Semangat Batik Sepanjang Masa

Niniek Elia Kasigit (78) mengenal bisnis batik sejak kanak-kanak. Ibu dan neneknya menggeluti usaha batik di Kota Solo, Jawa Tengah. Bisnis batik keluarga ini berakar jauh pada abad ke-19. Dengan semangat dan kreativitas yang tak pernah digerogoti usia, dia mempertahankan tradisi bisnis batik itu melewati pergantian abad dan jungkir balik selera.

Ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942, pabrik batik keluarga Niniek ditutup. Pada usia 12 tahun, ia pun berhenti sekolah karena Jepang menutup sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

Namun, berhenti sekolah tak memadamkan semangat belajarnya. Niniek melanjutkan belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan Mandarin secara informal, sekaligus menekuni keterampilan menjahit.

Pada usia 18 tahun, Niniek menikah dengan Somadi Kasigit yang juga berasal dari keluarga pengusaha batik di Solo. Setahun sebelum menikahi Niniek, Somadi mendirikan perusahaan Batik Bodronoyo pada 1947. Bodronoyo adalah nama lain Semar, tokoh panutan dalam pewayangan.

Tahun 1966 nama Batik Bodronoyo diganti menjadi Batik Semar karena nama Semar lebih akrab di masyarakat. Sampai sekarang Batik Semar menjadi salah satu produsen dan eksportir batik utama di Solo.

"Dulu, ibu saya membuat jarik (kain panjang) batik cap. Ketika mulai usaha sendiri, cap-cap dari perusahaan orangtua saya simpan,
kami buat batik tulis," ujar Ny Kasigit, panggilan Niniek.

Cap pada pembatikan dibuat dari kawat tembaga yang membentuk satu blok motif sebagai pengganti canting, alat lukis batik. Produksi batik cap volumenya lebih besar dibandingkan dengan batik tulis agar lebih ekonomis.

Mahalnya harga kain pascapenjajahan Jepang menjadi tantangan berat bagi produsen batik. Pasangan Niniek-Kasigit memilih memproduksi batik tulis dengan sejumlah pembatik di bengkel yang juga menjadi rumah tinggal mereka masa itu. "Batik kami waktu itu seluruhnya bercorak solo asli warna sogan."

Ketika perusahaan mulai berjalan, agresi militer Belanda tahun 1949 memaksa keluarga Kasigit mengungsi ke Surabaya. Di pengungsian, pasangan ini menggandeng beberapa pembatik dari Sidoarjo, memperkenalkan corak solo, dan menjual produksi mereka di sekitar Surabaya.

"Usaha di Surabaya tak berkembang, sulit mencari pembatik, juga karena tempat usahanya di pengungsian," tutur Ny Kasigit.

Kembali ke Solo awal 1950, pasangan ini memulai lagi produksi batik dengan lima karyawan. Kombinasi produksi batik tulis dengan cap baru dilakukan tahun 1953 setelah modal bertambah. "Sekitar tahun 1953 pengusaha batik di Solo juga terbantu karena
dapat jatah pembelian kain mori dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia," ujarnya.

Tahun 1954 mereka menyewalahan seluas hampir 5.000 meter persegi di kawasan Punggawan, Solo. Seiring perkembangan usaha, lahan ini mereka beli di kemudian hari. "Saya bagian ngurus pembatik, suami menyiapkan bahan-bahan warna
dan cari pasar," ujar Niniek tentang pembagian kerja dengan suami, masa itu.

Penyegaran

Menjelang tahun 1960 dia merasa perlu penyegaran kreasi pada batik. "Saya kok kayak bosen, terus kepikir kasih warna-warna lain,
tidak hanya sogan," ujarnya.

Perubahan warna juga mendorong adopsi beragam corak batik dari daerah lain. Namun, perubahan menuntut energi lebih. "Sampai saya tumpuk kain-kain yang sudah dibatik, menunggu warnanya siap. Wis embuh, rusak yo embuh," katanya menceritakan upaya memaksa suaminya mencari warna baru dengan membiarkan hasil pembatikan menumpuk dan terancam rusak.

Pasar menyambut baik kreasi baru ini. Dari 5 karyawan ketika berdiri, Batik Semar berkembang dengan sekitar 200 karyawan pada 1960-an.

Sejak abad ke-19, teknik printing yang diimpor dari Eropa untuk membuat kain bermotif batik mulai berkembang di Indonesia. Pasar pun menuntut produk batik yang lebih murah.

Membaca situasi ini, pada 1972 Batik Semar memproduksi kain cetakan bermotif batik. Produksi printing itu khusus untuk bahan
kemeja, sedangkan batik tulis dan cap tetap dikembangkan. "Setelah punya unit printing, kami baru buka toko dan memproduksi
garmen, bukan hanya batik," ujarnya. Sekarang Batik Semar mempunyai toko dan kantor cabang di 20 kota di Indonesia.

Tahun 1983 Somadi meninggal, dan Niniek terus mengembangkan Batik Semar. Sejak 1989 perusahaan ini mengekspor garmen dan kerajinan tangan berbahan batik ke Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia.

Habis terbakar

Ketika bisnis Batik Semar membesar, ruang pamer utama, bengkel produksi batik tulis, dan rumah tinggal Niniek dalam satu kompleks di Punggawan terbakar habis pada 2002. Kebakaran ini menghanguskan pula koleksi batik kuno yang diproduksi orangtuanya.

Di sini Niniek membuktikan kreativitas dan semangat kerja kerasnya tak terpatahkan. Hanya tiga bulan tutup, Batik Semar membuka toko lagi di bekas pabrik tekstil milik mendiang Somadi Kasigit di Jalan Adisucipto, Solo. Unit printing Batik Semar kembali berproduksi. Untuk batik tulis dan cap, dia bekerja sama dengan sejumlah perajin di sekitar Kota Solo.

Pelan-pelan dia memulihkan usahanya. Tahun 2006 ruang pamer utama Batik Semar selesai dibangun dengan konsep dan tatanan baru.

Kini dia menjadi Komisaris Utama PT Batik Semar. Niniek berkantor selama jam kerja dari Senin hingga Sabtu meski manajemen hanya berkantor Senin sampai Jumat. Desain motif pun tak luput dari perhatiannya. "Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu," ujarnya.

Bepergian menjadi resep untuk menyegarkan pikiran sekaligus mencari inspirasi desain baru. Ia mulai bepergian ketika mengurus
keikutsertaan Batik Semar pada berbagai pameran di luar negeri. "Sekali-sekali saya ikut jalan-jalan dan oleh-olehnya buku
desain dan inspirasi motif baru," ujarnya.

Usia yang terus bertambah tak menyurutkan semangat belajar Niniek. Itu pun tak hanya dalam lingkup yang berkaitan dengan Batik Semar. Ketika keempat anaknya kuliah di Jerman, misalnya, Niniek pun ikut belajar bahasa Jerman.

Kadang saya pusing mikir motif batik, tapi saya enggak pernah bisa lari dari itu.
Nur Hidayati

Tidak ada komentar: