Menghidupkan Kembali Batik Tanah Liek

Suatu hari pada 1993, Wirda Hanim yang sudah lama tinggal di Kota Padang mengikuti pesta adat di kampung asalnya, Kenagarian Sumani, Kabupaten Tanah Datar.

Ia melihat beberapa pria dan wanita memakai selendang batik tanah liat yang dalam bahasa Minang disebut “batik tanah liek”. Meski selendang tersebut sudah usang dan robek di sana-sini karena lapuk, namun mereka masih memakainya sebagai bagian dari pakaian adat tradisional Minangkabau.

Wirda melihat, mereka memakainya dengan sangat hati-hati, seperti menjaganya agar tidak robek. Setelah mencari informasi, barulah ia ketahui bahwa mereka melakukan hal seperti itu karena batik tanah liek sudah langka, sebab tak lagi dibuat orang sejak sekitar 70 tahun lalu.

Batik tanah liek adalah batik khas Minangkabau yang motifnya dibuat dari pewarna berbahan tanah liat. Tak ada catatan sejarah sejak kapan kerajinan batik tanah liek muncul di Sumatera Barat. Diduga batik ini muncul dari pengaruh kebudayaan Cina dan hanya dibuat beberapa orang perajin seperti di Tanah Datar. Tapi kerajinan ini hilang tanpa jejak sejak zaman peperangan, mungkin zaman pendudukan Jepang.

“Melihat keadaan seperti itu saya prihatin dan tergugah, timbul keinginan saya untuk memproduksi kain batik tanah liek seperti yang mereka pakai, ibarat pepatah Minang, saya ingin ‘mambangkik batang tarandam’ (mengangkat sesuatu yang sudah hilang-red),” kata Wirda Hanim.



Melakukan Eksperimen

Saat itu Wirda sudah memiliki usaha kerajinan bordir “Monalisa” di Padang yang ia rintis sejak 1986. Meski begitu, ia sangat awam tentang kerajinan batik, termasuk batik tanah liat. Namun ia tidak patah semangat.

Ia menemui guru batik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR, sekarang Sekolah Menengak Kejuruan atau SMK) dan meminta membantunya melakukan eksperimen, meniru batik tanah liek dengan bahan sintetis. Meski guru tersebut hanya menyuruh beberapa siswanya, Wirda tetap membiayai mereka untuk membeli kain dan obat-obatan membatik. Namun hasil para siswa ini tidak memuaskannya.

“Sambil menunggu jalan keluarnya, saya tetap mencari dan meniru motif-motif dari kain batik tanah liek kuno di kampung saya, motif kuno tersebut adalah kuda laut dan burung hong, di samping saya juga mengambil motif minang dari ukiran dan pakaian, serta membuat motif-motif baru yang sebagian perpaduan dari motif-motif itu,” katanya.

Enam bulan kemudian Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Sumatera Barat mengadakan pelatihan batik tanah liek untuk 20 orang peserta dari Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan. Meski tidak ada ‘jatah’ peserta untuk Kota Padang, Wirda memaksa ikut menjadi peserta dengan biaya sendiri.

Namun pelatihan tersebut dinilainya kurang memuaskan. Akhirnya ia pergi ke Yogyakarta untuk untuk belajar membatik di sana. Hanya beberapa hari di Yogyakarta karena tak bisa meninggalkan usaha bordirnya di Padang, Wirda meminta Dewan Batik Yogyakarta mengirimkan seorang pengajar batik ke Padang yang dikontraknya tiga bulan.

Sebelum pengajar batik ini dikirim ke Padang, Wirda menyuruhnya terlebih dulu membuat tiruan batik tanah liek dari contoh batik kuno yang ia bawa. Setelah batik itu selesai, pengajar batik tersebut bersama seorang muda yang dibawanya datang ke Padang dengan dibiayai Wirda.

“Sampai di Padang ternyata ternyata kain batik yang dibuat Bapak tersebut tidak seperti contoh yang saya harapkan, saya kecewa sekali, bahkan setelah dua setengah bulan ia bekerja dengan saya di Padang, tak satu lembar pun yang berhasil sesuai dengan warna batik tanah liek yang saya inginkan,” kenang Wirda.

Untuk melakukan eksperimen, ia telah menghabiskan dana lebih Rp20 juta yang ia pinjam kepada suaminya, Ruslan Majid, 71 tahun, seorang pedagang. Sebagian besar ia pergunakan untuk membeli kain sutra, obat-obatan batik, dan peralatan membatik. Namun eksperimen yang gagal dengan menghabiskan banyak uang itu tidak membuatnya putus asa.

Seminggu sebelum kontrak dengan pengajar batik dari Yogya tersebut berakhir, Wirda teringat pelajaran membuat warna hiasan kue ketika les membuat kue pengantin dan kue ulang tahun yang pernah diikutinya di Jakarta sebelumnya. Ia melakukan uji coba sendiri dengan warna-warna kimia untuk batik, mencari warna yang sesuai dengan batik tanah liek yang warnanya mirip tanah.

“Saya mencoba ke sepuluh lembar kain yang ukurannya masing-masing dua meter, akhirnya saya mendapatkan warna batik tanah liek, meski dari sepuluh lembar hanya dua lembar yang bagus,” katanya.

Mengambil Tanah Payau Dekat Rumah

Selama melakukan eksperimen Wirda tetap menggaji lima karyawannya khusus batik. Sejak itu ia mulai memproduksi batik tanah liek dari bahan sintetis. Untuk pemasaran ia mengaku banyak mendapat batuan dari Zuraida Hasan Basri Durin, istri Hasan Basri Durin, Gubernur Sumatera Barat waktu itu.

Zuraida mengkampanyekan agar anggota Darma Wanita dan Bundo Kanduang Sumatera Barat memakai batik tanah liek dalam berbagai acara. Bahkan jika tamu dari luar daerah datang Wirda diminta membawa batik tanah liek-nya ke hotel tempat para tamu menginap.

“Para tamu cukup tertarik dan berminat pada batik saya, sejak itu usaha batik saya menjadi membaik,” ujarnya.

Pada tahun 2000 Wirda diutus Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Barat mengikuti pelatihan pewarnaan alam di Yogyakarta yang diselenggarakan atas bantuan Jaica, Jepang, selama sebulan.

Sejak itulah Wirda kemudian mencoba bahan-bahan alami untuk batik tanah lieknya. Ia bahkan pernah mengambil tanah payau dekat rumahnya, direbus dan diaduk dengan tawas. Akhirnya ia berhasil memproduksi batik tanah liek yang berbahan tanah liat seperti batik aslinya yang ia temui di kampung halamannya di Sumani.

Kini untuk batik berbahan alami, ia tak hanya memakai tanah liat sebagai bahan baku, tetapi juga gambir, kulit rambutan, kulit jengkol, dan kulit bawang. Di rumahnya yang besar berlantai dua yang sekaligus tempat usaha yang sekarang bernama “Citra Monalisa”, 15 karyawannya menghasilkan satu kodi batik tanah liek alami dalam sebulan.

Untuk pembuatan batik tanah liek berbahan benar-benar tanah liat ditambah dengan bahan alami lainnya, hanya ada di Citra Monalisa. Di Sumatera Barat ada tiga usaha kerajinan batik tanah liek, tapi yang lainnya masih memproduksi batik tanah liek dari bahan sintetis.

Selain itu, berbeda dengan motif batik jawa, motif batik Citra Monalisa adalah motif minang, seperti motif siriah dalam carano, kaluak paku, kuciang tidua,lokcan, batuang kayu, tari piring, kipas, dan beberapa motif khas Cina.

Karena pembuatannya eksklusif, batik tanah liek untuk selendang, sarung, dan bahan kemeja tersebut harganya cukup mahal, dari Rp1,5 juta sampai Rp2 juta per lembar. Pembelinya sebagian besar datang dari Jakarta, Malaysia, dan Jepang yang sebagian besar untuk souvenir.

Atas jasanya membangkitkan kembali kerajinan batik tanah liek dengan berusaha sendiri, Wirda Hanim dianugerahi Upakarti oleh Pemerintah RI pada 2006.



Bermula dari Nol

Wirda Hanim kelahiran Batusangkar 8 Mei 1952 adalah pengusaha yang memulai usahanya dari nol. Sebelum membuat batik tanah liek, ia memulai usaha dengan kerajinan bordir pada 1986 dengan seorang karyawan dan sebuah mesin jahit.

Usahanya berkembang dan beberapa tahun kemudian ia sudah memiliki 30 mesin jahit dengan lebih 30 karyawan. Bidang usahanya pun bertambah dengan kerajinan sulaman tangan.

Wirda dan hasil produknya juga sering diikutkan pemerintah daerah melakukan pameran ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Belanda.

Kini ia memiliki 50 orang karyawan yang sebagian besar adalah anak-anak putus sekolah dari berbagai daerah di Sumatera Barat, termasuk seorang tenaga ahli dari Pekalongan yang bertugas meramu bahan dasar pewarna alami untuk batik tanah liek. Meski begitu, hanya 20 orang karyawannya yang bekerja di tempat usahanya, selebihnya dibawa ke rumah masing-masing.

Para karyawan ini tak hanya mengerjakan batik tulis tanah liek, tetapi juga batik tulis sintetis, batik cap, menyulam, dan membordir.

“Saya ingin para karyawan saya cepat mengusai keterampilan bordir maupun batik agar mereka cepat mandiri, bahkan saya ingin dari mereka ada yang melanjutkan usaha saya, termasuk mengembangkan batik tanah liek dari bahan alami,” ujarnya.**
Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/Padangkini.com

Tidak ada komentar: