Lebaran dengan Batik Banyumas

Lebaran dengan Batik Banyumas

Kampung Kebaon kondang sebagai pusat batik Banyumas di Kecamatan Sokaraja, Jawa Tengah. Tapi cobalah masuk ke gang sempit yang membelah kampung itu. Tak terlihat suasana sentra industri batik, tak ada juga jemuran kain batik basah sehabis dicelup, apalagi lembaran kain batik yang sudah jadi. Kalau masih penasaran, masuklah ke dalam rumah penduduk. Kalau beruntung, bisa bertemu dengan tiga orang penduduk semacam Nyonya Rohim, Nyonya Tohari, dan Nyonya Medi yang suntuk menorehkan canting di atas kain mori putih yang telah bergambar pola batik dari torehan pensil.

Nyonya Rohim dan kawannya hanya segelintir penduduk yang masih mau bergelut dengan canting dan malam sejak pukul delapan pagi hingga pukul empat petang. Kini hanya sekitar 23 orang semacam Nyonya Rohim yang tersisa. Padahal, dulu, pada 1970-an saat Batik Banyumas sedang berada pada masa keemasan, ada ratusan orang di Kampung Kebaon yang bekerja sebagai pembatik.

Kelurahan Kebaon terletak sekitar 10 kilometer dari kota Purwokerto. Kebaon memang tak jauh dari sentra industri batik lainnya di Jawa Tengah, yakni Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Tapi, itu pulalah masalahnya. Bak angin puting beliung, batik Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta menyapu bersih pasar tekstil di Banyumas dan sekitarnya. "Industri batik Banyumas mati," kata Taifur Anwar, Ketua Paguyuban Pengusaha Batik Banyumas.

Selama 10 tahun, batik tidak lagi muncul dari tangan terampil penduduk Kampung Kebaon. Penduduk seperti terputus dengan sejarah panjang batik di kampung itu. Tapi, rupanya batik tak sepenuhnya tercerabut dari ingatan dan mimpi penduduk. Gairah membatik batik mulai menggeliat pada 1980-an di Kebaon. Saat itu, segelintir penduduk sepakat meneruskan tradisi membatik yang pernah dikerjakan leluhur mereka, di antaranya Taifur Anwar dan Imam Munchasir. Imam Munchasir memilih usaha batik cetak untuk mengisi masa pensiunnya yang baru saja ia jalani selaku anggota DPRD Banyumas.

Sebagian besar pengusaha memang memilih batik cetak sebagai produksi utama. "Lebih praktis dan ekonomis," kata Taifur. Lagi pula batik cetak tak butuh tenaga kerja yang memiliki keterampilan membatik. Taifur menghasilkan 50 lembar batik cetak dengan biaya produksi Rp 23 ribu per lembar. Sebaliknya, batik tulis butuh pengerjaan lebih rumit sehingga butuh waktu lebih lama. Perajin yang bekerja untuk Taifur perlu waktu sebulan untuk menyelesaikan satu lembar batik tulis. Maklum, Taifur hanya punya dua perajin yang menguasai keterampilan menggarap batik tulis.

Hal ini pula yang menyebabkan batik tulis sulit dikembangkan, termasuk kesulitan modal. Kematian batik Kampung Kebaon yang hanya 10 tahun mampu mengikis keterampilan yang sudah mereka kuasai secara turun-temurun. Keterampilan membatik bak raib begitu saja, sehingga kini hanya segelintir penduduk Kebaon yang masih menyimpan kemampuan membatik. "Perajin batik tulis langka di sini," katanya.

Soal motif, Taifur dan perajin batik lainnya terpaksa berdamai dengan selera pasar. Mereka menggunakan motif batik Pekalongan yang dominan dengan warna cokelat, hitam, dan putih. Taifur tak mau batik Bayumas mati untuk kedua kalinya ketika penduduk lebih suka corak batik Pekalongan. "Wong maunya pasar seperti itu," katanya. Harganya juga bersaing. Untuk batik cap berukuran 2,5 meter dipatok dengan harga Rp 30 ribu, sedang batik tulis bisa mencapai Rp 600 ribu selembar.

Batik produksi kampung Kebaon perlahan mampu merambah pasar Tegal, Bumiayu, Cilacap, dan tentu saja Banyumas. Namun, untuk menembus pasar lebih luas, batik Banyumas masih kalah pamor dengan batik Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Taifur pun cukup puas dengan omzet usaha sekitar Rp 25-30 juta sebulan.

Taifur bersyukur usaha batik bisa menjaga dapurnya tetap mengepul. Apalagi menjelang Lebaran seperti sekarang ini, permintaan batik meningkat rata-rata naik 40 persen dari hari biasa. Sayang lonjakan permintaan tak bisa sepenuhnya dipenuhi karena butuh modal tak sedikit. Penduduk pernah mendapat bantuan berupa pinjaman berbunga rendah sebesar Rp 10 juta dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Pinjaman yang baru pertama itu terealisasi setahun silam. "Jelas jumlah itu tak memadai untuk mengembangkan usaha batik," kata Taifur. ari aji hs

Tidak ada komentar: