Hendri Suprapto ; Natural Colour Batik Maestro

Obsesi pak guru untuk batik alami

Dalam sejarah fashion, batik mengalami pasang surut. Seni tradisional serapan dari negeri Tiongkok ini telah mengalami asimilasi budaya yang menghasilkan beragam corak unik Nusantara. Tak heran Malaysia pun berkoar budaya batik asli temuan mereka.

Batik telah berkembang di pesisir hingga pedalaman muara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB hingga Papua. Secara alamiah, seniman-seniman Nusantara berkreasi turun temurun mengekplorasi pola dan zat pewarna.

Tentu saja karena masih berkutat dengan zat pewarna alami, proses pewarnaannya butuh waktu lama. Untuk pencelupan saja butuh waktu 15-30 kali dengan warna yang monoton antara biru, coklat dan merah.

Meski tradisional dan cenderung itu-itu saja, komoditi ini begitu diminati dan penghasil duit yang tidak sedikit. Tak heran pemerintah Hindia Belanda sejak 22 April 1828 mewajibkan penanaman pohon Bixa orrellana (sumba) dan Indigofera tinctoria (nila) di sepanjang tepi jalan utama Pulau Jawa.

Namun zat pewarna alami ini kemudian tergusur habis sejak William Henry Perkin menemukan zat warna sintetis 48 tahun kemudian. Selain lebih praktis, corak warna pun lebih beragam.

Sejak itu hingga saat ini penjajahan terhadap industri batik terjadi. Para pembatik nrimo kecanduan memakai pewarna buatan. Mulai dari naphtol, direct, rapid, procion, remasol hingga indigosol.

Industri batik Indonesia baru sadar ketika Pemerintah Belanda dan Jerman sejak 1 Agustus 1996 secara resmi melarang masuknya produk pakaian termasuk batik yang memakai zat warna sintesis.

Pembatik kaget dan bingung di saat pemerintah mulai ngos-ngosan diterjang krisis politik dan ekonomi. Pembatik bingung mencari alternatif karena pewarna alami sudah terlalu terpinggirkan.

Pada sisi lain para peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik cenderung bekerja tanpa perhatian dan publikasi. Padahal penelitian itu dikerjakan sangat tekun.

Mulai dari Abdul Rachmat sejak 1952 sampai 1962 dilanjutkan SK. Sewan Soesanto hingga 1983 kemudian diteruskan Kun Lestari WF dan Hendri Suprapto. Tugas mereka berat karena dengan dana cekak harus meneliti hingga mengaplikasikan teknologi pewarnaan alami.

Mengelus dada

Saya berhasil menemui Hendri Suprapto di kediamannya yang susah-susah gampang mencapainya. Rumah kecil di dusun Ngentak Pelem, Bantul, Yogyakarta itu merangkap tempat tinggal, studio, pabrik sekaligus tempat kursus batik Bixa orrellana.

“Sampai sekarang juga masih banyak pembatik yang memakai pewarna sintetis. Pertama karena tak tahu. Kedua karena pemerintah juga cenderung diam. Kalau mikir pemerintah saya hanya mengelus dada,” ujar Hendri.

Pengajar di STMA Kusumonegoro, Yogyakarta ini sudah malang melintang ke seluruh Indonesia mengajarkan aplikasi pewarna alami. Dia bahkan diundang pihak Jepang, Australia dan Korsel untuk menjadi pembicara tentang pewarna alami.

Bagi kalangan tekstil dengan pewarna alami internasional, Hendri adalah maestro dari Indonesia. Dia bahkan berhasil mengemas zat pewarna alami dalam bentuk serbuk mirip susu instan atau kopi instan.

Tak heran setiap musim libur panjang tiba para wisatawan mancanegara berduyun-duyun berguru tentang pewarna alami pada Hendri. Mereka rela menggenjot sepeda belasan kilometer atau mondok di rumah-rumah penduduk di sekitar dusun tersebut.

Ketika kami berbincang salah satu murid Hendri, Gilen Tremblay mendekat. Perempuan asal Kanada itu dengan bahasa Indonesia yang medhok jawa itu meminta pendapat untuk membuat pola dan mewarnai selembar kain katun putih itu.

“Wah lebih cepet dibanding Napthol. Warnanya juga ndak kalah keren!” ujar kawan Elizabeth D Inandiak penerjemah sastra Jawa klasik Serat Centhini itu ketika mencelup dengan pewarna jenis indigo atau biru.

Dengan sistem ini zat pewarna alami ciptaan Hendri yang teknologinya tak lebih dari Rp200 juta itu lebih praktis, stabil, variatif serta pencelupan cukup dua sampai tiga kali dengan ketahanan luntur masuk kategori ISO 6330.

Karena alami limbah celupan batik milik Hendri malah digemari bebek-bebek tetangga atau semut penghuni pepohonan di sekeliling halamannya. Pencucinya praktis mulai dari cairan jeruk, asam hingga gula aren.

“Andai saja pemerintah lebih tanggap konflik masyarakat di sekitar sentra batik bakal terselesaikan karena tidak ada lagi sumur atau sungai yang berganti warna dan beracun karena tercemar logam berat,” ujar suami suami dari Sri Setyowati itu.

Dari sisi pendapatan pun, para pembatik akan mendapatkan penawaran harga yang lebih baik karena produsen luar negeri seiring tren back to nature sangat menghargai produk batik pewarna alami.

Artinya berapa pun jumlah atau harga yang ditawarkan sepanjang produk itu ramah lingkungan dan memiliki nilai unik pasti akan diborong para pembeli dari negara-negara makmur.

Menurut bapak dari Yuhad Bagus Purnama, Arif Wicaksono, dan Hana Indah Pertiwi itu, 95% produk yang dijual pada rentang harga Rp100 ribu hingga Rp5 juta tersebut laris diserap pasar Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.

Pemerintah Indonesia, bagaimana?

Tidak ada komentar: