Kain Nusantara dan Kekinian

SALAH satu tantangan dalam membuat kain-kain yang berasal dari tradisi tenun Indonesia tidak sekadar menjadi kain untuk upacara adat atau hanya dikenakan untuk ritual kebudayaan adalah membuat kain-kain tersebut cocok dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Apalagi ketika kain-kain tersebut ingin diposisikan sebagai produk mode, unsur kekinian semakin menjadi penting.

KAIN-kain Nusantara sendiri bukan sesuatu yang bersifat statis. Apa pun, kain tetap merupakan produk budaya masyarakatnya. Karena itu, ketika industri tekstil juga menyentuh pulau-pulau di bagian timur Indonesia, pewarna tekstil hasil industri menjadi pengganti pewarna alam dari nila atau mengkudu, sementara benang pintalan pabrik menggantikan benang kapas pintalan sendiri.

Begitu juga ketika pengaruh berbagai kebudayaan asing masuk ke Indonesia, batik dan berbagai kain tenun Nusantara pun mengadopsi ragam hias yang dibawa kebudayaan tersebut, mulai dari motif burung hong, buket bunga, kembang anyelir, hingga singa yang berdiri di atas dua kaki meskipun singa bukan hewan asli Indonesia.

Dalam perkembangannya, upaya membuat kain Nusantara bisa memenuhi kebutuhan masa kini mengambil beragam bentuk. Bukan hanya ragam hias yang disesuaikan kebutuhan saat ini atau benang kapas diganti sutra untuk mendapatkan kain yang lebih ringan dan lebih mudah disesuaikan untuk berbagai keperluan, melainkan juga cara kain tersebut digunakan, terutama ketika kain tersebut ditujukan untuk busana.

MEMADUKAN kain tradisi ke dalam busana masa kini telah dilakukan dari waktu ke waktu dengan tantangan yang tidak berubah, yaitu bagaimana menerjemahkan produk kriya yang berangkat dari tradisi itu menjadi sesuatu yang bisa memenuhi tuntutan kekinian mode.

Ketika perkumpulan pencinta kain Himpunan Wastraprema mengadakan gelar kain bertajuk Permata Cita di Musem Nasional pada awal bulan Oktober lalu, selain pameran kain Ibu Negara dan kain koleksi sejumlah individu, juga dipergelarkan upaya sejumlah perancang nasional membawa kain-kain Nusantara ke dalam konteks mode untuk konsumsi masa kini.

Iwan Tirta adalah seorang seniman batik nasional dan dengan kecintaannya pada ragam hias batik yang dibuat dalam ukuran besar, Iwan selalu menampilkan batik dalam sebuah bingkai gaun yang anggun, klasik, dan mewah. Penggunaan prada pada batik, yang menjadikan Iwan sebagai pelopor pembaruan batik, sudah memberi kesan mewah. Kali ini, selain menampilkan gaya busana gaun sarung pedang, antara lain pada gaun panjang bermotif bunga anyelir yang merupakan modifikasi motif batik jawa hokokai, Iwan juga menawarkan rok panjang bertumpuk yang dipadukan dengan blus bergaya jaket dalam motif batik.

Samuel Wattimena mengolah kain-kain tenun dari bagian timur Indonesia ke dalam gaun bergaya kemben dan busana laki-laki, sementara Denny Wirawan memakai kain-kain Sumba sebagai aksen pada baju-baju bergaya feminin. Rok pendek berbahan tenun dibuat mengembang dengan menggunakan tulle di bagian dalam. Ikat pinggang dari pita membuat gaun ini menjadi lebih feminin. Denny juga menggunakan bahan denim dengan kain tenun sebagai penghias bagian tepi gaun.

Ramli menawarkan padu padan kain panjang batik pesisiran dengan kebaya, sedangkan Poppy Dharsono dengan tema Return to Solo mengambil inspirasi dari baju beskap yang dimodifikasi sebagai blus perempuan dan dipadankan dengan rok panjang batik. Tema ini sebetulnya pernah digarap Iwan Tirta sekitar lima tahun lalu, tetapi beskap tampaknya masih terus menjadi magnet bagi perancang untuk mengolah lebih lanjut, seperti juga ketika Yves Saint Laurent menggarap jas bergaya tuxedo sebagai gaun perempuan.

Harry Darsono mengeluarkan koleksinya yang terinspirasi motif pesisir Jawa Timur dan motif-motif bergaya Cina. Kain tenun Bali dipadukan dengan atasan berbahan renda serta jaket pendek yang memberi kesan mewah yang menjadi ciri rancangan Harry. Perancang lain yang berpartisipasi adalah Ghea Panggabean, Carmanita, Oscar Lawalata, dan Thomas Sigar.

Melihat berbagai peluang kain Nusantara untuk diartikulasikan ke dalam berbagai baju yang mengikuti perkembangan mode, rasanya tidak berlebihan untuk berharap bahwa kain yang tumbuh dan berkembang bersama tradisi masyarakat Indonesia akan bertahan untuk waktu yang panjang pada masa depan. Persoalan yang mungkin akan muncul selanjutnya adalah perebutan antara aspek komersial serta nilai-nilai kesakralan yang selama

Tidak ada komentar: