Menyelamatkan Batik Lewat Nila

Mungkin kita pernah mendengar mengenai warna-warna alam yang sering dipakai nenek moyang kita dahulu. Warna putih dari kapur, merah dari tanah liat. Tapi bagaimana dengan warna nila

Ternyata warna nila banyak terdapat juga pada jenis batik. Salah satunya batik jenis Kelengan yang asli berasal dari Imogiri,Yogyakarta. Kekhasan batik ini jelas berasal dari warna nila dan putih yang dominan di dalamnya.

"Sebenarnya warna nila atau biru yang ada pada batik Kelengan berasal dari tumbuhan, dahulunya," ungkap Ir Dra Larasati Suliantoro Sulaiman. "Namun sayangnya sekarang warna nila datang dari bahan kimia, bukan berasal dari tumbuhan lagi," paparnya.

Kegundahan pada keaslian warna tersebut, yang kemudian mengantarkan Larasati untuk menelusuri sejarah. Namun sayangnya, tak ada satupun dokumentasi nasional yang pernah merekam ini. Pengetahuan tersebut ternyata hanya dari mulut ke mulut.

Hingga satu saat, ia menemukan satu literatur yang ditulis seorang Belanda dari abad 19. Di situ disebutkan kalau nila pada batik Kelengan benar dari tumbuhan. Walau dijelaskan tumbuhan jenis apa yang dipakai, sayangnya tak disebutkan bagaimana resep membuatnya.

"Ternyata warna biru yang khas pada batik Imogiri itu didapat dari tumbuhan nila yang banyak tumbuh di pekarangan, kebun, atau lahan yang relatif kering," cerita wanita yang tinggal di daerah Sleman ini.

Namun sekali lagi patut disayangkan, karena ternyata tumbuhan ini kini langka, padahal pasti menarik bila kita mendapatkan kembali warna batik alami, lewat keberlimpahan tumbuhan tersebut.

Menyadari hal itu, mulailah Larasati melakukan berbagai cara untuk melestarikan tanaman nila. Bersama kelompok paguyubannya, mulailah ia menggalakkan kembali penanaman tanaman ini.

Usahanya tersebut tak sia-sia. Walaupun ia baru memulai hal ini tahun 1999 lalu, kini sudah banyak manfaatnya, seperti minat dunia internasional mengenai warna pada batik tersebut. "Warna ini merupakan zat warna bejana, yang terkenal paling tahan dan paling sulit didapatkan, karena harus melalui proses fermentasi," urainya.

Berbagai pecinta warna nila pun kemudian datang berduyun-duyun ke rumahnya di dusun Jombor Kidul. Beberapa turis dari Jepang yang memang menyukai warna nila tercatat berulang kali menyambangi rumah Larasati hanya untuk mengetahui bagaimana ia bisa mendapatkan warna alami pada batik melalui tumbuhan.

Kehati Award
Kini di usianya yang sudah lanjut, Larasati terus berupaya melestarikan hal ini. Pantas rasanya, kalau Yayasan Kehati kemudian menganugerahinya penghargaan Kehati Award melalui kategori Citra Lestari Kehati, Kamis (16/11) pekan lalu.

Menurut Ismid Hadad selaku Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, penghargaan ini diberikan kepada Larasati karena jasanya mengangkat kembali budaya khas daerah Imogiri. "Selain juga memberikan manfaat ekonomi bagi perajin batik lokal yang bisa diekspor keluar negeri," pada saat pemberian hadiah di kompleks Sea World–Ancol, Jakarta.

Larasati masih meneruskan upayanya tersebut, melalui penanaman nila di perkebunan kopi Ambarawa. Manfaatnya amat terasa bagi masyarakat sekitar, karena banyak wanita di sana bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Selain itu, sekarang ia juga mendirikan museum batik darurat, karena museum yang pernah ada rusak karena gempa yang melanda Yogyakarta berapa waktu lalu.

Ia melengkapi mimpinya dengan merekonstruksi pasar Tiban, sebagai pasar untuk tujuan wisata, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam batik termasuk batik Kelengan dan batik-batik lain yang terus diupayakan pencarian warna alaminya. n

Tidak ada komentar: