HAMPIR 3 KILOMETER PANJANG BATIKNYA

Kecantikan motif batik menyihirnya menjadi kolektor batik sejati. Ketika ingin mendirikan museum, ia terbentur pada minimnya dana. Kondisi Museum Tekstil Jakarta yang memprihatinkan pun menunda niatnya untuk menghibahkan koleksinya biar bisa dinikmati banyak orang. Tapi ia menganggap para pedagang batik sebagai gurunya.

Dengan rambut yang sudah putih, wanita ini tak ubahnya seperti nenek biasa. Sosoknya seakan tak mampu melakukan kegiatan ekstra selain menimang cucu, duduk-duduk di beranda rumah sambil membaca, atau sekadar ngumpul dengan sesama rekan seusia. Namun, figur Eiko Adnan Kusumah ternyata mampu berbuat lebih dari itu, yang berguna bagi kelestarian dan perkembangan budaya bangsa kita.

Sejak 35 tahun lalu, wanita kelahiran Kobe, Jepang, 74 tahun lalu ini punya hobi mengoleksi batik tulis tradisional pesisiran dan pedalaman Pulau Jawa. Hingga kini koleksinya sudah mencapai 1.400-an helai. Bila dipukul rata panjang setiap kain 2 m lalu dibentangkan, seluruhnya mencapai 2,8 km panjangnya, atau kira-kira 7 kali lintasan atletik. Malah bisa jadi jauh lebih panjang dari itu karena kebanyakan lebih dari 2 m panjangnya, bahkan ada yang hampir 4 m, meski ada juga yang kurang dari 2 m.

Dilihat dari cara pakai, koleksinya bisa dipilah atas kain panjang, kain sarung, selendang, ikat kepala, kemben, dan celana. Tapi yang terbanyak jarik atau kain panjang. "Saya tidak pernah memotongnya untuk bikin baju atau apa. Sayang 'kan?" katanya. "Hanya karena tidak tahu, saya pernah menggunting koleksi sarung batik saya biar gampang difoto. Sekarang saya menyesal. Sebenarnya tidak boleh dipotong karena jahitan saja ada artinya."

Hampir seluruh batik pesisiran dan pedalaman bisa ditemukan dalam jajaran koleksinya. Dari Jawa Barat sebut saja batik Indramayu dengan cocohan-nya yang khas dan batik Cirebon yang kondang dengan variasi coraknya. Dari Jawa Tengah, ada batik Rembang dengan batik Lok Chan-nya yang bercirikan dua nuansa warna, latar lembut dan corak lebih tua; batik Lasem dengan warna merahnya yang khas; batik Pekalongan dengan ciri motif jlamprang dan ragam hias Jawa-Hokokai-nya; batik Kudus dengan latar kain bermotif rumit atau berlatar motif variasi tambal, kawung, parang dengan warna-warna lembut atau warna latar kecoklatan yang khas.

Sedangkan dari Jawa Timur antara lain batik Tuban yang terkenal dengan tata warna putihan (latar putih corak biru atau hitam), bang-rod (latar putih corak merah), pipitan (latar putih dengan corak merah dan biru), dan irengan (latar biru tua atau hitam, corak putih); batik Sidoarjo dengan corak naturalis yang tegas, jelas, dan ekspresif dengan warna mencolok dan berani; juga batik Madura yang banyak mempengaruhi batik Sidoarjo.

Selain batik pesisiran, tak kurang juga batik pedalaman dikumpulkan ibu 4 orang anak dan nenek 3 orang cucu ini. Ada batik Garut, Tasikmalaya, Banyumas, dsb.

Mungkin sejalan dengan selera kewanitaannya, kebanyakan batik koleksinya tak lepas dari motif flora, fauna, dan kekayaan alam lainnya. Baginya motif naturalis seperti itu mudah dinikmati. Ini berbeda dengan batik Yogyakarta dan Solo yang menurutnya bermotif sangat feodal dengan makna simbolik begitu dalam dan berat. "Kalau dilihat, kita tidak tahu arti simboliknya," tuturnya. Maksudnya, untuk memahami motif batik Yogya dan Solo perlu studi yang mendalam. Karena itu ia tidak "berani" mengambil batik-batik asal kedua kota itu sebagai koleksi.

Selain pilihan motif, batik berusia tua dan tidak diproduksi lagi merupakan kriteria lainnya. Menurut dia, ada yang sudah berumur 150-an tahun; dari jenis batik "Belanda", yakni batik yang dibuat orang Jawa tapi menurut selera orang Belanda. "Kondisinya masih baik. Mungkin yang punya kain ini dulu banyak uang. Ia punya banyak kain, sehingga jarang dipakai. Cara menyimpannya pun dulu mungkin baik," tuturnya.

Dari sekian banyak koleksinya - yang sebagian besar berbahan katun dan sisanya sutera atau rayon itu - yang paling ia sukai batik Lasem. "Batik Lasem itu lucu dan manis. Jadi banyak wanita yang suka. Tapi bikinan sekarang mutunya sudah menurun," keluhnya.

Museum dan hibah
Rupanya Eiko tidak ingin berhenti di situ. Ia tidak ingin koleksinya yang seabrek dan eksklusif itu jadi barang "mati". Dengan koleksinya ia ingin berbagi kesenangan dan pengetahuan kepada orang lain. Maka timbullah keinginannya untuk mendirikan museum. Bangunan calon museum bukan masalah, sebab rumah di bilangan Pasar Minggu seluas ± 350 m2 yang sehari-hari dia tempati bisa difungsikan sebagai museum. Di dalamnya sudah ada ruang koleksi, ruang dokumentasi dan baca, ruang istirahat, dan galeri.

Yang jadi persoalan justru biaya operasional untuk menyelenggarakan museum impiannya itu. Antara lain dana rutin untuk membayar staf, listrik, telepon, keamanan, dan perawatan gedung. Wanita dengan nama asli Eiko Asso ini tidak berpangku tangan untuk mewujudkan harapannya. Ia sudah mencoba mendatangi lima perusahaan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kala itu ia berpikir, kalau masing-masing mengulurkan dana secara rutin Rp 2 juta per bulan saja, berarti setiap bulannya sudah tersedia dana Rp 10 juta.

Apa lacur, hampir semuanya menolak menjadi sponsor kecuali satu yang memberikan lampu hijau. Namun perusahaan itu pun cuma sanggup menyediakan bantuan dana Rp 400.000,- per bulan. "Setelah saya pikir, tiap bulan saya mesti bikin laporan, harus ada orang yang mengurusnya. Ah, untuk (museum) saya uang sebesar itu kurang berarti. Jadi, nggak usahlah," kata wanita bersuamikan pria Garut, Jawa Barat, ini.

"Kesadaran mereka kurang, ya? Maunya cuma cari uang!" tuturnya rada sengit. "Bikin jalan atau jembatan boleh, tapi apa salahnya sih Jepang juga ikut bantu Indonesia di bidang kebudayaan?" lanjutnya.

Memang ada beberapa ekspatriat yang berminat menyumbang. Ini pun terpaksa dia tolak lantaran, "Saya pikir-pikir, mereka mau membantu, atau malah mengganggu. Nanti mereka tanya ini apa, ini bagaimana, dan sebagainya. Jadinya saya bukan dibantu, malah saya yang mengajari mereka. Jadi, sementara ini tidak usah," kata Eiko.

Akhirnya, ia menjajagi cara lain agar harta berharga miliknya itu bisa berarti bagi banyak orang. Eiko berniat menyumbangkan koleksinya pada Museum Tekstil Jakarta (MTJ). Surat hibah pun sudah siap dia tanda tangani. Namun lagi-lagi rencana itu gagal lantaran kebanyakan orang yang dia mintai pendapat - termasuk pengelola museum itu sendiri - melarang dia agar tidak menghibahkannya ke museum itu.

"Mereka selalu bilang 'jangan menyumbangkan koleksi Ibu ke museum itu!'" ungkap Eiko. Alasannya, basic condition museum di Indonesia rata-rata masih memprihatinkan. Meski ada juga yang bilang idenya bagus, karena dengan begitu koleksi yang amat bernilai itu masih tetap berada di Indonesia, tidak lari ke luar negeri.

Alhasil jalan keluar bisa diperoleh. Yang disimpan di MTJ akhirnya hanya berupa kopian atau duplikat koleksi batik-batik pilihan. "Seperti banyak dilakukan museum di negara lain. Jadi yang dipamerkan kopinya, aslinya tidak dikeluarkan," kata istri Adnan Kusumah ini.

Tentu saja mutu kopian itu di bawah koleksi aslinya sebab teknik, bahan kain, cara pencelupan, dsb. jelas berbeda. Namun setidaknya pengunjung tetap dapat menikmati suguhan batik-batik eksotiknya kendati hanya duplikat, sementara aslinya tersimpan aman di lemarinya.

Diaduk-aduk mahasiswi
Nampaknya Eiko menyadari, koleksi tanpa informasi yang memadai hampir tiada arti untuk pelestarian dan transfer pengetahuan tentang batik pada generasi mendatang. Apalagi, industri batik tulis tradisional belakangan ini mulai terengah-engah untuk bertahan hidup atau malah tergusur oleh kepentingan ekonomi lainnya.

Karena itu ia melengkapi koleksinya dengan dokumentasi dan informasi yang memadai. "Kalau kain saja mungkin nilainya tak seberapa. Tapi kalau dilengkapi informasi, akan lebih bernilai. Makin lama makin sedikit orang yang tahu 'kan? Jadi sebisa mungkin kain dan informasi disatukan. Dengan begitu saya merasa puas."

Sejak tahun 1992 sampai sekarang, setidaknya sudah 400 koleksi yang terdokumentasikan dengan baik. Di dalamnya antara lain berisi informasi tentang bentuk kain batik, asal, motif, dan corak, serta dokumentasi foto utuh dan detail bagian-bagian pentingnya. Informasi ditulis dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Jepang. Tetapi terminologi khas batik tetap dipertahankan menggunakan "bahasa batik".

Dalam usahanya melakukan pendokumentasian, Eiko sempat menerima tenaga bantuan dua orang mahasiswi asal Belanda yang ditawarkan oleh seorang profesor Belanda, ketua tim ahli permuseuman yang membantu museum seluruh Indonesia. Tawaran itu dia terima dengan harapan ia dapat ikut belajar cara membuat dokumentasi koleksi batiknya secara benar.

Apa mau dikata, bantuan itu justru merupakan "bencana" bagi Eiko. Pasalnya, koleksi yang sudah dia pilah menjadi 40 kelompok menurut daerah asal, zaman, cara celup, dan cara pakai, mereka bongkar semua lalu dipilah lagi menurut kelompok kain panjang, kain sarung, selendang, dan seterusnya.

"Lo, untuk apa dibagi seperti itu? Orang Indonesia sudah tahu yang begitu. Semuanya malah jadi campur aduk tak karuan. Aduh, saya sedih dan marah setengah mati!" katanya masih dengan nada gemas.

Dibungkus kertas kimono
Selain harus menyediakan waktu khusus, dibutuhkan ketelatenan sekaligus kecintaan untuk merawat benda koleksi macam kain batik agar tidak cepat rusak. Salah satu musuhnya ialah kutu yang suka memangsa kain. Karena itu setiap hari setidaknya ia meluangkan waktu khusus 2 - 3 jam untuk merawat koleksinya.

"Tempo-tempo koleksi saya keluarkan dari bungkusnya untuk diangin-anginkan," katanya. Meskipun dalam lemari sudah disebari kamper antiserangga, tak jarang Eiko menemukan kutu pemangsa kain. Ini yang suka bikin repot. Kain batik itu pantang kena sinar matahari, dan kalaupun nekat dijemur, si kutu belum tentu mati. Selama ini satu-satunya cara yang dia lakukan untuk membasmi binatang renik itu ya diseterika meskipun tindakan ini pun lama-kelamaan bisa menurunkan kualitas kain batik. "Apa boleh buat."

Tempat penyimpanan yang ideal pun menuntut adanya pendingin ruangan selama 24 jam. Namun karena keterbatasan dana, Eiko lalu menggunakan alternatif lain seperti yang biasa dilakukan orang di negeri asalnya. Semua koleksi dia bungkus dengan kertas pembungkus kimono (pakaian tradisional Jepang) yang khusus dia datangkan dari sana. Masing-masing berisi 5 - 10 helai kain dan disimpan di lemari. Kertas pembungkus itu mampu menyerap udara lembap. "Tempat penyimpanan memang tidak boleh terlalu lembap dan terkena sinar matahari langsung," ujarnya.

Untuk memudahkan mencari kembali, pada setiap pembungkus ditulisi jenis atau asal koleksi. Masing-masing kain pun diberi keterangan tentang asal, ukuran, dan corak di atas secarik kain kecil berwarna putih yang dijahit tangan di sudut kiri belakang.

Di sebelah ruang penyimpanan koleksi terdapat sebuah galeri. "Tapi di galeri itu saya tidak menjual kain koleksi. Memang banyak tamu yang kecewa," katanya. Suatu ketika pernah ada seorang pengunjung menanyakan kemungkinan batik koleksinya dijual. "Kalau selembar dua ribu dolar Amerika saja ada yang mau," kata Eiko menirukan tamunya. Untuk membeli sebuah rumah mewah dari hasil penjualan itu tidak sulit, katanya, tapi kalau cari batik seperti koleksi miliknya, tentu bukan hal mudah. Karena itu, ia tetap teguh untuk tidak menjual koleksinya.

Mungkin supaya orang tidak kecele, ia lalu menyediakan sejumlah kain batik seperti batik sogan, batik Madura, yang sengaja dia beli untuk dijual sebagai cendera mata. "Memang belum lancar sih. Tapi kalau nanti jadi bikin museum pribadi, siapa tahu museum bisa jalan dengan adanya penjualan cendera mata itu."

Eiko tidak begitu saja memperlihatkan kepada sembarang orang keindahan dan keunikan koleksi kain batiknya yang tersimpan dalam ruang koleksi seluas sekitar 30 m2 itu. Hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh punya minat yang tinggi terhadap kain batik ia bersedia memperlihatkan koleksinya. Lebih-lebih kepada mereka yang berniat menjadikan koleksinya sebagai objek studi. Hingga kini sudah cukup banyak orang datang untuk melakukan studi, kebanyakan orang asing, misalnya dari Amerika, Belanda, India, dan Kanada.

Bahkan ia tidak keberatan meminjamkan kepada mereka yang ingin melakukan penelitian terhadap koleksinya. "Asalkan diberi hasilnya supaya saya pun bisa belajar dari situ." Menurut dia, belum ada peneliti Indonesia yang datang untuk melakukan studi. "Padahal banyak lo hal yang bisa digali dari sehelai kain batik."

Gurunya pedagang batik
Berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri, merupakan salah satu sarana bagi Eiko untuk memberi makna pada koleksinya. Gelar pameran itu umumnya atas undangan pengelola hotel-hotel berbintang. Yang terakhir ia ambil bagian dalam pameran tekstil bersama antara Museum Tekstil Jakarta dan Nederlands Textile Museum (NTM) Tilburg, Belanda, di MTJ selama 2 bulan di akhir tahun 1996. Dalam pameran bertemakan "Sukma Jawa" itu Eiko menyertakan koleksinya sebanyak 64 helai, sementara MTJ 20 helai dan NTM 16 helai.

Di luar negeri ia banyak menggelar pameran. Di antaranya di Suntory Museum of Arts, Tokyo (1986), Kobe City Museum, Kobe (1988), Museum of Art Fukuoka, Kyushu (1996), dan di NTM Belanda (1996).

Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya kalau dirinya bakal menjadi salah satu dari sedikit kolektor batik Indonesia yang kampiun. Apalagi ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Indonesia untuk mengikuti suaminya pulang dari Jepang tahun 1951. Pikiran itu baru muncul sekitar akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an, ketika ia terpesona akan indahnya kain batik yang diasongkan di depan hidungnya di Jl. Surabaya, Jakarta.

"Sewaktu pertama kali membeli, saya tidak tahu apa-apa tentang batik. Pokoknya kelihatan cantik, saya beli. Harganya pun waktu itu murah, tiga sampai empat ribu rupiah," kenang Eiko.

Kira-kira 10 tahun kemudian, ketika koleksinya bertambah banyak, ia berpikir mengoleksi sesuatu hanya karena menuruti rasa suka tidak banyak gunanya. Atas saran beberapa orang, termasuk para pedagang batik, dia pun memutuskan untuk mengoleksi batik dengan tujuan yang jelas.

"Jadi baru 15 tahun ini saya mengoleksi dengan tujuan jelas," akunya. "Kriterianya bukan hanya cantik, tapi juga nilai sejarahnya, cara celupnya, coraknya," ujar Eiko yang tiba di Indonesia bersama suami dan kedua anaknya naik kapal barang.

Nampaknya, ia banyak berutang budi pada para pedagang batik yang banyak memberikan informasi tentang seluk-beluk kain batik. Barangkali juga sebaliknya, kita berutang budi pada Eiko; seorang wanita Jepang yang gigih dan tekun mau menyumbangkan tenaga, dana, dan pikirannya dengan diam-diam dan tanpa pamrih untuk ikut melestarikan salah satu karya nenek moyang. (I Gede Agung Yudana/G. Sujayanto)

Tidak ada komentar: