Dari Relief Pindah ke Kain

Batik Paseban memadukan seni dan religi.

Relief dan seni ukir klasik pada ornamen-ornamen di gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, sudah lama menarik perhatian Pangeran Djatikusumah, tokoh masyarakat Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Enam tahun lalu, ia memutuskan memindahkan relief dan seni ukir klasik itu ke atas kertas.

Tak ada rencana apa pun saat itu, kecuali keinginannya untuk melestarikan setiap detail karya nenek moyangnya yang terukir di gedung berusia 167 tahun tersebut. Ia menghasilkan sekitar 250 motif dari relief dan seni ukir klasik itu.

Pertemuannya dengan Sasmiyarsi Katoppo, pendiri Yayasan Sekapur Sirih, dalam satu acara adat masyarakat Cigugur, Seren Taun, beberapa tahun lalu membuahkan ide menggali kembali akar budaya masyarakat Cigugur yang telah lama punah: tradisi batik tulis.

Sebuah kolaborasi yang serasi. Sasmiyarsi mengirimkan para ahli batiknya dari Solo ke Desa Cigugur guna memberikan pelatihan. Pangeran Djatikusumah menggerakkan masyarakat Cigugur untuk mau mempelajari batik tulis khas Cigugur. Gayung bersambut. Sejumlah pengrajin batik di desa itu pun bermunculan. Alhasil, pada 15 Oktober 2006, batik Paseban Cigugur resmi lahir.

Begitulah batik Paseban ikut menyemarakkan karya seni adiluhung batik tulis di negeri ini yang lebih dulu ada, seperti batik Pekalongan, Cirebon, Solo, Yogyakarta, bahkan batik khas Papua. Meski bertetangga dengan Cirebon dan Pekalongan, batik Paseban punya kekhasan, yakni motifnya diambil dari bunga, akar-akaran, dan padi-padian. "Menurut Rama (sapaan Pangeran Djatikusumah), pengaruhnya lebih kuat ke Mataram ketimbang Cirebon," kata Sasmiyarsi. Keunikan lainnya, menurut Pangeran Djatikusumah, batik Paseban tidak memiliki isen-isen, seperti pada batik Solo ataupun Yogyakarta.

Pertengahan Desember tahun lalu, untuk pertama kalinya batik Paseban dipamerkan kepada masyarakat luas. Sembilan motif utama batik Paseban dipajang sepanjang sisi kiri dan kanan ruang pameran di Hotel Sultan, Jakarta. Kesembilan motif itu adalah Sekar Galuh, Oyod Mingmang, Gagang Senggang, Rereng Pwah Acih, Rereng Kujang, Mayang Segara, Geger Sunten, Sekar Kedaton, dan Adu Manis. Setiap motif punya makna yang bermuara pada keserasian hubungan manusia dengan pencipta, sesama, dan alam sekitarnya. Jadi tidak semata-mata perpaduan keindahan motif dan tren.

Percaya tidak percaya, begitu Sasmiyarsi menuturkan, untuk membuat motif Mayang Segara dibutuhkan kebersihan hati, pikiran, meditasi, bahkan harus berpuasa. "Kalau tidak, nggak bakal berhasil," ujarnya.

Menurut Pangeran Djatikusumah, awal lahirnya motif Mayang Segara adalah ketika dulu Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, putra mahkota Pangeran Gebang yang mengungsi ke Desa Cigugur karena memberontak terhadap penjajah Belanda, pergi ke pantai selatan mencari wijaya kusuma. Ia melihat hiasan segara di sana. Motif ini, ujarnya, menyiratkan bahwa manusia hendaknya memiliki keikhlasan hati bagaikan luas dan dalamnya samudra.

Seperti batik lainnya, tidak semua motif bebas digunakan untuk segala acara. Misalnya, motif Adu Manis hanya dipakai untuk pasangan yang menikah. Motif Adu Manis memiliki makna mengasihi, perasaan yang saling menghormati, dan perpaduan yang manis. Meski begitu, ada pula motif yang bisa digunakan di segala suasana, yakni Rereng Kujang.

Warna-warna batik Paseban umumnya natural, seperti cokelat, merah bata, hitam, kuning kunyit, dan biru. Sedangkan kain sutra dan katun menjadi media untuk menorehkan motif-motif tersebut. Kehadiran batik Paseban, begitu Pangeran Djatikusumah berharap, menambah semangat masyarakat Cigugur untuk terus menggali kekayaan karya seni dan budaya mereka. Setidaknya, lebih dari 200 motif masih menunggu tangan-tangan terampil. maria hasugian

Tidak ada komentar: