Edo Melangkah Lagi

Perancang busana Edward ”Edo” Hutabarat kini melangkah lagi, dua tahun setelah dia membuat batik katun yang bertahun-tahun kalah pamor dibandingkan dengan batik sutra menjadi mode kembali.

Edo tetap memakai batik, kali ini di atas sutra, mulai dari crepe de Chine, satin, hingga organdi. Pembatikan dikerjakan dengan cara tulis dan cap, tetapi dengan tingkat kehalusan prima. ”Batik harus juga tampil mewah dan diterima lebih luas lagi,” kata dia.

Sebelum Edo, batik sudah coba diangkat pamornya menjadi produk mewah. Iwan Tirta memperkenalkan batik sutra dengan prada emas. Sementara Edo menyasar orang muda dan yang merasa muda, meskipun dia menggunakan sutra.

Berulang kali Edo menekankan dia bukan pembatik. Tetapi, minat yang sungguh-sungguh pada batik terasa dalam karyanya. Gaun malam panjang dan pendek atau gaun dan jaket untuk siang hari terlihat dirancang sejak masih berupa selembar kain kosong tanpa motif.

Gaun panjang bermotif parang di atas organdi, misalnya, dibatik cap di atas kain selebar 1,5 meter sepanjang 5 meter untuk menghasilkan satu gaun berpotongan A dengan rok melingkar penuh. ”Tiap lembar kain menjadi satu gaun,” papar Edo.

Dia meminjam banyak motif batik tua, seperti motif buketan—dari kata bouquet, karangan bunga—yang dipopulerkan pada awal abad ke-20 oleh pengusaha batik pesisir keturunan Tionghoa atau peranakan Indo-Belanda untuk keperluan perempuan Belanda atau Indo-Belanda di Jawa.

Juga motif hokokai, populer saat invasi Jepang ke Jawa, yang ditandai oleh motif bunga krisan dan kupu-kupu serta motif banji dan motif mitologi ”anjing-singa” kilin.

Berbagai bangsa

Pilihan MasterCard Asia Pasifik menampilkan karya terbaru Edo di Bali pada Sabtu (15/11) malam dengan tamu dari berbagai bangsa itu memperlihatkan batik Indonesia diakui dan dapat diterima secara internasional.

Karena alasan itu, Edo menggunakan materi yang lebih mewah, yaitu sutra, serta pembatikan tulis maupun cap yang dikerjakan oleh artisan-artisan batik yang ahli di bidangnya masing-masing.

Laweyan yang terkenal karena kualitas batik capnya diserahi membuat batik cap dan pembatik di Kauman diminta membuat batik tulis halus warna sogan bermotif hokokai. Sedangkan artisan batik di Pekalongan diminta membuat batik gaya pesisiran yang memang menjadi keahlian mereka, dengan warna diperbarui.

Edo terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan padu-padan dengan materi nonbatik untuk menghasilkan tampilan baru. Dia melakukannya dengan memadukan batik bermotif parang hitam dan putih dengan mantel sutra bermotif bunga merah jambu. Gaun bermotif parang hitam-putih diberi pundak motif bergaris dan mantel bermotif polkadot.

Padu padan ini juga untuk memberi kemungkinan penggunaan yang luas, termasuk ketika dia membuat kerah palsu merah darah yang dapat dilepas yang dipadukan dengan gaun bergaris A motif banji. Warna-warna cerah yang disesuaikan dengan arah mode membuat gaun-gaun ini tampak riang dan muda.

Itulah keyakinan Edo. Orang muda adalah pembawa perubahan dan melalui mereka demam batik dapat bertahan. Artinya, ketika orang terus mau memakai batik—bukan kain print bermotif batik—para perajin batik dapat terus hidup di tengah impitan ekonomi yang saat ini tak tampak cerah.

Ninuk Mardiana Pambudy

Tidak ada komentar: