Batik Trusmi, Busana Lebaran Alternatif

Kain batik sudah menjadi pakaian nasional masyarakat Indonesia. Bahkan, baju lengan panjang menjadi pakaian resmi pria yang disejajarkan dengan setelan jas di acara-acara formal. Kain batik juga sudah digunakan para perancang mode kelas internasional untuk busana kaum perempuan.

Pada puncak hari raya Idul Fitri, banyak orang memilih batik sebagai busana resmi untuk mengunjungi sanak saudaranya, bersilaturahmi dan saling memaafkan. Pendeknya, batik sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan merupakan busana kebanggaan nasional.

Namun, selama ini, begitu mendengar kata batik, pikiran banyak orang akan langsung membayangkan Yogyakarta atau Solo di Jawa Tengah yang berwarna dan bermotif khas, yaitu berwarna gelap, biasanya coklat tua atau hitam. Masih belum banyak orang yang tahu jika ada motif batik khas lainnya yang berwarna lebih cerah dan ceria.

Salah satunya adalah motif batik khas Cirebonan atau lebih dikenal sebagai motif batik Trusmi. Nama Trusmi diambil dari nama tempat sentra industri rumahan batik tradisional di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Menurut Katura (51), seorang seniman batik senior di Trusmi Kulon, motif batik Cirebonan berbeda dengan motif batik tradisional gaya Yogyakarta dan Solo. Sesuai letak geografis Cirebon yang ada di kawasan pantai, motif batik Cirebon disebut motif Pesisiran.

Katura menjelaskan, letak perbedaan utamanya adalah pada warna-warni kain batik Cirebon yang lebih cerah dan berani dibandingkan dengan gaya Yogyakarta atau Solo. Warna-warna cerah seperti merah, merah muda, biru langit, hijau pupus, dapat dijumpai dalam kain batik Trusmi. Selain itu, gambar motifnya juga lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.

Salah satu ciri khas batik asal Cirebon yang tidak ditemui di tempat lain adalah motif Mega Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama. Menurut Katura, motif Mega Mendung tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon.

Katura mengakui, selama ini motif batik Cirebonan memang kurang dikenal masyarakat dibandingkan dengan batik Yogyakarta dan Solo. Bahkan, lanjut dia, masyarakat Cirebon sendiri jarang memakai baju batik bermotif Cirebonan pada acara-acara resmi. "Soalnya lebih banyak baju batik di Cirebon didatangkan dari tempat lain," ujarnya.

Akan tetapi, beberapa tahun terakhir, batik Trusmi mulai dilirik sebagai bahan busana alternatif untuk acara-acara resmi, termasuk untuk bersilaturahmi pada saat Lebaran. Menurut Katura, mendekati Lebaran, seperti sekarang ini, pesanan kain batik Cirebonan di Trusmi meningkat sekitar 20 persen dibanding pada hari-hari biasa.

Hal itu juga diakui H Komarudin Kudiya, pengusaha muda batik Trusmi yang sudah buka cabang hingga ke Kota Bandung. Menurut Komarudin, menjelang Lebaran, pesanan di Rumah Batik Komar miliknya meningkat 150 persen dibanding pada bulan-bulan biasanya.

Bahkan, untuk mengejar tenggat waktu pesanan, proses penyelesaian kain batik di Rumah Batik Komar dipersingkat, dari proses biasanya 2 minggu menjadi hanya 1 minggu. Kiat yang ditempuh Komar adalah dengan mengubah desain motif batik secara keseluruhan sehingga seluruh proses pembuatannya dapat diselesaikan lebih cepat. "Proses pewarnaannya juga menjadi lebih sederhana tanpa mengurangi kualitas akhir," ujar pemegang gelar master seni dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Kain batik karya Komar yang berbahan dasar kain sutra tenun asli tersebut kebanyakan dipasarkan di Jakarta dan Bandung. Mendekati masa-masa Lebaran, pesanan kain batik di rumah batiknya mencapai 2.000 potong batik cap sebulan, atau naik dua kali lipat dibandingkan dengan pesanan pada bulan-bulan normal yang hanya 1.000 potong per bulan.

Sementara untuk kain batik tulis yang proses pengerjaannya lebih rumit, sejak 3 bulan sebelum Lebaran, pesanan sudah melonjak menjadi 200 potong per bulan dari pesanan normal sebesar 100 potong per bulan. Komar yang melayani segmen pembeli menengah ke atas itu menjual kain batiknya dalam bentuk bahan untuk sarung dengan ukuran per potong 2,4 meter x 1,1 meter dan kain bahan untuk kemeja dengan ukuran 2,7 m x 1,1 m.

Harga jual batik Komar bervariasi, mulai dari Rp 750.000 hingga Rp 3 juta per potong, tergantung kualitasnya. Sebagian pemesannya adalah para pejabat di Jakarta. Dengan jumlah pesanan sebesar itu, wajar jika menjelang Lebaran omzet Rumah Batik Komar mencapai Rp 400 juta per bulan. (DAHONO FITRIANTO)

Tidak ada komentar: