Belajar Sejarah Batik di Galeri Danar Hadi

Perkembangan batik sepanjang tahun 2008 ini di luar dugaan. Batik menjadi tren busana, bukan hanya dikenakan oleh ibu-ibu dalam bentuk kain, tapi juga para sosialita yang sudah berbentuk gaun berpotongan internasional.

Kita pun berani jalan sendiri, mengedepankan batik di kancah mode, meskipun tidak sesuai dengan tren yang ada di kota mode dunia seperti Paris, Milan, dan New York. Ini seperti cita-cita Afif Syakur, perancang batik asal Yogyakarta, dalam peragaan tunggalnya di Hotel Gran Melia, Jakarta, 2005 silam. Banyak yang menertawakan ide itu, tapi tidak sampai tiga tahun, orang yang menertawakannya harus gigit jari.

Bukan hanya Afif Syakur yang berjuang memopulerkan batik di tingkat nasional, atau mungkin internasional. Tapi, tahukah kita, batik apakah yang sedang kita kenakan? Batik memang melalui proses penciptaan yang unik, bukan sembarang motif dan warna, setiap batik merupakan pengejawantahan pola pikir manusia di zamannya. Semuanya melalui proses yang tidak sederhana. Kesakralan batik motif parang rusak, misalnya, menjadi bagian ketidaksederhanaan itu.

Menurut Asti Suryo Astuti, Asisten Manajer Galeri Batik Kuno Danar Hadi, Solo, Jawa Tengah, yang menjadi bagian dari kompleks wisata House Of Danar Hadi di Jalan Slamet Riyadi, motif itu diciptakan oleh Panembahan Senopati dalam sebuah perjalanan suci ketika hendak mendirikan Kerajaan Mataram.

“Dalam perjalanan itu, Panembahan Senopati melihat pereng-pereng (tebing) yang rusak akibat terjangan ombak. Itu yang mengilhami terciptanya motif parang rusak. Karena diciptakan oleh Panembahan Senopati, motif ini hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan,” kata Asti ketika membawa sejumlah wartawan mengelilingi Galeri Batik Kuno Danar Hadi dalam peresmian House of Danar Hadi, Jumat (22/8) silam.

Kesakralan itu masih bertahan sampai sekarang. Memang, motif parang rusak saat ini tersebar di mana-mana, namun antara motif parang rusak untuk keluarga kerajaan dan untuk dijual di pasar bebas ada perbedaannya, entah itu kesejajaran motif atau pilihan warna.

Batik Pengaruh Asing
Ketika budaya asing masuk ke tanah Jawa, batik kemudian berkembang pesat. Muncul pula batik variasi yang penggunaannya meluas. Penjelasan itu juga dimuat di Galeri Batik Kuno Danar Hadi. Setiap kain yang dipamerkan ada penjelasannya.

Dimulai dengan batik Belanda yang berkembang dari tahun 1840 sampai dengan 1910. “Batik ini dikembangkan oleh perempuan-perempuan keturunan Belanda dan dikerjakan oleh orang-orang desa di sekitar Pekalongan. Pelopornya Catharina Carolina van Oosterom, tapi yang paling terkenal adalah Liez Metzlar,” kata Asti menjelaskan.

Ciri khas batik ini terletak pada pola yang berupa bunga, dedaunan, dan binatang seperti bangau, burung-burung kecil, kupu-kupu, bahkan ilustrasi cerita-cerita dari Eropa antara lain Puteri Salju, Si Topi Merah, Hansel and Gretel. Warnanya berbeda dari batik keraton yang umumnya cokelat, krem, putih, dan hitam. Batik Belanda memiliki warna-warna cerah, dari merah, biru, hijau, oranye, meskipun tetap menggunakan warna soga (warna cokelat yang berasal dari pohon soga). Sayangnya, pembuatan batik Belanda ini berhenti pada tahun 1940-an, ketika Jepang mulai menguasai Indonesia.

Usai perkembangan pesat batik Belanda yang sampai tahun 1910, muncullah batik China. Batik yang berkembang di Kudus, Pekalongan, Lasem, Cirebon, dan Demak ini memiliki ciri khas motif yang berupa karakter-karakter dari mitos, antara lain naga, phoenix, kilin (singa berkepala anjing), dan singa. Seeprti batik Belanda, batik China didominasi warna cerah, terutama biru dan merah, atau paduan keduanya. Awalnya, batik China digunakan untuk keperluan upacara keagamaan berbentuk sarung, kain, dan kain altar. Batik China kemudian berkembang lagi dengan motif yang lebih banyak, mengikuti pola batik Belanda, antara lain bunga-bungaan, dedaunan, burung-burungan, dan kupu-kupu, disertai dengan isen (motif isi) yang sangat halus.

Dari batik Chinalah berkembang batik yang disebut dengan batik tiga negeri atau batik dua negeri. Disebut demikian karena satu kain batik diproduksi di tiga atau dua tempat yang berbeda. Batik tiga negeri, yang sangat terkenal di antara kain batik China, dibuat di Lasem untuk pencelupan warna merah, di Kudus atau Pekalongan untuk warna biru, dan di Surakarta atau Yogyakarta untuk warna soga. Sementara batik dua negeri dibuat di Lasem dan Kudus atau Pekalongan saja.

Satu lagi budaya asing yang berpengaruh kental terhadap perkembangan batik adalah India, batik nitik dan batik sembagi namanya. Batik nitik yang dibuat awal abad ke-19 mengikuti pola kain patola (atau di Indonesia dikenal dengan kain cinde) yang diimpor dari Gujarat, India. Pada perkembangannya, batik ini berkembang menjadi dua, di pesisiran seperti Pekalongan, batik ini dikenal sebagai batik Jlamprang dengan warna-warna yang khas Pantai Utara, sementara di Yogyakarta dan Surakarta disebut dengan batik nitik dengan warna-warna yang dominan cokelat. Batik nitik yang hanya dibuat dalam bentuk kain sampai saat ini masih digunakan untuk ritual dan upacara pernikahan tradisi Jawa.

Masih dari India, ada batik sembagi yang dipengaruhi oleh motif kain Chintz atau kain sembagi dari pantai Koromandel yang terletak di sebelah tenggara Semenanjung India. Kain ini sangat digemari oleh para bangsawan, masyarakat Indo-belanda, China, dan masyakarat pribumi kelas atas.

Ketika terjadi penurunan impor kain sembagi, sementara permintaan tetap banyak, dibuatlah kain batik dengan motif kain sembagi oleh perajin-perajin batik dari Lasem dan Cirebon yang kebanyakan keturunan China. Kain-kain ini juga sangat digemari orang Sumatera, terutama Jambi dan Palembang, sehingga motif ini juga terlihat pada batik dari Jambi.n

Tidak ada komentar: