Harris Riadi, dan Batik Warna Alami

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Jamu-Jamuan Bisa Jadi Pewarna Batik

Suara Merdeka
Pekalongan, CyberNews. Biasanya, tanaman apotik hidup seperti temu lawak, temu giring, dan jelawe dikonsumsi manusia sebagai jamu. Jika meminum ramuan tersebut, kondisi badan yang lemas menjadi segar. Demikian juga ketika tubuh kita masuk angin, kalau minum jamu bisa menjadi sehat kembali.

Tapi bagi Harris Riadi, semua bahan baku itu tidak dipakai untuk membuat jamu, melainkan bahan pewarna batik. Ya, tidak mengherankan apabila Harris melakukan hal tersebut. Sebagai seorang seniman dan juga pelukis batik, mantan mahasiswa ASRI itu selalu membuat inovasi baru tentang perbatikan, khususnya mengenai pewarnaan batik.

''Saya kira, benda yang ada di alam ini tidak akan habis dijadikan bahan pewarna batik,'' tandas dia kepada sejumlah wartawan. Laki-laki berkumis cukup tebal itu menandaskan, dalam membuat bahan pewarna dari jamu tidak terlalu sulit. Temui ireng, temu lawak dan jelawe dimasak selama lebih kurang 30 menit. Setelah mendidih, air dari bahan tersebut disaring dan didinginkan. ''Saya menunggu air dingin agar lilin yang digunakan untuk membatik tidak rusak,'' jelas Harris.

Dari saringan itu akan diperoleh hasil air dengan warna alami. Selanjutnya, pakaian yang sudah dibatik dimasukkan ke dalam campuran air itu dan direndam cukup lama. Setelah itu, akan terlihat hasilnya, yakni pakaian batik dengan warna yang sangat klasik. ''Kalau tidak percaya, lihat kain batik yang saya bawa sekarang,'' ujar dia sambil menunjukkan batik dengan warna jamu.

Harris menjelaskan, keistimewaan pakaian batik dengan warna jamu adalah jika dipakai bisa membuat tubuh menjadi hangat. Menurut dia, hangatnya tubuh itu karena sari-sari bahan jamu yang melekat pada pakaian bereaksi ketika dipakai seseorang. Dia bisa mengatakan seperti itu karena pernah mencobanya dan merasakan hangatnya kain dengan warna alami dari gabungan bahan baku tanaman apotik hidup.

Teman satu angkatan seniman Butet Kartaredjasa itu menambahkan, karyanya tersebut merupakan gebrakan terbarunya di awal tahun 2007. Ke depan, kata dia, ada ide untuk menambah karya-karyanya dalam meramaikan dunia perbatikan di Kota Pekalongan. Tapi ayah satu putra itu enggan menyebutkan bentuk karyanya tersebut.

Sebelumnya, pada pertengahan tahun lalu, Harris telah membuat batik warna alami dari sejumlah benda. Antara lain, serabut kelapa, kotoran sapi, dan bahan alami lainnya. Menurut dia, semua inovasinya tersebut dilakukan sendiri, baik pengolahan maupun pembiayaannya. ''Sebagai seorang seniman, saya ingin bebas berkarya dalam mengembangkan perbatikan di kota ini, meskipun untungnya sedikit,'' kata dia.


Harris Riadi, dan Sabut Kelapa

Melawan arus. Itulah yang dilakukan Harris Riadi (46) dalam mengembangkan usahanya sebagai pengusaha batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di kota itu dilahirkan ribuan perajin batik baik tulis, cap, maupun cetak, namun sangat sulit ditemukan pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan Harris. Sungai Loji, salah satu sungai yang membelah Kota Pekalongan, membuktikan betapa penggunaan pewarna kimia telah merusak lingkungan. Air sungai ini nyaris tak mengalir dan berwarna hitam pekat. Kebangkitan industri batik pada tahun 1980-an berakibat pula pada degradasi lingkungan.

"Saya tidak ingin menambah beban lingkungan. Oleh karena itu, saya memilih pewarna alami, bukan pewarna kimia," ujarnya. Pilihan itu juga menyiratkan bahwa batik adalah seni budaya yang tidak melulu memenuhi kemauan pasar.

Harris yang dilahirkan di Kota Pekalongan, tak asing dengan dunia batik tulis. Tetangganya kala itu kebanyakan bekerja sebagai pembatik. Demikian pula kakeknya, Hazim Mutaman yang sukses menjadi pedagang batik sekitar tahun 1950.

Ketertarikan pada seni batik dipertajam dengan mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia pada tahun 1980. Namun, di tingkat II, Harris memutuskan untuk putus kuliah dan lebih memilih belajar batik kepada seniman-seniman.

Salah satu seniman idolanya adalah Amri Yahya, pelukis batik yang mengajarinya untuk menjadi diri sendiri. Sejak 1982 ia pun memutuskan untuk menggunakan bahan pewarna alami untuk mewarnai batik.

Bahan alami yang digunakan Harris sebagai pewarna mulai dari kulit kayu mahoni, jelawe, secang, tegeran, kayu nangka, hingga bahan jamu, pohon nila, dan daun tom.

Dasar seniman, Harris terus bereksperimen untuk menghasilkan warna-warna baru dari bahan lainnya. Bahan pewarna yang baru itu berasal antara lain dari kotoran sapi dan sabut kelapa. Kedua bahan ini dipilih karena ia ingin mendayagunakan sampah.

Harris mengatakan, kain batik buatannya ini lebih diminati oleh kalangan wisatawan mancanegara. Sejumlah pemandu wisata kerap membawa mereka ke rumah Harris yang berada di kawasan Krapyak Lor, Pekalongan Utara, melihat proses pembuatan batik dengan pewarna alami secara langsung. (L Andreas Sarwono)

Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik

Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawe menjadi zat pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.

Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi rasa hangat pada pemakai batik. Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya. Yang lebih penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.

Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe.

Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah batik bisa dikurangi. Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.(MAK/Budi

Pewarna Alami Daya Tarik Internasional

SLEMAN, KOMPAS - Batik yang selama ini dijual ke pasar sudah tidak lagi menggunakan pewarna yang sepenuhnya alami. Padahal, pewarna alami merupakan daya tarik batik Jawa yang sudah digemari masyarakat internasional sejak zaman kolonial.

Hal itu disampaikan ketua penyelenggara pameran bertajuk Kebangkitan Batik Indigofera Indonesia, Larasati Suliantoro Sulaiman, Minggu (4/5) di Galeri Batik Jawa, Jalan AM Sangaji. Pameran yang menampilkan 100 batik ini berlangsung 1-31 Mei.

Menurut Larasati, batik dari Pulau Jawa yang dipasarkan saat ini menggunakan pewarna kimia. "Padahal, sebelumnya para pembatik kita menggunakan pewarna alami. Tidak ada yang mengenal pewarna kimia," ujarnya.

Merujuk pada buku Mussenbroeck KatoenVerven in Java (1877), Larasati menyatakan, lebih dari 75 pohon perdu dulunya dipakai manusia Jawa untuk mencelup dan menghasilkan lebih dari 36 keselarasan warna pada batik.

Namun, datangnya indigo synthetic dari Jerman pada 1897 membuat para pelaku usaha batik tak lagi menggunakan pewarna alami seperti yang diambil dari pohon nila (Indigofera tinctoria) dan pohon soga. "Mereka beralih menggunakan pewarna kimia karena proses pencelupan warna yang lebih cepat. Padahal, kandungan karsinogennya tidak ramah lingkungan," ujar Larasati yang juga Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagad.

Karena itu, dalam tiga tahun terakhir, batik dengan pewarna alami mulai diujicobakan di laboratorium oleh tim dari Institut Pertanian Yogyakarta untuk diperkenalkan kembali ke masyarakat luas sebagai batik yang mewakili budaya Jawa. "Apalagi, batik salah satu ikon budaya Jawa, seharusnya memperlihatkan nilai keasliannya," ujar Larasati.

Fauzan yang menekuni pewarnaan alami pada batik dalam tiga tahun terakhir mengatakan terdapat perbedaan dalam proses pewarnaan antara batik pewarna alami dan pewarna kimia. "Kalau batik alami proses pencelupannya hingga lima kali, pewarna kimia batik dicelup satu kali. Mungkin selama ini pembatik mencari proses instannya saja," tuturnya.

Menurut Fauzan, warna pada batik yang menggunakan pewarna alami akan terlihat lebih lembut dibandingkan dengan batik yang menggunakan pewarna kimia yang terlihat lebih mencolok. (A06)

Haryani Winotosastro Melestarikan Pewarna Alami Batik

Sebagai warisan budaya, kerajinan batik harus tetap dilestarikan. Itulah yang dilakukan oleh Haryani Winotosastro, pengelola dan pemilik perusahaan kerajinan Batik Winotosastro di Yogyakarta. Pesan dari sang ayah, Winotosastro itu selalu diingatnya.

Sejak 1967 hingga sekarang Hani, panggilan akrab Haryani, selalu membantu orangtuanya -- Winotosastro dan Mudinah Winotosastro -- di perusahaan Kerajinan Batik Winotosastro. Walaupun sang ayah, yang kini berusia 84 tahun, masih menjadi pimpinan Batik Winotosastro, Hani berperan cukup besar di bagian produksi untuk tetap melestarikan batik tradisional. Motif-motif batik ini klasik dan pewarnaannya alami.

Langkah melestarikan pewarna alami itu antara lain dilakukan Hani dengan mengoleksi tanaman yang bisa dipakai sebagai pewarna alami. Tanaman itu ada di halaman rumahnya, yang sekaligus sebagai showroom Batik Winotosastro, dan di sekitar halaman hotel Winotosastro di Jalan Tirtodipuran, Yogyakarta.

Bila menemukan sedikit saja lahan kosong, ia langsung memanfaatkan untuk memperbanyak koleksi tanaman pewarna batik, seperti indigo/tom/nila (Indigofera tinctoria L), tingi (Ceripus tagal), jambal (Ceriops candolleana), tegeran (Cudrania javanensis), putri malu (Mimosa pidica), mengkudu (Morinda citrifolia L), jambu biji, mangga, secang (Caiesalpinia), nangka (Artocarpus integra M), dan sebagainya.

Hani juga memberikan biji tanaman indigo kepada sejumlah petani di Bantul, Yogyakarta, untuk ditanam. Bila daunnya dipetik, dia akan membelinya untuk dibuat pasta dan dimanfaatkan oleh Batik Winotosastro sebagai bahan pewarna biru. ''Warna biru merupakan salah satu ciri khas batik klasik Yogyakarta disamping warna soga coklat dan warna dasar putih,''ungkap Hani sambil menunjukkan berbagai koleksi batik tulis khas Yogyakarta.

Awalnya batik Winotosastro, yang berdiri sejak 1940, hanya menggunakan pewarna alami. Dengan adanya pewarna kimia yang lebih bervariasi, batik Winotosastro juga menggunakan pewarna tersebut. Meskipun demikian sebagian besar kerajinan batiknya tetap menggunakan warna alami. Untuk meningkatkan pengetahuannya tentang warna alami, Hani aktif mengikuti seminar-seminar dan workshop mengenai pewarnaan alam untuk tekstil yang diselenggarakan di Indonesia maupun di luar negeri.

Latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana muda Teknik Kimia UGM, mendukung keinginan untuk terus mendalami warna alami. Ia senang bereksperimen untuk menghasilkan warna dari bahan alami lainnya yang belum pernah atau jarang dipakai orang sebagai pewarna batik.

Di berbagai kesempatan seminar dan workshop, Hani selalu berbicara tentang batik tradisional maupun praktek pembuatan batik tradisional dengan pewarnaan alam. ''Sayang kalau batik dari warisan leluhur bangsa Indonesia tidak dilestarikan. Corak batik Yogyakarta ada yang sudah dipatenkan di Amerika. Padahal batik ini betul-betul asli warisan leluhur kita,''ungkap Hani sambil menunjukkan batik tulis corak parang yang dikoleksinya.

Batik Winotosastro dikenal di dunia. Dulu Winotosastro maupun Hani sering keliling dunia untuk mengikut pameran di Eropa, Amerika, dan Asia yang dikoordinir oleh pemerintah. Juga mengikuti misi dagang yang disponsori oleh UNDP, MEE, JETRO dan UNIDO. Pada 1998 ia mengikuti workshop di Chiangmai untuk membangkitkan warna alam. Di sana para peserta tukar-menukar biji tanaman indigo dengan peserta dari berbagai negara seperti Korea, Jepang, India, Pakistan.

Diakui Hani, sejak krisis moneter dan ledakan bom di berbagai tempat, jumlah turis asing yang datang dan membeli produk batik Winotosastro menurun drastis. Bahkan, batik Winotosastro yang dulu banyak diekspor ke berbagai negara atas pesanan departement store di Eropa, Amerika, dan Jepang, sekarang hanya ekspor sedikit dan umumnya hanya pesanan pribadi.

Namun demikian, keluarga Winotosastro tetap konsisten dalam melestarikan batik. ''Alhamdulillah meskipun sedikit-sedikit masih ada pesanan dari luar maupun dalam negeri,'' kata Hani yang berkarya membuat desain motif batik kontemporer dengan pewarna alam. ''Batik warna alam dapat bertahan ratusan tahun. Ini terbukti dari batik milik leluhur dulu yang hingga sekarang masih ada, terutama yang berwarna coklat soga, biru atau hitam dan putih. Ini warna-warna batik tradisional Yogyakarta,'' kata Hani. nri ( )

Menyelamatkan Batik Lewat Nila

Mungkin kita pernah mendengar mengenai warna-warna alam yang sering dipakai nenek moyang kita dahulu. Warna putih dari kapur, merah dari tanah liat. Tapi bagaimana dengan warna nila

Ternyata warna nila banyak terdapat juga pada jenis batik. Salah satunya batik jenis Kelengan yang asli berasal dari Imogiri,Yogyakarta. Kekhasan batik ini jelas berasal dari warna nila dan putih yang dominan di dalamnya.

"Sebenarnya warna nila atau biru yang ada pada batik Kelengan berasal dari tumbuhan, dahulunya," ungkap Ir Dra Larasati Suliantoro Sulaiman. "Namun sayangnya sekarang warna nila datang dari bahan kimia, bukan berasal dari tumbuhan lagi," paparnya.

Kegundahan pada keaslian warna tersebut, yang kemudian mengantarkan Larasati untuk menelusuri sejarah. Namun sayangnya, tak ada satupun dokumentasi nasional yang pernah merekam ini. Pengetahuan tersebut ternyata hanya dari mulut ke mulut.

Hingga satu saat, ia menemukan satu literatur yang ditulis seorang Belanda dari abad 19. Di situ disebutkan kalau nila pada batik Kelengan benar dari tumbuhan. Walau dijelaskan tumbuhan jenis apa yang dipakai, sayangnya tak disebutkan bagaimana resep membuatnya.

"Ternyata warna biru yang khas pada batik Imogiri itu didapat dari tumbuhan nila yang banyak tumbuh di pekarangan, kebun, atau lahan yang relatif kering," cerita wanita yang tinggal di daerah Sleman ini.

Namun sekali lagi patut disayangkan, karena ternyata tumbuhan ini kini langka, padahal pasti menarik bila kita mendapatkan kembali warna batik alami, lewat keberlimpahan tumbuhan tersebut.

Menyadari hal itu, mulailah Larasati melakukan berbagai cara untuk melestarikan tanaman nila. Bersama kelompok paguyubannya, mulailah ia menggalakkan kembali penanaman tanaman ini.

Usahanya tersebut tak sia-sia. Walaupun ia baru memulai hal ini tahun 1999 lalu, kini sudah banyak manfaatnya, seperti minat dunia internasional mengenai warna pada batik tersebut. "Warna ini merupakan zat warna bejana, yang terkenal paling tahan dan paling sulit didapatkan, karena harus melalui proses fermentasi," urainya.

Berbagai pecinta warna nila pun kemudian datang berduyun-duyun ke rumahnya di dusun Jombor Kidul. Beberapa turis dari Jepang yang memang menyukai warna nila tercatat berulang kali menyambangi rumah Larasati hanya untuk mengetahui bagaimana ia bisa mendapatkan warna alami pada batik melalui tumbuhan.

Kehati Award
Kini di usianya yang sudah lanjut, Larasati terus berupaya melestarikan hal ini. Pantas rasanya, kalau Yayasan Kehati kemudian menganugerahinya penghargaan Kehati Award melalui kategori Citra Lestari Kehati, Kamis (16/11) pekan lalu.

Menurut Ismid Hadad selaku Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, penghargaan ini diberikan kepada Larasati karena jasanya mengangkat kembali budaya khas daerah Imogiri. "Selain juga memberikan manfaat ekonomi bagi perajin batik lokal yang bisa diekspor keluar negeri," pada saat pemberian hadiah di kompleks Sea World–Ancol, Jakarta.

Larasati masih meneruskan upayanya tersebut, melalui penanaman nila di perkebunan kopi Ambarawa. Manfaatnya amat terasa bagi masyarakat sekitar, karena banyak wanita di sana bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Selain itu, sekarang ia juga mendirikan museum batik darurat, karena museum yang pernah ada rusak karena gempa yang melanda Yogyakarta berapa waktu lalu.

Ia melengkapi mimpinya dengan merekonstruksi pasar Tiban, sebagai pasar untuk tujuan wisata, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam batik termasuk batik Kelengan dan batik-batik lain yang terus diupayakan pencarian warna alaminya. n

Obsesi Pak Guru untuk batik alami

Dalam sejarah busana, batik mengalami pasang surut. Seni tradisional serapan dari negeri China ini telah mengalami asimilasi budaya yang menghasilkan beragam corak unik Nusantara. Tak heran Malaysia berkoar budaya batik asli temuan mereka.

Secara alamiah, seniman-seniman Nusantara berkreasi turun temurun mengekplorasi pola dan zat pewarna.

Tentu saja, karena masih berkutat dengan zat pewarna alami, proses pewarnaannya butuh waktu lama. Untuk pencelupan saja butuh waktu 15-30 kali dengan warna yang monoton antara biru, cokelat dan merah.

Meski tradisional dan cenderung itu-itu saja, komoditas ini begitu diminati dan penghasil duit yang tidak sedikit. Tak heran Hindia Belanda sejak 22 April 1828 mewajibkan penanaman pohon Bixa orrellana (sumba) dan Indigofera tinctoria (nila) di sepanjang tepi jalan utama P. Jawa.

Namun, zat pewarna alami ini kemudian tergusur habis sejak William Henry Perkin menemukan zat warna sintetis 48 tahun kemudian. Selain lebih praktis, corak warna pun lebih beragam.

Sejak itu hingga saat ini, penjajahan terhadap industri batik terjadi. Para pembatik nrimo kecanduan memakai pewarna buatan. Mulai dari naphtol, direct, rapid, procion, remasol hingga indigosol.

Industri batik Indonesia baru sadar ketika Belanda dan Jerman sejak 1 Agustus 1996 secara resmi melarang masuknya produk pakaian termasuk batik yang memakai zat warna sintesis.

Pembatik kaget dan bingung di saat pemerintah mulai ngos-ngosan diterjang krisis politik dan ekonomi. Pembatik bingung mencari alternatif karena pewarna alami sudah terlalu terpinggirkan.

Pada sisi lain, para peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik cenderung dicuekin. Padahal penelitian itu dikerjakan sangat tekun.

Mulai dari Abdul Rachmat sejak 1952 sampai 1962 dilanjutkan SK. Sewan Soesanto hingga 1983 kemudian diteruskan Kun Lestari WF dan Hendri Suprapto. Tugas mereka berat karena dengan dana cekak harus meneliti hingga mengaplikasikan teknologi pewarnaan alami.

Mengelus dada

Bisnis berhasil menemui Hendri Suprapto di kediamannya yang susah-susah gampang dicari. Rumah kecil di dusun Ngentak Pelem, Bantul, Yogyakarta itu merangkap tempat tinggal, studio, pabrik sekaligus tempat kursus batik Bixa orrellana.

"Sampai sekarang juga masih banyak pembatik yang memakai pewarna sintetis. Pertama karena tak tahu. Kedua karena pemerintah juga cenderung diam. Kalau mikir pemerintah, saya hanya mengelus dada," ujar Hendri.

Pengajar di STMA Kusumonegoro, Yogyakarta, ini sudah malang melintang ke seluruh Indonesia mengajarkan aplikasi pewarna alami. Dia bahkan diundang pihak Jepang, Australia dan Korsel untuk menjadi pembicara tentang pewarna alami.

Bagi kalangan tekstil dengan pewarna alami internasional, Hendri adalah maestro dari Indonesia. Dia bahkan berhasil mengemas zat pewarna alami dalam bentuk serbuk mirip susu instan atau kopi instan.

Tak heran setiap musim libur panjang tiba, para wisatawan mancanegara berduyun-duyun berguru tentang pewarna alami pada Hendri. Mereka rela menggenjot sepeda belasan kilometer atau mondok di rumah penduduk di sekitar dusun tersebut.

Dengan sistem itu, zat pewarna alami ciptaan Hendri yang teknologinya tak lebih dari Rp200 juta itu lebih praktis, stabil, variatif serta pencelupannya cukup dua sampai tiga kali dengan ketahanan luntur masuk kategori ISO 6330.

Karena alami, limbah celupan batik milik Hendri malah digemari bebek-bebek tetangga atau semut penghuni pepohonan di sekeliling halamannya. Bahan pencucinya praktis mulai dari cairan jeruk, asam hingga gula aren.

"Andai saja pemerintah lebih tanggap, konflik masyarakat di sekitar sentra batik bakal terselesaikan karena tidak ada lagi sumur atau sungai yang berganti warna dan beracun karena tercemar logam berat."

Dari sisi pendapatan pun, para pembatik bisa mendapat harga yang lebih baik karena produsen luar negeri-seiring tren back to nature-sangat menghargai produk batik pewarna alami.

Artinya, berapa pun jumlah atau harga yang ditawarkan sepanjang produk itu ramah lingkungan dan memiliki nilai unik pasti akan diborong para pembeli dari negara-negara makmur.

Menurut bapak dari Yuhad Bagus Purnama, Arif Wicaksono, dan Hana Indah Pertiwi itu, 95% produk yang dijual pada rentang harga Rp100.000 hingga Rp5 juta tersebut laris diserap pasar Jepang, AS dan Eropa. Pemerintah Indonesia, bagaimana? (algooth.putranto@bisnis.co.id)

Oleh Algooth Putranto
Wartawan Bisnis Indonesia

Widodo, Usaha Lestarikan Batik Warna Alami

Alis Widodo (32) menukik saat mendengar kata zat pewarna tekstil sintetis. Ia ”antipati” terhadap zat warna itu karena membuat proses pewarnaan kain batik tidak ramah lingkungan. Akibatnya, pamor kesahajaan batik pun terus memudar hingga batik mulai sulit mendapat tempat di pasar internasional.

Pada awalnya pria yang tinggal di Dusun Kenteng, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo, DI Yogyakarta, ini tidak menganggap pewarna tekstil sintetis sebagai masalah. Selain harganya murah dan amat mudah digunakan, zat warna ini membuat batik juga terlihat semakin cemerlang.

”Belakangan saya baru sadar, ternyata di balik kecerahan warna kain batik modern, terdapat kekejaman terhadap alam yang luar biasa,” tutur Widodo, yang sebelumnya bekerja membantu orangtua memasarkan produk tanah pertanian mereka.

Ia mengetahui kondisi tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada masa itu isu lingkungan hidup kerap menghiasi pemberitaan media massa. Salah satu yang paling santer adalah pencemaran sungai akibat proses pencelupan batik di sentra pembuatan kerajinan batik tradisional, seperti di Solo, Pekalongan, dan sejumlah kota besar lainnya di Jawa Tengah.

Membaca dan mendengar berita-berita itu, ia mengaku jengah. Selaku pencinta batik, ia tak rela kain warisan nenek moyang itu mendapat predikat buruk akibat tak ramah lingkungan.

”Tohokan terbesar saya rasakan pada tahun 1996. Ketika itu ada kabar Pemerintah Belanda menolak kehadiran batik. Alasannya, kain batik kita tak ramah lingkungan. Padahal, setahu saya, orang Belanda itu gandrung dengan batik kita,” kata ayah satu anak ini.

Tindakan nyata

Mulai saat itulah ia berpikir harus melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan citra batik. Satu kunci sederhana adalah kain batik kembali diberi warna dengan menggunakan zat pewarna dari alam.

Langkah awal yang dia lakukan adalah mempelajari jenis-jenis pewarna batik alami. Ada tiga warna utama yang menjadi ciri khas dari batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta, yakni sogan (coklat), biru, dan hitam.

Warna sogan belakangan diketahuinya berasal dari hasil rebusan kulit batang pohon mahoni. Sementara hitam adalah hasil perpaduan sogan dan biru. Lalu, bagaimana dengan warna biru?

”Pada awal tahun 2000 setelah membaca banyak buku, saya baru tahu kalau warna biru itu dihasilkan dari tanaman indigo atau dikenal sebagai daun tom,” ceritanya.

Pada awal tahun 1800-an Pemerintah Hindia Belanda pernah mendirikan pabrik pewarna kain di Kulon Progo, tepatnya di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, dan Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Pewarna biru adalah komoditas utamanya. Sebagai bahan baku digunakan daun tom (indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh di sekitar pabrik.

Proses pembelajarannya belum selesai. Selama dua tahun ia terus bereksperimen dengan daun tom agar bisa menghasilkan warna biru seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia ”berguru” pada cerita-cerita masyarakat yang sanak familinya pernah bekerja di pabrik pewarna kain.

”Warna biru itu diperoleh dari hasil fermentasi air rendaman daun tom yang mengalami oksidasi setelah dicampur kapur gamping,” katanya.

Sukses menemukan kembali formula pasta warna biru, sekitar tahun 2003 dia mulai memproduksi batik warna alami. Ia mengambil kain-kain berpola yang sudah ditutupi dengan lilin malam di sekitar daerah Giriloyo, Imogiri, Bantul. Kain-kain itulah yang kemudian diwarnai dan dilorot (dihilangkan) lilin malamnya.

Proses ini tak kalah melelahkan. Agar mendapat warna biru gelap, misalnya, kain dicelupkan ke dalam pewarna hingga belasan kali. Demikian juga dengan penggunaan warna lain.

”Semua proses itu awalnya saya lakukan sendiri. Tak mudah mengajak orang yang mau bersusah-susah menghasilkan batik warna alami. Apalagi hasil pewarnaan alami tidak sebagus pewarna buatan. Banyak yang khawatir batik yang dihasilkan itu tidak laku,” tuturnya.

Warna kusam

Kenyataan menghapus kekhawatiran itu. Batik alami banyak dicari orang, terutama turis asing. Warna kain batik yang kusam dan lembut justru menjadi daya tarik nostalgia bagi mereka. Widodo menangkap peluang ini.

Kerumitan proses dan kealamian warnanya telah membuat batik produksinya laris dengan harga tinggi. Selendang kain batik dengan bahan dasar sutra, misalnya, bisa laku dijual sekitar Rp 350.000 per potong.

Selain menjual kain batik, Widodo juga membuat pasta-pasta pewarna biru indigo. Pasta pewarna yang dia jual seharga Rp 40.000 per kilogram ini kemudian banyak dipesan desainer kain batik asal Ibu Kota dan pemilik-pemilik gerai batik yang tersebar di Kota Yogyakarta serta Solo. Dalam sebulan dia bisa menjual lebih dari 20 kilogram, baru dari pewarna biru indigo.

Sedikit demi sedikit Widodo lalu mengumpulkan modal untuk terus mengeksplorasi kekayaan warna kain alami. Daun mangga bisa diolahnya hingga menghasilkan warna hijau muda, sementara buah pinang akan menciptakan warna merah. Bahkan, kotoran sapi sekalipun bisa dia manfaatkan untuk mendapat warna kuning emas.

Widodo pun tidak lagi harus bekerja sendiri. Untuk memenuhi pesanan pasar yang terus berdatangan, dia merekrut pemuda di desanya sebagai tenaga pewarna batik. Dengan begitu dia bisa menularkan semangat menjaga kelestarian batik kepada generasi muda, selain berbagi rezeki dengan mereka.

Untuk tenaga khusus pewarna ada 1-2 orang yang membantunya, sedangkan untuk mencelup ada 15 orang. Tetapi, pada saat pesanan kain batik meningkat, seperti belakangan ini, dia akan menambah jumlah orang yang membantunya. Mereka yang bekerja sebagai pencelup mendapat upah Rp 15.000-Rp 20.000 untuk selembar kain.

Ketekunan dan kesetiaan Widodo dengan bahan-bahan pewarna alami membuatnya semakin dikenal. Maka, mulai tahun 2005 dia diminta membantu sosialisasi penggunaan pewarna alami oleh Paguyuban Pencinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad” Yogyakarta.

”Saya hanya berbagi pengalaman. Sekarang ini sudah banyak sentra kerajinan batik yang kembali memakai pewarna alami, seperti di Bantul, Gunung Kidul, kemudian juga di Tegal dan Semarang,” ungkapnya senang.

Untuk memasarkan produknya, batik berpewarna alami, Widodo mengakui bahwa keterlibatannya dalam Paguyuban Pencinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad” Yogyakarta amat besar pengaruhnya.

”Paguyuban sering menggelar pameran-pameran. Saya ikutkan batik berpewarna alami itu dalam setiap pameran,” katanya. Apalagi pameran pun semakin kerap digelar, terutama pascagempa yang melanda Yogyakarta, 27 Mei 2006.

Widodo, Usaha Lestarikan Batik Warna Alami

Alis Widodo (32) menukik saat mendengar kata zat pewarna tekstil sintetis. Ia ”antipati” terhadap zat warna itu karena membuat proses pewarnaan kain batik tidak ramah lingkungan. Akibatnya, pamor kesahajaan batik pun terus memudar hingga batik mulai sulit mendapat tempat di pasar internasional.

Pada awalnya pria yang tinggal di Dusun Kenteng, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo, DI Yogyakarta, ini tidak menganggap pewarna tekstil sintetis sebagai masalah. Selain harganya murah dan amat mudah digunakan, zat warna ini membuat batik juga terlihat semakin cemerlang.

”Belakangan saya baru sadar, ternyata di balik kecerahan warna kain batik modern, terdapat kekejaman terhadap alam yang luar biasa,” tutur Widodo, yang sebelumnya bekerja membantu orangtua memasarkan produk tanah pertanian mereka.

Ia mengetahui kondisi tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada masa itu isu lingkungan hidup kerap menghiasi pemberitaan media massa. Salah satu yang paling santer adalah pencemaran sungai akibat proses pencelupan batik di sentra pembuatan kerajinan batik tradisional, seperti di Solo, Pekalongan, dan sejumlah kota besar lainnya di Jawa Tengah.

Membaca dan mendengar berita-berita itu, ia mengaku jengah. Selaku pencinta batik, ia tak rela kain warisan nenek moyang itu mendapat predikat buruk akibat tak ramah lingkungan.

”Tohokan terbesar saya rasakan pada tahun 1996. Ketika itu ada kabar Pemerintah Belanda menolak kehadiran batik. Alasannya, kain batik kita tak ramah lingkungan. Padahal, setahu saya, orang Belanda itu gandrung dengan batik kita,” kata ayah satu anak ini.

Tindakan nyata

Mulai saat itulah ia berpikir harus melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan citra batik. Satu kunci sederhana adalah kain batik kembali diberi warna dengan menggunakan zat pewarna dari alam.

Langkah awal yang dia lakukan adalah mempelajari jenis-jenis pewarna batik alami. Ada tiga warna utama yang menjadi ciri khas dari batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta, yakni sogan (coklat), biru, dan hitam.

Warna sogan belakangan diketahuinya berasal dari hasil rebusan kulit batang pohon mahoni. Sementara hitam adalah hasil perpaduan sogan dan biru. Lalu, bagaimana dengan warna biru?

”Pada awal tahun 2000 setelah membaca banyak buku, saya baru tahu kalau warna biru itu dihasilkan dari tanaman indigo atau dikenal sebagai daun tom,” ceritanya.

Pada awal tahun 1800-an Pemerintah Hindia Belanda pernah mendirikan pabrik pewarna kain di Kulon Progo, tepatnya di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, dan Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Pewarna biru adalah komoditas utamanya. Sebagai bahan baku digunakan daun tom (indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh di sekitar pabrik.

Proses pembelajarannya belum selesai. Selama dua tahun ia terus bereksperimen dengan daun tom agar bisa menghasilkan warna biru seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia ”berguru” pada cerita-cerita masyarakat yang sanak familinya pernah bekerja di pabrik pewarna kain.

”Warna biru itu diperoleh dari hasil fermentasi air rendaman daun tom yang mengalami oksidasi setelah dicampur kapur gamping,” katanya.

Sukses menemukan kembali formula pasta warna biru, sekitar tahun 2003 dia mulai memproduksi batik warna alami. Ia mengambil kain-kain berpola yang sudah ditutupi dengan lilin malam di sekitar daerah Giriloyo, Imogiri, Bantul. Kain-kain itulah yang kemudian diwarnai dan dilorot (dihilangkan) lilin malamnya.

Proses ini tak kalah melelahkan. Agar mendapat warna biru gelap, misalnya, kain dicelupkan ke dalam pewarna hingga belasan kali. Demikian juga dengan penggunaan warna lain.

”Semua proses itu awalnya saya lakukan sendiri. Tak mudah mengajak orang yang mau bersusah-susah menghasilkan batik warna alami. Apalagi hasil pewarnaan alami tidak sebagus pewarna buatan. Banyak yang khawatir batik yang dihasilkan itu tidak laku,” tuturnya.

Warna kusam

Kenyataan menghapus kekhawatiran itu. Batik alami banyak dicari orang, terutama turis asing. Warna kain batik yang kusam dan lembut justru menjadi daya tarik nostalgia bagi mereka. Widodo menangkap peluang ini.

Kerumitan proses dan kealamian warnanya telah membuat batik produksinya laris dengan harga tinggi. Selendang kain batik dengan bahan dasar sutra, misalnya, bisa laku dijual sekitar Rp 350.000 per potong.

Selain menjual kain batik, Widodo juga membuat pasta-pasta pewarna biru indigo. Pasta pewarna yang dia jual seharga Rp 40.000 per kilogram ini kemudian banyak dipesan desainer kain batik asal Ibu Kota dan pemilik-pemilik gerai batik yang tersebar di Kota Yogyakarta serta Solo. Dalam sebulan dia bisa menjual lebih dari 20 kilogram, baru dari pewarna biru indigo.

Sedikit demi sedikit Widodo lalu mengumpulkan modal untuk terus mengeksplorasi kekayaan warna kain alami. Daun mangga bisa diolahnya hingga menghasilkan warna hijau muda, sementara buah pinang akan menciptakan warna merah. Bahkan, kotoran sapi sekalipun bisa dia manfaatkan untuk mendapat warna kuning emas.

Widodo pun tidak lagi harus bekerja sendiri. Untuk memenuhi pesanan pasar yang terus berdatangan, dia merekrut pemuda di desanya sebagai tenaga pewarna batik. Dengan begitu dia bisa menularkan semangat menjaga kelestarian batik kepada generasi muda, selain berbagi rezeki dengan mereka.

Untuk tenaga khusus pewarna ada 1-2 orang yang membantunya, sedangkan untuk mencelup ada 15 orang. Tetapi, pada saat pesanan kain batik meningkat, seperti belakangan ini, dia akan menambah jumlah orang yang membantunya. Mereka yang bekerja sebagai pencelup mendapat upah Rp 15.000-Rp 20.000 untuk selembar kain.

Ketekunan dan kesetiaan Widodo dengan bahan-bahan pewarna alami membuatnya semakin dikenal. Maka, mulai tahun 2005 dia diminta membantu sosialisasi penggunaan pewarna alami oleh Paguyuban Pencinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad” Yogyakarta.

”Saya hanya berbagi pengalaman. Sekarang ini sudah banyak sentra kerajinan batik yang kembali memakai pewarna alami, seperti di Bantul, Gunung Kidul, kemudian juga di Tegal dan Semarang,” ungkapnya senang.

Untuk memasarkan produknya, batik berpewarna alami, Widodo mengakui bahwa keterlibatannya dalam Paguyuban Pencinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad” Yogyakarta amat besar pengaruhnya.

”Paguyuban sering menggelar pameran-pameran. Saya ikutkan batik berpewarna alami itu dalam setiap pameran,” katanya. Apalagi pameran pun semakin kerap digelar, terutama pascagempa yang melanda Yogyakarta, 27 Mei 2006.

Hendri Suprapto ; Natural Colour Batik Maestro

Obsesi pak guru untuk batik alami

Dalam sejarah fashion, batik mengalami pasang surut. Seni tradisional serapan dari negeri Tiongkok ini telah mengalami asimilasi budaya yang menghasilkan beragam corak unik Nusantara. Tak heran Malaysia pun berkoar budaya batik asli temuan mereka.

Batik telah berkembang di pesisir hingga pedalaman muara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB hingga Papua. Secara alamiah, seniman-seniman Nusantara berkreasi turun temurun mengekplorasi pola dan zat pewarna.

Tentu saja karena masih berkutat dengan zat pewarna alami, proses pewarnaannya butuh waktu lama. Untuk pencelupan saja butuh waktu 15-30 kali dengan warna yang monoton antara biru, coklat dan merah.

Meski tradisional dan cenderung itu-itu saja, komoditi ini begitu diminati dan penghasil duit yang tidak sedikit. Tak heran pemerintah Hindia Belanda sejak 22 April 1828 mewajibkan penanaman pohon Bixa orrellana (sumba) dan Indigofera tinctoria (nila) di sepanjang tepi jalan utama Pulau Jawa.

Namun zat pewarna alami ini kemudian tergusur habis sejak William Henry Perkin menemukan zat warna sintetis 48 tahun kemudian. Selain lebih praktis, corak warna pun lebih beragam.

Sejak itu hingga saat ini penjajahan terhadap industri batik terjadi. Para pembatik nrimo kecanduan memakai pewarna buatan. Mulai dari naphtol, direct, rapid, procion, remasol hingga indigosol.

Industri batik Indonesia baru sadar ketika Pemerintah Belanda dan Jerman sejak 1 Agustus 1996 secara resmi melarang masuknya produk pakaian termasuk batik yang memakai zat warna sintesis.

Pembatik kaget dan bingung di saat pemerintah mulai ngos-ngosan diterjang krisis politik dan ekonomi. Pembatik bingung mencari alternatif karena pewarna alami sudah terlalu terpinggirkan.

Pada sisi lain para peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik cenderung bekerja tanpa perhatian dan publikasi. Padahal penelitian itu dikerjakan sangat tekun.

Mulai dari Abdul Rachmat sejak 1952 sampai 1962 dilanjutkan SK. Sewan Soesanto hingga 1983 kemudian diteruskan Kun Lestari WF dan Hendri Suprapto. Tugas mereka berat karena dengan dana cekak harus meneliti hingga mengaplikasikan teknologi pewarnaan alami.

Mengelus dada

Saya berhasil menemui Hendri Suprapto di kediamannya yang susah-susah gampang mencapainya. Rumah kecil di dusun Ngentak Pelem, Bantul, Yogyakarta itu merangkap tempat tinggal, studio, pabrik sekaligus tempat kursus batik Bixa orrellana.

“Sampai sekarang juga masih banyak pembatik yang memakai pewarna sintetis. Pertama karena tak tahu. Kedua karena pemerintah juga cenderung diam. Kalau mikir pemerintah saya hanya mengelus dada,” ujar Hendri.

Pengajar di STMA Kusumonegoro, Yogyakarta ini sudah malang melintang ke seluruh Indonesia mengajarkan aplikasi pewarna alami. Dia bahkan diundang pihak Jepang, Australia dan Korsel untuk menjadi pembicara tentang pewarna alami.

Bagi kalangan tekstil dengan pewarna alami internasional, Hendri adalah maestro dari Indonesia. Dia bahkan berhasil mengemas zat pewarna alami dalam bentuk serbuk mirip susu instan atau kopi instan.

Tak heran setiap musim libur panjang tiba para wisatawan mancanegara berduyun-duyun berguru tentang pewarna alami pada Hendri. Mereka rela menggenjot sepeda belasan kilometer atau mondok di rumah-rumah penduduk di sekitar dusun tersebut.

Ketika kami berbincang salah satu murid Hendri, Gilen Tremblay mendekat. Perempuan asal Kanada itu dengan bahasa Indonesia yang medhok jawa itu meminta pendapat untuk membuat pola dan mewarnai selembar kain katun putih itu.

“Wah lebih cepet dibanding Napthol. Warnanya juga ndak kalah keren!” ujar kawan Elizabeth D Inandiak penerjemah sastra Jawa klasik Serat Centhini itu ketika mencelup dengan pewarna jenis indigo atau biru.

Dengan sistem ini zat pewarna alami ciptaan Hendri yang teknologinya tak lebih dari Rp200 juta itu lebih praktis, stabil, variatif serta pencelupan cukup dua sampai tiga kali dengan ketahanan luntur masuk kategori ISO 6330.

Karena alami limbah celupan batik milik Hendri malah digemari bebek-bebek tetangga atau semut penghuni pepohonan di sekeliling halamannya. Pencucinya praktis mulai dari cairan jeruk, asam hingga gula aren.

“Andai saja pemerintah lebih tanggap konflik masyarakat di sekitar sentra batik bakal terselesaikan karena tidak ada lagi sumur atau sungai yang berganti warna dan beracun karena tercemar logam berat,” ujar suami suami dari Sri Setyowati itu.

Dari sisi pendapatan pun, para pembatik akan mendapatkan penawaran harga yang lebih baik karena produsen luar negeri seiring tren back to nature sangat menghargai produk batik pewarna alami.

Artinya berapa pun jumlah atau harga yang ditawarkan sepanjang produk itu ramah lingkungan dan memiliki nilai unik pasti akan diborong para pembeli dari negara-negara makmur.

Menurut bapak dari Yuhad Bagus Purnama, Arif Wicaksono, dan Hana Indah Pertiwi itu, 95% produk yang dijual pada rentang harga Rp100 ribu hingga Rp5 juta tersebut laris diserap pasar Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.

Pemerintah Indonesia, bagaimana?

Citarasa Tinggi Batik Alami

Dunia mengakui, batik memiliki nilai seni tinggi. Dengan pewarnaan alami, nilai seni itu pun memiliki citarasa tersendiri.

Batik adalah salah satu kekayaan budaya yang masih tetap lestari. Karya batik terlihat cantik dengan berbagai macam jenis dan motifnya. Kini, penggemar batik dari luar negeri lebih tertarik pada batik yang diwarnai dengan serat-serat alam.

Warna alam menjadi sumber utama dari warna merah, biru, dan kuning. Keahlian turun-temurun para peracik warna selama berabad-abad merupakan salah satu bentuk ungkapan nuansa dan nada warna. Semakin tinggi keahlian dan pengalaman pembatik, semakin bertambah pula rentang nada warna yang dihasilkan. Hendri Suprapto, Consultant of Natural Dyes BIXA Batik Natural Colours, dengan jelas memaparkan keunggulan pewarnaan alam yang berasal dari jenis pohon soga. “Batik dengan warna alam akan kontras dipandang, terasa sejuk, dan menyehatkan kornea mata,” kata Hendri.

Batik-batik dengan warna alam, seperti biru, soga, merah, hijau, violet, dan kuning telah menjadi simbol batik keraton. Pembentukan warna alam terjadi melalui dialektika pertumbuhan alam. Warna-warna yang dihasilkan dari proses-proses alamiah cenderung menampilakan kesan luwes, lembut, dan tidak akan menghasilkan nada warna yang persis sama meski menggunakan resep yang sama.

Selain soga, jenis tumbuhan untuk pewarna alam adalah gambir, tumbuhan teh, dan temu lawak sebagai penghasil warna cokelat. Akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, serta jenis tanaman indigofera untuk warna biru. “Jenis tanah juga akan memengaruhi tingkat ketajaman warna. Misalnya saja tumbuhan secang yang ditanam di tanah Jawa dan Bali akan menghasilkan warna merah-coklat yang bebeda,” jelas Hendri.

Seiring kemajuan teknologi, sejak tahun 1910, mulai muncul teknik pewarnaan sintetis. Jenis pewarna ini menggunakan bahan indigosol, basis, procion, indanthreen, dan naphtol, sehingga warna nampak tajam, cerah, dan mencolok mata. Salah satu dampak dari pewarna sintetis, 90% akan merusak sel-sel epidermis, sehingga menjadi penyebab penyakit kanker kulit.

Peminat batik warna alam diminati turis mancanegara. Konsumen batik tulis dengan warna alam 75% adalah turis Jepang. Mami Kato, seorang seniman dari Jepang menyatakan ketertarikan mereka pada batik warna alam, terutama batik Keraton Jogja dan Solo. “Dunia mengampanyekan untuk back to nature atau kembali ke alam,” ujarnya.

Menilik warna alam, para pembatik dari Desa Giriloyo, Wukirsari, Imogiri Bantul, tetap berkomitmen dengan pewarnaan alam. Para pembatik yang tergabung dalam paguyuban batik Handarbeni ini lebih menghargai pewarnaan batik dengan menggunakan unsur alam, yang nantinya akan menghasilkan warna-warna elegan dan bercitarsa tinggi.
Paguyuban ini terbentuk pada pascagempa 27 Mei lalu. Mas Nur Ahmadi, pendamping paguyuban Handarbeni mengungkapkan, pembentukan paguyuban batik ini menjadi salah satu upaya untuk membangkitkan semangat para pembatik Wukirsari. “Agar pembatik tetap menghargai warisan nenek moyang, dan banyak generasi muda yang mau belajar batik,” ujar Nur.

Theresia Andayani; Foto: Wisnu Ari