Berburu Kain di Kota Kartini

Jakarta – Ada dua kota yang pernah ditinggali Kartini. Masa kecilnya ia habiskan di Jepara, sebagai salah satu putri dari RM Sosroningrat (Bupati Jepara ketika itu) dan ketika menikah, ia pindah ke Rembang, tempat suaminya, Raden Adipati Djojodiningrat, ditugaskan sebagai bupati.

Dua kota itu menyimpan tradisi kain tradisional yang menarik perhatian sejumlah sosialita Jakarta yang tergabung di Yayasan Warna-Warni Indonesia ketika melakukan perjalanan ke kota Kartini pada 25—27 April lalu.

Sesungguhnya, perjalanan itu berupa napak tilas tempat-tempat yang pernah disebutkan Kartini dalam suratnya kepada salah seorang sahabatnya yang berkewarganegaraan Belanda, Abendanon (ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda). Namun, ternyata dua kota itu bukan hanya menarik dari sisi sejarah Kartini saja. Kain tradisional mereka pun menjadi serbuan peserta perjalanan yang berjumlah lebih dari 100 orang itu.

Di kota pertama, Jepara, ditemukanlah kain tenun troso yang persebarannya sudah mendunia. Salah seorang perajin, yang didatangkan dari Desa Troso ke pendopo Kabupaten Jepara (dahulu pendopo ini adalah bagian dari rumah keluarga Kartini yang kini ditempati bupati Jepara), adalah Hisyam Abdul Rahman yang baru-baru ini unjuk keahlian membuat kain atbm (alat tenun bukan mesin) yang lebarnya enam meter dan panjang 150 meter. Dengan karyawannya yang berjumlah 250, ia mengolah benang sampai menjadi pakaian. Sebanyak 60% produksinya diekspor ke luar negeri, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Brasil, Meksiko, Australia, Singapura, dan Uni Emirat Arab (Abu Dhabi).

Jumlah produksinya yang melimpah memungkinkan Hisyam amat produktif. Jika tenun tradisional lainnya menghasilkan satu kain dalam waktu tiga sampai dengan empat bulan, Hisyam bisa menghasilkan 15 potong kain dalam sehari. Rahasianya? “Satu alat tenun bisa menghasilkan 100 potong kain,” kata Hisyam yang ditemui tengah memeragakan alat tenun itu di hadapan pengunjung.

Rahasia lainnya, Hisyam terpaksa menggunakan warna-warna kimia demi mengejar jumlah produksi. “Kalau gerak cepat seperti ini pakai (pewarna) kimia, tapi saya bisa atur sehingga mendekati warna alam. Kalau menggunakan warna alam, tidak bisa menerima orderan (banyak),” tuturnya.

Sayangnya, pakaian yang dirancang Hisyam masih terlalu konvensional, hanya berupa jas dan kemeja lengan panjang atau pendek untuk laki-laki, serta blazer untuk perempuan. Berbeda ketika tenun troso, yang banyak disangka sebagai kerajinan khas Bali, mendapat sentuhan tangan perancang dari Jakarta. Yani Somali, perancang langganan sosialita Jakarta, mengubah tenun troso itu menjadi blus dengan banyak model, terutama potongan babydoll yang sedang digandrungi, atau sekadar blue bersiluet longgar dengan lengan balon. Siapa tahu, usai melihat karya Yani Somali ini, Hisyam mendapat pencerahan untuk merancang model pakaian yang lebih beragam.

Lasem
Berbeda dengan tenun troso yang jumlah produksinya melimpah, batik Lasem justru sebaliknya. Lasem, salah satu wilayah di Kabupaten Rembang, kabupaten yang menjadi tujuan kedua Yayasan Warna-Warni Indonesia, masih mempertahankan tradisi batik tulis. Menurut Santoso Hartono, salah seorang pengusaha, batik Lasem memiliki keunikan. Mereka juga punya motif sekar jagad, brayo, bintangan, atau parangan, tapi semua dicampur aduk.

Ciri lainnya adalah penggunaan warna. Lasem punya pakem empat warna, merah, hijau, biru, dan cokelat, yang menjadi ciri batik tiga negeri, atau tambahan violet (ungu) yang menjadi ciri batik empat negeri. Namun, belakangan para perajin menuruti selera pasar dengan menghilangkan warna cokelat.

“Cokelatnya saya buang, saya ambil yang merah. Orang Jakarta suka warna-warna kalem,” kata Santoso yang menjadikan Jakarta sebagai target pemasaran batiknya.
Santoso hanyalah satu dari 25 perajin batik di Lasem, dengan label batik Pusaka Beruang. Kini ia mempkerjakan 250 karyawan, 230 bekerja di tempat usahanya, 20 sisanya pekerja rumahan.

Di Lasem, tradisi membatik masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kaum tua, yang kebanyakan memilih bekerja di rumah.
Dibandingkan dengan perajin lainnya, Santoso terbilang baru. “Nenek saya dulu punya usaha batik, kemudian vakum sekitar 10 tahun. Saya melihat regenerasi batik, tidak ada yang mau (meneruskan). Saya kemudian masuk, saya kalkulasikan, ternyata kok bisa menambah pemasukan orang-orang Lasem,” katanya.

Regenerasi yang disebut Santoso itu memang kurang, kebanyakan anak muda Lasem memilih merantau ke Jakarta ketimbang meneruskan tradisi. Sebagai contoh, batik lasem melalui proses membatik yang cukup panjang pertama nglengkreng (membuat pola), nembok (menutup bagian yang tidak berpola), dan nerusi (mewarnai), tidak bisa dilakukan hanya oleh satu orang saja. Proses pertama itu kebanyakan yang mengerjakan adalah orang tua.

“Dalam tiga tahun, dari 10 pembatik, paling hanya lima yang kemudian bisa nglengkreng. Biasanya ibunya yang nglengkreng, kemudian anaknya yang nerusi,” kata Santoso yang per bulannya menghasilkan 1.400 batik. Namun, masih beruntung pula, banyak perempuan merantau yang telah menikah, kembali lagi ke Lasem, dan membatik lagi.

Usaha mempertahankan tradisi itu yang akhirnya membuat batik lasem lebih mahal dibandingkan batik cetakan dari Solo, Jogja, atau Pekalongan. Oleh perajin, satu lembar batik yang dijual pada kunjungan Yayasan Warna-Warni itu paling murah Rp 150.000, meskipun pada akhirnya menjelang pameran berakhir, harga dibanting sampai Rp 90.000. Itu untuk harga batik dengan motif sederhana dan satu warna aja. Itulah keuntungan yang diraih para pembatik di era menjamurnya batik dua tahun belakangan ini.

“Dulu yang satu warna bisa dijual dengan harga Rp 50.000, sekarang dengan banyaknya permintaan harganya naik. Batik yang satu warna dijual Rp 80.000—Rp 90.000,” kata Santoso yang mendatangkan bahan katun dan pewarnanya dari Solo. Meskipun bisa dengan harga murah, yang laris manis di Jakarta justru yang harganya Rp 400.000, dengan dua atau tiga warna, atau yang paling mahal dalam pameran ketika itu adalah Rp 2,5 juta. n Oleh:Mila Novita

Tidak ada komentar: