Batik Dua Muka Hermawan

Ketika Malaysia dan Filipina sangat antusias mematenkan batik, Indonesia terkesan tenang-tenang saja. Mungkin hanya sedikit orang yang prihatin atas hal itu, termasuk di antaranya Hermawan. Dia mengenal batik nyaris sepanjang hidupnya dan tak ingin batik Indonesia justru dilupakan bangsanya sendiri.

Hermawan (50) akrab dengan batik karena dia adalah anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Lim Tjie Liang dan Lie Siok Lee, pengusaha batik cap di daerah Karet Pedurenan, Jakarta Selatan, yang telah berusaha sejak puluhan tahun lalu. Setiap hari dia melihat bagaimana batik dibuat, baik batik cap maupun batik tulis, yang pengerjaannya bisa makan waktu sampai enam bulan.

Baginya, motif batik tak akan ada habisnya, seiring dengan kreativitas yang tanpa batas. Motif-motif batik klasik, kontemporer, ataupun motif klasik yang dimodifikasi di sana-sini terus berkembang. Namun, dia justru gelisah karena produksi batik yang berkualitas dalam jumlah banyak acap kali tak bisa memenuhi jadwal waktu pemesanan.

"Dari pengalaman mengelola usaha batik, saya melihat sering orang ingin memesan batik sekualitas batik tulis dalam jumlah banyak, tetapi kami tak mampu memenuhinya. Kalaupun dipaksakan, harganya terlalu mahal, dan tetap saja batik seperti itu tak bisa dibuat secara massal," tuturnya.

Ide untuk membuat alat yang bisa menghasilkan batik berkualitas setara batik tulis dalam jumlah banyak sudah muncul sejak dia mahasiswa pada Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung. Namun, setelah lulus sarjana tahun 1981, ia tak kunjung bisa mewujudkan idenya sebab harus membantu usaha batik keluarga yang dikelola oleh kakaknya, Lim Pek Lam.

Di waktu luang, Hermawan bereksperimen membuat alat yang bisa menghasilkan batik sekualitas batik tulis. Namun, dia selalu gagal. Tahun 1992 usaha batik keluarga di Karet Pedurenan ini ditutup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Hermawan memindahkan usaha tersebut ke kawasan Cikarang, Bekasi.

Sibuk menyesuaikan diri dengan lokasi baru, setelah tahun 1995 Hermawan baru bisa menekuni eksperimennya untuk membuat alat teknik cetak dua muka (duplex printing). Hanya saja, teknik ini baru bisa digunakan di atas kain yang berukuran 60 cm x 120 cm.

"Ini pun saya sudah senang karena sebelumnya teknik printing dua muka baru bisa diterapkan di atas bahan ukuran 40 cm x 40 cm atau 40 cm x 70 cm," ujarnya.

Tak puas dengan keberhasilan itu, Hermawan mencoba menggunakannya untuk kain berukuran 107 cm x 210 cm, tetapi gagal. Dia terus mencoba, dan selalu gagal. Sampai sekitar Oktober 2005, Hermawan sempat putus asa dan merasa mustahil hal itu bisa dilakukan.

Mulai dengan satu warna

Sekitar Juni 2006, Hermawan kembali ke percobaannya membuat teknik cetak dua muka. "Selama tiga bulan saya mencoba, tapi selalu gagal. Setelah itu, saya baru berhasil membuat alat untuk teknik printing dua muka dengan menggunakan flat screen printing di atas kain ukuran 107 cm x 210 cm. Ini pun hanya bisa satu warna saja," ungkap Hermawan.

Meski baru bisa diterapkan untuk membuat batik dengan satu warna, pencapaian itu membuat Hermawan kembali bergairah. Dia lalu mencoba lagi dengan dua warna, kemudian tiga warna, dan terakhir dia berhasil dengan lima warna.

"Duplex printing punya kelebihan dapat digunakan untuk dua muka. Jadi saya coba lagi dengan warna yang berbeda pada kedua bagian batik, dan ternyata berhasil," paparnya.

Dengan menggunakan alat cetak tersebut dia mencoba membuat batik dengan motif batik tulis dari Pekalongan. Hasilnya tidak mengecewakan.

"Kalau batik tulis aslinya dikerjakan berbulan-bulan dan harganya bisa dari Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per kain, dengan duplex printing bisa lebih cepat dan kualitasnya pun bersaing. Meskipun, memang, hasil pewarnaannya lebih terang (muda) dibandingkan dengan warna batik tulis," tutur Hermawan.

Dengan menggunakan teknik cetak dua muka, pengerjaan batik bisa lebih cepat dan harga jualnya juga lebih murah. Dengan alat itu dia bisa membuat dua sampai lima kodi kain batik sehari, yang kualitasnya mirip batik tulis.

"Dengan teknik duplex printing, harga jual kain batik dengan bahan katun primissima, misalnya, bisa ditekan sampai sekitar Rp 100.000 sampai Rp 120.000 per lembar," ujarnya.

Tidak ingin "kecolongan", Hermawan segera mengurus pematenan hasil penemuannya tersebut. Pembuatan batik dengan teknik cetak dua muka (duplex printing) yang menggunakan layar cetak rata (flat screen printing) itu pun segera didaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan nomor pendaftaran P. 00200600586.

Menurut Hermawan, teknik duplex printing atau teknik dua muka tak hanya bisa digunakan untuk jenis bahan tertentu. Ia juga menggunakan teknik ini untuk menghasilkan batik di atas berbagai jenis kain, seperti rayon, katun, dan poliester.

Dengan teknik cetak dua muka ini, kata Hermawan, tak berarti ia ingin menyaingi batik tulis. Kecintaannya pada batik yang telah mengisi nyaris sepanjang hidupnya membuat Hermawan berhasrat memberi lebih banyak pilihan agar batik semakin berkembang dan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

"Batik hasil cetak dua muka ini tak akan menyaingi batik tulis halus. Batik tulis yang dibuat dalam jumlah terbatas itu sangat eksklusif dan sudah punya pangsa pasar sendiri," tuturnya.

FX Puniman Wartawan, Tinggal di Bogor

Tidak ada komentar: