Batik Dua Muka Hermawan

Ketika Malaysia dan Filipina sangat antusias mematenkan batik, Indonesia terkesan tenang-tenang saja. Mungkin hanya sedikit orang yang prihatin atas hal itu, termasuk di antaranya Hermawan. Dia mengenal batik nyaris sepanjang hidupnya dan tak ingin batik Indonesia justru dilupakan bangsanya sendiri.

Hermawan (50) akrab dengan batik karena dia adalah anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Lim Tjie Liang dan Lie Siok Lee, pengusaha batik cap di daerah Karet Pedurenan, Jakarta Selatan, yang telah berusaha sejak puluhan tahun lalu. Setiap hari dia melihat bagaimana batik dibuat, baik batik cap maupun batik tulis, yang pengerjaannya bisa makan waktu sampai enam bulan.

Baginya, motif batik tak akan ada habisnya, seiring dengan kreativitas yang tanpa batas. Motif-motif batik klasik, kontemporer, ataupun motif klasik yang dimodifikasi di sana-sini terus berkembang. Namun, dia justru gelisah karena produksi batik yang berkualitas dalam jumlah banyak acap kali tak bisa memenuhi jadwal waktu pemesanan.

"Dari pengalaman mengelola usaha batik, saya melihat sering orang ingin memesan batik sekualitas batik tulis dalam jumlah banyak, tetapi kami tak mampu memenuhinya. Kalaupun dipaksakan, harganya terlalu mahal, dan tetap saja batik seperti itu tak bisa dibuat secara massal," tuturnya.

Ide untuk membuat alat yang bisa menghasilkan batik berkualitas setara batik tulis dalam jumlah banyak sudah muncul sejak dia mahasiswa pada Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung. Namun, setelah lulus sarjana tahun 1981, ia tak kunjung bisa mewujudkan idenya sebab harus membantu usaha batik keluarga yang dikelola oleh kakaknya, Lim Pek Lam.

Di waktu luang, Hermawan bereksperimen membuat alat yang bisa menghasilkan batik sekualitas batik tulis. Namun, dia selalu gagal. Tahun 1992 usaha batik keluarga di Karet Pedurenan ini ditutup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Hermawan memindahkan usaha tersebut ke kawasan Cikarang, Bekasi.

Sibuk menyesuaikan diri dengan lokasi baru, setelah tahun 1995 Hermawan baru bisa menekuni eksperimennya untuk membuat alat teknik cetak dua muka (duplex printing). Hanya saja, teknik ini baru bisa digunakan di atas kain yang berukuran 60 cm x 120 cm.

"Ini pun saya sudah senang karena sebelumnya teknik printing dua muka baru bisa diterapkan di atas bahan ukuran 40 cm x 40 cm atau 40 cm x 70 cm," ujarnya.

Tak puas dengan keberhasilan itu, Hermawan mencoba menggunakannya untuk kain berukuran 107 cm x 210 cm, tetapi gagal. Dia terus mencoba, dan selalu gagal. Sampai sekitar Oktober 2005, Hermawan sempat putus asa dan merasa mustahil hal itu bisa dilakukan.

Mulai dengan satu warna

Sekitar Juni 2006, Hermawan kembali ke percobaannya membuat teknik cetak dua muka. "Selama tiga bulan saya mencoba, tapi selalu gagal. Setelah itu, saya baru berhasil membuat alat untuk teknik printing dua muka dengan menggunakan flat screen printing di atas kain ukuran 107 cm x 210 cm. Ini pun hanya bisa satu warna saja," ungkap Hermawan.

Meski baru bisa diterapkan untuk membuat batik dengan satu warna, pencapaian itu membuat Hermawan kembali bergairah. Dia lalu mencoba lagi dengan dua warna, kemudian tiga warna, dan terakhir dia berhasil dengan lima warna.

"Duplex printing punya kelebihan dapat digunakan untuk dua muka. Jadi saya coba lagi dengan warna yang berbeda pada kedua bagian batik, dan ternyata berhasil," paparnya.

Dengan menggunakan alat cetak tersebut dia mencoba membuat batik dengan motif batik tulis dari Pekalongan. Hasilnya tidak mengecewakan.

"Kalau batik tulis aslinya dikerjakan berbulan-bulan dan harganya bisa dari Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per kain, dengan duplex printing bisa lebih cepat dan kualitasnya pun bersaing. Meskipun, memang, hasil pewarnaannya lebih terang (muda) dibandingkan dengan warna batik tulis," tutur Hermawan.

Dengan menggunakan teknik cetak dua muka, pengerjaan batik bisa lebih cepat dan harga jualnya juga lebih murah. Dengan alat itu dia bisa membuat dua sampai lima kodi kain batik sehari, yang kualitasnya mirip batik tulis.

"Dengan teknik duplex printing, harga jual kain batik dengan bahan katun primissima, misalnya, bisa ditekan sampai sekitar Rp 100.000 sampai Rp 120.000 per lembar," ujarnya.

Tidak ingin "kecolongan", Hermawan segera mengurus pematenan hasil penemuannya tersebut. Pembuatan batik dengan teknik cetak dua muka (duplex printing) yang menggunakan layar cetak rata (flat screen printing) itu pun segera didaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan nomor pendaftaran P. 00200600586.

Menurut Hermawan, teknik duplex printing atau teknik dua muka tak hanya bisa digunakan untuk jenis bahan tertentu. Ia juga menggunakan teknik ini untuk menghasilkan batik di atas berbagai jenis kain, seperti rayon, katun, dan poliester.

Dengan teknik cetak dua muka ini, kata Hermawan, tak berarti ia ingin menyaingi batik tulis. Kecintaannya pada batik yang telah mengisi nyaris sepanjang hidupnya membuat Hermawan berhasrat memberi lebih banyak pilihan agar batik semakin berkembang dan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

"Batik hasil cetak dua muka ini tak akan menyaingi batik tulis halus. Batik tulis yang dibuat dalam jumlah terbatas itu sangat eksklusif dan sudah punya pangsa pasar sendiri," tuturnya.

FX Puniman Wartawan, Tinggal di Bogor

Batik dari Titik Menjadi Abadi

JAKARTA – Siapa yang tak kenal batik. Hampir semua orang mengenalnya. Kain ini memang populer di kalangan tertentu, dijadikan benda koleksi, dipuja, dan disimpan bak barang antik. Tak mengherankan untuk mendapatkannya, kolektor rela mengeluarkan dana tak terbatas hanya untuk selembar batik.

” Bukan nilai uangnya yang menjadi ukuran, tapi kepuasan jika berhasil memiliki,” ujar Thomas Sigar, kolektor batik yang juga
Jenis batik Pekalongan berwarna cerah dan coraknya besar. Biasa dipakai sebagai pasangan untuk kebaya encin.

Kenapa kain itu disukai dan dijadikan koleksi? Menurut beberapa kolektor karena batik adalah barang seni. Batik ibarat sebuah lukisan, pembuatannya makan waktu, tidak pabrikan tapi satu persatu. Ini dianggap bernilai, terutama jenis batik kuno yang motifnya klasik. Batik klasik memiliki pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif flora dan fauna.

Dulu sempat berkembang polemik soal arti kata batik berasal dari mana. Sampai sekarang pun mereka belum sepakat soal apa arti sebenarnya kata batik itu. Ada yang bilang bahwa sebutan batik berasal dari kata tik yang terdapat dalam kata titik. Titik berarti juga tetes. Memang dalam pembuatan kain batik dilakukan penetesan lilin di atas kain putih.

Ada juga yang mencari asal kata batik dalam sumber tertulis kuno. Oleh mereka yang menelusuri dari data kuno itu dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Pendek kata, asal mula batik lalu dikaitkan pula dengan seni lukis dan gambar pada umumnya. Setuju atau tidak, batik tak terpengaruh. Kain khas ini sudah hadir selama berabad-abad.

Bisa Punah
Pada awalnya batik adalah pakaian raja-raja di Jawa di masa silam. Kemudian berkembang menjadi pakaian sehari-hari orang Jawa. Walau batik identik dengan pakaian adat Jawa, namun kini sudah menjadi pakaian nasional, bahkan cukup dikenal di mancanegara. Kepopuleran batik seakan pisau bermata dua. Di satu sisi menjadikannya komoditas yang bernilai, di sisi lainnya batik kuno bakal punah karena dibeli oleh orang asing.untuk koleksi.

” Sebenarnya itu ketakutan yang nggak beralasan,” ujar Thomas. Batik kuno memang harganya mahal. Ada yang jutaan rupiah sampai ratusan juta rupiah. Orang-orang asing itu, lanjutnya, punya apresiasi yang baik terhadap batik dan punya uang. Mereka tak hanya sekadar mengoleksi tapi juga belajar tentang batik. Berbeda dengan orang kita yang sekadar koleksi dan cenderung ikut-ikutan. Apa itu batik dan apa makna di dalamnya, kurang dipahami.

Menurut Thomas, memang ada banyak juga warga Indonesia yang sangat mengerti batik. Mereka berusaha menyelamatkan dan melestarikan lewat perkumpulan atau upaya pribadi. Mereka ini saling bertukar informasi dengan berbagai kolektor, termasuk kolektor asing. ” Jadi saya nggak setuju kalau batik kuno bakal hilang. Mereka menyimpannya teliti dan sangat baik,” katanya.

Motif Langka
Thomas mengaku suka batik sejak lama. Sebagai perancang busana, dia mau tak mau akhirnya bersentuhan dengan kain itu. Koleksinya adalah batik-batik lawas tapi pilihan. Jumlahnya ratusan buah. Dia tak mau bicara soal nilai koleksinya, tapi dijamin semuanya berkualitas.

Dari sekian banyak koleksinya, ada batik yang amat disukainya, yakni batik Van Zuylen. Thomas memiliki tiga batik buatan orang Indo Belanda itu. Dalam perkembangan perbatikan di Tanah Air, ada fase penjajahan Belanda.

Dalam fase ini, batik lokal dipengaruhi oleh selera Eropa. Makanya dalam motif-motif batik yang ada dalam masa itu terdapat buket, kartu remi, meriam dan sebagainya yang berbau-bau Eropa.

Koleksi Thomas lainnya adalah batik Cirebon yang bermotif mega mendung. Bagi penggemar batik, rasanya tak mungkin tak mengoleksi jenis batik pesisiran itu. Tapi yang ini, sambungnya, unik. Dasar kainnya hitam dengan motif mega mendung merah. Belum pernah Thomas melihat dasar kain batik Cirebonan berwarna hitam. Koleksi ini didapat seorang ibu yang dulu pernah bekerja pada Fatmawati Soekarno, presiden pertama RI.

Untuk menghadirkan motif klasik yang langka, ada upaya dari penggemar batik Mereka membuat batik baru dengan motif-motif lama. Ini salah satu pelestarian motif sehingga tidak hilang. Tetapi dari segi mutu, berbeda karena proses yang dilakukan pada zaman dulu berbeda dengan masa kini. Sehingga bagi kolektor fanatik, jenis batik replika ini kurang digemari. Tetapi bagi pecinta batik lainnya, ketimbang tidak dapat yang asli yang replika pun boleh-boleh saja

Sulit Membedakan
Membedakan yang asli dan replika bagi penggemar pemula, memang agak susah. Apalagi jika ia tak pernah melihat sebelumnya di literatur. Tapi bagi yang ahli, mudah membedakannya, jika memegangnya. Terutama dilihat dari tekstur kain dan tampilan warna. ” Yang replika biasanya lebih bagus dari aslinya,” sambung Thomas.

Tapi bukan pula yang bagus itu selalu replika. Sebab banyak batik Belanda, begitu julukannya, disimpan secara apik oleh pemiliknya. Sehingga sampai kini pun warnanya tidak berubah, kainnya mirip kain baru.

Mungkin karena sama sekali tidak pernah dipakai. Begitu pun jenis batik klasik lainnya yang tetap bagus kondisinya hinga kini. ” Penyimpanan dan perawatan menentukan keawetannya. Sebaiknya jika ingin mengoleksi batik kuno, kita harus rajin tanya. Atau membeli langsung dari pemilik atau pewarisnya,” saran Thomas.

Etty Tejalaksana, penggemar baru, mengakui awalnya dia sering tertipu. Membedakan antara batik yang bagus dan tidak saja, sulit. Makanya sarannya jika seseorang ingin menekuni hobi batik, harus belajar. Ilmu batik tak hanya yang ada di buku-buku. Semakin sering terjun ke lapangan yakni mendatangi pembatik tradisional, berburu ke pelosok, bisa mengasah pengetahuan. Ibarat bayi, semakin sering jatuh maka semakin cepat berdiri.

Ibu tiga anak itu mencontohkan batik Pekalongan yang diperlihatkan pada SH. Secara kasat mata, penampakannya sempurna. Warna-warnanya serasi, motifnya menarik, namun kalau diperhatikan ada warna yang tidak merata. ” Dalam proses pembuatan, mungkin perajin kurang cermat mencelupkanya saat pewarnaan. Jadi batiknya belang-belang tipis. Ini produk gagal, namun ada yang suka karena gradasi warnanya serasi,” tuturnya.

Etty mengaku jumlah koleksinya baru sekitar 150 lembar, terdiri dari kain dan selendang. Maklum dia baru menyukai batik pada 1998 akhir. Ketika itu dia jatuh hati pada batik Hohokay. Dikatakannya, ini batik spesial yang dibuat pada masa penjajahan Jepang. Motifnya banyak dipengaruhi unsur Jepang. Seperti warnya yang condong kebiru-biruan dan kekuning-kuningan.

Dari sinilah dia kemudian mulai mengoleksi satu demi satu. Pikirnya ketimbang kebarat-baratan, lebih baik melestarikan karya leluhur saja.
(SH/gatot irawan /bayu dwi mardana)

Produksi Batik di Tegal Turun

TEGAL, KOMPAS - Produksi batik tulis di Kota Tegal atau biasa dikenal sebagai batik Tegalan menurun. Sejumlah pembatik mengaku terkendala ketersediaan minyak tanah dan kenaikan harga bahan baku.

Korilah (36), pembatik Tegalan asal Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Rabu (29/8) mengatakan, kesulitan minyak tanah terjadi sejak awal Agustus lalu. Namun semakin parah sejak satu minggu lalu. Saat ini ia mengaku tidak lagi memperoleh minyak tanah di wilayahnya, namun harus mencari hingga Kabupaten Tegal. Harganya pun sangat mahal, Rp 3.000 per liter.

Menurut Korilah, selama ini minyak tanah digunakan oleh pembatik untuk memasak lilin atau malam. Rata-rata satu pembatik membutuhkan sekitar satu liter minyak tanah per hari.
Kegiatan membatik biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga, mulai pukul 08.00 hingga 16.00. Jumlah pembatik di wilayahnya sekitar 100 orang. Sebagian bekerja secara perseorangan, sebagian lainnya menjadi buruh batik di tempat orang lain.

Korilah mengaku memiliki enam pembatik, dengan produksi sekitar 10 potong kain batik per minggu. Akibat kesulitan minyak tanah, produksinya turun menjadi enam hingga delapan potong kain per minggu.

Menurutnya, sebagian pembatik yang tidak kebagian minyak tanah terpaksa berhenti bekerja. Sebagian lainnya memanfaatkan kayu bakar untuk memasak malam. Meskipun demikian, penggunaan kayu bakar menimbulkan asap yang meyebabkan iritasi pada mata serta kotoran pada kain batik. Panas yang dihasilkan dari kayu juga tidak stabil, sehingga malam yang dihasilkan terlalu hitam.

Korilah mengakatan, saat ini pembatik juga terkendala kenaikan harga bahan baku, berupa kain, obat pewarna, dan malam. Harga kain naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 21.000 per potong ukuran 220x115 sentimeter.

Harga malam naik dari 12.000 menjadi Rp 13.000 per kilogram, sedangkan harga obat pewarna naik dari Rp 2.500 menjadi Rp 3.000 per satu bungkus. Untuk menghasilkan satu lembar kain batik dibutuhkan satu kilogram malam dan lima bungkus obat pewarna.

Kenaikan harga bahan baku tersebut menyebabkan naiknya biaya produksi, sehingga modal yang dikeluarkan juga lebih besar. Padahal pembatik masih kesulitan menaikkan harga jual kain batik. Saat ini kain batik Tegalan dijual Rp 110.000 hingga Rp 115.000 per lembar.

Muniroh (32), pembatik lainnya di Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal juga mengaku mengalami kesulitan minyak tanah. Akibatnya, produksinya turun hingga 30 persen.

Padahal memasuki bulan puasa dan lebaran, biasanya permintaan kain batik meningkat. Ia juga tidak mampu menambah persediaan bahan baku, akibat terkendala kenaikan harga.
Laporan Wartawan Kompas Siwi Nurbiajanti

Kembangkan Batik Tegal Melalui Inovasi Corak Tradisional Jangan Sampai Hilang

SEMARANG, KOMPAS - Kabupaten Tegal terus akan mengembangkan batik Tegal dengan menciptakan inovasi, baik warna maupun cara pembuatan. Namun, hal ini harus dilakukan dengan tetap melestarikan corak batik Tegal agar tidak disamakan dengan batik dari daerah lain.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Tegal Bambang Susanto, Sabtu (26/5), mengatakan, inovasi yang dilakukan menggunakan warna-warna baru, seperti merah maupun hijau. Selain itu, inovasi ini juga dikembangkan dengan menggunakan batuk cetakan.

Hal ini dikatakan Bambang berhubungan dengan pameran batik Tegal di Hotel Santika Premiere Semarang yang diawali dengan peragaan busana.

Busana yang ditampilkan sebagian merupakan modifikasi, tetapi tetap menggunakan corak tradisional batik Tegal. Batik Tegal tergolong jenis batik pesisir karena ragam hiasnya naturalis dan tidak terbatas oleh aturan seperti batik Yogyakarta dan Solo. Corak batik Tegal juga cenderung menyajikan bentuk yang berorientasi pada flora dan fauna seperti berupa daun, bunga, buah, dan binatang.

"Kami terus mengadakan inovasi karena batik Tegal masih sangat kompetitif terutama karena mampu mengikuti perkembangan mode busana. Corak warnanya tidak sulit mengikuti perkembangan busana," ujar dia. Ketua Dewan Kesenian Nasional Daerah Kabupaten Tegal Nyonya Aam Agus Riyanto mengatakan, pemerintah kabupaten memfasilitasi dengan membentuk kelompok usaha. Dari 18 kecamatan yang ada, kata dia, lima di antaranya cukup produktif, yaitu di Kecamatan Talang, Adiwerna, Slawi, Dukuhturi, dan Pangkah.

Batik Tegal, kata dia, cukup potensial dengan jumlah perajin mencapai 255 unit usaha yang tersebar di 10 desa di lima kecamatan. Batik ini meliputi batik cap maupun tulis.

"Salah satu cara untuk mendorong perkembangan batik adalah mewajibkan penggunaan batik Tegal di instansi pemerintahan pada hari Sabtu," ujar dia.

Secara terpisah, Ketua Paguyuban Pecinta Batik Bokor Kencono Dyah Wijaya Dewi Tunjung mengatakan, Kabupaten Tegal boleh saja berinovasi dalam hal corak maupun warna batik. Namun, hal ini jangan sampai menyebabkan corak tradisional hilang.

"Membuat motif baru cukup baik, tetapi perlu diingat jangan sampai melupakan corak tradisional. Ciri ini yang membedakan batik Tegal dengan lainnya," kata dia.

Menurut Dyah, batik Tegal memiliki beberapa kekhasan, seperti warna yang terang degan latar cokelat. Motif batik juga cenderung penuh dengan isen-isen atau corak dominan yang mengisi bidang latar. (AB1)

Mereka Tak Ingin Batik Lasem Punah

Pengusaha menghadapi masalah kekurangan modal, pemasaran yang susah, hingga kurang tercukupinya tenaga pembatik.

Kediaman berarsitektur Cina milik Naomi Susilowati Setiono di lorong jalan Desa Karangturi, Lasem, terlihat lumayan ramai. Tampak beberapa orang sibuk bekerja di sebuah ruang yang tak begitu besar di bagian samping rumah. Kain-kain batik berserakan. Sementara itu, di pojok ruang depan, terlihat beberapa sepeda onthel milik orang-orang yang bekerja di tempat Naomi.

"Sebenarnya ada 120 orang," ujar perempuan 45 tahun itu saat menyebut jumlah orang yang bekerja di tempatnya. "Sebanyak 100 orang mengerjakan di rumah masing-masing. Sisanya tidak masuk kerja." Ada 10 orang bekerja hari itu. Ada yang nglengkreng (membuat pola), nerus (mengopi pola di baliknya), nembok (menutup bagian yang tidak berpola), ngelir (mewarnai), dan nglorot (mencuci kain untuk menghilangkan bahan membatik).

Meski demikian, usaha Naomi bukanlah usaha besar. "Usaha ini bisa berputar saja saya sudah senang," katanya saat ditemui pekan silam.

Naomi berusaha keras mempertahankan usaha yang dirintis oleh leluhurnya yang pernah jaya, memproduksi batik khas Lasem, dengan nama Maranatha Batik. Usaha Naomi sendiri adalah warisan dari bapaknya, Ong Liang Djie, penerus Ong Oen Hwie, yang mendapat warisan dari Ong Jok Thai yang hidup pada 1800-an.

Naomi menyimpan batik-batiknya di lemari di dalam kamar dan baru dikeluarkan kalau ada pembeli atau pemesan datang.

Naomi telah jatuh-bangun dalam upaya mempertahankan usaha ini. Tak hanya dia, pengusaha batik lain, Santoso Hartono, pun merasakan hal yang sama.

Showroom batik Pusaka Beruang milik Santoso yang berukuran 6 x 8 meter di Jalan Jatirogo, Lasem, tutup. "Barangnya lagi kosong," ujar Santoso. Sebab, batik yang diproduksi Santoso masih sangat terbatas.

Santoso meneruskan usaha yang dirintis kakeknya, Tjian Liok Jang Nio, yang kemudian turun ke ibunya, J. Frida.

Usaha Santoso sempat tutup. Baru tiga tahun silam, showroom-nya kembali dirintis. Tak sia-sia, kini ia mampu berproduksi setidaknya 300 lembar kain dalam sebulan dengan harga Rp 75-750 ribu per potong. Ia mempekerjakan 145 orang, termasuk pembatik, dengan 20 orang bekerja di rumahnya, yang juga menjadi kantor dan showroom.

Kondisi ini dirasa memprihatinkan. Kota Lasem, sekitar 15 kilometer dari Rembang, begitu terkenal sebagai pusat batik sejak abad ke-14. Dalam buku karya perancang Iwan Tirta berjudul Batik, a Play of Light and Shades disebutkan, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, batik Lasem menguasai Nusantara.

Namun, lambat-laun kejayaan tersebut memudar. Menurut Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Rembang Sadono, di Lasem sekarang hanya tinggal 30 unit usaha batik tradisional. Mereka tersebar di delapan desa, yakni Jolotundo, Sumbergirang, Karangturi, Ngemplak, Sodetan, Babagan, Gedongmulyo, dan Karas Kepah.

Padahal pada 1950-an, menurut Sadono, tercatat terdapat 140 pengusaha dan terus merosot menjadi 70 pengusaha pada 1970.

Masalah yang dihadapi, menurut para pengusaha, dari modal yang kurang, pemasaran yang susah, hingga kurang tercukupinya tenaga pembatik.

"Banyak kaum muda lebih memilih jaga toko dibanding menjadi tenaga pembatik," kata Naomi.

Meski susah, kebanyakan pengusaha tak ingin bisnis batik ini mati. "Kami hanya mempertahankan agar Lasem tidak terhapus dalam sejarah," ujar Santoso.

Demikian pula dengan Naomi. "Kami tak ingin batik Lasem punah," katanya.

Jatuh-bangun pun ia jalani untuk tujuan tersebut. Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, usahanya seret. "Hampir setahun kami menghentikan usaha," kata ibu tiga anak ini.

Namun, ia kembali bangkit. Kini, di buku tamunya, berjajar nama orang asing dari Singapura, Swiss, Inggris, Argentina, Prancis, sampai Jepang. Harga batiknya berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 3 juta dan omzetnya kini mencapai Rp 30 juta sebulan.

Kalau Naomi pasif, tidak demikian dengan Santoso. Pria 40 tahun ini gencar menjual batiknya. Pria yang mengaku telah 11 tahun mengenal batik ini kerap memanfaatkan acara-acara pameran di berbagai kota, seperti Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Ia juga aktif melobi sejumlah instansi pemerintah di Jawa Tengah untuk menggunakan batiknya. Hasilnya, omzetnya bisa mencapai Rp 100 sebulan. Batik Lasem pun belum segera punah. BANDELAN A

Batik Lasem, Batik Encim

Batik Lasem sudah ada sejak abad ke-14 dan lebih dikenal dengan nama batik encim. Ini karena perintisnya adalah warga Cina perantauan yang lama tinggal di Lasem. Pemakainya di zaman dulu juga kebanyakan keturunan Cina.

Menurut Slamet Muljana dalam buku Persada Sejarah Leluhur Majapahit, secara turun-temurun, hampir setiap orang Cina di Lasem membuka usaha batik. Adapun pembatiknya direkrut dari warga sekitar--petani yang menunggu musim tanam atau panen tiba.

Jenis batik Lasem ada dua, yakni batik tiga negeri dan empat negeri. Batik tiga negeri adalah batik dengan tiga warna: merah, biru, dan cokelat. Adapun batik empat negeri adalah batik yang diwarnai dengan warna merah, biru, cokelat, dan kuning.

Disebut tiga negeri karena, pada waktu awal usaha, batik Lasem dibuat oleh pembatik dari tiga daerah. Pembatik Lasem hanya bisa mewarnai merah darah ayam khas Lasem. Adapun untuk mewarnai batik dengan warna biru harus dibawa ke Kudus dan untuk cokelat harus dibawa ke Solo atau Yogyakarta. Sementara itu, yang empat negeri, ditambah warna kuning, bisa dikerjakan oleh orang Pekalongan. BANDELAN A

Berburu Kain di Kota Kartini

Jakarta – Ada dua kota yang pernah ditinggali Kartini. Masa kecilnya ia habiskan di Jepara, sebagai salah satu putri dari RM Sosroningrat (Bupati Jepara ketika itu) dan ketika menikah, ia pindah ke Rembang, tempat suaminya, Raden Adipati Djojodiningrat, ditugaskan sebagai bupati.

Dua kota itu menyimpan tradisi kain tradisional yang menarik perhatian sejumlah sosialita Jakarta yang tergabung di Yayasan Warna-Warni Indonesia ketika melakukan perjalanan ke kota Kartini pada 25—27 April lalu.

Sesungguhnya, perjalanan itu berupa napak tilas tempat-tempat yang pernah disebutkan Kartini dalam suratnya kepada salah seorang sahabatnya yang berkewarganegaraan Belanda, Abendanon (ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda). Namun, ternyata dua kota itu bukan hanya menarik dari sisi sejarah Kartini saja. Kain tradisional mereka pun menjadi serbuan peserta perjalanan yang berjumlah lebih dari 100 orang itu.

Di kota pertama, Jepara, ditemukanlah kain tenun troso yang persebarannya sudah mendunia. Salah seorang perajin, yang didatangkan dari Desa Troso ke pendopo Kabupaten Jepara (dahulu pendopo ini adalah bagian dari rumah keluarga Kartini yang kini ditempati bupati Jepara), adalah Hisyam Abdul Rahman yang baru-baru ini unjuk keahlian membuat kain atbm (alat tenun bukan mesin) yang lebarnya enam meter dan panjang 150 meter. Dengan karyawannya yang berjumlah 250, ia mengolah benang sampai menjadi pakaian. Sebanyak 60% produksinya diekspor ke luar negeri, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Brasil, Meksiko, Australia, Singapura, dan Uni Emirat Arab (Abu Dhabi).

Jumlah produksinya yang melimpah memungkinkan Hisyam amat produktif. Jika tenun tradisional lainnya menghasilkan satu kain dalam waktu tiga sampai dengan empat bulan, Hisyam bisa menghasilkan 15 potong kain dalam sehari. Rahasianya? “Satu alat tenun bisa menghasilkan 100 potong kain,” kata Hisyam yang ditemui tengah memeragakan alat tenun itu di hadapan pengunjung.

Rahasia lainnya, Hisyam terpaksa menggunakan warna-warna kimia demi mengejar jumlah produksi. “Kalau gerak cepat seperti ini pakai (pewarna) kimia, tapi saya bisa atur sehingga mendekati warna alam. Kalau menggunakan warna alam, tidak bisa menerima orderan (banyak),” tuturnya.

Sayangnya, pakaian yang dirancang Hisyam masih terlalu konvensional, hanya berupa jas dan kemeja lengan panjang atau pendek untuk laki-laki, serta blazer untuk perempuan. Berbeda ketika tenun troso, yang banyak disangka sebagai kerajinan khas Bali, mendapat sentuhan tangan perancang dari Jakarta. Yani Somali, perancang langganan sosialita Jakarta, mengubah tenun troso itu menjadi blus dengan banyak model, terutama potongan babydoll yang sedang digandrungi, atau sekadar blue bersiluet longgar dengan lengan balon. Siapa tahu, usai melihat karya Yani Somali ini, Hisyam mendapat pencerahan untuk merancang model pakaian yang lebih beragam.

Lasem
Berbeda dengan tenun troso yang jumlah produksinya melimpah, batik Lasem justru sebaliknya. Lasem, salah satu wilayah di Kabupaten Rembang, kabupaten yang menjadi tujuan kedua Yayasan Warna-Warni Indonesia, masih mempertahankan tradisi batik tulis. Menurut Santoso Hartono, salah seorang pengusaha, batik Lasem memiliki keunikan. Mereka juga punya motif sekar jagad, brayo, bintangan, atau parangan, tapi semua dicampur aduk.

Ciri lainnya adalah penggunaan warna. Lasem punya pakem empat warna, merah, hijau, biru, dan cokelat, yang menjadi ciri batik tiga negeri, atau tambahan violet (ungu) yang menjadi ciri batik empat negeri. Namun, belakangan para perajin menuruti selera pasar dengan menghilangkan warna cokelat.

“Cokelatnya saya buang, saya ambil yang merah. Orang Jakarta suka warna-warna kalem,” kata Santoso yang menjadikan Jakarta sebagai target pemasaran batiknya.
Santoso hanyalah satu dari 25 perajin batik di Lasem, dengan label batik Pusaka Beruang. Kini ia mempkerjakan 250 karyawan, 230 bekerja di tempat usahanya, 20 sisanya pekerja rumahan.

Di Lasem, tradisi membatik masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kaum tua, yang kebanyakan memilih bekerja di rumah.
Dibandingkan dengan perajin lainnya, Santoso terbilang baru. “Nenek saya dulu punya usaha batik, kemudian vakum sekitar 10 tahun. Saya melihat regenerasi batik, tidak ada yang mau (meneruskan). Saya kemudian masuk, saya kalkulasikan, ternyata kok bisa menambah pemasukan orang-orang Lasem,” katanya.

Regenerasi yang disebut Santoso itu memang kurang, kebanyakan anak muda Lasem memilih merantau ke Jakarta ketimbang meneruskan tradisi. Sebagai contoh, batik lasem melalui proses membatik yang cukup panjang pertama nglengkreng (membuat pola), nembok (menutup bagian yang tidak berpola), dan nerusi (mewarnai), tidak bisa dilakukan hanya oleh satu orang saja. Proses pertama itu kebanyakan yang mengerjakan adalah orang tua.

“Dalam tiga tahun, dari 10 pembatik, paling hanya lima yang kemudian bisa nglengkreng. Biasanya ibunya yang nglengkreng, kemudian anaknya yang nerusi,” kata Santoso yang per bulannya menghasilkan 1.400 batik. Namun, masih beruntung pula, banyak perempuan merantau yang telah menikah, kembali lagi ke Lasem, dan membatik lagi.

Usaha mempertahankan tradisi itu yang akhirnya membuat batik lasem lebih mahal dibandingkan batik cetakan dari Solo, Jogja, atau Pekalongan. Oleh perajin, satu lembar batik yang dijual pada kunjungan Yayasan Warna-Warni itu paling murah Rp 150.000, meskipun pada akhirnya menjelang pameran berakhir, harga dibanting sampai Rp 90.000. Itu untuk harga batik dengan motif sederhana dan satu warna aja. Itulah keuntungan yang diraih para pembatik di era menjamurnya batik dua tahun belakangan ini.

“Dulu yang satu warna bisa dijual dengan harga Rp 50.000, sekarang dengan banyaknya permintaan harganya naik. Batik yang satu warna dijual Rp 80.000—Rp 90.000,” kata Santoso yang mendatangkan bahan katun dan pewarnanya dari Solo. Meskipun bisa dengan harga murah, yang laris manis di Jakarta justru yang harganya Rp 400.000, dengan dua atau tiga warna, atau yang paling mahal dalam pameran ketika itu adalah Rp 2,5 juta. n Oleh:Mila Novita

Meraih Kembali Masa Kejayaan Batik Lasem

"SEKARANG jarang yang membuat batik lasem. Saya tinggal punya tiga potong. Itu pun kulakan (pembelian) lama."

KHOIRIYAH (65), seorang pedagang pakaian di Pasar Lasem, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), menyampaikan hal itu sambil menunjukkan motif kawung dari sepotong kain batik lasem. Kain itu dia jual seharga Rp 65.000 per potong kepada pembeli. "Kain ini murah karena batikannya biasa. Tidak halus," ujarnya.

Menurut perempuan yang dulu juga berprofesi sebagai pembatik ini, sekarang sudah jarang orang yang membatik kain di Lasem, sebuah kecamatan yang kaya dengan tradisi, khususnya tradisi Tionghoa, di Kabupaten Rembang. Pembatik kain batik lasem kebanyakan adalah keturunan Tionghoa dan sekarang mereka umumnya sudah tua.

Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang lebih 13 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari luar daerah selalu transit di Terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur kendaraan, dan bukan Rembang. Misalnya, bus jalur Semarang-Lasem.

DI Lasem, konon lebih dari 200 tahun yang lalu, datanglah orang Tionghoa yang kemudian menghuni wilayah ini hingga keturunannya sekarang. Peninggalan pendatang Tionghoa itu masih terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah yang ada di daerah tersebut.

Di kota ini berderet bangunan tinggi besar yang kokoh. Dari luar tampak seperti bangunan biasa dengan tembok yang tinggi. Namun, ketika masuk ke dalamnya, terlihat sesuatu yang lain. Ukiran naga pada pintu-pintu besar, serta adanya altar tempat abu jenazah, memperlihatkan dengan jelas bahwa bangunan ini kental dengan nuansa Tionghoa yang disebut omah ombo karena besar dan luas. Misalnya saja rumah yang sekarang ditempati oleh Liem Gwat Nio (81) atau biasa dipanggil Oma Gwat yang terletak di Jalan Dasun, Lasem.

Menurut perempuan yang masih terlihat energik kalau berbicara ini, moyangnya adalah pelaut yang terdampar di Indonesia. Konon, mereka adalah pedagang candu yang kaya. Kisah masuknya etnis Tionghoa di daerah ini bahkan sempat diabadikan dalam film berjudul Ca Bau Kan karya Remy Silado. Orang ini juga yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan teknik batik tulis di Lasem, yang kemudian terkenal dengan batik lasem.

Menurut penuturan beberapa warga, dahulu batik lasem sangat terkenal. Jenis batik tulis, yaitu batik hasil lukisan tangan pada sepotong kain dengan menggunakan canting-alat lukis yang berfungsi sebagai pena-dan malam, jenis lilin yang berfungsi sebagai tinta untuk membatik, ini mempunyai nilai seni yang tinggi. Tak heran jika harga kain batik lasem mahal.

Nilai seni batik tulis lasem terletak pada motif dan kehalusannya dan bersifat relatif. Motif kain batik lasem bermacam-macam. Sedikitnya ada lima motif, yaitu tiga negeri, empat negeri, kawung, rawan, dan kendoro-kendiri.

Pembuatan batik dilakukan secara kumulatif, artinya masing-masing orang mengerjakan satu tahapan dalam jumlah banyak. Untuk menyelesaikan 100 potong kain batik tulis, dengan 20 tenaga kerja, waktu yang diperlukan sekitar dua bulan. Pembatikan itu melalui berbagai tahapan, mulai dari pembuatan pola (nglengkreng), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), dan mewarnai (nerusi).

Tahap nerusi ini bisa mencapai tiga kali proses, bergantung pada berapa warna yang digunakan. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama pula prosesnya.

"Per potong kain rata-rata dijual seharga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Ada juga yang lebih mahal, sampai Rp 1.000.000. Tetapi, hanya kain yang benar-benar istimewa, baik dari kehalusan batikan maupun motifnya," ungkap Purnomo, pemilik perusahaan batik tulis Cap Kuda di Lasem.

Menurut Purnomo, karena harganya yang mahal ini pula, batik tulis lasem mulai tergusur oleh batik cap atau batik printing yang harganya jauh lebih murah. Dahulu, perusahaan ini selalu kehabisan persediaan. Sekarang penjualan hanya rata-rata sekitar 20 potong setiap bulan.

"Sejak munculnya batik printing di era 1990-an, kondisi batik tulis lasem menjadi lesu," lanjut pria ini di tokonya yang berisi sekitar 300 potong kain batik. Keadaan ini lebih diperparah oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Penjualan batik tulis menjadi sangat merosot dan akibatnya banyak perusahaan batik tulis yang terpaksa tutup.

Dari sekitar 100 perusahaan batik tulis yang dulu ada di daerah ini, sekarang yang masih bertahan kurang dari 10 perusahaan. Salah satunya adalah milik Purnomo di Gedungmulyo, Lasem. "Boleh dibilang, kejayaan batik lasem sekarang tinggal 25 persen," lanjut Purnomo.

Selain karena faktor harga, kemunduran batik tulis lasem juga disebabkan oleh kehilangan generasi yang menekuni profesi ini. Umumnya angkatan muda dari Lasem lebih memilih merantau daripada mempertahankan tradisi membatik.

Purnomo, ayah tiga anak, mengakui, hingga sekarang tidak mempunyai penerus tradisi sehingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan usahanya kelak.

AKIBAT lesunya industri batik tulis ini, banyak pekerja yang umumnya adalah warga pribumi beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perikanan. Ada juga yang berusaha membuat industri batik tulis kecil-kecilan, yang kemudian dijual sendiri di pasar. Tentu dengan harga lebih murah.

Menghadapi kenyataan ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang berencana untuk mengangkat kembali batik tulis lasem. "Dalam jangka panjang kami berupaya agar batik lasem kembali terkenal dan jaya seperti dulu," ungkap Bupati Rembang Hendarsono.

Upaya yang ditempuh Pemkab Rembang adalah dengan mempromosikan batik tulis lasem ke dunia luar. Untuk mengurangi tingkat kemahalan batik tulis, upaya yang ditempuh adalah membuat produk pakaian dengan kombinasi batik tulis lasem dan kain biasa.

"Kami bekerja sama dengan desainer dari Kota Solo dan Rembang untuk membuat model pakaian casual dengan kombinasi kedua kain tersebut. Ini bisa membuat harga batik lasem lebih murah dan digemari masyarakat," lanjut Hendarsono.

Upaya ini mulai ditempuh sejak dua bulan lalu. Promosi terutama dilakukan di Jakarta dengan memanfaatkan media elektronik televisi swasta. Menurut Hendarsono, langkah ini memang masih awal, tetapi nantinya diharapkan akan memberi hasil yang baik.

Ia berharap batik lasem bisa meraih kejayaannya kembali. Bukan hanya dipakai dan digemari banyak orang, tetapi juga bisa menghidupi banyak orang. Batik lasem diharapkan bisa kembali menjadi "lokomotif" perekonomian Rembang. (SIWI NURBIAJANTI)

Sulitnya Mencari Generasi Penerus Batik Lasem

Lasem, sebagai kota batik di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mengalami masa kejayan pada 1970-an dengan corak khasnya berupa batik berwarna merah darah ayam.

Ketika itu hampir setiap rumah di kota kecamatan di pesisir utara Pulau Jawa itu memproduksi batik Lasem.

Dari mereka, tercipta ratusan motif batik dari corak klasik hingga kontemporer.

Tapi, motif klasik sebagai kenangan masa keemasan itu tidak lagi dikenal dan tersimpan rapi di Kota Lasem ataupun di Kabupaten Rembang. Semua itu justru berada di Negara Swiss, Belanda, Australia, dan Jepang.

Persoalan Rembang tidak hanya dari kepemilikan dokumentasi batik klasik khas Lasem, jumlah pengusaha batik pun tinggal hitungan jari. Para pembatik pun satu-persatu meninggalkan profesi tersebut dengan sejumlah alasan.

"Sebagian ada yang meninggal, hijrah ke kota, dan alih profesi untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga," kata pengusaha batik tulis Lasem, Purnomo (56).

Selama ini, keahlian para pembatik umumnya didapat secara turun-temurun dan kegiatan itu dilakukan sebagai sambilan, karena pekerjaan utama mereka adalah petani dan buruh tani di kampung halamannya.

Kondisi tersebut membuat produksi batik kurang maksimal dan keturunan mereka juga enggan meneruskan keahlian orang tuanya. Mereka lebih memilih hijrah ke kota besar untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.

Menurut Purnomo, merosotnya batik Lasem tersebut diperparah dengan hadirnya batik cetak dan sablon dari sejumlah daerah penghasil batik, karena harga jual batik cetak maupun sablon jauh lebih murah dibanding batik tulis.

"Batik sablon bisa dijual Rp30ribu per helai, bahkan ada yang menawarkan dalam bentuk baju dengan harga Rp50 ribu per baju. Sedangkan batik tulis, per helai paling murah Rp100ribu, belum termasuk ongkos jahitnya," katanya.

Hal itu menjadi mimpi buruk bagi pengusaha batik yang sudah terpuruk sejak krisis tahun 1998.

Saat ini, hasil penjualan yang impas dengan biaya produksi dianggap sebagai keberuntungan untuk mempertahankan kelangsungan usaha perbatikan.

Untuk menyiasati situasi yang demikian, para pengusaha terpaksa merampingkan usaha dengan memangkas jumlah produksi.

Semula, setiap pengusaha selalu berproduksi untuk mengisi stok barang. Namun kini mereka hanya berproduksi ketika ada pesanan.

Pemilik Galeri Batik Cap Kuda itu mengatakan, saat usahanya jaya dia memiliki tenaga kerja 250 orang orang. Saat ini tinggal 30 pekerja yang tersisa.

"Bahkan, sebagian dari mereka itu hanya tenaga kerja lepas, dengan usia rata-rata di atas 40 tahun," katanya.

Usaha yang dilakukan untuk menjaring generasi penerus yang memiliki keahlian membatik sebenarnya sudah dilakukan. Namun, untuk mendapatkan tenaga dari generasi muda yang berminat bekerja sebagai pembatik sangat sulit.

Menurut Purnomo, ketidaktertarikan generasi muda untuk membatik karena alasan nilai ekonomi yang rendah dan tidak memiliki prestise.

"Jika begini, kelangsungan batik tulis Lasem tinggal menghitung hari, karena tidak ada lagi generasi yang akan meneruskannya," katanya.

Bagi Purnomo, usaha batik yang dijalaninya saat ini tinggal menunggu keberuntungan nasib. Bahkan dia menilai upaya promosi tidak akan berhasil, karena batik selama ini masih terkondisi untuk kalangan menengah atas dan khusus dipakai untuk acara tertentu.

Kalangan masyarakat sekarang ini jarang memakai kain kebaya melainkan lebih senang memakai celana dan rok karena lebih praktis, modis, dan murah dibanding batik tulis.

Kondisi tersebut kian membuat pasaran batik tulis, khususnya batik Lasem semakin melemah.

Instruksi Pemerintah Provinsi kepada sejumlah instansi di kabupaten untuk menggunakan seragam batik khas daerah masing-masing memang menjadi angin segar bagi pengusaha batik untuk bangkit.

Namun, belum adanya kejelasan regulasinya membuat sejumlah pegawai di instansi pemerintah hanya menganggap aturan itu sebagai formalitas dengan memakai batik cetak yang lebih terjangkau harganya.

"Kami senang dengan upaya pemerintah provinsi mewajibkan pegawai di sejumlah instansi pemerintah menggunakan seragam batik. Meski demikian, apakah mereka juga harus beli sendiri," kata Naomi Susilowati Setiono (49), pengusaha batik di Lasem.

Dia mengatakan, rata-rata harga batik paling murah berkisar Rp100 ribu per helai. "Apakah pegawai tingkat rendah mampu beli, kalau Kepala Dinas saya yakin mampu," katanya.

Seharusnya, kata dia, ada bantuan dari pemerintah untuk membelikan baju seragam batik bagi sejumlah pegawainya. Jika ingin mengangkat batik tulis, tentunya yang dibeli batik tulis bukannya batik lain.

Menurut dia, selain akan membangkitkan semangat membatik, usaha tersebut juga akan menyadarkan sejumlah kalangan terhadap warisan budaya batik tulis Lasem.

Kenyataan membuktikan, rendahnya apresiasi terhadap batik tulis juga mengakibatkan kurang memasyarakatnya karya seni kerajinan tangan itu, karena selama ini batik dinilai khusus untuk kalangan berduit, kolektor, pecinta seni, dan dipakai pada kesempatan tertentu pula.

Menurut Naomi, hal lain yang menyebabkan batik Lasem sulit berkembang adalah sulitnya mencari generasi penerus.

"Berbagai upaya sudah kami lakukan namun minat generasi terhadap batik sangat kurang. Padahal dari mereka inilah kami berharap kelangsungan batik Lasem bisa diteruskan," kata ibu dua anak itu.

Naomi mengaku sangat prihatin dengan kondisi perbatikan di Lasem, terutama generasi pembatiknya yang terus berkurang. Padahal, batik Lasem tidak terikat dengan pakem, sebagaimana batik Solo dan Yogyakarta yang harus terikat dengan pakem.

Untuk itu, pihaknya tengah berusaha keras menjaring bakat muda dari sekolah dasar dan tingkat lanjutan pertama bekerjasama dengan dinas pendidikan setempat.

Sayangnya, kata dia, upaya tersebut kurang mendapat respondari pihak sekolah dengan alasan tidak ada dana.

Naomi juga telah mencoba mengusulkan muatan lokal pelajaran membatik pada salah satu mata pelajaran di sekolah, yang dinilai lebih mendidik dan memberikan keahlian bagi siswa dibanding dengan pelajaran tata boga yang bisa dipelajari sendiri.

Dia berpendapat, pemerintah sepertinya memang tidak terlalu serius mengangkat batik tulis sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan sebagai usaha yang bisa mengangkat perekonomian masyarakat sekitar.

Naomi saat ini berusaha sendiri mencari generasi penerus pembatik dengan menjaring ibu-ibu rumah tangga dan anak putus sekolah di sejumlah daerah untuk dididik menjadi pembatik.

"Pernah sekali waktu kami mendidik 40 peserta dan hasilnya hanya 12 orang yang memenuhi syarat," ungkapnya dengan nada gembira.

Dia berharap, pada masa mendatang kerajinan batik benar-benar bisa mendapatkan apresiasi dari masyarakat Lasem dan pencinta batik Indonesia.

Oleh R. Rekotomo dan A. Nazaruddin

Batik Lasem Punya Nilai Seni Cukup Tinggi

REMBANG -Jika Anda punya waktu untuk berkunjung ke Rembang, sempatkan mampir di Kota Lasem. Jangan sampai terlewatkan. Pasalnya, Lasem kaya akan peninggalan bersejarah, baik yang berkaitan dengan sejarah Wali Sanga maupun Tionghoa.

Selain itu, Lasem menyimpan ragam jenis kerajinan rakyat, salah satunya kerajinan batik tulis khas pesisiran. Sampai-sampai orang luar negeri, terutama dari Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika terpikat kepada batik lasem.

Sekali melihat batik lasem, pasti hati akan tertarik. Sebab, batik itu dibuat melalui proses yang cukup rumit, tanpa menggunakan mesin atau kecanggihan teknologi. Semuanya dikerjakan dengan tangan, sehingga memiliki nilai seni yang cukup tinggi.

Proses pembuatannya melalui sembilan tahap. Pertama, memotong kain yang disesuaikan dengan ukurannya. Setelah itu, diberi pola (gambar), kemudian nerusi (penyempurnaan gambar), nembok (menutup gambar dengan lilin), mewarnai, nglorot (membersihkan lilin), dan dijemur. Setelah kering, kain batik itu dipres kemudian dikemas dan siap dijual.

Herr Wae Christanty, salah satu perajin batik di Lasem mengatakan, pembuatan sepotong batik membutuhkan waktu yang cukup lama. Batik bermotif biasa paling cepat satu bulan. Namun, kalau ingin membuat batik yang bagus bisa menghabiskan 6-10 bulan.

Karena itulah, Christanty mengatakan, batik lasem cukup mahal. Hasil produksinya yang diberi cap Batik Purnomo, dia jual dengan harga bervariasi. Batik taplak meja dijual Rp 25.000/potong dan batik bahan busana Rp 80.000-Rp 1,5 juta.

Christanty menambahkan, satu potong batik lasem punya banyak warna. Batik yang memiliki lima warna, seperti merah, biru, hijau, kuning, dan coklat disebut batik tiga negeri. Adapun batik empat negeri memiliki warna seperti tiga negeri ditambah ungu.

Ingin tahu kelebihan batik lasem? Para perajin batik lain, seperti Sigit Wicaksono, Candra Cahyono, Lies Cai, Naomi, dan Teguh Santoso mengatakan, batik lasem tidak mudah luntur dan punya nilai seni cukup tinggi. Selain itu, ada satu ciri khas yang tidak dimiliki oleh batik asal daerah lain, yaitu warna merah.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Diperindakop) Drs Trijoko Margono menjelaskan, beberapa waktu lalu pihaknya telah menyelenggarakan seminar batik lasem. Narasumbernya pemerhati batik, perancang busana, dan ahli ekonomi dari Jakarta. Seminar itu bertujuan mengembangkan industri batik lasem. (Djamal A Garhan-90e)

HAMPIR 3 KILOMETER PANJANG BATIKNYA

Kecantikan motif batik menyihirnya menjadi kolektor batik sejati. Ketika ingin mendirikan museum, ia terbentur pada minimnya dana. Kondisi Museum Tekstil Jakarta yang memprihatinkan pun menunda niatnya untuk menghibahkan koleksinya biar bisa dinikmati banyak orang. Tapi ia menganggap para pedagang batik sebagai gurunya.

Dengan rambut yang sudah putih, wanita ini tak ubahnya seperti nenek biasa. Sosoknya seakan tak mampu melakukan kegiatan ekstra selain menimang cucu, duduk-duduk di beranda rumah sambil membaca, atau sekadar ngumpul dengan sesama rekan seusia. Namun, figur Eiko Adnan Kusumah ternyata mampu berbuat lebih dari itu, yang berguna bagi kelestarian dan perkembangan budaya bangsa kita.

Sejak 35 tahun lalu, wanita kelahiran Kobe, Jepang, 74 tahun lalu ini punya hobi mengoleksi batik tulis tradisional pesisiran dan pedalaman Pulau Jawa. Hingga kini koleksinya sudah mencapai 1.400-an helai. Bila dipukul rata panjang setiap kain 2 m lalu dibentangkan, seluruhnya mencapai 2,8 km panjangnya, atau kira-kira 7 kali lintasan atletik. Malah bisa jadi jauh lebih panjang dari itu karena kebanyakan lebih dari 2 m panjangnya, bahkan ada yang hampir 4 m, meski ada juga yang kurang dari 2 m.

Dilihat dari cara pakai, koleksinya bisa dipilah atas kain panjang, kain sarung, selendang, ikat kepala, kemben, dan celana. Tapi yang terbanyak jarik atau kain panjang. "Saya tidak pernah memotongnya untuk bikin baju atau apa. Sayang 'kan?" katanya. "Hanya karena tidak tahu, saya pernah menggunting koleksi sarung batik saya biar gampang difoto. Sekarang saya menyesal. Sebenarnya tidak boleh dipotong karena jahitan saja ada artinya."

Hampir seluruh batik pesisiran dan pedalaman bisa ditemukan dalam jajaran koleksinya. Dari Jawa Barat sebut saja batik Indramayu dengan cocohan-nya yang khas dan batik Cirebon yang kondang dengan variasi coraknya. Dari Jawa Tengah, ada batik Rembang dengan batik Lok Chan-nya yang bercirikan dua nuansa warna, latar lembut dan corak lebih tua; batik Lasem dengan warna merahnya yang khas; batik Pekalongan dengan ciri motif jlamprang dan ragam hias Jawa-Hokokai-nya; batik Kudus dengan latar kain bermotif rumit atau berlatar motif variasi tambal, kawung, parang dengan warna-warna lembut atau warna latar kecoklatan yang khas.

Sedangkan dari Jawa Timur antara lain batik Tuban yang terkenal dengan tata warna putihan (latar putih corak biru atau hitam), bang-rod (latar putih corak merah), pipitan (latar putih dengan corak merah dan biru), dan irengan (latar biru tua atau hitam, corak putih); batik Sidoarjo dengan corak naturalis yang tegas, jelas, dan ekspresif dengan warna mencolok dan berani; juga batik Madura yang banyak mempengaruhi batik Sidoarjo.

Selain batik pesisiran, tak kurang juga batik pedalaman dikumpulkan ibu 4 orang anak dan nenek 3 orang cucu ini. Ada batik Garut, Tasikmalaya, Banyumas, dsb.

Mungkin sejalan dengan selera kewanitaannya, kebanyakan batik koleksinya tak lepas dari motif flora, fauna, dan kekayaan alam lainnya. Baginya motif naturalis seperti itu mudah dinikmati. Ini berbeda dengan batik Yogyakarta dan Solo yang menurutnya bermotif sangat feodal dengan makna simbolik begitu dalam dan berat. "Kalau dilihat, kita tidak tahu arti simboliknya," tuturnya. Maksudnya, untuk memahami motif batik Yogya dan Solo perlu studi yang mendalam. Karena itu ia tidak "berani" mengambil batik-batik asal kedua kota itu sebagai koleksi.

Selain pilihan motif, batik berusia tua dan tidak diproduksi lagi merupakan kriteria lainnya. Menurut dia, ada yang sudah berumur 150-an tahun; dari jenis batik "Belanda", yakni batik yang dibuat orang Jawa tapi menurut selera orang Belanda. "Kondisinya masih baik. Mungkin yang punya kain ini dulu banyak uang. Ia punya banyak kain, sehingga jarang dipakai. Cara menyimpannya pun dulu mungkin baik," tuturnya.

Dari sekian banyak koleksinya - yang sebagian besar berbahan katun dan sisanya sutera atau rayon itu - yang paling ia sukai batik Lasem. "Batik Lasem itu lucu dan manis. Jadi banyak wanita yang suka. Tapi bikinan sekarang mutunya sudah menurun," keluhnya.

Museum dan hibah
Rupanya Eiko tidak ingin berhenti di situ. Ia tidak ingin koleksinya yang seabrek dan eksklusif itu jadi barang "mati". Dengan koleksinya ia ingin berbagi kesenangan dan pengetahuan kepada orang lain. Maka timbullah keinginannya untuk mendirikan museum. Bangunan calon museum bukan masalah, sebab rumah di bilangan Pasar Minggu seluas ± 350 m2 yang sehari-hari dia tempati bisa difungsikan sebagai museum. Di dalamnya sudah ada ruang koleksi, ruang dokumentasi dan baca, ruang istirahat, dan galeri.

Yang jadi persoalan justru biaya operasional untuk menyelenggarakan museum impiannya itu. Antara lain dana rutin untuk membayar staf, listrik, telepon, keamanan, dan perawatan gedung. Wanita dengan nama asli Eiko Asso ini tidak berpangku tangan untuk mewujudkan harapannya. Ia sudah mencoba mendatangi lima perusahaan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kala itu ia berpikir, kalau masing-masing mengulurkan dana secara rutin Rp 2 juta per bulan saja, berarti setiap bulannya sudah tersedia dana Rp 10 juta.

Apa lacur, hampir semuanya menolak menjadi sponsor kecuali satu yang memberikan lampu hijau. Namun perusahaan itu pun cuma sanggup menyediakan bantuan dana Rp 400.000,- per bulan. "Setelah saya pikir, tiap bulan saya mesti bikin laporan, harus ada orang yang mengurusnya. Ah, untuk (museum) saya uang sebesar itu kurang berarti. Jadi, nggak usahlah," kata wanita bersuamikan pria Garut, Jawa Barat, ini.

"Kesadaran mereka kurang, ya? Maunya cuma cari uang!" tuturnya rada sengit. "Bikin jalan atau jembatan boleh, tapi apa salahnya sih Jepang juga ikut bantu Indonesia di bidang kebudayaan?" lanjutnya.

Memang ada beberapa ekspatriat yang berminat menyumbang. Ini pun terpaksa dia tolak lantaran, "Saya pikir-pikir, mereka mau membantu, atau malah mengganggu. Nanti mereka tanya ini apa, ini bagaimana, dan sebagainya. Jadinya saya bukan dibantu, malah saya yang mengajari mereka. Jadi, sementara ini tidak usah," kata Eiko.

Akhirnya, ia menjajagi cara lain agar harta berharga miliknya itu bisa berarti bagi banyak orang. Eiko berniat menyumbangkan koleksinya pada Museum Tekstil Jakarta (MTJ). Surat hibah pun sudah siap dia tanda tangani. Namun lagi-lagi rencana itu gagal lantaran kebanyakan orang yang dia mintai pendapat - termasuk pengelola museum itu sendiri - melarang dia agar tidak menghibahkannya ke museum itu.

"Mereka selalu bilang 'jangan menyumbangkan koleksi Ibu ke museum itu!'" ungkap Eiko. Alasannya, basic condition museum di Indonesia rata-rata masih memprihatinkan. Meski ada juga yang bilang idenya bagus, karena dengan begitu koleksi yang amat bernilai itu masih tetap berada di Indonesia, tidak lari ke luar negeri.

Alhasil jalan keluar bisa diperoleh. Yang disimpan di MTJ akhirnya hanya berupa kopian atau duplikat koleksi batik-batik pilihan. "Seperti banyak dilakukan museum di negara lain. Jadi yang dipamerkan kopinya, aslinya tidak dikeluarkan," kata istri Adnan Kusumah ini.

Tentu saja mutu kopian itu di bawah koleksi aslinya sebab teknik, bahan kain, cara pencelupan, dsb. jelas berbeda. Namun setidaknya pengunjung tetap dapat menikmati suguhan batik-batik eksotiknya kendati hanya duplikat, sementara aslinya tersimpan aman di lemarinya.

Diaduk-aduk mahasiswi
Nampaknya Eiko menyadari, koleksi tanpa informasi yang memadai hampir tiada arti untuk pelestarian dan transfer pengetahuan tentang batik pada generasi mendatang. Apalagi, industri batik tulis tradisional belakangan ini mulai terengah-engah untuk bertahan hidup atau malah tergusur oleh kepentingan ekonomi lainnya.

Karena itu ia melengkapi koleksinya dengan dokumentasi dan informasi yang memadai. "Kalau kain saja mungkin nilainya tak seberapa. Tapi kalau dilengkapi informasi, akan lebih bernilai. Makin lama makin sedikit orang yang tahu 'kan? Jadi sebisa mungkin kain dan informasi disatukan. Dengan begitu saya merasa puas."

Sejak tahun 1992 sampai sekarang, setidaknya sudah 400 koleksi yang terdokumentasikan dengan baik. Di dalamnya antara lain berisi informasi tentang bentuk kain batik, asal, motif, dan corak, serta dokumentasi foto utuh dan detail bagian-bagian pentingnya. Informasi ditulis dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Jepang. Tetapi terminologi khas batik tetap dipertahankan menggunakan "bahasa batik".

Dalam usahanya melakukan pendokumentasian, Eiko sempat menerima tenaga bantuan dua orang mahasiswi asal Belanda yang ditawarkan oleh seorang profesor Belanda, ketua tim ahli permuseuman yang membantu museum seluruh Indonesia. Tawaran itu dia terima dengan harapan ia dapat ikut belajar cara membuat dokumentasi koleksi batiknya secara benar.

Apa mau dikata, bantuan itu justru merupakan "bencana" bagi Eiko. Pasalnya, koleksi yang sudah dia pilah menjadi 40 kelompok menurut daerah asal, zaman, cara celup, dan cara pakai, mereka bongkar semua lalu dipilah lagi menurut kelompok kain panjang, kain sarung, selendang, dan seterusnya.

"Lo, untuk apa dibagi seperti itu? Orang Indonesia sudah tahu yang begitu. Semuanya malah jadi campur aduk tak karuan. Aduh, saya sedih dan marah setengah mati!" katanya masih dengan nada gemas.

Dibungkus kertas kimono
Selain harus menyediakan waktu khusus, dibutuhkan ketelatenan sekaligus kecintaan untuk merawat benda koleksi macam kain batik agar tidak cepat rusak. Salah satu musuhnya ialah kutu yang suka memangsa kain. Karena itu setiap hari setidaknya ia meluangkan waktu khusus 2 - 3 jam untuk merawat koleksinya.

"Tempo-tempo koleksi saya keluarkan dari bungkusnya untuk diangin-anginkan," katanya. Meskipun dalam lemari sudah disebari kamper antiserangga, tak jarang Eiko menemukan kutu pemangsa kain. Ini yang suka bikin repot. Kain batik itu pantang kena sinar matahari, dan kalaupun nekat dijemur, si kutu belum tentu mati. Selama ini satu-satunya cara yang dia lakukan untuk membasmi binatang renik itu ya diseterika meskipun tindakan ini pun lama-kelamaan bisa menurunkan kualitas kain batik. "Apa boleh buat."

Tempat penyimpanan yang ideal pun menuntut adanya pendingin ruangan selama 24 jam. Namun karena keterbatasan dana, Eiko lalu menggunakan alternatif lain seperti yang biasa dilakukan orang di negeri asalnya. Semua koleksi dia bungkus dengan kertas pembungkus kimono (pakaian tradisional Jepang) yang khusus dia datangkan dari sana. Masing-masing berisi 5 - 10 helai kain dan disimpan di lemari. Kertas pembungkus itu mampu menyerap udara lembap. "Tempat penyimpanan memang tidak boleh terlalu lembap dan terkena sinar matahari langsung," ujarnya.

Untuk memudahkan mencari kembali, pada setiap pembungkus ditulisi jenis atau asal koleksi. Masing-masing kain pun diberi keterangan tentang asal, ukuran, dan corak di atas secarik kain kecil berwarna putih yang dijahit tangan di sudut kiri belakang.

Di sebelah ruang penyimpanan koleksi terdapat sebuah galeri. "Tapi di galeri itu saya tidak menjual kain koleksi. Memang banyak tamu yang kecewa," katanya. Suatu ketika pernah ada seorang pengunjung menanyakan kemungkinan batik koleksinya dijual. "Kalau selembar dua ribu dolar Amerika saja ada yang mau," kata Eiko menirukan tamunya. Untuk membeli sebuah rumah mewah dari hasil penjualan itu tidak sulit, katanya, tapi kalau cari batik seperti koleksi miliknya, tentu bukan hal mudah. Karena itu, ia tetap teguh untuk tidak menjual koleksinya.

Mungkin supaya orang tidak kecele, ia lalu menyediakan sejumlah kain batik seperti batik sogan, batik Madura, yang sengaja dia beli untuk dijual sebagai cendera mata. "Memang belum lancar sih. Tapi kalau nanti jadi bikin museum pribadi, siapa tahu museum bisa jalan dengan adanya penjualan cendera mata itu."

Eiko tidak begitu saja memperlihatkan kepada sembarang orang keindahan dan keunikan koleksi kain batiknya yang tersimpan dalam ruang koleksi seluas sekitar 30 m2 itu. Hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh punya minat yang tinggi terhadap kain batik ia bersedia memperlihatkan koleksinya. Lebih-lebih kepada mereka yang berniat menjadikan koleksinya sebagai objek studi. Hingga kini sudah cukup banyak orang datang untuk melakukan studi, kebanyakan orang asing, misalnya dari Amerika, Belanda, India, dan Kanada.

Bahkan ia tidak keberatan meminjamkan kepada mereka yang ingin melakukan penelitian terhadap koleksinya. "Asalkan diberi hasilnya supaya saya pun bisa belajar dari situ." Menurut dia, belum ada peneliti Indonesia yang datang untuk melakukan studi. "Padahal banyak lo hal yang bisa digali dari sehelai kain batik."

Gurunya pedagang batik
Berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri, merupakan salah satu sarana bagi Eiko untuk memberi makna pada koleksinya. Gelar pameran itu umumnya atas undangan pengelola hotel-hotel berbintang. Yang terakhir ia ambil bagian dalam pameran tekstil bersama antara Museum Tekstil Jakarta dan Nederlands Textile Museum (NTM) Tilburg, Belanda, di MTJ selama 2 bulan di akhir tahun 1996. Dalam pameran bertemakan "Sukma Jawa" itu Eiko menyertakan koleksinya sebanyak 64 helai, sementara MTJ 20 helai dan NTM 16 helai.

Di luar negeri ia banyak menggelar pameran. Di antaranya di Suntory Museum of Arts, Tokyo (1986), Kobe City Museum, Kobe (1988), Museum of Art Fukuoka, Kyushu (1996), dan di NTM Belanda (1996).

Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya kalau dirinya bakal menjadi salah satu dari sedikit kolektor batik Indonesia yang kampiun. Apalagi ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Indonesia untuk mengikuti suaminya pulang dari Jepang tahun 1951. Pikiran itu baru muncul sekitar akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an, ketika ia terpesona akan indahnya kain batik yang diasongkan di depan hidungnya di Jl. Surabaya, Jakarta.

"Sewaktu pertama kali membeli, saya tidak tahu apa-apa tentang batik. Pokoknya kelihatan cantik, saya beli. Harganya pun waktu itu murah, tiga sampai empat ribu rupiah," kenang Eiko.

Kira-kira 10 tahun kemudian, ketika koleksinya bertambah banyak, ia berpikir mengoleksi sesuatu hanya karena menuruti rasa suka tidak banyak gunanya. Atas saran beberapa orang, termasuk para pedagang batik, dia pun memutuskan untuk mengoleksi batik dengan tujuan yang jelas.

"Jadi baru 15 tahun ini saya mengoleksi dengan tujuan jelas," akunya. "Kriterianya bukan hanya cantik, tapi juga nilai sejarahnya, cara celupnya, coraknya," ujar Eiko yang tiba di Indonesia bersama suami dan kedua anaknya naik kapal barang.

Nampaknya, ia banyak berutang budi pada para pedagang batik yang banyak memberikan informasi tentang seluk-beluk kain batik. Barangkali juga sebaliknya, kita berutang budi pada Eiko; seorang wanita Jepang yang gigih dan tekun mau menyumbangkan tenaga, dana, dan pikirannya dengan diam-diam dan tanpa pamrih untuk ikut melestarikan salah satu karya nenek moyang. (I Gede Agung Yudana/G. Sujayanto)

Batik Lasem Unik Menarik

LASEM adalah sebuah kota kuno di Kabupaten Rembang. Bahkan mungkin keberadaan kota ini konon sudah ada sebelum kota Rembang berdiri. Lasem tempo doeloe dikenal sebagai kota transit, sekaligus kota pelabuhan, maka tiak mengherankan jika Pemkab Rembang bertekad menjadikan kota ini sebagai kota niaga.

Nuansa sebagai kota santri yang dibuktikan dengan beberapa pondok pesantren yang membaur dengan komunitas Cina (sebagai pendatang/saudagar) cukup mewarnai kota kedua di Rembang ini. Dan salah satu produk unggulan yang dimilikinya ialah batik tulis. Karena diproduksi di Lasem maka kemudian populer dengan sebutan Batik Lasem. Batik Lasem boleh jadi berbeda dengan batik sejenis di Jawa seperti Yogya atau Solo. Gaya dan corak sangat kental dengan nuansa pesisiran yang hampir mirip dengan gaya batik Pekalongan.

“Namun batik Lasem tetap berbeda dengan batik lainnya termasuk gaya Pekalongan sekalipun. Ini karena proses awalnya dibawa oleh saudagar Cina yang menetap di Lasem,” kata Purnomo (55) pemilik galeri batik Tulis Cap Kuda sekaligus memproduksi Batik Lasem. Diakuinya, banyak rekan-rekannya pebisnis batik Lasem yang gulung tikar beralih usaha ke bidang lain, namun di sisi lain pribumi Lasem yang dulunya adalah pekerja batik, kini justru sudah lama bermunculan sebagai pembuat batik yang tangguh sekaligus memiliki pangsa pasar tersendiri.

Adalah Soesantio (60) yang sudah lama bergelut di pembuatan batik Lasem namun kini ia beralih ke bidang lain, bercerita jika almarhum Amri Yahya (pelukis batik dari Yogya, red) dan beberapa turis dari Jepang dan Jerman pernah datang ke Lasem hanya untuk memburu batik Lasem kuno untuk dipelajari dan dibawa ke negerinya.

Anehnya lagi, di beberapa sentra pembuat batik tulis Lasem mereka membuat batik sesuai spesialisasi jenis/motif yang disukai dan dipelajari selama ini. Motif Ceplok Latoh, Watu Pecah dan Ceplok Piring misalnya spesialis dibuat oleh Pak Rochim. Sementara Ny Naomi lebih menyukai motif seperti ìSekar Jagatî, Terang Bulan, Naga Kricak, Sekar Jagat Es The dan Kawung Lerek Sekar Paksi.

Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi Kabupaten Rembang Drs Trijoko Margono didampingi Kabid Perindustrian Wardijo kepada KR, Batik Lasem tetap merupakan produk unggulan yang selalu tampil di PRPP (Pekan Raya Promosi Pemba-ngunan) Tingkat Jawa Tengah (Jateng Ekspo). “Bahkan sewaktu ikut pameran di JCC (Jakarta Convention Center) belum lama ini banyak pengusaha dan peminat batik tulis klasik memborong batik Lasem, ini tentu sangat membanggakan dan kami berharap dapat berkembang terus,” jelasnya. Memang banyak pengusaha setempat yang mendapat pesanan dari pengusaha Jakarta dan Surabaya termasuk Bali yang kemudian dijual ke luar negeri. Tidak ketinggalan saat ikut pameran di Nusa Dua (Bali) membuat turis asing ikut memborong batik tulis Lasem termasuk pengusaha asal Bali, Ida Ayu (pemilik galeri “Wong Bali”) yang siap menjalin kerja sama dengan para pengusaha batik di Lasem. Tokoh PDI-P yang juga seniman kondang Guruh Soekarnoputra sewaktu mengadakan kunjungan ke Rembang beberapa waktu lalu bahkan menyempatkan untuk memborong beragam corak batik tulis Lasem untuk dibawa ke Jakarta. Di Kantor Pariwisata Kab Rembang sendiri sudah lama menyediakan aneka batik tulis Lasem dan produk lain untuk ditawarkan kepada konsumen (wisatawan domestik) sebagai salah satu upaya promosi produk unggulan daerah ini.

Dari data yang ada, harga terendah sekitar Rp 80 ribu/ potong untuk jenis ìLatohanî sementara yang termahal harganya bisa mencapai Rp 1 juta per potong seperti dimiliki motif Cina “Lok Cam”. Sentra pembuatan batik tulis tersebar di beberapa desa seperti, Jolotundo, Karangturi, Gedongmulyo, Babagan, Selopuro dan Karaskepoh. Untuk motif produksi yang terdata mencapai 23 motif meskipun masih banyak lagi kalau dikembangkan secara luas, sementara jumlah pengusaha besar dan kecil mencapai 20 pengusaha. Agaknya promosi dan permodalan yang terpadu diharapkan akan memacu perkembangan batik tulis Lasem di tengah ketatnya persaingan bisnis dan melambungnya laju harga BBM.

Sumber : (Agus Sutomo)-k KR, Jawa Tengah

Batik Lasem, Nasibnya Kini

BILA orang menyebut batik Jawa Tengah, orang segera menyebut Solo dan Pekalongan. Padahal, selain kedua daerah tersebut masih ada daerah lain yang juga menghasilkan batik tulis yang tidak kalah indahnya, yaitu Lasem. Kota kecamatan di Kabupaten Rembang sekitar 12 kilometer arah timur kota Rembang ini luasnya 45,04 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 44.879 orang (Litbang Kompas, 2003).

BATIK produksi Lasem bercorak khas, terutama warna merahnya yang menyerupai warna merah darah ayam, yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Kekhasan lain terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara, dan budaya keraton (Surakarta dan Yogyakarta).

Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang berdatangan ke Lasem memberi pengaruh besar terhadap corak batik di daerah ini. Banyak yang kemudian menjadi pengusaha batik di kota ini.

Pada masa kejayaan batik lasem, hampir setiap rumah tempat tinggal orang Tionghoa di daerah ini mengusahakan pembatikan dengan merekrut tenaga pembatik dari desa sekitar. Tenaga pembatik ini umumnya melakukan pekerjaan ini sebagai sambilan saat menunggu musim panen dan musim tanam pada sawah.

Ketika membuat desain untuk motif batik produksi mereka, para pengusaha pembatikan Lasem dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Ragam hias burung hong dan binatang legendaris kilin (semacam singa) dan sebagainya mereka masukkan dalam motif batik produksi mereka. Bahkan, cerita percintaan klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tay pernah menjadi motif batik di daerah ini. Tidak mengherankan bila kemudian batik produksi Lasem sering disebut sebagai batik “Encim”. “Encim” adalah sebutan kaum Tionghoa peranakan untuk wanita yang usianya telah lanjut.

Selain itu pengaruh budaya keraton Surakarta dan Yogyakarta juga terlihat pada motif batik lasem, antara lain pada ornamen kawung, parang dan sebagainya. Sementara pengaruh budaya pesisir terlihat pada warnanya yang cerah seperti warna merah, biru, kuning dan hijau.

PEMBATIKAN di Lasem memang pernah berkembang gemilang. Sigit Wicaksono (74), pengusaha batik lasem yang merintis usaha pembatikan sejak sekitar tahun 1942, mengutarakan, batik lasem dalam masa kejayaannya pernah diekspor ke luar negeri, antara lain ke Suriname. Batik lasem bisa bersaing dengan batik dari daerah lain karena selain motifnya menarik dengan kain kualitas halus, juga warna merah darah ayamnya yang khas tidak bisa ditiru pembatik daerah lain.

Namun, kalau sekarang Anda datang ke Lasem dan mencari batik tulis produksi Lasem, apalagi batik dengan motif tradisional khas Lasem, Anda akan mengalami kesulitan bagaikan mencari barang antik saja.

Batik tulis lasem sekarang sulit ditemui karena pengusaha yang menghasilkan batik lasem banyak yang gulung tikar. Dari sekitar 140 pengusaha batik pada tahun 1950-an, kemudian merosot menjadi sekitar 70 pengusaha pada tahun 1970, dan kini tinggal sekitar 12 orang saja yang masih mengusahakan pembatikan. Yang masih bertahan ini pun banyak yang usahanya “Senin-Kamis”. Maka, tepat kalau dikatakan batik lasem terancam punah.

Sekitar setengah abad lalu masih kita jumpai banyak keluarga di Kota Lasem yang menjadi pengusaha pembatikan, atau sedikitnya menjadi pedagang batik yang mengambil batik dagangannya dari pembatik kecil di desa sekitar. Sekarang mereka tidak lagi aktif dalam usaha pembatikan, bahkan toko batik mereka beralih menjadi toko kelontong. Alat pembatikan dibiarkan teronggok berdebu di sudut ruang belakang rumah atau di gudang penyimpan barang bekas.

“Usaha pembatikan Lasem dulu memang pernah jaya, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Bahkan, keadaannya semakin lesu,” ungkap Ir Rudy Hartono (33), mantan pengusaha batik lasem yang sekarang membuka toko kelontong yang menjual barang elektronik keperluan rumah tangga sampai pada barang keperluan nelayan. Sekalipun dapur pencucian kain batik masih tampak di belakang rumahnya, alat pembatikannya sendiri tidak tampak lagi karena sudah lama disimpan di gudang.

BANYAK faktor menjadi penyebab merosotnya pembatikan di Lasem.

“Pembatikan Lasem sedang limbung. Generasi penerus usaha pembatikan semakin berkurang karena setelah mengenyam pendidikan tinggi dan bertitel mereka tidak mau terjun di usaha pembatikan. Mereka lebih suka bekerja atau berusaha di bidang lain sesuai pengetahuan yang mereka peroleh di perguruan tinggi,” tutur Poernomo Maskoen (52), pengusaha batik lasem.

Selain itu, tambah Poernomo, tenaga pembatik juga berkurang. Anak-anak dari tenaga pembatik setelah lulus sekolah lanjutan tingkat pertama/atas tidak mengikuti jejak orangtuanya menjadi pembatik melainkan bekerja di kantor di kota besar seperti Surabaya dan lainnya. Jadi, tenaga pembatik tidak ada yang melanjutkan.

Karena para buruh pembatikan umumnya turun-temurun, pekerjaan utamanya adalah petani atau buruh tani di kampung halaman, saat musim panen dan musim tanam mereka pulang ke kampungnya mengerjakan sawah. Akibatnya kerja pembatikan tidak berlangsung lancar. Anak-anak para perajin yang dengan bekal ijazah mereka mencari kerja di kantor, pabrik atau toko, dengan harapan mendapatkan upah lebih tinggi dari upah sebagai perajin batik. Upah sebagai buruh pembatikan sekitar Rp 7.500 per hari ditambah makan di tempat kerja.

Selain akibat menciutnya jumlah orang yang menekuni usaha pembatikan, baik sebagai pengusaha maupun sebagai perajin, merosotnya usaha pembatikan Lasem juga disebabkan membanjirnya batik sablon atau batik cetak (printing).

“Teknologi sablon turut mematikan batik tulis lasem. Batik sablon harganya sekitar Rp 25.000 per lembar, jauh lebih murah daripada batik tulis yang harganya mencapai ratusan rupiah per lembar,” kata Sigit Wicaksana, pengusaha batik lasem yang kini berusaha bertahan demi memberikan pekerjaan kepada karyawannya yang tinggal beberapa orang. “Kasihan mereka kalau saya sampai berhenti sama sekali,” ungkapnya.

Menurut Sigit, bajak-membajak motif batik turut pula membuat usaha batik tulis lasem semakin lesu. Kurangnya modal memperparah kehidupan usaha pembatikan di Lasem yang merupakan usaha keluarga turun-temurun.

Menurut Poernomo Maskoen, orang-orang sekarang jarang memakai kain kebaya melainkan lebih senang memakai rok karena praktis memakainya di samping bahan rok lebih murah daripada kain batik tulis. Keadaan ini turut pula membuat lesunya usaha pembatikan di Lasem.

Apakah batik lasem akan terus terpinggirkan untuk kemudian punah sehingga tinggal barang kenangan saja yang dapat dilihat di museum? Mungkin pemegang kewenangan penentu kebijakan, pemilik modal, dan pecinta batik lasem dapat menjawabnya.

Sumber : (SN Wargatjie) Kompas Cetak, Jakarta

Sejarah Batik di Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerjaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta .

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-20 dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia I habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam, banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan di sekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal di wilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Di luar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-19 ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.



Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia I yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya di pasar Porong Sidoarjo. Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia , dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta , yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Tempat pembatikan yang dikenal sejak lebih dari seabad lalu adalah di desa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar pesat di daerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta .

Ketika berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kyai yang statusnya turun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Salah satu sentra batik sejak dahulu ada di daerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Solo yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-19. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Solo yang menetap di daerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri , tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Di samping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain: pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih impor baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia .

Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitar abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, oleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan ke seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah timur dan barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon .
Perkembangan Batik di Kota-kota lain

Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan tahun 1830. Mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewarna dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-19 berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan warna khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan, para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-19. Perkembangan pembatikan di daerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.

Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah ke daerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kerjasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan di tempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan desainnya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-20 proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.

Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-19. Pewarna yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis di samping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.

Pada awal abad ke-20 sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.

Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-19. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.

Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen, yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak di kaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.

Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-19 yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: Penghulu Nusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan tengabang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-20 untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.

Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta . Daerah pembatikan di Kebumen ialah desa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.

Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun, maka diperkirakan di daerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum di sana yang berguna untuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan ialah Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota .

Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak di pinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Banyumas dan Kudus yang merantau ke daerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju ke arah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah pembuatan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.

Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-19 setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta , menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-20 pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon , kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-13. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.

Pembatikan di Jakarta

Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-19. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan di daerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar dekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Hilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.

Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.

Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat di sekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.

Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta .



Pembatikan di Luar Jawa



Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.

Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia , dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.


Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.


Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramayu-an, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi di pulau Jawa. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.

Sumber : [Dikutip dari buku 20 Tahun GKBI]

Menelusuri Jejak Sejarah Batik Semarang

DALAM upaya memperkuat identitas dan kepribadian bangsa, banyak daerah di Indonesia telah mendeklarasikan budaya melalui media batik. Misalnya batik Pekalongan, batik Demak, batik Kudus, batik Rembang, batik Lasem, batik Sragen, batik Banyumas, batik Jogya, batik Solo, dan sebagainya.

Namun, batik Semarang masih kurang pamor dibandingkan dengan batik-batik yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Padahal, Semarang memiliki warisan budaya batik yang telah mengalami kristalisasi nilai-nilai serta ciri-ciri khas yang unik.

Batik Semarang diproduksi oleh para pengrajin di Kampung Batik, Kelurahan Bubakan, Kecamatan Mijen, Semarang. Konon batik Semarang pernah “melejit” sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Namun saat itu banyak pengrajinnya yang hijrah ke Klaten, Solo, dan daerah-daerah di sekitarnya. Karena itu, pengrajin batik Semarang sangat sedikit.


Meski jumlahnya terbatas, batik Semarang masih dilestarikan oleh beberapa pengrajinnya. Salah satu pengrajin batik yang tetap eksis mempertahankan warisan budaya tersebut ialah Umi S Adi Susilo.

Batik yang bertajuk Semarang 16 ini yang menjadi material utama 13 desainer terkemuka Indonesia yang menggelar fashion show pada acara HUT ke-461 Semarang yang perayaannya jatuh pada 2 Mei 2008.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Taruna K Kusmayadi, corak dan motif yang terdapat pada batik Semarang cukup unik dan tidak kalah dengan batik-batik yang sudah populer selama ini. Selain itu, warna yang tersemburat pada batik Semarang juga lebih monokromatik, sehingga tampil indah setelah diolah.

Meskipun ada persamaan ciri-ciri motif batik Semarang dengan batik pesisir lainnya, namun jika diamati secara teliti, ada juga detil perbedaannya. Perbedaan itu dapat dilihat antara lain pada detil-detilnya.

Pada umumnya batik Semarang berwarna dasar oranye kemerahan karena mendapat pengaruh dari China dan Eropa. Selain itu, motif dasar batik Semarang banyak dipengaruhi budaya China yang pada umumnya banyak menampilkan motif fauna yang lebih menonjol daripada flora. Misalnya merak, kupu-kupu, jago, cendrawasih, burung phunix, dan sebagainya. Motif-motif ini tidak terlepas dari pengaruh budaya China.

“Batik Semarang identik dengan warna terang, kalau yang zaman dulu bukan dari China, tapi Belanda itu arah warnanya merah bata. Kalau China lebih ke warna oranye. Jadi pengaruh negara lain ikut turut andil dalam pewarnaan batik Semarang,” kata ibu Umi saat ditemui okezone dalam dalam acara press conference di Hotel Pandanaran, Semarang, Jumat (2/5/2008).

Sementara itu, ciri-ciri motif batik Semarang menurut ibu Umi, tidak simbiolis seperti batik-batik di Surakarta dan Yogyakarta. “Kebanyakan batik Semarang diambil dari hal-hal yang ada di sekitar kita baik cerita legenda-legenda Semarang atau tentang makanan khas Semarang. Bahkan batik yang ada di zaman Belanda itu diangkat oleh kita dengan tema zaman Diponegoro. Jadi tidak terlalu simbiolis seperti batik Solo atau Yoyakarta,” bebernya.

Pengaruh budaya China dan Eropa, lanjutnya, turut andil dalam batik Semarang. Meski motifnya sangat beragam, ciri khas Semarang tetap ada. “Semarang diambil dari kata asem dan arang jadi asem yang jarang-jarang. Legenda-legenda lain menjadi tambahannya,” terang wanita keturunan Betawi yang sampai kini selalu concern dengan batik Semarang itu.

Adapun motif Semarang yang menonjolkan ikon kota Semarang, sambungnya, banyak menggunakan motif Tugu Muda, Lawang Sewu, burung kuntul, Wisma Perdamaian, Gereja Blenduk, bukit, dan laut. Semua motif tersebut, dijelaskan ibu Umi sebagai identitas kepribadian bangsa agar tidak terkikis oleh perluasan budaya global.

Sedangkan proses pembuatan batik tulis Semarang yang dapat dilakukan hingga mencapai tiga bulan itu, dimulai dari proses pembuatan, penggambaran hingga pewarnaan dan menghasilkan batik. Menurutnya, semakin sulit tingkat pengerjaan dan pemilihan kain yang digunakan, akan menentukan harga yang dibayar. Meski demikian, Anda dapat memeroleh batik Semarang mulai dari Rp30 ribu-Rp5 juta.