Juragan Batik dari Kota Pempek

KALAU saja tidak ada drum-drum oli bekas berjejer di depan rumahnya, bisa jadi orang yang baru datang di daerah itu tak akan menyangka rumah itu sebuah home industry. Maklum, kecuali untuk memasak blendâ”sejenis perekat untuk membuat batik perada, drum-drum itu tak punya keistimewaan lain. Rumah yang terletak di kawasan Sawangan Baru, Depok, itu sama saja dengan tetangga di kanan kirinya. Teduh, tenang, tanpa hiruk pikuk para pekerjanya.

Pemilik rumah itu adalah Alwi Shihab dan Salwa. Suami istri berdarah Arab ini bisa dibilang pengusaha batik perada yang sukses. Dengan produksi sekitar 200 potong batik per hari, industri rumahan yang mereka kelola kini beromzet tak kurang dari Rp 250 juta per bulan. Batik khas Indonesia itu bukan cuma tersebar di kota-kota besar negeri ini, tapi juga sudah menyeberang ke sejumlah negara Asia, terutama Thailand dan Malaysia. Selain itu, Salwa juga berperan menularkan ilmu membuat batik perada kepada warga di sekitarnya.

Batik buatan Salwa memang digemari karena keunikannya. Sebab, dibanding dengan batik perada yang umumnya di jual di Jawa, produk Salwa agak berbeda. Perbedaannya terletak pada garis-garis ornamen yang timbul pada kain batik, sedangkan produk sejenisnya tidak. Saya mengambil ciri khas batik perada Palembang (Sumatera Selatan),kata ibu beranak satu itu. Jadi, meski tak memakai merek tertentu, konsumen bisa mengenali produk made in Salwa dari konturnya yang timbul.

Membuat batik perada memang tidak sesulit membatik yang harus mendesain corak dan gambarnya. Sebab, perada berarti teknik menghias kembali kain batik yang sudah jadi dengan glatir (semacam bubuk). Batik bercorak bunga, misalnya. Pada garis tepi ornamen bunga tersebut diberi cairan blend, kemudian setelah cairan itu kering diberi lapisan warna dengan menggunakan glatir. Biasanya, lapisan warna itu beragam, misalnya emas, perak, putih, kuning, merah, dan sebagainya. Tapi yang paling laku dan banyak peminatnya yakni yang berwarna emas,ujar Salwa.

Meski begitu, seni menghias perada tidak bisa begitu saja didapat. Salwa mengasah keahliannya sejak duduk di bangku SMP. Kebetulan, saat itu wanita kelahiran Palembang ini sekolah di Solo (Jawa Tengah) dan tinggal di Mertodranan, Pasar Kliwon, wi-layah yang banyak memiliki perajin batik. Dari kota inilah sedikit demi sedikit Salwa mempelajari seni membatik dan mengenal beragam jenis batik. Pengetahuan ini ternyata kelak sangat membantunya dalam mengembangkan usaha yang ia rintis sekarang.

Lulus SMP, Salwa kembali ke kampung halamannya untuk melanjutkan SMA. Saat itu, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi pengusaha batik. Apalagi setelah ia menikah dengan Alwi Shihab. Boro-boro mempelajari, mengamati seni tradisional ini pun, ia tak sempat. Hari-harinya praktis dihabiskan untuk membantu suaminya berdagang kain di Palembang.

Roda kehidupan Salwa berubah ketika suaminya membawanya hijrah ke Jakarta dan berdagang baju-baju konfeksi di Tanah Abang, pada 1984. Di pusat perdagangan tekstil itu, Salwa mulai sadar bahwa pakaian batik perada digemari oleh masyarakat. Maka, ia pun mencoba berdagang batik perada. Tapi saat itu ia tidak terlibat dalam produksinya, tapi cuma mencarikan kain sebagai bahan dasar dan menjual batik perada yang sudah jadi ke Jakarta. Seluruh proses produksinya dikerjakan di Palembang.

Ternyata, di ibu kota, batik perada ala Palembang ini laris manis. Salwa melihat peluang bagus jika batik tersebut dibuat di Jakarta. Kalau bisa dikerjakan di Jakarta, mengapa harus bolak-balik, kan tidak efisien,ujar wanita 46 tahun itu. Maka pada 1995, bersama suaminya yang setahun lebih tua, ia mulai merintis pembuatan batik perada ala Kota Pempek. Untuk itu, Salwa khusus mendatangkan dua orang perajin dari kampung halamannya, Palembang.

Meski sudah lama memiliki bekal pengetahuan tentang batik, toh tahun-tahun pertama memulai usahanya merupakan proses pembelajaran kembali bagi Salwa, dari mulai memilih motif, memberi perekat, sampai mengoleskan gliter pada kain tersebut. Salwa dan Alwi pun melakukan sejumlah inovasi agar produk yang dihasilkan berkualitas bagus dan efisien. Untuk blend, misalnya, awalnya mereka beli jadi, tapi hasilnya tidak memuaskan. Maka, Alwi pun mencoba meramu sendiri bahan perekat itu.

Sementara untuk gliter-nya tidak dibuat sendiri karena bahan itu masih diimpor dari Jepang. Selama ini, Salwa biasa membeli gliter jadi di toko-toko kimia. Bahan baku lainnya, batik jadi, biasanya dibeli di Tanah Abang. Berbagai merek bisa dipakai, misalnya Danar Hadi, Daun Dewa, dan kain panjang Cap Jago. Bahan dasarnya pun bisa dari kain katun, satin, santung, safir, beludru, dan sutera asli.

PEGAWAINYA IBU-IBU DI SEKITAR RUMAH

Selain membuat batik perada, Alwi juga membuat kaligrafi dan hiasan dinding yang menggunakan bahan baku dari batik perada. Proses pembuatannya tak jauh berbeda dengan batik perada. Cuma, bahan dasarnya biasanya terbuat dari kain polos dan Alwi harus menggambar desainnya dulu di atas kain tersebut. Biasanya, hiasan dinding yang berukuran 75x120 sentimeter dijual seharga Rp 200 ribu per buah, termasuk bingkainya. Sementara kaligrafi berukuran 100x60 sentimeter dijual seharga Rp 30 ribu per buah.

Harga jual batik perada sendiri bervariasi. Untuk sepotong kain panjang, harganya mulai Rp 30 ribu sampai ratusan ribu. Semua tergantung jenis kain dan tingkat kerumitan motifnya. Untuk batik Danar Hadi biasanya dijual seharga Rp 75 ribu per potong. Dan yang paling mahal terbuat dari kain sutera yang bisa mencapai Rp 300 ribu per potong.

Berapa keuntungannya? Untuk setiap potong kain, biasanya kami mengambil untung tidak besar, hanya Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu,kata Salwa. Memang, bagi pasangan itu, keuntungan kecil tidak masalah. Yang penting bagi mereka adalah uangnya bisa berputar cepat. Demikian pula dengan pembayarannya. Para pelanggannya bisa membayar secara kontan maupun giro bilyet berjangka waktu 1 sampai 2 bulan.

Untuk memasarkan batik perada buatannya ke luar Jawa dan luar negeri, biasanya Alwi dan Salwa memakai jasa toko langganannya di Tanah Abang. Sementara yang dijual di Jakarta bisa mengambil sendiri dari rumah Salwa. Dan agar produksinya laku, Salwa sengaja tak mencantumkan merek. Jadi, pemilik toko bebas memberi merek apa pun.

Untuk sementara begitu dulu. Karena, kalau pakai merek sendiri, bisa-bisa para pedagang tidak mau beli, katanya. Meski demikian, itu tak berarti ia mengubur keinginan memiliki merek sendiri. Begitu juga dengan proses ekspor. Suatu saat ia ingin melakukannya tanpa menggunakan jasa perantara. Tapi sampai saat ini kami belum punya tenaga karena sudah repot mengurus yang sekarang,â ujarnya.

Memang, saat ini Salwa tak memiliki tenaga banyak untuk mengurus masalah itu. Kini, ia hanya memiliki karyawan tetap sebanyak 7 orang. Tugasnya memberi gliter pada kain yang sudah di beri blend. Sementara perajin yang memberi blend adalah ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya. Jumlahnya mencapai 100 orang lebih. Banyak di antara mereka adalah istri tukang ojek dan caddy di lapangan golf. Para perajin itu diupah Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kain, tergantung motifnya. Biasanya, mereka membutuhkan waktu 2-3 jam untuk memberi blend pada kain. Dalam sehari, biasanya mereka bisa menyelesaikan 3-4 potong kain.

Untuk mengontrol hasil karya para perajin itu, biasanya Salwa memberi nomor pada setiap kain. Jadi, bila ada yang cacat saat memberi blend, hal itu bisa langsung diketahui dan dikembalikan ke si perajin untuk diperbaiki. Saat itu biasanya dimanfaatkan Salwa untuk menularkan ilmunya kepada para perajin. Ia menjelaskan cara memberi blend yang benar agar batik perada yang dihasilkan memiliki kualitas bagus. Saya juga senang kalau akhirnya mereka bisa membuat batik perada sendiri, tuturnya sembari mengenang saat-saat ia belajar membatik.

Tidak ada komentar: