehingga kerajinan batik di kampung batik tinggal menunggu lonceng kematian.

Nasib usaha batik rumahan ini pun makin sekarat dengan tumbuhnya desa batik baru di Kecamatan Tulangan Sidoarjo. Segala upaya ditempuh misalnya dengan berinovasi untuk menghadapi “serangan” pemain baru di dunia perbatikan. Apalagi, pendatang baru itu lebih berani dalam menampilkan corak dan warna. Sementara perajin batik Desa Jetis tidak mau melanggar pakem peninggalan leluhurnya. Faktor ini agaknya membuat batik Desa Jetis sebagai cikal bakal perbatikan di Jawa Timur sulit menembus pasar. Saingannya berat karena pendatang baru lebih berinovasi dan tekun dalam upaya pemasaran.

Pemain baru dalam bisnis batik ada yang berani melahirkan corak batik tanpa tema tertentu atau menujukkan ciri khas daerah pembuatannya. “Kalau corak batik tergantung pakem, ya repot soalnya konsumen batik tulis yang selalu diasumsikan kalangan berduit permintaannya beragam terutama corak atau motif dan warna,” kata Paina Hartono, pengusaha batik tulis warna alami Tulangan.

Tumbuhnya Desa Patihan, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo ini sebagai desa batik baru, merupakan upaya dari Paina Hartono. Di desa yang letaknya 36 km di selatan Surabaya itu, memang hanya ada satu perajin batik, yakni Paina Hartono. Tetapi, sejak tahun 1998 ia telah mengajak hampir seluruh ibu rumah tangga dan remaja bekerja sebagai pembatik. Memang sebenarnya di Desa Kenongo yang terletak di sebelah Desa Patihan, juga sudah ada sebuah industri batik, tetapi industri itu tidak banyak menampung tenaga kerja. Justru dengan kehadiran Paina Hartono semakin banyak warga desa yang mengenal dan mau bekerja di batik. Saat ini jumlah pembatik di Desa Patihan dan Desa Kenongo sebanyak 700 orang.

“Saya berusaha mengajak orang membatik karena saya prihatin, waktu itu banyak sekali orang yang menganggur akibat PHK. Saya ingin orang tahu bahwa kerja batik itu lebih enak daripada kerja di pabrik. Bisa kerja di rumah dan bayarannya pun lumayan. Untuk pembatikan satu lembar kain ukuran empat meter, saya bayar Rp 50.000,” kata Paina.

Paina ingin menghapus anggapan orang kerja membatik hanya bisa mendapat uang sedikit. “Memang tidak salah anggapan orang tersebut. Saya sendiri, waktu masih ikut orang, hanya digaji Rp 40.000 per bulan tanpa melihat berapa potong batik yang sudah saya selesaikan. Mungkin ini yang membuat orang akhirnya enggan pada batik,” tuturnya.

***

BATIK Jawa Timur yang paling khas adalah batik Tuban. Kenapa, karena proses pembatikan di Tuban vertikal dan merupakan satu kesatuan (integrated). Maksudnya, bahan kain yang digunakan untuk membatik dipintal langsung dari kapas. Jadi gulungan kapas dipintal menjadi benang, lalu ditenun, dan setelah jadi selembar kain lalu dibatik. Batik ini kemudian disebut batik gedog.

Dalam buku Batik Fabled Cloth of Java karangan Inger McCabe Elliot dikatakan, sebenarnya batik Tuban mirip dengan batik Cirebon pada pertengahan abad ke-19. Kemiripan ini terjadi pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan. Namun, ketika Kota Cirebon mengalami perubahan dramatis dan diikuti dengan perubahan pada batiknya, batik Tuban tetap seperti semula.

Menurut Uswatun Hasanah, salah seorang pembatik gedog dari Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Tuban, batik gedog sebenarnya hampir punah. Ini disebabkan orang sudah tidak suka lagi memintal benang. “Kalau membatik, orang masih senang. Tetapi memintal benang, sangat jarang orang mau. Paling hanya ibu-ibu tua yang mau karena sudah tidak kuat lagi ke ladang. Tetapi, untuk membatik matanya juga sudah tidak mampu. Mungkin karena ongkos memintal itu hanya Rp 6.000 Rp 8.000 per gulungan benang, sehingga orang enggan memintal benang,” kata Uswatun.

Untuk menghindari langkanya benang pintal, Uswatun yang menjadi “ibu asuh” bagi pembatik-pembatik di desanya, akhirnya memberdayakan seluruh keluarganya. Dari ibu sampai adik-adiknya, diminta memintal benang. “Habis bagaimana lagi, saya kan harus menyediakan benang untuk pembatik saya. Kalau persediaan benang habis, lalu bagaimana warga desa saya bisa membatik,” katanya.

Bagi warga Desa Kedungrejo sendiri, pekerjaan yang paling baik adalah bertani. Sedangkan batik dibuat hanya untuk mengisi waktu luang, saat tanaman sudah ditanam, dan mereka hanya tinggal menunggu waktu panen saja. “Jadi bagi warga desa, batik itu tidak penting,” ujarnya.

Namun sekarang batik gedog sudah mulai menggeliat. Itu karena pembatik Tuban mulai menyadari bahwa batiknya unik dan cocok dengan selera masyarakat kelas menengah atas, termasuk turis mancanegara.

***

KALAU perempuan Tuban membatik karena menunggu masa panen, perempuan di Tanjungbumi, Bangkalan, Madura, membatik karena menunggu kedatangan suaminya. Kepala rumah tangga di Tanjungbumi, Bangkalan sebagian besar bermatapencarian sebagai nelayan. Dan kalau sudah pergi menangkap ikan, mereka bisa pergi berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan.

Bagi perempuan Tanjungbumi, menunggu kedatangan suami merupakan saat-saat paling panjang dan menegangkan. Mereka selalu gelisah apakah suaminya bisa pulang kembali dengan selamat dan bisa membawa uang untuk biaya rumah tangga. Untuk mengurangi rasa gelisah tersebut, akhirnya mereka mulai belajar membatik. Namun, hingga kini belum ada yang dapat memastikan kapan para istri itu mulai membatik.

Kegiatan yang dilakukan untuk membunuh waktu itu sekarang menjadi industri rakyat yang cukup besar. Tanjungbumi menjadi kecamatan terbesar di Madura yang memproduksi batik. Popularitas kecamatan yang letaknya sekitar 43 km di timur Kota Bangkalan itu, mulai dikenal penggemar batik Tanah Air.

Sekarang di Tanjungbumi ada 530 unit usaha batik dengan 1.050 perajin. Jumlah tersebut belum termasuk para perajin yang mengerjakan secara perorangan yang sifatnya hanya sekadar kerajinan tangan saja. Unit-unit perbatikan itu tersebar di Desa Macajah, Desa Telaga Biru, Desa Paseseh dan Desa Bume Anyar.

Corak batik Tanjungbumi mempunyai kekhasan batik pesisir, yakni corak bebas dan warna-warna berani. Namun menurut Mursidi, perajin batik dari Desa Jetis, Sidoarjo, warna-warna batik Madura itu seperti warna batik Sidoarjo. “Batik Madura itu belum lama ada. Biasanya mereka membeli batik dari Sidoarjo, dan memang yang senang batik Sidoarjo hanya orang Madura dulunya. Ketika batik mulai tumbuh di Madura, maka corak dan warnanya pun mirip dengan Sidoarjo,” kata Mursidi.

Yang menjadi kekhasan batik Tanjungbumi adalah selalu ada warna merahnya, dan ada cecek (titik-titik). Harganya, dari
Rp 30.000 sampai Rp 450.000.

Namun, walau sudah menjadi industri rakyat dan dikenal oleh penggemar batik Tanah Air, tetapi Tanjungbumi masih menemui kesulitan dalam pemasaran, baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Kalaupun ada batik Tanjungbumi ditemukan di luar negeri, itu bukan hasil pemasaran para perajin ke luar negeri, melainkan dibawa oleh para wisatawan asing.

“Sayang wisatawan asing itu datang ke sini hanya kalau ada karapan sapi. Mereka nonton karapan, lalu pulangnya mampir ke sini. Kalau khusus datang ke sini untuk memborong batik, wah jarang sekali,” kata Kurniatun, perajin batik Exclusive.

Tidak ada komentar: