Pelukis Batik "Nostalgia pada Alam dan Cinta

Amri Yahya, pelopor seni lukis batik itu, telah pulang ke lautan warna yang kekal.

Pertama kali bertemu di Yogya, di kampus ASRI, pada 1958, Amri mengesankan seorang yang periang, humoris, dan dermawan. Ia menyapa dengan akrab siapa pun, termasuk para calon seniman yang culun dari desa-desa di Jawa maupun luar Jawa. Ia bisa mentraktir siapa saja yang tak dikenalnya di warung Bu Karto atau warung Bu Djojo, yang mangkal di sekitar kampus. Ia juga bisa memberi uang kepada mahasiswa yang membutuhkan uang dengan cepat. Waktu itu Amri sudah memiliki rumah yang merangkap studio, di depan kampus ASRI, sementara para mahasiswa lain masih kos di rumah-rumah sekitar kampus, bertahun-tahun.

Kegigihannya dalam mengembangkan seni lukis batik—hal yang sebenarnya dipandang dengan sebelah mata oleh para seniman yang dewasa itu gandrung dengan Picasso, Van Gogh, Modigliani, ataupun Dali—tentu saja menimbulkan keanehan. Bahkan ada pelukis senior yang tidak mengakui seni lukis batik karena dikerjakan banyak orang. Ia lupa bahwa karya-karya Vasarely juga dikerjakan tenaga yang berjibun jumlahnya. "Kalau mau jadi seniman besar, tutuplah telinga," begitulah filosofi Amri tentang cara kerjanya.

Proses pengerjaan lukisan batik sebenarnya persis membatik tulis. Di atas kain katun, sang pelukis menyapu dengan malam (lilin batik yang kental) lewat kuas. Lalu kain itu diguyur pewarna menurut kebutuhan akan warna. Kain yang tertutup malam tidak tersentuh. Setelah itu, garis-garis malam yang centang-perenang itu digebyok atau dilorot dengan air mendidih. Nah, begitu bersih, garis yang silang-selungkang itu tetap putih. Jika garis-ga-ris itu akan diberi warna, tinggal dicelup ke dalam warna yang dimaksud.

Sedangkan garis-garis yang tidak diberi warna harus ditutup kembali dengan malam. Begitu seterusnya, proses tutup malam dan gores warna itu bisa berlangsung berkali-kali menurut kebutuhan artistik sang seniman. Amri biasa bekerja mendetail. Untuk lukisan ukuran 4 meter kali 2 meter, misalnya, Amri bisa memproses lukisan batiknya sampai lebih dari seratus kali. Tentu saja Amri dibantu sejumlah pekerja yang ahli memproses batik.

Lukisan-lukisan Amri dengan teknik batik bak pelangi dengan warna-warna primer. Merah, kuning, biru, hijau, violet, mencuat-menebah-menghambur, laksana meteor yang memenuhi angkasa. Ada juga yang mengesankan sebuah konser jazz dengan nada-nada mengentak, mengalun, mendayu-dayu yang menimbulkan nostalgia pada alam dan cinta. Ringan, bahagia, dan apa adanya, itulah kesan dari karya-karya lukis batik Amri. Ia tak merasa berkesenian itu butuh suatu beban filosofi yang berat. Kerjanya cepat sehingga produktif seperti dapur yang menghasilkan kacang goreng, begitu komentar seorang pelukis senior.

Barang tentu Amri sama masyhurnya dengan Affandi, maestro yang melegenda di dunia itu. Amri berkeliling dunia sejak 1974 hingga 1979, untuk berpameran lukisan batik, berdemo melukis batik, mengajar kesenian Indonesia dan lukisan batik, mempromosikan pariwisata Indonesia. Di Amerika, Amri mengajar selama empat bulan di Universitas Oklahoma dan enam bulan di Universitas Iowa. Ia juga berpameran di New York, Chicago, dan California. Sepanjang 1976-1979, Amri berpameran di Eropa dan negara-negara Timur Tengah. Di Paris, Amri berpameran di markas besar UNESCO dan dibuka oleh sekjennya, Dr M'bow.

Dewasa ini ada empat orang maestro yang harga jual lukisannya mencapai miliaran rupiah: Amri Yahya, Srihadi Soedarsono, Djoko Pekik, dan Sunaryo. Satu di antara maestro itu bahkan di studionya sudah menyediakan belasan kanvas kosong berderet-deret dengan nama-nama kolektornya. Dalam satu tarikan kuasnya, belasan kanvas kosong itu mentransformasikan diri menjadi lukisan-lukisan yang tak tepermanai.

Lahir di Palembang, 29 September 1939, Amri menikah dengan Soed Sri Suzamti pada 1960 dan dikaruniai empat putra-putri: Emi Amri (sarjana hukum), Adwi Amri (sarjana seni), Yanipan Amri (sarjana ekonomi), dan Feriqo Amri (sarjana arsitektur). Mendapat gelar profesor doktor dari almamaternya, Universitas Negeri Yogyakarta, dan mengajar di sana sampai tutup mata, kompletlah darma-bakti Amri sebagai seniman dan pendidik seni. Ia bersahabat dengan penyair Taufiq Ismail sejak tahun 60-an, yang sudah dianggap saudaranya.

Pada 14 September 2004 pukul 23:30, Amri dikaruniai musibah. Rumahnya terbakar. Sekitar 60 persen dari 3.000 lembar lukisannya (batik, cat minyak, akrilik, cat air) musnah, termasuk file, katalog, dan dokumentasi. Kebakaran ini cukup aneh karena api berkobar dari atap, sementara listrik tidak mati beberapa saat. Tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 2004 pukul 11:30, Amri meninggal karena komplikasi penyakit diabetes dan radang paru-paru. Amri adalah pembaru seni lukis Indonesia yang telah mempertahankan harkat seni tradisi yang luar biasa. Amri adalah gambaran manusia yang utuh, dan semoga dikaruniai surga.

Danarto, penulis, pelukis

Tidak ada komentar: