Mereka Tak Ingin Batik Lasem Punah

Pengusaha menghadapi masalah kekurangan modal, pemasaran yang susah, hingga kurang tercukupinya tenaga pembatik.

Kediaman berarsitektur Cina milik Naomi Susilowati Setiono di lorong jalan Desa Karangturi, Lasem, terlihat lumayan ramai. Tampak beberapa orang sibuk bekerja di sebuah ruang yang tak begitu besar di bagian samping rumah. Kain-kain batik berserakan. Sementara itu, di pojok ruang depan, terlihat beberapa sepeda onthel milik orang-orang yang bekerja di tempat Naomi.

"Sebenarnya ada 120 orang," ujar perempuan 45 tahun itu saat menyebut jumlah orang yang bekerja di tempatnya. "Sebanyak 100 orang mengerjakan di rumah masing-masing. Sisanya tidak masuk kerja." Ada 10 orang bekerja hari itu. Ada yang nglengkreng (membuat pola), nerus (mengopi pola di baliknya), nembok (menutup bagian yang tidak berpola), ngelir (mewarnai), dan nglorot (mencuci kain untuk menghilangkan bahan membatik).

Meski demikian, usaha Naomi bukanlah usaha besar. "Usaha ini bisa berputar saja saya sudah senang," katanya saat ditemui pekan silam.

Naomi berusaha keras mempertahankan usaha yang dirintis oleh leluhurnya yang pernah jaya, memproduksi batik khas Lasem, dengan nama Maranatha Batik. Usaha Naomi sendiri adalah warisan dari bapaknya, Ong Liang Djie, penerus Ong Oen Hwie, yang mendapat warisan dari Ong Jok Thai yang hidup pada 1800-an.

Naomi menyimpan batik-batiknya di lemari di dalam kamar dan baru dikeluarkan kalau ada pembeli atau pemesan datang.

Naomi telah jatuh-bangun dalam upaya mempertahankan usaha ini. Tak hanya dia, pengusaha batik lain, Santoso Hartono, pun merasakan hal yang sama.

Showroom batik Pusaka Beruang milik Santoso yang berukuran 6 x 8 meter di Jalan Jatirogo, Lasem, tutup. "Barangnya lagi kosong," ujar Santoso. Sebab, batik yang diproduksi Santoso masih sangat terbatas.

Santoso meneruskan usaha yang dirintis kakeknya, Tjian Liok Jang Nio, yang kemudian turun ke ibunya, J. Frida.

Usaha Santoso sempat tutup. Baru tiga tahun silam, showroom-nya kembali dirintis. Tak sia-sia, kini ia mampu berproduksi setidaknya 300 lembar kain dalam sebulan dengan harga Rp 75-750 ribu per potong. Ia mempekerjakan 145 orang, termasuk pembatik, dengan 20 orang bekerja di rumahnya, yang juga menjadi kantor dan showroom.

Kondisi ini dirasa memprihatinkan. Kota Lasem, sekitar 15 kilometer dari Rembang, begitu terkenal sebagai pusat batik sejak abad ke-14. Dalam buku karya perancang Iwan Tirta berjudul Batik, a Play of Light and Shades disebutkan, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, batik Lasem menguasai Nusantara.

Namun, lambat-laun kejayaan tersebut memudar. Menurut Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Rembang Sadono, di Lasem sekarang hanya tinggal 30 unit usaha batik tradisional. Mereka tersebar di delapan desa, yakni Jolotundo, Sumbergirang, Karangturi, Ngemplak, Sodetan, Babagan, Gedongmulyo, dan Karas Kepah.

Padahal pada 1950-an, menurut Sadono, tercatat terdapat 140 pengusaha dan terus merosot menjadi 70 pengusaha pada 1970.

Masalah yang dihadapi, menurut para pengusaha, dari modal yang kurang, pemasaran yang susah, hingga kurang tercukupinya tenaga pembatik.

"Banyak kaum muda lebih memilih jaga toko dibanding menjadi tenaga pembatik," kata Naomi.

Meski susah, kebanyakan pengusaha tak ingin bisnis batik ini mati. "Kami hanya mempertahankan agar Lasem tidak terhapus dalam sejarah," ujar Santoso.

Demikian pula dengan Naomi. "Kami tak ingin batik Lasem punah," katanya.

Jatuh-bangun pun ia jalani untuk tujuan tersebut. Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, usahanya seret. "Hampir setahun kami menghentikan usaha," kata ibu tiga anak ini.

Namun, ia kembali bangkit. Kini, di buku tamunya, berjajar nama orang asing dari Singapura, Swiss, Inggris, Argentina, Prancis, sampai Jepang. Harga batiknya berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 3 juta dan omzetnya kini mencapai Rp 30 juta sebulan.

Kalau Naomi pasif, tidak demikian dengan Santoso. Pria 40 tahun ini gencar menjual batiknya. Pria yang mengaku telah 11 tahun mengenal batik ini kerap memanfaatkan acara-acara pameran di berbagai kota, seperti Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Ia juga aktif melobi sejumlah instansi pemerintah di Jawa Tengah untuk menggunakan batiknya. Hasilnya, omzetnya bisa mencapai Rp 100 sebulan. Batik Lasem pun belum segera punah. BANDELAN A

Batik Lasem, Batik Encim

Batik Lasem sudah ada sejak abad ke-14 dan lebih dikenal dengan nama batik encim. Ini karena perintisnya adalah warga Cina perantauan yang lama tinggal di Lasem. Pemakainya di zaman dulu juga kebanyakan keturunan Cina.

Menurut Slamet Muljana dalam buku Persada Sejarah Leluhur Majapahit, secara turun-temurun, hampir setiap orang Cina di Lasem membuka usaha batik. Adapun pembatiknya direkrut dari warga sekitar--petani yang menunggu musim tanam atau panen tiba.

Jenis batik Lasem ada dua, yakni batik tiga negeri dan empat negeri. Batik tiga negeri adalah batik dengan tiga warna: merah, biru, dan cokelat. Adapun batik empat negeri adalah batik yang diwarnai dengan warna merah, biru, cokelat, dan kuning.

Disebut tiga negeri karena, pada waktu awal usaha, batik Lasem dibuat oleh pembatik dari tiga daerah. Pembatik Lasem hanya bisa mewarnai merah darah ayam khas Lasem. Adapun untuk mewarnai batik dengan warna biru harus dibawa ke Kudus dan untuk cokelat harus dibawa ke Solo atau Yogyakarta. Sementara itu, yang empat negeri, ditambah warna kuning, bisa dikerjakan oleh orang Pekalongan. BANDELAN A

Tidak ada komentar: