Meraih Kembali Masa Kejayaan Batik Lasem

"SEKARANG jarang yang membuat batik lasem. Saya tinggal punya tiga potong. Itu pun kulakan (pembelian) lama."

KHOIRIYAH (65), seorang pedagang pakaian di Pasar Lasem, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), menyampaikan hal itu sambil menunjukkan motif kawung dari sepotong kain batik lasem. Kain itu dia jual seharga Rp 65.000 per potong kepada pembeli. "Kain ini murah karena batikannya biasa. Tidak halus," ujarnya.

Menurut perempuan yang dulu juga berprofesi sebagai pembatik ini, sekarang sudah jarang orang yang membatik kain di Lasem, sebuah kecamatan yang kaya dengan tradisi, khususnya tradisi Tionghoa, di Kabupaten Rembang. Pembatik kain batik lasem kebanyakan adalah keturunan Tionghoa dan sekarang mereka umumnya sudah tua.

Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang lebih 13 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari luar daerah selalu transit di Terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur kendaraan, dan bukan Rembang. Misalnya, bus jalur Semarang-Lasem.

DI Lasem, konon lebih dari 200 tahun yang lalu, datanglah orang Tionghoa yang kemudian menghuni wilayah ini hingga keturunannya sekarang. Peninggalan pendatang Tionghoa itu masih terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah yang ada di daerah tersebut.

Di kota ini berderet bangunan tinggi besar yang kokoh. Dari luar tampak seperti bangunan biasa dengan tembok yang tinggi. Namun, ketika masuk ke dalamnya, terlihat sesuatu yang lain. Ukiran naga pada pintu-pintu besar, serta adanya altar tempat abu jenazah, memperlihatkan dengan jelas bahwa bangunan ini kental dengan nuansa Tionghoa yang disebut omah ombo karena besar dan luas. Misalnya saja rumah yang sekarang ditempati oleh Liem Gwat Nio (81) atau biasa dipanggil Oma Gwat yang terletak di Jalan Dasun, Lasem.

Menurut perempuan yang masih terlihat energik kalau berbicara ini, moyangnya adalah pelaut yang terdampar di Indonesia. Konon, mereka adalah pedagang candu yang kaya. Kisah masuknya etnis Tionghoa di daerah ini bahkan sempat diabadikan dalam film berjudul Ca Bau Kan karya Remy Silado. Orang ini juga yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan teknik batik tulis di Lasem, yang kemudian terkenal dengan batik lasem.

Menurut penuturan beberapa warga, dahulu batik lasem sangat terkenal. Jenis batik tulis, yaitu batik hasil lukisan tangan pada sepotong kain dengan menggunakan canting-alat lukis yang berfungsi sebagai pena-dan malam, jenis lilin yang berfungsi sebagai tinta untuk membatik, ini mempunyai nilai seni yang tinggi. Tak heran jika harga kain batik lasem mahal.

Nilai seni batik tulis lasem terletak pada motif dan kehalusannya dan bersifat relatif. Motif kain batik lasem bermacam-macam. Sedikitnya ada lima motif, yaitu tiga negeri, empat negeri, kawung, rawan, dan kendoro-kendiri.

Pembuatan batik dilakukan secara kumulatif, artinya masing-masing orang mengerjakan satu tahapan dalam jumlah banyak. Untuk menyelesaikan 100 potong kain batik tulis, dengan 20 tenaga kerja, waktu yang diperlukan sekitar dua bulan. Pembatikan itu melalui berbagai tahapan, mulai dari pembuatan pola (nglengkreng), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), dan mewarnai (nerusi).

Tahap nerusi ini bisa mencapai tiga kali proses, bergantung pada berapa warna yang digunakan. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama pula prosesnya.

"Per potong kain rata-rata dijual seharga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Ada juga yang lebih mahal, sampai Rp 1.000.000. Tetapi, hanya kain yang benar-benar istimewa, baik dari kehalusan batikan maupun motifnya," ungkap Purnomo, pemilik perusahaan batik tulis Cap Kuda di Lasem.

Menurut Purnomo, karena harganya yang mahal ini pula, batik tulis lasem mulai tergusur oleh batik cap atau batik printing yang harganya jauh lebih murah. Dahulu, perusahaan ini selalu kehabisan persediaan. Sekarang penjualan hanya rata-rata sekitar 20 potong setiap bulan.

"Sejak munculnya batik printing di era 1990-an, kondisi batik tulis lasem menjadi lesu," lanjut pria ini di tokonya yang berisi sekitar 300 potong kain batik. Keadaan ini lebih diperparah oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Penjualan batik tulis menjadi sangat merosot dan akibatnya banyak perusahaan batik tulis yang terpaksa tutup.

Dari sekitar 100 perusahaan batik tulis yang dulu ada di daerah ini, sekarang yang masih bertahan kurang dari 10 perusahaan. Salah satunya adalah milik Purnomo di Gedungmulyo, Lasem. "Boleh dibilang, kejayaan batik lasem sekarang tinggal 25 persen," lanjut Purnomo.

Selain karena faktor harga, kemunduran batik tulis lasem juga disebabkan oleh kehilangan generasi yang menekuni profesi ini. Umumnya angkatan muda dari Lasem lebih memilih merantau daripada mempertahankan tradisi membatik.

Purnomo, ayah tiga anak, mengakui, hingga sekarang tidak mempunyai penerus tradisi sehingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan usahanya kelak.

AKIBAT lesunya industri batik tulis ini, banyak pekerja yang umumnya adalah warga pribumi beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perikanan. Ada juga yang berusaha membuat industri batik tulis kecil-kecilan, yang kemudian dijual sendiri di pasar. Tentu dengan harga lebih murah.

Menghadapi kenyataan ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang berencana untuk mengangkat kembali batik tulis lasem. "Dalam jangka panjang kami berupaya agar batik lasem kembali terkenal dan jaya seperti dulu," ungkap Bupati Rembang Hendarsono.

Upaya yang ditempuh Pemkab Rembang adalah dengan mempromosikan batik tulis lasem ke dunia luar. Untuk mengurangi tingkat kemahalan batik tulis, upaya yang ditempuh adalah membuat produk pakaian dengan kombinasi batik tulis lasem dan kain biasa.

"Kami bekerja sama dengan desainer dari Kota Solo dan Rembang untuk membuat model pakaian casual dengan kombinasi kedua kain tersebut. Ini bisa membuat harga batik lasem lebih murah dan digemari masyarakat," lanjut Hendarsono.

Upaya ini mulai ditempuh sejak dua bulan lalu. Promosi terutama dilakukan di Jakarta dengan memanfaatkan media elektronik televisi swasta. Menurut Hendarsono, langkah ini memang masih awal, tetapi nantinya diharapkan akan memberi hasil yang baik.

Ia berharap batik lasem bisa meraih kejayaannya kembali. Bukan hanya dipakai dan digemari banyak orang, tetapi juga bisa menghidupi banyak orang. Batik lasem diharapkan bisa kembali menjadi "lokomotif" perekonomian Rembang. (SIWI NURBIAJANTI)

Tidak ada komentar: