Kebangkitan Industri Batik Tulis Giriloyo Bantul

Setelah sempat kolaps akibat gempa 27 Mei 2006, gairah ekonomi masyarakat Dusun Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul, yang sebagian besar menggantungkan hidup pada membatik, mulai bangkit kembali. Sebelumnya, berbagai kalangan sempat meragukan kelangsungan batik Giriloyo. Namun, berkat antusias dan keinginan kuat dari masyarakat, mereka pun berhasil menjalani masa-masa sulit tersebut.

”Saya dulu sempat putus asa karena rumah dan seluruh peralatan membatik rusak. Namun, berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, saya tetap melanjutkan usaha batik. Alhamdulillah, sekarang semuanya sudah normal kembali. Hampir semua perajin di sini sudah kembali membatik semua,” kata Ny Amanah (60).

Rasa putus asa juga sempat menghinggapi sekitar 510 perajin batik di Giriloyo. Selama enam bulan pertama pascagempa, aktivitas membatik berhenti total karena fokus masyarakat ditujukan untuk memperbaiki rumah. Baru setelah itu, satu-dua orang pun mulai membatik. ”kebanyakan warga mulai membatik setelah satu tahun pascagempa,” tutur Amanah.

Memang tidak semua perajin kembali membatik. Sekitar 15 persen di antaranya memilih beralih profesi sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, terutama generasi muda. ”Mereka menganggap batik tulis sudah tidak prospektif lagi. Apalagi peralatan untuk membatik juga sudah rusak,” ujar Kepala Desa Wukirsari Bayu Bintoro.

Menurut Bayu, tren alih profesi tersebut sebenarnya sudah mulai terasa sebelum gempa. Makin tidak prospektifnya kerajinan batik tulis setelah batik cap yang diproduksi secara massal menjamur, hal itu membuat perajin enggan mengembangkan usahanya. ”Setelah gempa, makin banyak yang beralih jadi TKI karena kondisinya makin sulit,” katanya.

Meski sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian kecil generasi muda, batik tulis tetap eksis di Giriloyo. Faktor pendorong utamanya adalah semangat generasi tua yang tetap mempertahankan tradisi leluhur. Di dusun ini, perajin tertuanya bahkan sudah berumur 80 tahun.

Kebangkitan industri batik tulis Giriloyo juga tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Jogja Heritage Society (JHS) dan Kemitraan Australia-Indonesia. Secara khusus, mereka mendesain program pengembangan industri rumah tangga batik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dimulai September tahun lalu.

Lewat program tersebut, perajin diberi pelatihan mendesain motif dan proses pewarnaan. Desain menjadi kata kunci bagi perajin agar produknya bisa diterima pasar. ”Desain motif harus dibuat sekreatif mungkin. Jangan membuat motif-motif yang sifatnya monoton. Kemampuan desain ini menjadi salah satu kendala pengembangan industri batik,” kata Direktur JHS Titi Handayani.

Ia menambahkan, tak hanya pelatihan teknis, pihaknya juga memberikan pelatihan organisasi dan manajerial agar perajin bisa mengelola usahanya dengan baik. Perajin diarahkan untuk bergabung dalam kelompok usaha. Saat ini sudah terbentuk empat kelompok, yakni Sekar Arum, Sekar Kedaton, Sido Mukti, dan Sungging Tumpuk.

Bagi masyarakat Giriloyo, membatik sudah menjadi tradisi yang sifatnya turun-temurun. Keterampilan tersebut diperoleh dari nenek moyang mereka. Kelihaian nenek moyang mereka dalam membatik berawal ketika Sultan Agung dan Sultan Cirebon dimakamkan di Imogiri. Sejak adanya dua makam tersebut, keluarga keraton sering datang untuk berziarah.

”Dulu batik digunakan oleh kalangan keraton. Banyaknya keluarga keraton yang datang berziarah membuat interaksi warga dengan mereka begitu intens. Warga pun diajari membatik dan disuruh membuat kain batik bagi keluarga keraton,” Nur Ahmadi, Ketua Paguyuban Batik Giriloyo.

Keterampilan membatik, yang diajarkan kerabat keraton tersebut, oleh warga pun ditularkan kepada warga lainnya, hingga satu dusun bisa membatik semua. Di Giriloyo, membatik menjadi pekerjaan sampingan bagi kalangan ibu rumah tangga. Hanya satu-dua laki-laki yang ikut membatik.

”Dari dulu membatik memang menjadi urusan perempuan. Bapak-bapak bekerja sebagai petani atau buruh bangunan. Pembagian kerja itu terus berlanjut hingga sekarang,” papar Nur Ahmadi.

Ia menambahkan, untuk menjaga regenerasi, pihaknya mengadakan pelatihan membatik bagi anak-anak setiap hari Jumat pukul 14.00-16.00. ”Agar mereka bersemangat, kami juga sering mengadakan lomba membatik,” katanya.

Ibu-ibu di Giriloyo tak hanya membatik di atas kain, tetapi juga di atas kayu dan media lainnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk diversifikasi usaha untuk bisa bertahan di tengah derasnya arus batik pabrikan yang diproduksi secara massal.

Makin gencarnya batik pabrikan yang diproduksi secara massal tanpa batas memang membuat eksistensi batik tulis makin terancam. Jika dibiarkan, perajin batik tulis bisa kehilangan semangat melanjutkan tradisi leluhur itu karena kesulitan menjual hasil karyanya.

Ketua Paguyuban Sekar Jagad Suliantoro Sulaiman mengatakan serangan batik pabrikan mulai muncul sekitar tahun 1970. Sejak saat itu, jumlah perajin batik tulis terus berkurang. ”Perajin takut produknya tidak laku karena batik pabrikan sudah membanjiri pasar. Alasan inilah yang membuat sebagian perajin di DIY menghentikan produksi,” katanya.

Pesatnya pertumbuhan batik pabrikan karena harga yang mereka tawarkan jauh lebih murah. Sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap kelangsungan batik tulis juga semakin mendorong batik pabrikan merajai pasar. ”Seharusnya, ada perasaan bangga jika kita memakai batik tulis karena batik itu dibuat dengan keuletan dan ketelatenan para perajin batik,” ucap Suliantoro.

Mahalnya harga batik tulis disebabkan rumitnya proses pembuatannya, terutama pewarnaan. Untuk menghasilkan selembar kain batik, paling tidak dibutuhkan waktu satu minggu. Itu pun dengan pewarnaan sintetis. Untuk pewarnaan alami, prosesnya lebih panjang lagi dan butuh waktu sekitar 15 hari.

”Untuk satu warna saja, kami harus mencelupkan sampai tiga kali. Tiap celup ditunggu dulu sampai kering hingga warnanya muncul, baru kemudian dicelup lagi. Semakin cerah warna yang diinginkan, maka proses pencelupannya bisa berulang-ulang, bahkan bisa sampai 50 kali,” kata Maryani (17), pembatik yang hanya lulus SD itu.

Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah DIY Syahbenol Hasibuan mengatakan, pemerintah tengah berusaha mencari teknologi membatik untuk menekan biaya supaya lebih murah. ”Kalau prosesnya bisa disederhanakan, harga jual batik tulis mungkin bisa lebih kompetitif,” katanya.

Ketangguhan perajin batik tulis di Giriloyo ini mungkin bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang terkena bencana, untuk bisa bangkit menata kembali kehidupan mereka.
Oleh Eny Prihtiyani

Tidak ada komentar: