Benang Tembaga Si Pelaris Batik

Berani menciptakan produk sendiri dan jangan menjiplak.

Suroso, 37 tahun, sigap melingkarkan kain sutra batik ke pinggang ramping pelanggannya. "Ini cantik, Bu. Cocok dengan kulit Ibu," katanya. Lalu aksesori sejenis bros penjepit berhias benang tembaga dan tiga buah batu akik warna-warni diselipkan ke ujung kain. Kedua ujung kain pun menyatu dalam rekatan aksesori tembaga. Si batik sutra pun menjadi lebih anggun, manis, dan trendi.

Ibu muda itu terlihat puas akan hasil hiasan aksesori tembaga. Tanpa ragu, dia memborong aksesori yang dijual oleh Suroso. Sebuah aksesori tembaga untuk kain, sepasang anting, dan tak ketinggalan sebuah cincin tembaga.

Roso, panggilan akrab Suroso, sudah menikmati hasil jerih payah bisnis selama delapan tahun. Namun, dia tak pantang menjajakan produk langsung ke konsumen. Padahal ada 50 karyawan yang siap diperintahnya ke mana saja. "Pelanggan sering protes jika sulit bertemu dengan saya," katanya saat ditemui Tempo di bazar Darmawangsa Square, Jakarta, beberapa hari lalu.

Roso telah memiliki banyak pelanggan tetap. Dia memang lumayan punya nama di kalangan pencinta batik dan aksesori. Lewat bendera CV Rosano Natural Dyes, Roso menjajakan batik berciri alam dengan teknik pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian. Terakhir dia memodifikasi batik dengan balutan jins.

Pelanggan setia Roso kerap memenuhi gerainya di Sogo Plaza Indonesia, Pasaraya, serta Centro Bali dan Depok. "Saya menjalin kerja sama dengan pemilik mal. Jadi tak perlu sewa tempat, hanya bagi hasil," ujarnya.

Batik berciri alam, menurut Roso, tak lagi cukup. Tiga tahun belakangan Roso mengembangkan aksesori pemanis batik yang berbahan dasar tembaga. Pemanis inilah yang membuat batik semakin laris. "Ini membuat semakin banyak orang tertarik pada pakai batik," katanya.

Tembaga jadi pilihan, menurut Roso, karena harga perak dan emas kelewat mahal. Lagi pula, dengan desain yang apik, tembaga tak kalah indah. "Sayangnya, belum banyak perajin yang memanfaatkan tembaga," kata Roso.

Aksesori dari tembaga buatan Roso di antaranya timang bulat besar, mata tiga, matahari, kelopak mawar, ukel kecil, dan wadid kecil. Hiasan ini bisa digunakan dengan luwes untuk hiasan kain batik, bros di baju batik, perekat syal, pemanis kerudung, atau untuk kalung. Aksesori dari tembaga pun tersedia, seperti cincin, kalung, gelang, dan anting.

Produk aksesori Roso diberi label Aryawiguna. "Itu diambil dari nama anak kedua saya," kata bapak dua anak, M. Aprilio Priambadha, 9 tahun, dan Syafarosso Aryawiguna, 6 tahun, itu. Desain untuk aksesori langsung ditanganinya. Adapun pengerjaannya dilakukan oleh karyawannya di bengkel kerja di Kotagede, Yogyakarta.

Bahan baku tembaga mudah diperoleh di Kotagede. Ada dua metode pengerjaan yang dipilih Roso, yakni filigri dan tatahan. "Metode filigri banyak berkembang di Bali, tapi sayangnya desain di sana sudah campuran gaya internasional," katanya. Roso pun lebih berfokus pada gaya filigri dengan desain ornamen-ornamen lokal.

Metode filigri, dia menjelaskan, dengan benang tembaga yang diurai satu per satu untuk didesain bebas. Setelah desain beres, benang tembaga kemudian dipatri agar permanen. Adapun pada metode tatahan, lempengan tembaga dibentuk lewat proses pengetokan.

Harga aksesori bervariasi di kisaran Rp 100 ribu. Produk ini laris manis, dalam dua minggu terjual lebih dari 100 unit. "Tergantung pesanan juga," katanya. Untuk batik, Roso memasang harga mulai Rp 190 ribu hingga Rp 2 juta. "Total omzet, untuk beragam produk, Rp 150 juta sebulan," ujar Roso.

Butuh perjalanan panjang bagi Roso untuk mencapai omzet saat ini. Roso, yang lulusan Akademi Bahasa Asing YIPK Yogyakarta Jurusan Sastra Prancis, sebelum kuliah, gemar ikut lomba desain. Pascakuliah, dia pun ambil kursus desain di Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia (PAPMI) Yogyakarta (sekarang Lembaga Pendidikan Kejuruan PAPMI Yogyakarta).

Bekal kursus desain diasah lagi dengan magang di perusahaan garmen. "Saya punya prinsip," katanya, "jika ingin menjadi perancang busana, harus mampu melakukan pecah pola dan menjahit."

Setelah menjalani magang dua tahun di perusahaan garmen, Roso memberanikan diri menjadi wirausaha batik. Modal awal pada 1999 sekitar Rp 5 juta. Setelah mengamati dunia usaha batik dengan jeli, Roso mengambil spesifikasi batik dengan warna alam. "Saya ingin berbeda dengan tren yang ada," ucapnya.

Keberhasilan menjual sesuatu yang berbeda dengan kekuatan kreativitas diri adalah kunci sukses Roso. "Harus berani tak hanya jadi pengikut, tapi menciptakan produk sendiri," katanya, "dan jangan pernah menjiplak."

Kreativitasnya inilah modalnya mengarungi pasar yang lebih besar. "Target ke depan membuka pasar seluas-luasnya," ujarnya. Tahun ini Roso lebih serius menjajaki pasar Eropa. Pasar ini dijajaki Roso setelah berpameran di Belanda dan Jerman tahun lalu.

Bengkel seribu meter persegi di Jalan Wonosari Kilometer 7, Wiyono Kidul, Yogyakarta, kini telah dimiliki Roso. Di sinilah sang perajin menumpahkan kreativitasnya dalam berbagai eksperimen. Hiasan dengan benang-benang tembaga hanyalah permulaan. Roso siap menggebrak dengan produk lain yang tak kalah kreatif. YULIAWATI

Batik Mengalir Bagai Air

Batik dengan warna berani, motif dinamis dan modern.

Sebermula adalah tiupan canting, tarian jari-jarian lentik
Melengkung dan meliuk, menjelma garis dan titik
Mengikuti bisik-bisik yang mahaputra
Yang tidak akan pernah terukur jangkau maknanya

Batik adalah garis yang lurus, berliku dan miring
Batik adalah titik yang bertebaran dari ujung canting
Batik adalah makna yang tersembunyi di balik sapuan warna
Batik adalah gambar yang menyimpan lambang tak terhingga

Penggalan puisi berjudul Kwatrin Batik ciptaan Sapardi Djoko Damono membuka acara peragaan busana Allure batik pekan lalu di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta. Di acara itu pula, Allure sekaligus menampilkan ikon baru mereka, Annisa Larasati Pohan, presenter yang juga menantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kali ini temanya "The Alluring of Modern Batik". Pergelaran ini terdiri atas lima koleksi, yaitu lilitan batik, cute & girlie, retro modern, hitam-putih elegan, dan gaun batik tulis. Anita, sang perancang, menjelaskan inspirasi koleksi terbaru ini bermula dari perbincangan bersama putranya yang masih remaja.

Suatu hari putranya mengkritik mengapa batik yang dibuatnya selalu identik dengan pakaian yang hanya dipakai orang tua, terkesan kuno, berat, dan kolot. Menanggapi kritik putranya, lalu Anita memutar otak untuk memodifikasi batik.

"Kritik itu jadi tantangan supaya saya bisa menyajikan batik modern, penuh gaya, tanpa menghilangkan sisi sejarah atau pakemnya," kata wanita berjilbab itu.

Hasilnya, sejak dua tahun lalu, bersamaan dengan berdirinya butik Allure, rancangan batik Anita ikut menyemarakkan pasar batik di Tanah Air. Anita mengusung warna baru yang berbeda, mulai tata warna yang berani, komposisi motif yang dinamis, hingga bentuk rancangan bergaya muda, modis, dan modern.

Kesan segar, muda, dan ringan terpancar dari permainan elemen detail yang genit, potongan busana beragam, dengan motif paduan klasik modern yang menawarkan warna cerah yang menyenangkan mata. Sejalan dengan visi Allure, yang ingin menjadikan pemakainya bisa tampil modern dan mengikuti zaman.

Peragaan ini menghadirkan siluet busana kaya variasi, potongan A yang ringan, gaya longgar, leluasa, dan pola tube trendi. Beberapa busana tampak seksi dengan potongan meramping di tubuh, termasuk panjang gaun yang disajikan dengan banyak pilihan mini, midi, dan maksi.

Koleksi lilitan kain disajikan melalui bahan sutra dengan alat tangan bukan mesin, yang kekuatan rancangannya banyak memainkan kain atau stola yang dililit menjadi rok. Sementara itu, cute & girlie menampilkan suasana segar, muda, dan remaja dalam garapan batik katun. Pilihan warnanya cerah-ceria, seperti merah, biru, oranye, biru langit, hijau pupus, dan fuschia.

Hitam-putih elegan terwakili oleh rancangan gaun bervariasi mini, midi, sampai maksi, dengan penempatan lipit saling-silang, bordir, serta aplikasi payet metal sehingga memberikan kesan seksi dan elegan. Sementara itu, gaun batik tulis tersaji dalam gaya bermotif gradasi penuh hiasan payet metal berkombinasi sifon sutra sehingga memberikan kesan mewah dan anggun.

"Semoga batik kami mengalir seperti air. Tanpa batas, bisa dipakai siapa saja," katanya. HADRIANI P

Topeng Batik dari Dusun Krebet

Kerajinan ini mulai merebak pada 1970-an. Sekarang Krebet dikenal sebagai sentra kerajinan topeng.

Sebuah topeng panji raksasa terpampang megah di Bantul Expo, Agustus 2007, di Pasar Seni Gabusan, Sewon, Jalan Parangtritis, Bantul. Topeng yang memiliki panjang 4,4 meter, lebar 3,5 meter, dan tebal 1 meter itu berhasil mencatatkan diri di Museum Rekor-Dunia Indonesia sebagai topeng terbesar yang pernah dibuat di Indonesia.

Selain ukurannya yang megah, ada keistimewaan lain dari topeng kayu buatan Kemiskidi ini. Seluruh permukaan topeng bermotif batik. Laki-laki 44 tahun itu dikenal sebagai perajin batik kayu yang cukup sukses di Bantul.

Selama ini orang lebih mengenal batik dengan kain sebagai medianya. Namun, warga Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta, lebih suka menggunakan media topeng yang terbuat dari kayu sengon. Kerajinan inilah yang selama puluhan tahun dijadikan sandaran hidup masyarakat setempat.

Dusun Krebet berada sekitar 15 kilometer arah tenggara dari Kota Yogyakarta. Dusun yang terletak di atas perbukitan barat daya wilayah Kabupaten Bantul ini sudah lama menjadi sentra kerajinan topeng. Di sana ada 40 sanggar pembuat topeng dengan jumlah perajin tidak kurang dari 300 orang. "Bisa dikatakan hampir seluruh masyarakat dusun ini menggantungkan hidup mereka dari kerajinan topeng," kata Gunjiar, 60 tahun, perintis

kerajinan topeng di dusun itu.

Menurut Gunjiar, meski saat ini topeng-topeng modern yang terbuat dari plastik sudah merebak, topeng produk Krebet ini masih mampu bersaing dan memiliki pasar tersendiri. Bahkan produksi topeng di dusun ini bisa menembus pasar dunia. Setiap bulan, selalu saja ada pesanan untuk dikirim ke Jepang, Korea, Australia, Belanda, dan Amerika.

Tradisi membuat topeng di Krebet sudah berlangsung sejak 1970-an. Saat itu, Gunjiar, yang berprofesi sebagai pematung, belajar membuat topeng kepada Warno Waskito, empu topeng dari Keraton Yogyakarta. "Saya hanya lulusan sekolah dasar. Jadi susah cari kerja. Waktu itu saya berpikir membuat topeng bisa menjadi sumber penghasilan," ujarnya. Apalagi kayu sengon sebagai bahan baku cukup mudah diperoleh.

Tidak perlu waktu lama bagi Gunjiar untuk berguru kepada Warno. Setelah mahir, dia pun mulai mengembangkan kemampuannya di Krebet. Bahkan banyak warga dusun yang "tertular" sehingga kemahiran membuat topeng ini menjadi wabah. Dusun Krebet pun populer sebagai sentra kerajinan topeng batik.

Jika dihitung total, omzet penjualan topeng batik Krebet tidak kurang dari Rp 200 juta per bulan. Angka yang tidak kecil untuk sebuah dusun seperti Krebet. Para perajin bisa mempertahankan kualitas produk mereka di tengah gencarnya produk-produk luar yang serba modern.

Menurut Martinah, 25 tahun, penjaga salah satu gerai di Dusun Krebet, pada masa liburan tempat itu selalu dipenuhi pengunjung. Bahkan tidak jarang dia kehabisan persediaan sejumlah produk karena maraknya pembeli. "Kami sering kewalahan melayani pembeli. Pernah ada rombongan wisatawan datang dengan tujuh bus. Persediaan kami ludes," kata dia.

Bentuk kerajinan yang unik dan bervariasi merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Ketertarikan itu diperlengkap dengan harganya yang relatif murah. Sebuah topeng kecil seukuran gantungan kunci bisa diperoleh dengan harga sekitar Rp 5.000. Adapun untuk ukuran yang lebih besar, sebesar wajah manusia, ada yang hanya puluhan ribu rupiah. Ada juga aksesori lain yang bisa digunakan sebagai hiasan dinding, asbak, vas bunga, sandal kayu, dan wayang kayu. Semuanya dari kayu dengan motif khas batik.

Vera, seorang pembeli, mengaku beberapa kali bertandang ke Krebet. Dia suka dengan bentuk-bentuk unik yang diciptakan perajin di sana. Apalagi harganya jauh lebih murah ketimbang harga kerajinan yang sama yang dijual di kawasan Jalan Malioboro, Yogyakarta. "Saya membeli sandal kayu yang dibatik karena unik dan murah," kata Vera. Suseno | Muh Syaifullah

Tip Membatik dengan Media Kayu

Pilih kayu yang tidak mengandung minyak karena pelarut warna batik menggunakan air. Jenis kayu seperti kayu sengon, albasia, wadam, kayu kembang, dan kayu jati muda cocok untuk warna cokelat. Yang paling bagus adalah kayu damar.

Kayu diukir, kemudian diampelas sampai halus, lalu digambar dengan pensil. Selanjutnya, kayu dibatik warna hitam sebagai warna dasar, tentunya dengan canting untuk membatik kain. Lalu kayu direbus. Setelah kering, kayu dibatik dengan warna lainnya.

Motif yang biasa di pilih antara lain motif Parangrusak, Parangbarong, Kawang, Garuda, Sidomukti, Sidorahayu, atau motif menurut selera jika belum tahu motif-motif tersebut.

Setelah proses pada tahap kedua selesai, kayu direbus kembali, lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

Batik kayu tidak boleh dijemur langsung terkena cahaya matahari, karena warnanya bisa rusak atau pecah. Setelah kering, baru dilakukan proses finishing menggunakan NL (zat untuk finishing antijamur dan antiracun), bukan tinner melamin. Sebab, bau tinner melamin menyengat dan tidak baik untuk kesehatan, apalagi untuk nampan wadah makanan.
Proses pembatikan kayu membutuhkan waktu tiga hari. Produk pun siap dipasarkan atau dipajang.

Dari Relief Pindah ke Kain

Batik Paseban memadukan seni dan religi.

Relief dan seni ukir klasik pada ornamen-ornamen di gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, sudah lama menarik perhatian Pangeran Djatikusumah, tokoh masyarakat Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Enam tahun lalu, ia memutuskan memindahkan relief dan seni ukir klasik itu ke atas kertas.

Tak ada rencana apa pun saat itu, kecuali keinginannya untuk melestarikan setiap detail karya nenek moyangnya yang terukir di gedung berusia 167 tahun tersebut. Ia menghasilkan sekitar 250 motif dari relief dan seni ukir klasik itu.

Pertemuannya dengan Sasmiyarsi Katoppo, pendiri Yayasan Sekapur Sirih, dalam satu acara adat masyarakat Cigugur, Seren Taun, beberapa tahun lalu membuahkan ide menggali kembali akar budaya masyarakat Cigugur yang telah lama punah: tradisi batik tulis.

Sebuah kolaborasi yang serasi. Sasmiyarsi mengirimkan para ahli batiknya dari Solo ke Desa Cigugur guna memberikan pelatihan. Pangeran Djatikusumah menggerakkan masyarakat Cigugur untuk mau mempelajari batik tulis khas Cigugur. Gayung bersambut. Sejumlah pengrajin batik di desa itu pun bermunculan. Alhasil, pada 15 Oktober 2006, batik Paseban Cigugur resmi lahir.

Begitulah batik Paseban ikut menyemarakkan karya seni adiluhung batik tulis di negeri ini yang lebih dulu ada, seperti batik Pekalongan, Cirebon, Solo, Yogyakarta, bahkan batik khas Papua. Meski bertetangga dengan Cirebon dan Pekalongan, batik Paseban punya kekhasan, yakni motifnya diambil dari bunga, akar-akaran, dan padi-padian. "Menurut Rama (sapaan Pangeran Djatikusumah), pengaruhnya lebih kuat ke Mataram ketimbang Cirebon," kata Sasmiyarsi. Keunikan lainnya, menurut Pangeran Djatikusumah, batik Paseban tidak memiliki isen-isen, seperti pada batik Solo ataupun Yogyakarta.

Pertengahan Desember tahun lalu, untuk pertama kalinya batik Paseban dipamerkan kepada masyarakat luas. Sembilan motif utama batik Paseban dipajang sepanjang sisi kiri dan kanan ruang pameran di Hotel Sultan, Jakarta. Kesembilan motif itu adalah Sekar Galuh, Oyod Mingmang, Gagang Senggang, Rereng Pwah Acih, Rereng Kujang, Mayang Segara, Geger Sunten, Sekar Kedaton, dan Adu Manis. Setiap motif punya makna yang bermuara pada keserasian hubungan manusia dengan pencipta, sesama, dan alam sekitarnya. Jadi tidak semata-mata perpaduan keindahan motif dan tren.

Percaya tidak percaya, begitu Sasmiyarsi menuturkan, untuk membuat motif Mayang Segara dibutuhkan kebersihan hati, pikiran, meditasi, bahkan harus berpuasa. "Kalau tidak, nggak bakal berhasil," ujarnya.

Menurut Pangeran Djatikusumah, awal lahirnya motif Mayang Segara adalah ketika dulu Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, putra mahkota Pangeran Gebang yang mengungsi ke Desa Cigugur karena memberontak terhadap penjajah Belanda, pergi ke pantai selatan mencari wijaya kusuma. Ia melihat hiasan segara di sana. Motif ini, ujarnya, menyiratkan bahwa manusia hendaknya memiliki keikhlasan hati bagaikan luas dan dalamnya samudra.

Seperti batik lainnya, tidak semua motif bebas digunakan untuk segala acara. Misalnya, motif Adu Manis hanya dipakai untuk pasangan yang menikah. Motif Adu Manis memiliki makna mengasihi, perasaan yang saling menghormati, dan perpaduan yang manis. Meski begitu, ada pula motif yang bisa digunakan di segala suasana, yakni Rereng Kujang.

Warna-warna batik Paseban umumnya natural, seperti cokelat, merah bata, hitam, kuning kunyit, dan biru. Sedangkan kain sutra dan katun menjadi media untuk menorehkan motif-motif tersebut. Kehadiran batik Paseban, begitu Pangeran Djatikusumah berharap, menambah semangat masyarakat Cigugur untuk terus menggali kekayaan karya seni dan budaya mereka. Setidaknya, lebih dari 200 motif masih menunggu tangan-tangan terampil. maria hasugian

Cakrawala Batik di Bentangan Sutra

Batik sutra Makassar aneka warna karya Chama Sjahrir.

Batik bukan hanya dominasi budaya Jawa. Warna yang kaya serta filosofi yang berlimpah di balik setiap desain dan coraknya adalah keindahan yang tiada habis digali. Di tangan Chama Sjahrir, bentangan kain batik berubah menjadi berbentuk cakrawala warna yang mengundang kagum.

Pekan lalu di Graha Niaga, Sudirman, pada acara peluncuran televisi budaya, sebanyak 15 gaun malam dan enam kemeja pria hasil rancangannya dipamerkan dengan apik melalui lenggak-lenggok peragawati Ibu Kota.

Mengambil tema "Batikku Indonesiaku", semua karya pemilik butik Tres Belle itu menyuguhkan pesona keindahan Indonesia lewat lukisan batiknya. "Saya memang punya obsesi besar mengembangkan batik modern. Sehari-hari saya membuat desain dengan cara melukis batik," kata Chama.

Batik hasil lukisannya itu diserahkan kepada perajin untuk dipindahkan ke atas kain. "Sesekali saya melukis di kain tenun Makassar, yang terkenal khas dan sangat sulit buat melukis karena teksturnya kainnya jarang-jarang," katanya. Selain menggunakan kain tenun, perempuan asal Negeri Anging Mamiri ini juga memakai bahan sutra Makassar, tule, dan campuran organdi sutra.

Sesuai dengan tema peragaan busananya, ibu tiga anak ini sengaja menyajikan gaun-gaun malam indah, eksklusif, dan serba glamor. "Saya memang ingin menampilkan busana formal batik yang tidak kalah bergengsinya dengan gaun malam merek luar negeri," katanya.

Keoptimisan Chama memang terwakili melalui penampilan gaun-gaun malamnya yang bertabur aneka warna. Ada warna terang yang memberikan kesan ceria, berani mengekspresikan diri, dan sedikit terkesan genit, seperti yang tertuang di gaun-gaun malam berwarna hijau muda, merah jambu, biru, ungu, merah marun, dan kuning. Kemudian gaun berwarna redup dan netral yang memberikan kesan bersahaja, matang, dan mempesona. Ada juga gaun berwarna cokelat dan abu-abu, yang memberikan kesan alami. Serta tidak ketinggalan gaun warna hitam yang memberikan kesan etnik, elegan, dan mewah.

"Saya ingin mengeksplorasi batik di kain yang punya banyak warna. Sebab, saya meyakini filosofi kehidupan di dunia yang serba penuh warna. Ada duka, suka, takut, berani, hancur, sukses, dan lainnya," katanya berfilosofi.

Sementara itu, untuk bentuk gaun malamnya disajikan beragam, seperti sack dress panjang tanpa lengan, gaun siluet yang dipermanis dengan bentangan kain batik indah, gaun model berkemben, atau gaun halter neck bertali di bagian leher.

Untuk kemeja pria, Chama menampilkan kemeja rapi berkerah yang biasa dipakai di pesta. "Yang khas dari kemeja prianya hanya penempatan motif-motif batik yang saya lukis tidak terlalu banyak atau menyita tempat. Dengan demikian, hasilnya akan membuat kemeja ini lebih elegan dan kelihatan berkelas," ujar perancang yang karyanya sering dipesan pejabat di dalam dan luar negeri itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan beberapa pejabat penting di Tanah Air sering mengenakan karyanya. Belum lagi di negeri jiran, batiknya sering dipesan keluarga Perdana Menteri Malaysia, Kerajaan Brunei, dan kerajaan Thailand.

Semarak lukisan batik yang digoreskan Chama lewat peragaan busananya kali ini memang bukan batik yang taat pakem atau aturan. Dalam menggoreskan batik di atas kain, ia hanya mengandalkan ide yang biasa muncul dalam benaknya. Memang sesekali ia memakai campuran semua unsur motif batik dari tradisional, seperti motif Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Garut, dan Cirebon.

Bahkan sesekali gaya konvensional batik tradisional dari beberapa daerah digabungkan dengan motif batik yang diambil dari motif tenun dan songket, seperti Makassar, Palembang, Baduy, Batak, Aceh, Bali, atau Flores. "Saya ingin semua karya penuh nuansa motif. Saya ingin menyajikan sesuatu yang idenya dari konvensional menjadi modern bisa go international," kata perancang yang pada Agustus nanti akan mengadakan pergelaran batiknya di Belanda, Belgia, Swiss, dan Swedia itu.

Ia pernah menuai pujian dari pengamat mode di Roma ketika mengadakan pergelaran di sana. "Katanya, garis unik batik lukisan saya sempurna persis dengan garis motif milik Gucci dan Versace. Mereka meramalkan karya saya bakal diminati sebagai tren baru di Eropa. Ternyata memang sukses besar. Dari 30 buah yang saya bawa, habis tanpa sisa," ceritanya panjang lebar dengan perasaan bungah. Bentangan batik Chama tampaknya akan kian lebar. HADRIANI P

Memilih Butik Batik

Memiliki batik bagi sebagian kalangan adalah sebuah prestise tersendiri. Apalagi batik yang dibeli memiliki bahan dan motif nomor wahid. Setidaknya, itulah yang ingin dilirik oleh butik Allure yang baru saja membuka gerainya di pusat belanja mewah Senayan City, Rabu lalu. "Tempat ini kami pilih sebagai penghargaan khusus bagi para pelanggan," kata Fadia Yusuf, pemilik butik ini.

Selain itu, kata Fadia, dia ingin batik sejajar dengan merek-merek terkenal asal luar negeri yang sudah terlebih dulu ada di tempat itu. "Ini cita rasa Indonesia," katanya. Butik ini terletak di lantai 2 dengan luas sekitar 60 meter persegi. Meski batik bernuansa tradisional, tempat ini malah mengkontraskannya dengan desain yang minimalis modern. Dengan warna hitam, putih, dan cokelat butik ini tetap menghadirkan nuansa tempo doeloe dengan sebuah lemari berkayu jati dengan pinggiran kayu beraksen motif-motif batik lokal.

Pada ruang ganti, terdapat paduan bergaya retro kontemporer. Bagian atapnya diberi lampu bercahaya temaram. Pintu ruangan ini pun sangat unik, yaitu kombinasi kayu dan kain katun batik berwarna hijau cokelat menawan. "Kami ingin memberikan kesan klasik modern," kata Fadia. Tempat ini menyediakan kenyamanan dengan sebuah sofa di tengah ruangan yang bisa digunakan untuk sekadar beristirahat setelah lelah berbelanja.

Koleksi yang dijual juga menarik. Misalnya, koleksi balutan kain yang menghadirkan rancangan batik dan kebaya dalam setelan ringkas dan cantik. Koleksi chic dan modern merupakan rangkaian gaun yang dirancang dinamis dan memberikan kesan muda. Koleksi ornamen merupakan rancangan busana trendi yang kaya detail ornamen, seperti gaya kerut-kerut atau smock, yang menarik.

Tapi jika Anda ingin memilih belanja batik di tempat yang lebih intim, cobalah datang ke Bin House. Butik yang dikelola oleh Obin ini terletak di Jalan Purworedjo (ex Teluk Betung), Menteng, Jakarta Pusat. Suasana rumahan amat terasa di tempat ini. Ketika membuka pintu, alunan siter dan suara merdu yang mendayu-dayu menemani para pengunjung.

Tak cuma itu, pengunjung dimanjakan oleh berbagai minuman dan penganan khas daerah penghasil batik secara gratis. Belum lagi koleksi batik yang ditawarkan tempat ini yang sangat beragam. Maklum, Obin banyak mengkreasikan motif-motif batik terbaru yang tak lepas dari pakem batik yang sudah ada. Batik-batik bermotif parang dengan bahan sutra tersedia di tempat ini.

Selain kain-kain batik, butik ini juga menyediakan pakaian jadi dengan motif tradisional lainnya. Orang bisa betah berlama-lama di tempat ini, selain karena koleksi batiknya yang banyak, pemilik butik selalu hangat menyambut para pelanggannya. Untuk memiliki batik yang ada di kedua butik tersebut, Anda tentu perlu menyiapkan bujet yang tak sedikit. Tapi demi kebanggaan akan batik, uang tentu bukan masalah.

Elok Nian Batik Malaysia

Meniadakan unsur pakem batik, berani bermain warna dan corak, serta desain abstrak.

Pesona dan energi batik ternyata tidak mengenal tempat di mana pun ia berhulu. Kreasi batik selalu muncul tanpa henti mengalir seperti air. Perkembangannya begitu pesat dan sangat variatif. Kita tidak hanya mengenal batik dalam koridor atau pakem tertentu, seperti motif batik yang dikenal di Yogyakarta, Solo, Garut, Pekalongan, Cirebon, Palembang, Jambi, dan batik Lasem. Kini perkembangan batik pun mulai merambah ke Malaysia.

Di negeri jiran, budaya batik sudah diperkenalkan sejak dini melalui sekolah-sekolah. Teknik pembuatan dan seni batik menjadi salah satu pelajaran menarik ditekuni seluruh siswa di sana. Di Malaysia, batik mulai populer sejak 1970-an. Saat itu, kalangan kelas atas dan penggemarnya menempatkan batik sebagai bagian dari mode. Seperti yang dilakukan Noor Fatimah Ishak, salah satu perancang Malaysia yang menyelenggarakan peragaan busananya di Gran Hyatt, Jakarta, pekan lalu.

Dengan tema Deanoor malam amal batik D'reka dan promosi melancong ke Malaysia, Noor menyuguhkan pesona keindahan batik ciptaannya dengan peragaan 30 busana wanita dan 10 busana pria. Noor tak mau dijuluki jago kandang, karena itu ia datang ke Indonesia dengan tekad kuat.

"Saya datang ke Indonesia bertekad menampilkan peragaan batik yang saya miliki. Saya menaruh hormat pada negeri ini sebagai sesepuh batik. Saya mencoba meraih peluang pasar," kata Noor.

Uniknya, batiknya tidak dibikin dengan menggunakan canting layaknya batik Indonesia, tapi lewat teknik kanvas dan lukisan.

Noor mengaku sudah jatuh cinta pada batik sejak remaja. Ia juga pernah dinobatkan sebagai Miss Batik di Kuala Lumpur pada akhir 1970-an.

"Saat itu, saya banyak membeli dan mengoleksi batik Iwan Tirta. Saya belajar secara otodidak dari batik karya perancang Tanah Air yang terkenal eksklusif dan elegan itu," dia melanjutkan.

Sekitar 1986, Noor mulai tertantang untuk berkreasi batik buatan sendiri. Ia mereka-reka batik sesuai dengan visi dan imajinasinya. Ia mencoba berbagai warna dan corak serta perlahan menempatkan semua karyanya sebagai bagian dari pakaian nasional di negaranya. Hasil batik rekaan Noor lalu diperkenalkan di kalangan dekat, termasuk orang-orang penting di Malaysia. Hasilnya mendapat sambutan positif sehingga ia sukses memperkenalkan batiknya sampai ke Brunei Darussalam, Australia, dan beberapa negara Eropa lainnya.

Pada awal 2004, Kerajaan Malaysia mencanangkan kampanye "Malaysia Batik Crafted for the World". Program ini melecut pengusaha batik di Malaysia supaya gencar berkreasi. Dengan dukungan pemerintah, batik akhirnya bisa melaju hingga ke pusat mode dunia, seperti Milan, Paris, dan London.

Keelokan batiknya diperagakan lewat gaun-gaun malam, busana tradisional baju kurung, dan busana muslim bermotif batik. Ia membuat seluruh karyanya pada bahan sutra yang memudahkan menuangkan kreasi batik berbentuk bunga, daun, dan hewan. Ia merancang lewat lukisan batik pada segala sesuatu yang berbentuk abstrak, tidak mengikuti pakem batik layaknya Yogyakarta dan Solo. Motif abstrak yang menjadi ciri khas Noor konon sangat digemari di Eropa. Ia juga berani bermain warna-warna cerah.

Seluruh gaun malam, baju kurung, dan busana muslim penuh dengan keelokan batiknya yang cerah ceria, begitu abstrak, dan modis. Noor mengusung keberanian dalam pembuatan desain polkadot atau bentuk bulatan yang kini digandrungi kaum muda.

"Kekuatan batik Noor dari Malaysia karena dia punya keberanian menangkap selera pasar, khususnya Eropa. Batik Indonesia masih angkuh, berkeras hati mempertahankan pakem," ungkap Dewi Motik Pramono, yang mengaku terkagum-kagum menyaksikan keelokan pesona batik Noor.

Kemilau Batik Melayu

Garis besar inspirasi batik Malaysia justru mengambil kekayaan seni membatik dari Indonesia.


Indonesia boleh mengembangkan budaya batik turun-temurun selama ratusan tahun lamanya, tapi di Malaysia-lah batik berkilau. Dalam sambutan pembukaannya pada acara Kuala Lumpur International Batik 2007 pekan silam, Menteri Kebudayaan dan Warisan Malaysia YB Datuk Seri Utama Dr Rais Yatim mengatakan batik Melayu sudah mendapatkan tempat di hati dunia internasional.

Kemilau batik Malaysia memang bukan basa-basi. Menurut perancang Noor Fatimah Ishak, salah satu penunjang berkembangnya batik di tempatnya adalah dukungan pemerintah setempat. Dukungan ini tidak sebatas sosialisasi pentingnya budaya mengenakan batik. Di Malaysia, berlaku aturan wajib memakai batik, yang sudah diperkenalkan sejak dini melalui sekolah-sekolah. "Cara ini mendorong para siswa tertarik dengan teknik pembuatan dan seni batik," katanya. Membatik juga menjadi pelajaran menarik yang ditekuni siswa Malaysia.

Pemilik rumah mode D'Reka Batik ini mengakui batik negerinya memang berbeda dengan batik Indonesia. Di Malaysia, soal motif tidak terlalu penting. Semua diserahkan pada kreativitas para perancang. Biasanya motif yang dipilih adalah tumbuhan, etnik, dan abstrak. Keleluasaan tersebut tidak dimungkiri memberikan kesan batik negerinya sangat kontemporer. Sementara itu, di Indonesia, ia menaruh rasa kagum karena kekuatan batiknya pada motif, teknik yang sangat mendetail, bagus, serta sarat makna filosofinya.

Menurut Datin Noor, kerja keras pemerintah untuk menaikkan pamor batik juga tampak pada pembinaan perancang batik yang baru muncul. Caranya dengan memberikan kesempatan mengikuti pelatihan atau pendidikan pewarnaan yang didatangkan dari rumah mode dunia, seperti Giorgio Armani dan Donna Karan. "Pemerintah mendukung saya serta teman-teman di sini untuk meraih peluang pasar internasional," kata perancang yang menjajal pasar di Brunei Darussalam, Singapura, Hong Kong, Jepang, Australia, beberapa negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat ini.

D'Reka Batik misalnya. Meski baru dua tahun berkiprah di dunia busana, Datin Noor sudah mampu mengusung batiknya menembus pusat mode dunia, seperti Milan, Paris, dan London. Datin Noor menampilkan kemilau batiknya lewat lewat gaun malam, busana tradisional baju kurung, dan busana muslim bermotif batik. Ia membuat seluruh karyanya pada bahan sutra yang memudahkan menuangkan kreasi batiknya berbentuk bunga, daun, dan hewan. Ia merancang lewat lukisan batik pada segala sesuatu yang berbentuk abstrak, tidak mengikuti pakem batik layaknya Yogyakarta dan Solo. "Motif abstrak dan keberanian saya menghadirkan warna-warna cerah menjadi kekuatan batik saya sehingga digemari masyarakat Eropa," tuturnya.

Victor Ooi Boon Beng, pemilik Fine Batik, mengatakan kesempatan para perancang di negerinya mendapat pengetahuan batik tidak lepas dari peran orang Indonesia. "Negeri inilah yang memiliki master atau para ahli batik sesungguhnya," pria berkacamata itu memuji. Dia mempopulerkan batik organik atau batik yang proses pembuatannya sangat ramah lingkungan. "Pengetahuan ini saya dapat setelah belajar dengan salah seorang karyawan saya yang berasal dari Yogyakarta," ujarnya.

Batik buatan Victor memakai motif abstrak, bunga, daun, dan pohon. Dia memakai buah ketapang, kayu manis, akasia, buah manggis, dan bahan-bahan alami lainnya untuk pewarnaan alami serta penegasan motif batiknya. "Semua saya pelajari dari karyawan tersebut, tapi saya kembangkan melalui riset sendiri," tutur Victor, yang produknya dituangkan pada bahan sutra dan taffeta sutra.

Dia menjelaskan harga jual produknya tergolong mahal lantaran memakan waktu lama, terbuat dari bahan alami, dan ramah lingkungan. Dia menerangkan harga selendang atau jilbab mulai 95 ringgit Malaysia atau Rp 270 ribu ke atas. Lalu kain dan bahan panjang mulai 150 ringgit Malaysia atau Rp 430 ribu ke atas. Pada peragaan busana Fine Batik, ia menampilkan koleksi gaun pesta panjang, baju kurung, kimono, dan peralatan rumah tangga, seperti taplak meja, sarung bantal, dan seprai.

Dua Generasi Pengusaha Batik

Kedua perempuan ini mirip tokoh Canting dalam novel karangan Arswendo Atmowiloto, yang kemudian diperankan oleh Ria Irawan di layar kaca. Kesamaan bukan pada kisah hidupnya, tapi soal kegigihannya mempertahankan bisnis batik milik keluarga di tengah perubahan zaman.

Denise Tjokrosaputro

Usianya masih 21 tahun saat diserahi tanggung jawab meneruskan usaha keluarga bernama Keris Gallery, pusat perbelanjaan yang menyediakan barang dagangan mulai dari batik dan kerajinan. Berbekal pendidikan teknologi tekstil di Universitas Philadelphia yang digabung dengan ilmu keuangan dan investasi dari Universitas George Washington, Denise Tjokrosaputro, 24 tahun, memulai pekerjaan sebagai buyer untuk barang dari kulit. Dua tahun kemudian ia melompat ke posisi general manajer yang sedang kosong.

Ia memang sengaja disiapkan untuk hadir di perusahaan keluarga yang didirikan sejak tahun 1987 ini. Apalagi mulai usia kanak-kanak ia mulai dilibatkan mengenal dunia usaha garmen yang dirintis keluarga. Bahka ia dilibatkan mulai dari membungkus barang di bagian kasir. Namun ia menolak dikatakan hanya memanfaatkan koneksi keluarga. "Di perusahaan ini kami bekerja professional, tidak asal memilih orang," tegasnya.

Wakil Direksi di Keris Grup dan General Manager di Keris Gallery, ini akhirnya berkecimpung di bidang eceran. Meski tahun ini merupakan tahun tersulit bagi bisnis eceran, namun gejolak jiwa mudanya justru tertantang untuk mengatasi itu semua. Bahkan tak lama lagi ia akan melakukan perubahan besar berupa renovasi gedung untuk citra Keris Gallery agar bisa bersaing dengan perbelanjaan lain yang ada di Jakarta. "Bicara soal citra, banyak cakupannya, mulai dari barang dagangan, sumber daya manusia, tata letak barang, komunikasi pemasaran, sampai membina pelanggan agar tetap loyal," kata anak pertama dari empat bersaudara ini.

Tuntutan pekerjaan membuat Denise tak selalu berada di belakang meja. Malah keseringan ia menjalankan manajemen sambil berjalan karena prinsip seorang retailer harus berada dekat pelanggan, untuk mengetahui kejadian dan kekurangan yang ada di setiap lantai.

Lantaran itu, Denise yang mengaku sering melakukan inspeksi mendadak ke lokasi perbelanjaan untuk melihat kedisiplinan lini terdepan: promosi penjualan. Karena menerapkan disiplin itu Denise sadar, ia akan kurang disukai. "Mungkin saya dibilang nenek sihir, karena tiba-tiba muncul malam hari dan lima surat peringatan melayang deh," ujar wanita yang suka meluangkan waktunya dengan main golf ini.

Biodata :
Denise Tjokrosaputro
4 Februari 1976
Pendidikan:
Jurusan Teknologi Tekstil, Universitas Philadelphia (1996)
Jurusan Finansial dan Investasi Universitas George Washington (1998)


Diana Hariyadi, SE

Meski seroang putri pemilik Danar Hadi, Diana Hariyadi awalnya sama sekali tak terpikir akan meneruskan usaha keluarga yang sudah dirintis oleh ayah dan ibunya, H. Santoso Doellah dan H. Danarsih, sejak 1967 di daerah Kauman, Solo. Diana justru bekerja di perusahaan milik kakak iparnya. Namun ia kemudian meraskan kejenuhan. "Karir saya mentok bila diteruskan," ujarnya.

Di saat itulah ayahnya menawarinya untuk bergabung ke Danar Hadi. Ditawari hal itu, Diana malah memberi tantangan bisnis. "Saya bilang, kenapa tidak mendirikan perusahaan baru saja," cerita Diana. Ayahnya menyetujui mendirikan perusahaan PT Kusumaputri yang bergerak di bidang garmen non batik pada 1995.

Ayahnya kembali menanyakan kesediaannya bergabung ketika beliau ingin mendirikan toko di Melawai, yang rencananya akan menjadi cabang terbesar di Jakarta. Sebagai generasi baru, Diana tidak main terima saja. Ia harus berpikir untuk mengembangkan usaha mengikuti tuntutan zaman. Diana pun mensyaratkan toko itu harus jadi one stop service.

Diana benar-benar penuh menangani Danar Hadi pada 1996 setelah ayahnya menetap di Singapura mendampingi adiknya berobat akibat kecelakaan. "Pekerjaan bapak banyak tertinggal, saya mulai terlibat menggantikannya," kata Diana.

Diana sadar, sebagai anak ia harus meneruskan usaha yang sudah dirintis oleh kedua orang tuanya. Apalagi sejak masih duduk di bangku SD ia sering diajak membantu pengambilan barang di toko ayahnya di Solo. "Sebagai seorang muslim, ini amal untuk orang tua, kendati ayah saya membebaskan saya mau ikut atau tidak," kata Diana yang mengaku tertarik karena ia memang menyenangi dunia fashion ini.

Kehadiran Diana yang langsung membawa pola penegakan disiplin dan aturan di perusahaan, membuat penolakan dari para manajer. Kebetulan ada yang berasal dari kalangan keluarga yang dipekerjakan sebagai karyawan. Ia mengakui, cukup keras dalam membuat dan menerapkan aturan. "Bagi saya siap bergabung di sini berarti melepaskan atribut keluarga dan siap menjadi karyawan seutuhnya," katanya tegas. Ayahnya berusaha menengahi hal ini meski keputusan akhir tetap dipegang olehnya.

Empat tahun dilaluinya dengan belajar dari kesalahan dan percobaan. Untungnya, sang ayah mendukung apa yang ia putuskan asalkan baik bagi perusahaan. "Ini bukan untuk ambisi saya," tegasnya. Ia dipercaya menangani pemasaran, sementara produksi masih dipegang ayahnya.

Meski tak menangani produksi, namun Diana mewajibkan dirinya dan karyawannya untuk dilatih masalah seluk beluk batik selama 10 hari. "Karena kalau hanya bicara soal penjualan tanpa tahu proses pembuatan dan produk batik, maka akan rapuh dengan sendirinya."

Diana juga melakukan regenerasi peminat batik untuk kalangan muda mulai usia 20an tahun. Cara menarik minat anak muda akan batik yang dilakukannya adalah dengan menyiapkan koleksi batik dengan warna warna cerah. Selain itu, ia juga rajin menghadiri acara kelulusan sekolah desain. Tujuannya adalah melibatkan desainer muda dalam perusahaan.

Batik ibarat sudah jadi seragam sehari-hari buatnya. Terutama di kantor bila menemui tamu dan acara bertemu dengan klien, "Selebihnya pakaian biasa, ibu saya pernah mengkritik, kok tidak pakai batik, saya bilang, Lho masak saya tidak boleh pakai pakaian yang saya suka setelah seharian pakai batik terus," katanya tertawa.

Ada satu hal yang menjadi obsesinya hingga kini. "Saya mau kuliah di luar negeri." Dulu, ayah dianggap Diana terlalu protektif, tidak membolehkan anak wanita jauh dari orang tua. "Nah.. begitu lulus kuliah lalu menikah, malah suami yang tidak membolehkan, dengan alasan meninggalkan anak-anak. Ia membolehkan saya bekerja, karena dia tahu saya lebih suka bekerja ketimbang memasak," kata istri Hariyadi Sukamdani, ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ini tergelak.

Biodata :
Diana Hariyadi, SE
Surakarta, 21 November 1969
Pendidikan: Sarjana Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta
Jabatan : Managing Director PT. Batik Danar Hadi, Personal Director PT. Sahid Detolin Textile (Sadetex.). evieta fadjar

Menawan dengan Perca Batik

Kain batik sudah tidak asing di masyarakat Indonesia. Imbauan untuk melestarikan budaya batik juga terus didengungkan dalam setiap kesempatan. Namun, apa jadinya jika gaun batik yang kita kenakan berasal dari kain batik yang sudah usang atau perca batik?

Sepertinya itu bukan hal yang mustahil bagi para perancang kita. Perca batik yang selama ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan membuat keset berhasil diubah menjadi gaun-gaun yang menawan.

Beberapa waktu lalu para perancang Indonesia menampilkan kebolehannya berupa gaun batik yang dirancang dari batik daur ulang dalam peragaan busana yang bertajuk "Ecochic" di Jakarta. Peragaan busana tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak dari perubahan iklim global.

Beragam kreativitas ditampilkan oleh para desainer melalui kain batik daur ulang. Seperti teknik memilin perca-perca batik kawung dan tenun lurik yang dilakukan oleh Lenny Agustin untuk membuat sebuah gaun yang diterima Java Doll. Warna-warna cerah, seperti kuning, merah muda, hijau, dan biru muda, terlihat apik dan unik pada gaun rancangan Lenny. Kain batik yang selama ini terkesan tradisional berhasil disulapnya menjadi sebuah gaun yang girly dan cute.

Ditemui di sela peragaan, Lenny menuturkan gaun yang bergaya ringan dan muda itu terinspirasi oleh busana kebaya Indonesia. "Saya berpikir bagaimana memanfaatkan limbah produksi saya menjadi sebuah baju yang lucu untuk boneka, sesuai dengan aliran saya, etnik modern," ujar Lenny.

Rancangan yang tak kalah unik juga ditampilkan oleh Nita Azhar yang membuat perca batik menjadi sebuah bunga-bunga kecil yang disatukan menjadi gaun panjang dengan ekor di bagian belakang. Aksen pada bagian leher yang dibuat menyerupai ranting-ranting semakin menguatkan tema gaun save my forest (selamatkan hutanku). Demikian juga rancangan Taruna K.K. yang menyulap daur ulang kain batik lurik menjadi sebuah baju mirip dengan orang-orangan sawah.

Kesan anggun yang sarat akan unsur etnik juga memancar di panggung peragaan. Tengok saja gaun hasil tangan dingin perancang kenamaan Anne Avantie. Menggunakan bahan france lace, daur ulang batik Semarang yang di-texmo dengan tenun torso dan sedikit sentuhan etnic beads, Anne berhasil menyulapnya menjadi gaun bertema Batiken yang terlihat anggun. Kemilau warna perak pada aksen gaun menambah kesan yang lebih elegan.

Sentuhan lain ditampilkan oleh perancang berikutnya, seperti Mardiana Ika, Carmanita, dan Afif Syakur. Batik yang selama ini kental akan unsur etnik dan tradisional diubah menjadi sebuah gaun yang modern dan unik. "Dengan karya ini, kami ingin membuktikan kepedulian para perancang Indonesia terhadap dampak pemanasan global," kata Mardiana Ika. Jadilah perca-perca batik yang menawan. S IKA SARI

Semburat Batik Guruh

Modifikasi gaya dan bahan batik Jawa.

Lembaran kain-kain batik cantik bermotif tulisan Guruh dalam bahasa Sanskerta terjejer rapi di pintu masuk ballroom Hotel Lor In, Solo, pekan silam. Malam yang indah. Aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan menambah suasana magis saat memasuki arena peragaan busana Persada Sembangi Wungu. Tuan rumah pesta meriah itu adalah Guruh Sukarno Putra. "Ini karya saya di dunia seni batik. Saya merintisnya secara profesional sejak 1999 melalui PT Guruh Sukarno Persada," katanya.

Putra bungsu mantan presiden Soekarno itu mengakui rasa cintanya pada batik bukan hal baru. Sejak remaja, saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia mengaku sudah jatuh cinta pada batik dan mulai belajar membatik. "Guru saya, Raden Ayu Laksmito Rukmi dari Keraton Solo, yang begitu telaten mendidik saya di dunia membatik," paparnya.

Karena kesibukannya menekuni berbagai bidang seni tari, musik, sosial, hingga politik, kegemarannya membatik yang dirintis secara profesional sempat terputus. "Sekarang saya turun gunung ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia cinta kain lokal dari Tanah Air, khususnya batik," kata Guruh.

Sejak dulu Guruh bertekad ingin mengangkat citra perajin batik agar tidak melulu bermain di katun dan terpaku pada model lama. "Saya mengajari mereka memodifikasi gaya dan jenis bahan," katanya.

Malam itu Guruh menampilkan 50 batik rancangannya di atas kain katun, sutra, poliester, wol, beledu, kulit, hingga bahan denim. Umumnya mengambil motif Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan daerah lain, termasuk motif huruf dan bahasa Sanskerta. Semuanya disajikan dalam potongan kebaya encim, pasangan sarimbit, kemeja pria, aneka gaun cantik siap pakai, hingga busana santai, seperti setelan celana, gaun baby doll, serta jas berbahan jins dan korduroi.

Sembangi wungu dalam bahasa Jawa bermakna sembagi semburat, pecahan, atau pendaran corak dan warna dalam seni batik. Adapun kata wungu, selain berarti warna ungu, bermakna bangun.

Menurut Guruh, sembangi wungu terinspirasi oleh semburat, pecahan, atau pendaran seni budaya batik yang kaya akan corak dan warna. Sembagi wungu banyak dipakai dalam motif batik dan disesuaikan dengan tren warna yang mendominasi dunia masa kini, yaitu ungu.

Guruh memang bertekad ingin mengangkat citra perajin batik agar tidak melulu bermain di katun dan terpaku pada model lama. "Saya mengajari mereka memodifikasi gaya dan jenis bahan. Yang terpenting, saya mengajak mereka bercita-cita bisa memiliki penghasilan sebulan Rp 5 juta," ujarnya bersemangat. Tidak mengherankan, didasari semangat yang meletup-letup ini, dengan percaya diri Guruh memberi harga batiknya mulai Rp 150 ribu hingga Rp 40 juta. Wow, sungguh harga fantastis!

Ratusan Motif Batik Diusahakan Miliki Hak Cipta

TEMPO Interaktif, Solo:Sedikitnya 215 motif batik tradisional asli Solo akan segera didaftarkan pemerintah setempat guna mendapatkan perlindungan hak cipta. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag & PM) Kota Solo hanya berhasil mengumpulkan ratusan motif batik dari keraton, pengrajin maupun dari masyarakat. Diperkirakan masih ada ribuan motif tradisional yang belum terlacak dan merupakan karya asli anak bangsa Indonesia.

Demikian dikatakan Kepala Disperindag & PM Kota Solo, Zainal Mustafa kepada wartawan, Jum'at (16/7). Menurut dia, langkah tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan atas hak cipta motif batik asli Solo, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. "Kalau kita tidak bergerak cepat, bisa-bisa hak cipta motif batik kita sudah keduluan diakui oleh luar negeri dan kita hanya bisa menonton saja, tanpa bisa memproduksi secara bebas," kata Zainal.

Perlindungan terhadap hak cipta motif batik tradisional tersebut dirasakan sangat perlu seiring dengan makin terbukanya pasar bebas yang tidak menutup kemungkin adanya pihak yang akan mengklaim motif batik asli Solo sebagai karya mereka.

"Pengumpulan terus dilakukan dan segera akan didaftarkan agar para pengrajin di Solo bisa tenang memproduksi motif batik. Kalau ada pihak luar yang ingin menggunakan motif batik tersebut harus memberikan royalti tentunya," papar Zainal.

Dalam kunjungannya ke Pura Mangkunegaran, beberapa waktu lalu, desainer Iwan Tirta mengatakan motif batik yang ada di Indonesia sebenarnya mencapai 4.000 lebih. Namun dari ribuan motif tersebut, yang terdaftar dan hak ciptanya dilindungi hanya sekitar 900 motif saja.

Oleh karena itu pengumpulan dokumentasi atas motif-motif batik asli Solo dikatakan merupakan suatu keharusan agar jika nantinya ada daerah ataupun negara lain yang mengklaim sebagai, Solo juga yang akan rugi. Apalagi saat ini para ahli desain batik atau ahli pola dan gambar motif batik tradisi di Solo sudah mulai hilang

Kota Solo sendiri saat ini tengah menyiapkan sebuah perkampungan batik yang diharapkan selain sebagai tempat daerah wisata juga menjadi tempat untuk mengembangkan batik tradisional.

Pemerintah Kota Solo memilih Kampung Laweyan, yang sejak dahulu merupakan perkampungan batik dengan arsitektur kampung sesuai aslinya.

Dalam waktu dekat ini, sebuah pameran batik bertaraf internasional, Solo International Batik Exhibition (SIBEx) juga akan dilangsungkan sekaligus menandai pembukaan Kampung Batik.

Data di (Disperindag & PM) menyebutkan Solo memiliki sedikitnya 257 perajin batik dengan produksi setiap tahunnya mencapai 100.000 kodi. Industri batik itu tersebar di seluruh Solo namun yang terbanyak terdapat di Laweyan.

Wisata ke Kampung Batik

Belanja asyik aneka produk batik di kampung tua Solo.

Berakhir pekan singkat di Solo bisa berbuah pengalaman yang tak terlupakan. Sabtu dua pekan silam, saya bersama teman-teman dari Jakarta, di antara liputan, menyambangi dan blusukan ke kampung batik di kota ini. "Ke Solo tidak lengkap kalau tidak singgah ke kampung batik di Laweyan dan Kauman," seorang teman berceletuk.

Di sini batik memang produk andalan, kebanggaan, dan simbol kota. Sejak dulu, Solo terkenal sebagai pusatnya kain batik dan memiliki kampung batik di Laweyan dan Kauman. Di kawasan ini terdapat batik-batik Solo yang bercorak khas. Semua dikerjakan para perajin dengan teknik tulis ataupun cap. Bahan-bahan pewarnaan yang dipakainya masih tetap mengandalkan bahan tradisional, seperti sorgan Jawa. Sejak dulu, motif andalan yang terkenal di sini adalah sidomukti, sidoluruh, parang, truntum.

Menurut Ray Febri Hapsari Dipokusumo, dari Ndalem Lojen Sasasono Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat, warga Laweyan memiliki bakat membatik yang sudah berlangsung dan ditekuni secara turun-temurun. Sejak abad ke-19, kampung ini dijuluki kampung batik.

Di era 1970-an, Laweyan pernah memiliki masa kejayaan sebagai kampung juragan batik. Kampung Laweyan senadiri sudah ada sejak abad ke-15 di masa Kerajaan Panjang. "Daerah Laweyan dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan menjadi pusat industri benang. Kemudian menjadi pusat industri kain tenun dan bahan pakaian," ujar wanita cantik yang biasa disapa Mbak Fey ini.

Pemilik Griya Hapsari itu menjelaskan dulu kain-kain hasil tenun dan pakaian sering disebut lawe. "Akhirnya daerah ini disebut Laweyan dan berkembang kian pesat sejak digunakannya Kali Kabangan sebagai jalur transportasi menuju Kerajaan Panjang," ujarnya. Di kampung ini pun hidup seorang tokoh Kiai Agen Henis, keturunan Brawijaya V yang menyebarkan agama Islam di kawasan Laweyan dan memperkenalkan batik sebagai kesenian.

"Kiai Ageng Henis yang mengajarkan masyarakat di sini cara membuat batik," ujarnya. Kemudian Laweyan yang dulu hanya memproduksi kain tenun berubah menjadi produsen batik. Dengan letak yang strategis, Laweyan menjadi salah satu kota perdagangan yang terus berkembang.

Ketika menelusuri lorong dan tembok yang memisahkan rumah para juragan batik di Laweyan, kami seolah terlempar ke masa lalu. Suasananya seperti berada di kota tua. Ada tembok-tembok lawas yang dapat dikenali dengan catnya yang pudar. Kehidupan masyarakat di sini dapat dilihat dari bentuk bangunan yang ada. Seperti saat melintasi rumah para saudagar yang dikelilingi tembok-tembok tinggi yang dibuat dengan alasan keamanan.

Rumah-rumah dibatasi tembok dan pintu yang menghubungkan rumah yang satu dengan yang lainnya demi menjaga silaturahmi. Konon beberapa rumah memiliki lorong bawah tanah dan bungker yang berfungsi sebagai area mengungsi bila terjadi bahaya serangan penjajah atau bencana lain.

Mbak Fey menjelaskan umumnya rumah-rumah di bagian tengah dan utara dihuni para saudagar, sedangkan di bagian selatan sebagai tempat tinggal para pekerja batik. Dulu banyak sekali jalan yang melintang dari utara ke selatan menuju ke Kali Kabangan. Jalan ini dinamai jalan servis yang berfungsi untuk membawa kain batik setengah jadi untuk dicuci di Kali Kabangan. Zaman dulu, air di kali ini begitu bersih sehingga masih layak digunakan untuk mencuci. Selain itu, bahan pewarna batik terbuat dari bahan alami sehingga tidak membahayakan alam.

Kawasan ini bukan hanya kawasan wisata batik yang menarik. Di sini kami juga dapat melihat dari dekat proses pembuatan batik dari awal sampai akhir, mulai pembuatan pola, pencelupan, hingga penjemuran lembaran kain-kain batik. Kami pun menikmati keramahan para juragan batik yang menyambut kami dan mengajak berkeliling sebelum berbelanja serta siap memberikan penjelasan panjang lebar seputar batik.

Mereka memanjakan kami berlama-lama di setiap gerai mereka dengan interior yang dirancang dan ditata asri dan nyaman. Suasananya seperti pulang ke kampung halaman atau menyambangi rumah orang tua tercinta. Sambil berbelanja kita juga bisa mengagumi koleksi para juragan, seperti guci antik, kursi kuno, dan lukisan. Maka lengkaplah wisata belanja batik di tempat ini.

Soal koleksi, jangan khawatir, tersedia kain yang belum dijahit hingga busana siap pakai, seperti kemeja, blus, rok, aneka gaun, tas, hingga pernik lainnya. Modelnya pun beragam, dari yang lawas sampai yang terkini. Seorang teman sempat kegirangan mendapat gaun cantik model balon dan babydoll. "Wah, asyik, aku bisa bergaya dengan temuan etnik modern ini," ucapnya riang memandangi blus babydoll batik bermotif parang kencana yang di bagian pinggangnya terdapat kerutan dengan tangan berbentuk lonceng. Harga yang ditawarkan gerai-gerai batik di kawasan ini mulai Rp 5 ribu. Tertarik mampir ke sini?

Batik Pekalongan Pecahkan Rekor Guinness

TEMPO Interaktif, Semarang:Paguyuban Pecinta Batik Pekalongan, Pekalongan, Jawa Tengah, telah memecahkan rekor dunia untuk kategori batik terbesar. Rekor tersebut pecah setelah Paguyuban mampu membatik kain sepanjang 1200 meter persegi (setara 12.916 kaki), dengan mengerahkan seribu pembatik tulis, sekaligus menyelesaikan pewarnaannya dalam waktu satu hari.

Lembaga pencatat rekor Guinness World Records Ltd telah mengirim sertifikat pemecahan rekor untuk acara yang digelar pada 16 september 2005 lalu dengan tajuk “Batik On The Road”. Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian Festival Batik Pekalongan 2005 yang mengusung tema,”Dari Pekalongan Membatik Dunia.”

“Kami bersyukur dan bangga atas prestasi ini,” ketua panitia Festival, Romi Oktabirawa, melalui siaran pers yang diterima Tempo, Kamis (22/3). Ia berharap dunia akan mengingat Pekalongan karena batiknya. Dan bila merela membicarakan batik, tentu tak bisa lupa pada Pekalongan.

Rekor dunia sebelumnya dibukukan oleh Sarkasi Said dari Singapura pada tahun 2003, yang membatik di atas kain 100 meter batik selama 91 jam lebih 2 menit.

Romi bercerita, awalnya panitia Festival Batik Pekalongan 2005 mengirim surat elektronik ke bagian verifikasi Guinness World Records Ltd. yang berpusat di London. Setelah mengantongi nomor identifikasi klaim 137068 dan nomop keanggotaan 125649, panitia yang terdiri dari Romi Oktabirawa (ketua), M.Ani Sofyan (video kamerawan) dan Arief Wicaksono (still photo), didukung kesaksian Nusyirwan Tirtaamidjaja (Iwan Tirta, batik artisan), Roy Suryo Noto Diprojo (ahli multimedia) dan Larasati Suliantoro Sulaiman (dosen filsafat estetika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), menandatangani kesepakatan dengan pihak Guinness.

"Kami juga melengkapinya dengan dokumen audio visual, fotografi, kliping liputan dari media cetak dan elektronik utama di Indonesia," kata Romi. Setelah ditunggu-tunggu Guinness menyatakan mereka berhasil. "Ini menjadi langkah untuk memasarkan batik Pekalongan ke pasar dunia," kata Romi.

Romi mengatakan, selama ini batik dari Indonesia sudah mulai terpuruk dan kalah saing dengan negara lain, seperti Malaysia. "Karena Malaysia sudah mamatenkan batik itu," kata Romi kecewa.

Mohamad Ali Djuffry, kepala program “Batik On the Road”, menganggap pengesahan ini bukan saja milik dan menjadi kebanggaan panitia. "Tapi juga merupakan kebanggaan seluruh masyarakat Pekalongan," katanya. Rofiuddin

Keindahan Batik Minang

Keindahan Batik Minang di Tangan Raizal Rais

Batik Solo, Pekalongan, atau belakangan batik Kalimantan yang popular dengan sebutan Sasirangan, sudah dikenal luas di kalangan masyarakat. Tapi, batik Ranah Minang? Tak banyak yang tahu. Selama ini Sumatera Barat yang kaya seni kerajinan, memang lebih mencorong dengan kerajinan bordir dan sulamannya.

Di tangan Raizal Rais, perancang mode yang rajin menampilkan bordir dan sulaman, batik Ranah Minang tampil dengan segala keunikannya. "Dari coraknya, batik Minang tidak kalah cantik dengan batik asal Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan Cirebon, yang sudah punya pamor," kata Buyung, panggilan akrabnya, usai pergelaran bersama sejumlah desainer lainnya di Jakarta baru-baru ini.

Sekilas, batik Minang ini hampir tak berbeda dengan batik Solo. Apalagi, motif sogan Solo yang didominasi warna cokelat memiliki warna dan motif tampak mirip dengan batik Minang. Namun, bila diperhatikan lebih dekat, batik Minang ini memiliki ciri khas dari teknik pengerjaan dan penempatan motif. "Kekhasan batik Minang terletak pada pembuatannya yang menggunakan tanah liat sebagai media perendam," ungkap Buyung. Itu pula sebabnya, batik Minang ini disebut dengan istilah Batik Tanah Liek (tanah liat).

Untuk menonjolkan ciri khas ornamen Minangkabau, Buyung memanfaatkan motif asli seperti Rumah Gadang, sebutan untuk rumah adat Minang. Ada pula motif lainnya yang tak dijumpai pada batik Jawa umumnya. "Sebagian besar berbentuk ornamen tanaman dan fauna yang popular di Sumatera Barat," ujarnya.

Buyung, yang mengepalai bagian Humas di Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI), memilih sutra sebagai bahan dasar batik. Menurutnya, di atas sutra, motif batik akan terlihat lebih indah dan tampil utuh dengan detailnya. Bahannya yang lembut dan halus, membuat kain jatuh dengan baik di tubuh pemakainya. "Selain itu, pamornya juga lebih tinggi," kata pria bertubuh tambun ini dengan ramah.

Corak Batik Tanah Liek yang kaya, membuat Buyung dengan mudah bisa memodifikasi garis rancangannya. "Saya memadukan gaya tradisional dan internasional," ujarnya. Kain batik Minang Tanah Liek ini bisa dikombinasikan dengan bahan sifon dan brokat bergaya latin. Jadilah batik berpadu bolero berbordir, dengan longtorso dari kulit.

Meski awalnya kain ini digunakan oleh para datuk, namun Raizal Rais mengatakan bahwa kain batik Ranah Minang itu bisa dikenakan oleh pria maupun perempuan. Untuk pria bisa dipakai sebagai kemeja, sedangkan untuk kaum perempuan bisa untuk gaun malam dan selendang. Pemakainya pun tak dibatasi usia. "Batik Tanah Liek cocok untuk remaja dan dewasa," katanya.

Buyung sendiri menyebut rancangannya cukup banyak diminati penggemar mode Jakarta. Satu stel kain batik berupa kain panjang lilit dan selendang dijual Buyung dengan harga Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.

Untuk memperoleh kain batik, Raizal bekerjasama dengan pengrajin batik asli yang berdomisili di Padang. Ia tak merancang sendiri motif Batik Tanah Liek, namun menyerahkan desain motifnya pada pengrajin asli.

Di Padang, hanya ada satu pengrajin batik. Wirda Hanin, namanya. Perempuan yang menekuni batik sejak tujuh tahun silam ini rajin mencari motif asli Minang untuk dituangkan ke dalam desain batik. Ada motif tabuik, air kelok paku, kabau padati, dan merawan.

Untuk motif fauna, Wirda mengeksplorasi ayam kinantan dan kabau silung, yang merupakan ciri khas Padang. Karena hanya dimiliki oleh ranah Minang inilah maka motifnya berbeda dengan motif di Jawa ataupun lainnya.

Asal Usul Batik Tanah Liek

Batik Tanah Liek sendiri sebenarnya tak jelas asal-usulnya. Namun, menurut Wirda Hanin, batik Minang ini memang memiliki akar dari batik Jawa. Konon, Bundo Kanduang yang menikah dengan adik Adityawarman yang menjadi raja di Singosari, membawa batik sampai ke Minangkabau.

Setelah menikah, adik raja Adityawarman yang tak diketahui namanya itu menetap di Minangkabau. Ia membawa serta para pekerja dari tanah Jawa. Pekerja inilah yang awalnya membuat batik dan kemudian berkembang turun-temurun di Padang. Lama setelah itu, batik menghilang. Pada era 1970-an, batik kembali hidup lewat usaha Ratna Sari Harun Zain, istri gubernur.

Menurut penuturan Yal Darwis dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Sumatera Barat, Ratna Sari mulai menggali keberadaan batik Ranah Minang setelah melihat batik berpotensi menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Sumatera Barat. Dari Ratna Sari penggalian itu dilanjutkan oleh Djusmaini Azwar Anas, istri gubernur Sumbar, Azwar Anas.

Pada rentang waktu antara akhir tahun 1970-an sampai 1990-an, Batik Minang Tanah Liek tak terdengar gaungnya. Hingga pada 1995, Batik Minang Tanah Liek ini mulai dihidupkan kembali oleh Wirda Hanin.

Awalnya, dia mengaku belajar secara otodidak di Padang. Karena tak puas, Wirda memutuskan belajar di Yogyakarta selama beberapa bulan. Itu pun hanya untuk mempelajari perbandingan warna batik Jawa dan batik Minang. Tak heran, meski berasal dari Ranah Minang, batik ini masih memiliki sentuhan Jawa.

Meski demikian, Wirda tidak mau disebut mencontoh batik dari Jawa. Menurut dia, ada yang membedakan antara proses pembuatan batik Jawa dan Batik Minang Tanah Liek. "Batik Minang Tanah Liek direndam dengan tanah kenyal (tanah liat). Batik Jawa kan tak mengenal rendaman dengan tanah liek," kata Wirda.

Proses pembuatan Batik Minang Tanah Liek ini memang unik. Setelah dibentuk motifnya dengan menggunakan canting, batik tersebut direndam di tanah liat. Rendaman dilakukan selama seminggu. Namun belakangan, Wirda ragu akan ketahanan warna tersebut. "Saya ragu apakah ini akan tahan lama," jelas perempuan kelahiran Batu Sangkar, Sumatera Barat, 8 Juni 1952 ini.

Keraguannya itu mendorong dia melirik cara lain. Sebagai pengganti tanah liat, Wirda mengaku merendamnya dengan menggunakan warna tumbuh-tumbuhan. Tujuannya, untuk menimbulkan efek warna yang indah dan tidak mudah pudar. Tumbuh-tumbuhan yang dia gunakan, antara lain daun mangga, mengkudu, jambu, pepaya, dan tumbuhan yang berdaun hijau. "Saya jamin batik buatan Ranah Minang warnanya tahan lama," tegas Wirda. bernarda rurit

Batik Menantang Zaman

Batik harus ikut arus perkembangan agar tidak ditinggalkan.

Galeri Nasional, Jakarta, tampak lain dari biasanya. Selama 10 hari, 9-18 Desember ini, ruang pamer utama galeri itu tak ubahnya tempat jemuran kain. Lembaran kain batik membentang dari atas ke bawah, menampilkan corak warna-warni, dengan motif tak melulu parang rusak, sidomukti, ceplok, dan truntum, seperti biasa dijumpai pada batik klasik.

Batik-batik yang memenuhi ruang pamer galeri di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, itu juga menampung gambar buldoser, truk sampah, dinamit, serta adegan ciuman. Inilah batik karya KRT Daud Wiryo Hadinagoro, perajin batik dari Yogyakarta.

Di tangan Daud, batik seperti sebuah lukisan. Berbeda dengan batik klasik yang mengulang sebuah bentuk atau hiasan secara monoton, Daud memilih cerita sebagai tema motifnya. Orang menyebut karya Daud sebagai batik tematis.

Menurut kurator Inda Noerhadi, batik sebagai proses dan motif sudah menjadi bagian dari sejarah, yang punya rujukan, pakem, material, dan visualisasi khas. Pada karya Daud, terjadi perubahan, baik dalam motif maupun proses. Menariknya, kata Inda, perubahan itu tak mengubah struktur estetis batik atau meninggalkan pakem batik. "Batik tetap mempunyai kaidah proses dan artistik. Di antara proses dan bentuk artistik itulah Daud memberikan kebaruan," kata Inda.

Kebaruan pada batik sebenarnya dilakukan oleh banyak orang. Kebaruan bahkan menjadi bagian dari sejarah batik. Itu sebabnya, muncul bermacam-macam batik, dari batik wong cilik, batik keraton, batik Belanda, batik saudagaran, sampai batik hokokai. Masing-masing ragam menyimpan kekhasan sesuai dengan persinggungan zaman.

Awalnya, batik merupakan pekerjaan sambilan perempuan keluarga petani kampung. Karena menjadi pekerjaan sambilan, kualitas ragam dan bahan kain pun cenderung seadanya. Corak dan mutu kain batik mulai beragam ketika petani bersinggungan dengan pedagang.

Seiring dengan perkembangan zaman, tidak hanya pedagang yang mempengaruhi batik, tapi juga politik. Ketika Belanda dan Jepang datang ke Nusantara, kebiasaan dan budaya para penjajah ini juga mempengaruhi motif dan mutu batik. Sementara itu, lingkungan keraton Jawa mengenal batik untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa.

Di masa sekarang, batik juga menjadi lahan kreasi. Berbeda dengan Daud, yang memihak batik bukan untuk fashion, beberapa perancang busana memilih mengembangkan batik menjadi bagian dari hiasan tubuh.

Iwan Tirta adalah satu dari beberapa orang yang setia pada batik. Perancang busana yang memiliki koleksi batik klasik cukup lengkap ini punya peran mengembangkan batik. Dia memilih mengembangkan batik klasik sebagai dasar batik gayanya sendiri. Josephine Komara dan Carmanita juga berperan membangkitkan gairah batik.

Menurut Josephine Komara, batik harus ikut arus perkembangan agar tidak ditinggalkan. "Jadi fashionable adalah kata kuncinya," kata Josephine, yang biasa dipanggil Obin. Jika ikut zaman, kata Obin, batik tidak akan ketinggalan zaman. Batik sudah bisa diterima oleh kalangan orang muda. "Jadi batik tidak akan mati," kata Obin.

Namun, Afif Syakur, perancang busana dari Yogyakarta, punya pendapat berbeda. Menurut dia, penikmat batik masih kalangan tua. "Batik belum mengena orang muda," katanya. Karena itu, perancang busana harus mengadaptasi batik pada karyanya.

Afif mengatakan, baju muslim punya peluang mengadopsi batik. Baju muslim yang dimaksud Afif adalah baju panjang dengan lengan panjang. Menurut dia, sekitar 75 persen perempuan menyimpan baju muslim. "Biarpun mereka bukan seorang muslim," katanya.

Bagi Afif, semua bentuk aplikasi batik memiliki pasar sendiri, dari model daster murahan hingga batik cita rasa seni tinggi.

Hanya, kampanye batik massal seperti ini tetap menuai suara sumbang. Apalagi ada kecenderungan baju menggunakan motif batik gampang ditemukan di pasar. "Itu batik rasa rendah," kata Daud Wiryo.

Menurut Daud, masyarakat salah memahami batik. "Masyarakat menganggap batik sebagai suvenir, seperti pekerjaan anak sekolah," katanya. Padahal, menurut dia, batik juga bagian dari karya seni yang bisa dikoleksi. Namun, Daud menganggap dunia fashion punya jasa dalam mengenalkan batik.

Menyisir Batik Pesisir

Batik juga berkembang di luar Pulau Jawa dengan mengadopsi corak lokal.

Masina mungkin tak pernah menyangka, selembar kain merah darah buatannya, bergambar awan kelabu dengan delapan gradasi warna yang eksotis, kini melanglang ribuan kilometer dari tempat asalnya. Itulah megamendung, batik tulis Cirebon yang terkenal hingga negeri seberang.

Kini batik asal Trusmi, Cirebon, itu terpajang di Indonesian Mission to the United Nations di New York. Selembar batik lainnya, yang dibuat Masina pada 1962, tetap berada di Museum Nasional, Jakarta.

Awalnya, batik dikenal sebagai milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Namun, kini, sejumlah daerah di Indonesia mulai melahirkan batik, yang sebagian besar motifnya hasil adaptasi dari daerah setempat. Unik dan cantik.

Biranul Anas, pakar batik dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan, berdasarkan coraknya, batik dibedakan menjadi dua golongan, yaitu batik keraton dan batik pesisir. Yogyakarta dan Solo dikenal sebagai daerah penghasil batik keraton. Sebagian besar didominasi warna-warna lembut, seperti cokelat, biru tua, putih dasar, kuning emas, dan warna-warna gading. Motif yang digunakan juga klasik, yaitu abstraksi hutan, gunung, dan burung garuda, yang sarat dengan simbol serta pengaruh mitologi Hindu.

Sebaliknya, pakem-pakem yang berlaku pada batik Yogyakarta dan Solo tidak banyak digunakan pada batik pesisir. "Batik pesisir lebih sadar mode. Apa yang dilihat, itulah yang digambar," kata Biranul. Warna-warnanya juga meriah, seperti hijau, merah, ungu, hitam, kuning, dan putih.

Perpaduan budaya Hindu, Cina, Islam, dan Belanda membuat batik pesisir kaya motif dan warna. Batik Cirebon, misalnya. Keelokannya, menurut Iwan Tirta dalam buku Batik, a Play of Light and Shades, seperti sebuah lukisan dinding dengan motif-motif menarik. Arakan mendung, taman warna-warni, lukisan naga, gajah, serta tumbuh-tumbuhan adalah gambar yang kerap mengisi batik Cirebonan.

Meski batik-batik pesisir menanggalkan pakem, pengaruh Yogya dan Solo masih terasa. Motif larangan adalah salah satu motif yang banyak dipakai pada batik pesisir, terutama Cirebon. Selain itu, dikenal istilah kasta pada batik Cirebon. Ada yang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan yang disebut dengan batik keratonan, ada juga yang dibuat untuk rakyat biasa yang disebut batik kenduruan.

Namun, seiring dengan pudarnya pamor Kesultanan Cirebon, kejayaan batik keratonan juga ikut meredup. Kini motif-motif itu hanya diproduksi oleh perajin batik berdasarkan pesanan.

Batik pesisir lainnya yang tak kalah atraktif adalah batik Pekalongan. Pekalongan memang menjadi salah satu pusat perdagangan batik terbesar di Pulau Jawa. Motifnya dipengaruhi oleh berbagai budaya, termasuk Eropa. Di daerah ini pula penggunaan cap dan warna-warna sintetis mulai dipopulerkan.

Pengaruh batik pesisir juga terasa pada batik Garut, meski tidak berada di sisi pantai. Dengan motif seperti rerang pita, caleng, keraton, sepatu, jaksa, dan cupat manggu, batik Garut memikat kolektor dari mancanegara. "Peminatnya kebanyakan turis asing. Mereka menyukai batik Garut yang asli," ujar pemilik batik Garut RM, Aan Melanie.

Sayangnya, tak banyak perajin yang memproduksi batik dengan corak klasik. "Banyak yang beralih ke corak yang lebih modern," kata Aan.

Selain itu, bumi Parahyangan memiliki batik Sukapura, Tasikmalaya. Motif yang digunakan kebanyakan bersumber dari alam, seperti daun, tangkai pohon, atau binatang. Sayangnya, menurut Uun Kurniasih, salah seorang perajin batik tulis, peminat batik tulis tradisional mulai surut. Untuk menyiasatinya, Uun mengombinasikannya dengan warna-warna masa kini, yang didominasi warna merah dan biru tua.

Di luar Pulau Jawa, batik dikenal di Jambi, Bali, Palembang, bahkan hingga Papua. Tidak secerah batik pesisir, batik Jambi menggunakan warna-warna biru tua, merah tua, kuning redup, dan putih beras. Motifnya dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan. Sedikitnya ada 40 motif batik Jambi.

Di Papua, batik dikembangkan oleh Mariana Pulanda Ibo. Setelah mengikuti kursus batik di Solo pada 1996, Mariana mengembangkan batik yang diadopsi dari motif Sentani. Selain itu, ada motif flora-fauna, ukiran dari daerah Biak Numfor, Timika, Asmat, dan daerah lain di Papua.

Meski Bali dekat dengan Pulau Jawa, batik Bali sangat berbeda dengan batik Jawa. Menurut Gusti Made Sujana, pemilik studio batik Art Batik di Singapadu, Gianyar, corak batik Bali sangat lowong atau suwung. Motifnya besar-besar, tidak rapat. Bahkan banyak bagian yang kosong.

Semua itu tergambar pada bed cover dan kain pantai. Ukuran kelopak bunga, daun, dan binatang dibuat besar-besar. "Batik Bali lebih banyak mengambil motif dari alam. Bunga-bungaan, binatang, pemandangan alam," kata Sujana.

Menurut Biranul, meski batik telah melangkah jauh meninggalkan tanah asalnya, Jawa, pengaruh Jawa masih terasa. Sebab, perkembangan batik di sana ditentukan oleh perajin, yang memang sebagian besar berasal dari Jawa. Motif pengisi, yang banyak ditemukan pada batik Yogyakarta dan Solo, juga digunakan pada batik-batik di Sumatera.

"Yang mengembangkan batik di Sumatera, Kalimantan, dan Papua kebanyakan adalah orang Jawa yang pindah ke sana," kata Biranul.

Di Sumatera, misalnya, Raja Jambi yang terpesona dengan keelokan batik menyewa beberapa pembatik asal Jawa untuk mengajarkan teknik-teknik membatik kepada masyarakat Jambi. Akhirnya, mereka mahir dan mengembangkan motif sendiri.

Batik kini menjadi milik publik. Beragam pola dan coraknya berkembang pesat. Menurut Biranul, motif-motif tradisional tetap diminati meski mulai jarang digunakan. "Peristiwa-peristiwa besar, seperti pernikahan, kelahiran, bahkan kematian, tetap menggunakan kain batik dengan corak tradisional," katanya.

Batik Pekalongan Dapat Penghargaan dari UNESCO

TEMPO Interaktif, Jakarta:Produk pareo batik dari Wirokuto Batik, memenangkan Seal of Excellence 2006 yang diadakan Unesco Asia Pasifik melalui Asean Handicraft Promotion and Development Association.

Romi Oktabirawa, pemilik Wirokuto Batik, dalam catatan juri tentang batik Pekalongan sebagai contoh batik tradisional yang bagus, dengan desain menarik dan marketable.

“Prestasi yang cukup membanggakan ini dapat dijadikan acuan bagi pengrajin yang lain untuk meningkatkan kualitas produknya sehingga dapat diterima pasar dunia.” katanya, kemarin.

Menurut Romi, batik Pekalongan juga termasuk produk-produk kerajinan yang memenuhi kriteria excellence, authentic, innovative, eco-friendly, marketable and fair.

Seremoni pemberian Award Seal of Excellence 2006 bersamaan dengan even The 1st Art & Craft Festival 2006, pada 29 November – 3 Desember 2006 di Sacict Complex,Bangsai, Ayutthaya, Thailand. Romi dijadwalkan menjadi pembicara dalam seminar kerajinan.

Menurut Thamrin Bustami dari Indonesian Ahpada Chapter, H.M Romi Oktabirawa ditunjuk sebagai wakil Indonesia untuk menyerahkan masterpiece kerajinan Indonesia kepada Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej.

Pada tahun ini Internasional Seal of Excellence menetapkan 27 pemenang, setelah dengan teliti menyeleksi 129 produk kerajinan dari 10 negara Asean, diantaranya Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam

Batik Komar Menembus Dunia

Perjalanan hidupnya tak terpisahkan dari batik Cirebon. Kini omzetnya bisa mencapai Rp 5 miliar per tahun.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitupun dengan H Komarudin Kudiya, S.IP, M.Ds, yang sejak kecil lekat dengan kain-kain batik yang didagangkan orang tuanya. Terlebih kampung kelahirannya, di Desa Trusmi, Plered, Cirebon, yang dikenal sebagai sentra industri kerajinan batik Cirebon sudah mendarah daging. Saat kanak-kanak, ia sering ikut berkeliling memasarkan batik ke berbagai kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Seiring dengan waktu, pasar batik lesu. Selepas sekolah menengah atas pada 1987, orang tuanya menyarankan Komar--panggilan Komarudin--untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi dan tidak meneruskan profesinya sebagai pedagang batik. Ia kemudian mengikuti kursus komputer di PIKSI Institut Teknologi Bandung selama enam bulan. Kemudian di tempat yang sama ia bekerja menangani berbagai proyek komputerisasi. Pada 1988 Komar mendapat kesempatan sekolah D-3 Ahli Administrasi Logistik Universitas Padjadjaran dan lulus pada 1992. Pada tahun itu, Komar menikah dengan Nuryanti Widya, yang berasal dari keluarga pedagang batik.

Selepas lulus D-3 (1992), Komar mulai bekerja di PT Alas Buana Raya (ABR) Jakarta, perusahaan perakitan komputer jalan tol dan pembuatan sistem manajemen. Selama bekerja, setiap ada kesempatan, Komar berusaha berdagang keliling menawarkan batik-batik produksi orang tua dan keluarganya di Cirebon. Saat krisis moneter pada 1996, perusahaannya melakukan restrukturisasi karyawan, termasuk Komar, yang jabatannya kala itu Site Manager Proyek Pertamina Red II.

Akhir 1996, Komar bergabung dengan pengusaha rotan dari Cirebon untuk berwirausaha membuka PT Pitaloka BNH (general supplier) serta membuka showroom rotan dan kedai nasi jamblang--makanan khas Cirebon. Saat itu jabatannya sebagai direktur dengan gaji Rp 750 ribu per bulan. Namun, jiwa dagang batik tak pernah putus. Di sela-sela waktunya, Komar tetap menawarkan kain batik. Dalam perkembangannya, usaha showroom dan kedai tak berjalan mulus. Namun, semua itu menjadi pengalaman berharga buat Komar.

Pada pertengahan 1997, Soenaryo--seorang pematung dan dosen seni rupa ITB--meminta Komar mengikuti lomba desain atau pameran. Komar menyertakan lima desain selendang batik untuk diikutsertakan pada Lomba Cipta Selendang Batik Internasional di Yogyakarta. Desainnya berhasil memperoleh gelar juara I dan juara harapan I dengan total hadiah Rp 6 juta dikantonginya.

Dengan itu Komar memulai usaha batik, yang kemudian dikenal dengan nama Batik Komar, pada 1998 dibantu tiga orang karyawan. Setiap tahun Batik Komar mengalami kemajuan hingga bisa menambah karyawan. Setelah berpindah-pindah showroom, akhirnya pada 2003 Batik Komar bisa membeli tempat sendiri di Jalan Sumbawa 22, Bandung. Dalam pengembangan desain batik, pembelian bahan baku dan pendistribusian batik dipusatkan di Bandung. Alasannya, kota ini salah satu pusat mode, selain akses ke Jakarta jauh lebih dekat.

Seiring dengan kemajuan Batik Komar, hingga 2007, jumlah tenaga kerja (perajin batik) mencapai 225 orang yang bekerja sama di beberapa workshop Batik Komar di Cirebon dan Bandung. Workshop di Cirebon dipercayakan kepada keluarga-keluarga terdekat dan dikhususkan untuk proses pewarnaan.

Komar mengatakan, "Cara pemasaran Batik Komar dilakukan dengan lima cara, yaitu pameran, door to door, beli putus dengan rekanan bisnis (reseller), titip jual (consignment), dan buka toko, outlet, galeri, atau showroom." Pameran-pameran di dalam negeri yang pernah diikutinya antara lain INACRAFT, ICRA, DEKRANAS, dan Gelar Batik Nusantara. Bukan hanya itu, pameran di Malaysia, Thailand, Jepang, dan Jerman pun diikutinya. Wilayah pemasaran Batik Komar, antara lain, Jakarta, Bali, Surabaya, Jepang, dan Singapura. Outlet-nya tersebar di Bandung, Aceh, dan Jakarta dengan omzet Rp 1-5 miliar per tahun.

Mengenai regenerasi perajin batik, Komar melakukan pelatihan intensif kepada profesional muda dari lingkungan workshop di Bandung dan Cirebon. "Sebagian dari mereka dilatih, antara lain, untuk tenaga kerja pembuatan cap batik dan pengembangan desain," kata Komar. Selain itu, merek Batik Komar sudah didaftarkan sejak 2000 di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Sekitar 4.000 desain batik yang sudah diciptakan dia kumpulkan dalam bentuk dokumentasi buku serta file dalam komputer. Hingga kini desain batik yang sudah didaftarkan di Direktorat Hak Atas Kekayaan Intelektual berjumlah 125 desain.

Perjalanan panjang dan tak kenal lelah finalis Dji Sam Soe Award 2007 ini untuk membangun industri batik patut diacungi jempol. n inforial

Malam Indah Chossy Latu

Ada yang kontras pada Rabu malam dua pekan lalu. Malam itu, sebagian warga Jakarta menumpahkan kekesalan dan sumpah serapah karena hujan mengakibatkan mereka terjebak macet berjam-jam, masygul melintasi jalan rusak, serta cemas akan datangnya banjir kiriman. Hal ini sangat berbeda dengan perancang Chossy Latu, yang merasakan malam terindahnya.

Pada malam itu, Chossy, yang menamatkan sekolah mode di London College of Fashion pada 1978, menggelar peragaan busana tunggal bertajuk "Malam" yang berlangsung di Grand Ballroom, Hotel Mulia, Jakarta Selatan.

Menurut Chossy, kata "malam" punya makna ganda. Tidak cuma menggambarkan aneka gaun cantik untuk kesempatan selepas petang, mulai gaun cocktail yang ringan sampai gaun pesta elegan. "Kata 'malam' juga berkonotasi dengan lilin yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai satu elemen utama dalam mencipta batik," tuturnya.

Pria berkaca mata ini melanjutkan, "Kita, perancang Indonesia, dapat terus bertahan karena memiliki kelebihan dalam keragaman budaya. Kita punya sumber inspirasi yang begitu luas," demikian Chossy menuliskannya dalam buku acara yang dibagikan kepada undangan yang hadir.

Goresan tersebut bukan asal saja. Sebab, juara kedua lomba perancang mode Femina pada 1979 ini menghadirkan 70 koleksinya yang berbahan batik dan tenun yang diberi sentuhan modern sehingga menjadi busana global terkini. "Saya ingin menghadirkan koleksi 2008 berbahan seperti itu sebagai ide terdepan. Kain-kain lokal ini merupakan warisan luhur dan budaya adiluhung yang tecermin dari kekayaan ragam serta corak batik dan tenun negeri ini," kata Chossy panjang-lebar.

Chossy menyajikan busana terkini berdesain sophisticated, elegan, dan clean yang menjadi ciri khas rancangannya. Kali ini, ia merancang gaun pendek tanpa lengan, rok pendek mekar dengan pasangan jaket pendek atau panjang yang terinspirasi oleh mode 1950-an, sampai blus tanpa lengan yang dipadu dengan gaun panjang mewah.

"Saya menampilkan unsur metalik yang sedang menjadi tren pada busana sampai pelengkapnya, seperti tas dan sepatu," kata Chossy, yang juga konsultan dan perancang Rumah Batik Iwan Tirta pada 1982-2000.

Soal warna, dia memilih hitam, putih, emas, dan perak karena dianggapnya memancarkan pandangan klasik sepanjang masa. Ia juga menyajikan variasi gaun-gaun polos yang di sana-sini diselingi pemakaian batik serta tenun yang tampil sama indah, mewah, dan megah ketika dikombinasikan dengan tekstil modern. "Saya yakin batik dan tenun sejajar dengan tekstil modern, dapat dijadikan gaun-gaun fashionable tanpa harus bergaya etnik," ujar wakil Indonesia di ASEAN Fashion Connection di Singapura pada 1992 ini tersenyum semringah.

Bagi pemilik label White, Black, Brown, dan Kwong Tung itu, mengolah batik merupakan dambaannya sejak masih menjadi perancang di Rumah Batik Iwan Tirta. "Saya sangat yakin batik memiliki harapan dan masa depan lebih baik. Maka batik berkualitas perlu terus dikembangkan sebagai gaya berpakaian terkini," dia menambahkan.

Chossy cukup berani menampilkan batik tak hanya sebagai selendang. Dia juga menghadirkan bentuk selendang yang melengkapi berbagai gaun yang terbuat dari tekstil. Beberapa rancangan batik bercorak bunga Bali tampil sebagai selingan menawan di tengah koleksi yang mengutamakan bahan polos.

Dia mengungkapkan tekstil batiknya terbuat dari bermacam bahan dasar eksklusif, seperti sutra Thailand, sutra satin, organza, sifon, shantung, dan krep. "Bahkan saya memakai bahan tafeta dan sutra tafeta yang sudah jarang ditemukan di industri tekstil," ucapnya.

Dari komposisi motif, Chossy melakukan lompatan ke depan dan meninggalkan yang baku untuk menciptakan tampilan baru. Misalnya, meniadakan motif pinggiran dan tumpal yang biasanya berada di bagian tepi dan ujung kain. Dia pun melakukan peletakan prada atau tinta emas yang menyebar dan acak.

Para tetamu yang hadir antusias menyambutnya. "Saya terjebak macet 3 jam. Namun, saya tidak mau melewatkan kesempatan peragaan malam ini. Bagi saya, dia perancang luar biasa," ujar artis senior Rima Melati.

Adapun Obin, perancang kain, berkali-kali mengacungkan jempol. Ditemui seusai acara, ia berucap tulus, "Pokoknya, he is the best fashion designer. Karyanya sangat menakjubkan, mengangkat kekayaan dan budaya adiluhung Tanah Air."HADRIANI P

Mahadaya Alam

Aneka ragam motif batik yang terinspirasi dari alam pun tumpah ruah.

Sang maestro batik itu hadir dengan cita rasa kedaerahan. Ada gaya Palembang,Yogyakarta, paduan Cina-Yogya, serta gaya campuran. Motif burung dan bunga tampak mendominasi. ''Motif burung dan bunga yang saya pilih memang terinspirasi dari jenis motif yang sudah turun temurun di Yogyakarta,'' ujar Iwan Tirta.

Malam itu, Selasa (18/3) di Jakarta, bersama empat desainer lain --KRT Hardjonegoro, Ibu Sud, Ibu Nora, dan Setyowati-- Iwan Tirta memaparkan koleksi yang seluruhnya berjumlah lebih dari 20 kain dalam pergelaran busana yang diadakan Himpunan Ratna Busana.

Seperti diungkap Ratna Maida Ning, ketua Himpunan Ratna Busana, ajang ini merupakan upaya memperkenalkan aneka ragam motif khas Indonesia yang berusia cukup tua pada dunia busana saat ini. Maka, hadirlah puluhan motif batik yang terinspirasi dari berbagai bentuk yang berasal dari alam. Keindahan itu kian menonjol dengan kombinasi pola yang kaya serta campuran isian warna yang dinamis di tangan kelima perancang batik itu. Terlebih mereka pun tak segan menorehkan warna-warna yang amat menyedot perhatian sebagai warna pilihan mereka, terutama pada motif batik pesisir.

Seperti motif burung bercampur bunga yang sangat kental pada kain batik karya Iwan. Warna yang cukup berani seperti merah dipilih sebagai warna dasar kain batik Cina Yogya selain warna dasar putih khas kota gudeg itu. Berbagai inspirasi motif batik Iwan Tirta itu tampil dengan padu padan atasan polos yang mengadopsi bentuk kebaya jawa disesuaikan dengan warna utama kain batik. ''Untuk kain batik cina memang dipilih motif yang tak terlalu penuh, karena pada awal perkembangannya, orang keturunan Cina tidak menggemari batik dengan motif yang rumit,'' ujar Iwan di sela-sela pergelaran.

Sedangkan Nora yang terkenal dengan sogan Jawa sistem colekan mengangkat motif kawung, daun pacar, dan buketan bunga. Isian warna untuk masing-masing motif sangat beragam seperti merah, ungu, maupun cokelat di antara warna-warna dasar hitam, cokelat, dan merah. Desainer Setyowati turut menghadirkan batik dengan warna yang sangat dinamis. Dia, kata Iwan Tirta, merupakan pengguna warna dalam batik. Mengadopsi batik pesisir khas Pekalongan dan Cirebon, Setyowati mengangkat motif bunga, daun, ayam, dan juga burung dalam paduan warna ungu, merah, dan hijau pada warna dasar kain.

Sedangkan Ibu Sud menyuguhkan koleksinya yang terinspirasi dari batik garut yang terkenal dengan batik terang bulan. Koleksinya pun kental dengan motif batik di ujung bawah kain sebagai garis pembatas dengan motif utama kain. Paduan warna oranye, merah, serta cokelat hadir dengan motif burung ciberik dan juga motif beras tumpah --motif khas batik garut.

Sementara karakter khas batik solo hadir dalam karya Hardjonegoro. Motif sawunggaling dan parang tungkul variasi daun menjadi motif pilihan Hardjonegoro. Tak ragu-ragu, Hardjonegoro menggunakan warna pink sebagai warna isian dalam pola-pola pilihannya. ''Batik karya Hardjonegoro ini sangat rumit karena jutaan titik diaplikasikan untuk menghasilkan satu helai batik rancangannya,'' ujar Iwan. Untuk warna dasar kain, Hardjonegoro tetap menggunakan latar cokelat khas Solo selain beberapa juga menggunakan latar berwarna hitam dan merah. Di antara segala keberagaman batik itu, satu atmosfer serupa yang serta merta menyeruak. Atmosfer kemewahan khas alam Indonesia. fia

Eksotisme Batik Pesisir

Tahun Baru Imlek baru saja berlalu. Bahkan perayaan Cap Gomeh pun sudah selesai. Namun, keanggunan budaya Cina menimbulkan simpati tersendiri di hati komunitas Rumah Pesona Kain. Pekan lalu, di Airman Planet Lounge, Nan Xiang Restaurant, The Sultan Hotel, Jakarta, berlangsung pameran dan peragaan busana dengan tema "The Enchanting Chinese Influence in Indonesian Textiles".

"Kami mengusung tema ini karena budaya Cina memiliki pengaruh terhadap kelestarian kain tradisional Indonesia, khususnya kain peranakan atau disebut batik pesisir," kata Emiria Krisnaga Syarfuan, ketua panitia acara ini.

Ade--demikian ia bisa disapa--menjelaskan tema itu dalam bahasa Tionghoa. Tema "Zhongguo Yingxiang Yu Yinni Fangzhi de Xiyinili" ini berisikan kegiatan pameran kain tradisional dan peragaan busana karya Stephanus Hamy serta Ghea Panggabean. "Rumah Pesona Kain mencipta koleksi aneka kain atau batik pesisir yang diolah menjadi karya menarik oleh Ghea dan Hamy. Kain pesisir sangat kaya dan eksotis," ucapnya.

Selain bertujuan melestarikan kain Indonesia dan meningkatkan apresiasi masyarakat, khususnya terhadap kekayaan kain lokal di Tanah Air, Ade mengatakan, pesona kain pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.

Menurut Asmoro Damais, yang ikut memamerkan koleksi kain pesisir dan kebaya encim, istilah batik pesisir merupakan istilah umum yang sering dipakai untuk menyebut gaya batik buatan wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Dia menerangkan secara tradisional, di Jawa, batik terbagi menjadi dua jenis: batik pesisir dan batik yang dibuat lingkungan di keraton.

Dia menerangkan perbedaan yang menonjol antara batik pesisir dan batik dari lingkungan keraton terutama pada pola pewarnaan dan ragam coraknya. Secara umum rancangan batik pesisir sangat bebas, mulai warna hingga corak ragamnya. Adapun batik keraton selalu terikat oleh sejumlah pakem atau aturan di dalamnya.

Asmoro menambahkan, agak susah mendefinisikan karakter khas batik pesisir. Dia mengutip penjelasan Raffles dalam buku The History of Java yang menerangkan ada dua macam pewarnaan dalam jenis batik yang dibuat, terutama di Pulau Jawa. Salah satunya kemudian dikenal sebagai batik pesisir. Di buku tersebut disebutkan salah satu pola pewarnaan batik pesisir ada bang-bangan, biron dan bang-biron yang sekarang disebut sebagai pewarnaan kelengan.

Pola pewarnaan ini merupakan karakter khas jenis batik pesisir yang dapat dilihat sejak masa Raffles dan yang membedakan dengan pola pewarnaan sorgan yang biasa terdapat pada batik buatan lingkungan keraton. Asmoro juga menjelaskan keindahan batik pesisir pada masa selanjutnya memiliki warna-warni yang lebih cerah, seperti biru, merah, dan kuning.

Secara umum kebudayaan Cina memiliki simbol pada warna merah atau warna-warna cerah. "Yang menarik, batik atau kain-kain pesisir ini memiliki corak yang diambil dari dunia hewan dan tumbuhan di Cina. Misalnya burung hong, bunga peoni, naga, macan, atau gambar para dewa yang punya kedekatan di sekitar kehidupan masyarakatnya," katanya.

Kemudian Asmoro menjelaskan corak ragam pada batik pesisir terbagi menjadi delapan, di antaranya batik pesisir tradisional yang merah-biru; batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya Cina dan Indo-Eropa; batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda; batik yang mencerminkan kekuasaan kolonial; batik hasil modifikasi pengusaha Cina yang ditujukan buat kebutuhan kalangan Cina; kain panjang; serta batik hasil pengembangan dari model batik merah biru dan kain adat. Dia pun menerangkan bahan pewarna alam yang sering digunakan pada batik pesisir adalah mengkudu (morinda citrifolia), indigo (indigofera), dan kayu tegeran (cundria Javanese). Sementara itu, pohon jambal (pelthoporum pterocarpa) untuk warna soga yang banyak dipakai pada batik keraton atau lingkungan istana tidak dipakai pada batik pesisir.

Selanjutnya, pola pewarnaan batik pesisir menjadi lebih kaya dan tidak sekadar merah-biru. Hal itu akibat pengaruh masuknya sejumlah pengusaha peranakan, terutama keturunan Cina dan kalangan perempuan Indo-Eropa yang banyak berkecimpung di proses produksi kain yang berlangsung pada pertengahan abad ke-19. Menurut dia, meskipun corak ragam batik kelengan atau merah-biru yang disebut corak khas batik pesisir di awal abad ke-19, bukan berarti corak ragamnya paling orisinal. "Justru sebagian corak ragam batik merah-biru khas batik pesisir tradisional meniru corak batik lingkungan keraton dan pengaruh budaya asing," tuturnya.

Masih menurut Asmoro, batik desa Klerek Tuban, yang sering disebut sebagai batik pesisir paling tradisional di wilayah utara Jawa, ternyata dipengaruhi oleh unsur asing dan ganggengan.

Pada batik Gresik, seperti disebutkan Cornet de Groot, seorang pejabat di kota ini pada 1822, mendapat pengaruh corak tenun yang lebih kompleks dari pedagang India. Di wilayah pesisir penyerapan unsur asing terjadi begitu bebas, termasuk terhadap unsur kebudayaan dan lainnya. "Karena itu, batik pesisir yang lebih dekoratif berasal dari penyerapan di sana-sini," ujar Asmoro. HADRIANI P

Batik Bulan Tembus Pasar Mancanegara

BATANG--MI: Blus, rok, kemeja, dan daster berbahan batik hasil produksi perusahaan Batik Bulan, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, berhasil menembus pasar Malaysia, Jepang, dan Singapura.

"Kita setiap bulan mampu mengekspor sebanyak 500 kodi blus, rok, kemeja, dan daster berhahan baku batik ke Malaysia, Jepang, dan Singapura," kata pemilik perusahaan Batik Bulan Wulan Utoyo di Batang, Jawa Tengah, Minggu (2/3).

Sebenarnya jumlah permintaan pasar Malaysia, Jepang, dan Singapura lebih dari 500 kodi per bulan, namun karena keterbatasan produksi sehingga belum mampu memenuhi permintaan, kata Wulan yang menekuni industri batik secara turun temurun itu.

Perusahaan yang menjual batik dengan sistem retail, agen, dan pameran di berbagai daerah ini memproduksi jenis batik cap, tulis, dan campuran. Bahan batik selanjutnya dibuat blus, rok, kemeja, dan daster.

Dengan mempekerjakan sebanyak 50 karyawan, perusahaan itu mampu memproduksi batik cap sebanyak 80 potong per hari, batik tulis 50 setel per 3 bulan, dan batik campuran 40 potong per hari.

Wulan mengakui, segmen pemasaran produk Batik Bulan memang mayoritas masih terpaku di pasar dalam negeri dengan komposisi pasar nasional 40%, lokal 30%, dan mancanegara 30%.

"Permintaan pasar ekspor nggak naik dan nggak turun, masih stabil. Kita memang nggak begitu gencar melakukan ekspor ke mancanegara. Kita baru mengekspor jika ada permintaan dari buyers," kata Wulan.

Ia mengatakan, pihaknya kini lebih banyak mengandalkan agen dalam memasarkan produk batiknya ketimbang melakukan sendiri karena tidak ada waktu lagi, setelah permintaan konsumen atas batik yang selalu meningkat.

Perusahaan batik yang berdiri sejak puluhan tahun lalu tersebut saat ini lebih banyak berorientasi ke produksi ketimbang pemasaran karena masalah pemasaran sudah ditangani para agen yang tersebar di berbagai

daerah.

"Banyak agen yang sudah datang sendiri ke perusahaan kami memesan berbagai jenis batik tulis, cap, dan campuran sehingga sudah tidak perlu susah payah memasarkan batik ke pasaran," katanya. (Ant/OL-03

Lomba Rancang Busana Batik 2008: Kaya Ide Kreatif

Sepuluh desainer muda menggelar rancangan mereka dalam final Lomba Rancang Busana Batik (LRBB) 2008 yang diselenggarakan Majalah PRODO di Hotel Mulia Jakarta, Senin (21/1) malam.

Pamela Bethia, finalis asal Jakarta Utara, dengan tema Patchwork Land, mampu menyusun potongan-potongan kain batik menjadi gaun batik yang menawan. Ia mengaku ide ini muncul ketika melihat neneknya menambal kain batik yang dikenakannya karena sobek.

Lain lagi bagi Lulu Lutfi Labibi, finalis asal Yogyakarta. Ia lebih memilih corak kontemporer sebagai media untuk menyalurkan idenya membuat karya batik dengan tema Urban Batik yang cocok dikenakan bagi kaum muda yang dinamis.

LRBB 2008 diselenggarakan untuk mengusung kembali batik sebagai warisan budaya agar terus mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Dalam lomba ini Abdulrahman, finalis asal Jakarta Utara, tampil sebagai juara pertama menyisihkan sembilan finalis lainnya. (KP)

Bicara Lingkungan Hidup Lewat Busana Batik

Apa hubungan antara persoalan pemanasan global (global warming) dengan busana batik? Abdulrahman Arif (38), Juara I Lomba Rancang Busana Batik 2008 (LRBB 2008) menggambarkannya lewat karyanya.

Ecology, itulah tema desain Arif untuk LRBB 2008, yang pergelarannya baru diselenggarakan Senin lalu (21/1) di Jakarta. Ia memilih tema tersebut karena dunia kini sedang menghadapi persoalan pemanasan global. "Saya ingin batik pada busana yang saya desain bisa jadi media untuk menyampaikan pesan.

Batik kan memang memiliki message (pesan). Dengan desain busana yang saya bikin, saya ingin batik menyampaikan pesan tentang lingkungan hidup," sambungnya tentang pemilihan tema itu. "Saya ingin batik bisa menimbulkan kesadaran kita untuk memelihara lingkungan hidup, supaya hidup kita nyaman," tambahnya.

Sesuai dengan tema tersebut sekaligus trend warna dalam fashion untuk 2008, Arif--yang pernah menempuh pendidikan desain grafis di Universitas Trisakti, Jakarta--menggunakan warna hijau, sebut saja olive green dan grass green. "Misalnya, gaun hijau polos, saya padu dengan cape dari batik hijau," contohnya.

"Itu juga untuk menggambarkan bahwa busana batik enggak harus 100 persen batik dari atas sampai bawah. Bahkan, bisa juga busana batik dipadu dengan busana merk internasional," lanjutnya. "Bagi mereka yang baru mencoba, pakai busana batik dari atas sampai bawah terlalu ngagetin," imbuhnya.

Sementara itu, untuk siluet, Arif, yang pernah pula menimba ilmu di sekolah mode ESMOD Jakarta, memilih yang lebar (volume). "Siluet volume masih trend di 2008," katanya. "Tapi, siluet volume itu bisa dipadu padan dengan siluet slim (pensil)," lanjutnya. "Misalnya, baju dengan siluet lebar bisa dipadu padan dengan cigarette pants," katanya lagi.

Untuk pelengkap busana batik karyanya, Arif, yang pernah magang di Ted Lapidus, Paris (Prancis), membebaskan si pemakai mengenakan sepatu platform atau stiletto. "Dua-duanya masih in di 2008," ujarnya. Tapi, untuk aksesori, "Lebih baik enggak usah pakai. Atau, kalaupun pakai, minimalis saja. Saya ingin batik menonjol dan bicara apa adanya," tekannya.

Rayakan dengan Batik, Mengapa Tidak?

JAKARTA, SENIN - Mengapa hanya busana berwarna pink yang menjadi pilihan anda untuk merayakan Hari Valentine? Kalau anda masih muda, mengapa tak menjajal busana batik yang trendy, bersifat muda, dan romantis?

Busana batik karya Bethania Agusta T (17), satu dari 10 finalis Lomba Rancang Busana Batik 2008 (LRBB 2008), yang telah digelar di Jakarta pada Januari lalu, bisa kita jadikan pilihan. Ia mengangkat tema Fleurs in Batik untuk rancangannya yang ikut lomba itu.

Bethania membuat busana-busana tersebut untuk para perempuan muda--17-27 tahun. Ia memang ingin busana batik hidup di kalangan muda. Makanya, siluetnya melebar (A line), memiliki entire line (potongan di bawah dada), memerlihatkan bahu, dan paling panjang sampai di atas lutut, supaya tak mengganggu gerak, meskipun tetap feminin.

Sesuai dengan tema tersebut, busana dari bahan batik katun motif gentong, yang berwarna cokelat, itu ditempeli bunga-bungaan kecil dari bahan batik katun berwarna cerah. Pilihan warna bunga-bungaan tersebut adalah biru, putih, pink, dan kuning.

Bahan batik katun warna-warni itu digunting-gunting dan dijahit sehingga menjadi serupa bunga-bunga kecil. Bagian tengah setiap bunga-bungaan tersebut diberi pita kecil untuk mewakili putik bunga. Bunga-bungaan itu dijahit ke bagian bahu, dada, pinggang atau bawah busana.

"Saya memilih bunga karena bunga identik dengan perempuan dan memiliki detail yang kuat," jelas sang mahasiswa tingkat 2 ESMOD Jakarta, sebuah sekolah mode profesional, tentang tema yang diangkatnya.

Setiap busana diberi hiasan bunga-bungaan dengan satu warna saja. Setiap konsumen bisa memilih salah satu warna tersebut.

Untuk mereka yang tomboy, Bethania memberi pilihan busana yang bahan jaring (tulle) di bagian bawah dalamnya sengaja digunting tak rata.

Untuk sepatunya, ia menyarankan high heels. Tapi, imbuhnya, "Pakai boots juga cocok. Tapi, harus yang ada haknya."

Batik Lasem, Karya Warisan China Peranakan

BICARA batik, pasti angan kita langsung melayang ke kota Jogja atau Solo, bahkan melayang hingga Pekalongan. Tak salah memang, karena kota-kota ini memang terkenal sebagai sentra industri batik di tanah air. Batik Jogja, sudah biasa. Batik Lasem? Sebagian mungkin sudah banyak yang mendengar mengenai kualitas batik hasil olahan perajin di kawasan Lasem, Solo, Jawa Tengah ini.

Akan tetapi, mungkin tak banyak yang tahu, kalau Batik Lasem merupakan karya warisan dari budaya kaum China Peranakan. Adalah Santoso Hartono, satu dari 23 perajin batik Lasem yang masih tersisa saat ini.

Santoso adalah generasi ketiga dari trah keluarganya yang mempertahankan bisnis kerajinan batik di kawasan Lasem. Namun, ia membangun sayap usahanya sendiri. "Usaha yang dibangun orang tua jalan, usaha saya juga jalan," ujar dia.

Sebagai generasi turun temurun, ternyata pria keturunan Tionghoa ini pun tak banyak tahu riwayat batik yang menjadi sumber penghasilannya itu.

"Kalau Lasem itu asalnya dari masyarakat China Peranakan, saya tahu. Tapi, saya nggak tahu banyak sejarahnya. Yang saya tahu, dulu di Lasem tepatnya di desa Kemendung ada wanita keturunan China namanya Putri Cempa. Katanya, batik Lasem itu dulu dibuat oleh keturunan Putri Cempa ini," ungkap Santoso, saat ditemui di arena pameran budaya China Peranakan, di Mal Ciputra, Rabu (30/1).

Awal ketertarikan Santoso menekuni bisnis kerajinan Batik Lasem, bermula ketika ia pulang dari Jakarta sekitar tahun 2004. "Waktu itu saya penasaran aja, lihat banyak buruh batik di kampung saya. Saya bertanya-tanya buruh batik itu dapat bayaran berapa sih? Ternyata cuma Rp6 ribu sampai Rp7 ribu. Akhirnya saya tanyain, mau mbatik dengan saya nggak? Ya saya menawarkan bayaran yang lebih baik. Akhirnya banyak yang berminat dan sampai sekarang saya sudah punya 200 pembatik," lanjut dia.

Ciri khas batik Lasem adalah coraknya benar-benar ditulis atau diukir sendiri oleh para perajinnya, bukan dicetak (diprinting). Warna khasnya, salah satunya warna yang menjadi khas Masyarakat Tionghoa, merah. Biru dan hijau juga warna khas batik lasem.

"Kalau dulu warna gelap juga khas lasem, tapi kalau kita bertahan seperti itu nggak laku, jadi kita terus melakukan inovasi."

Salah satu inovasi yang dilakukan Santoso dan perajin batik Lasem lainnya adalah membuat motif yang lebih 'gaul'. Kata dia, motif yang lebih disukai oleh anak muda. Selain merangkul pasar yang lebih luas, diharapkan juga bisa mengajak generasi muda untuk mencintai produk khas dalam negeri.

Pewarnaan batik Lasem hanya dilakukan di tiga tempat, yaitu di Lasem, Kota Solo dan Pekalongan. Uniknya, proses pewarnaan akan menjadi bagus jika menggunakan air kacer. Menurut Santoso, air kacer adalah air yang bersumber dari mata air langsung. "Kita sudah coba pakai air pam, air sumur. Tapi nggak tahun kenapa, kalau pakai air kacer itu hasilnya lebih bagus."

Untuk mengenalkan batik Lasem, berbagai pameran telah dilakukan. Sayangnya, ujar Santoso, pameran di Luar Negeri belum bisa dilakukan. Padahal beberapa pelanggannya berasal dari sejumlah negara, seperti Jepang bahkan hingga turis negara-negara Eropa.

Jenis-jenis batik Lasem juga beragam. Santoso menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu Sekar Jagad, Tiga Negeri, Tambal, Sisik, Pukel dan Klerek.

Bagaimana dengan harga? "Bervariasi mbak, mulai dari 100 ribu sampai 1,5 juta. Tergantung jenisnya juga. Asal bisa bedakan batik Lasem dengan 'laseman', yang palsu. Kalau laseman cuma 25 ribu. Banyak yang niru motifnya, tapi printing-an, bukan tulis. Itu yang membuat saya khawatir," pungkas Santoso. (ING)